“Salah satunya. Sebenarnya kami telah mengirimkan murid terbaik kami. Tapi ia tidak melapor sejak sebulan yang lalu. Padahal tidak pernah ia berbuat demikian. Kalau bukan telah terjadi sesuatu, tidak mungkin ia tidak melapor.”Cio San terdiam lagi. Ia masih belum bisa memutuskan untuk bercerita. Setelah berpikir lama, akhirnya ia memilih untuk bercerita.Mendengar peracunan di markas Ma Kauw, 3 mayat di sungai, fitnah atas Ang Hoat Kiam Sian, pembunuhan seluruh anggota beserta Ketua Ma Kauw, serta fitnah atas Beng Liong, membuat kedua orang yang mendengar ini terpaku.“Demi Tuhan, kalau tidak mendengar sendiri, aku merasa seperti membaca cerita dongeng,” kata Beng Liong.Musuh membunuh untuk menyingkirkan saingan. Memfitnah untuk menyingkirkan mereka yang dianggap mengganggu pergerakan.Musuh yang bergerak dalam bayangan. Yang selalu mengintai, dan bergerak saat mereka lengah. Musuh yang tidak bisa mereka duga siapa. Musuh yang ilmu silat dan racunnya sangat berbahaya. Siapapun, sesak
“Rahasia apa yang ingin Ciokhee sampaikan kepada cayhe?” tanya Cio San.“Kau tahu aku ingin menyampaikan sebuah rahasia?” tanyanya terbelalak. Sampai lupa menggunakan bahasa yang sopan. Orang seperti dia memang mana bisa sopan lama-lama?“Urusan dengan Ciokhee bukankah cuma dua? Mengambil dan mengembalikan barang. Cayhe tidak punya barang yang bisa Ciokhee ambil sekarang. Berarti tinggal urusan mengembalikan barang. Sejauh ini, cayhe hanya punya sebuah buntalan kotor yang tertinggal di atas kapal. Buntalan itu bukan sesuatu yang berharga. Dan cayhe pun bukan orang ternama yang bisa dianggap pantas untuk jadi korban Ciokhee. Jadi kalau bukan urusan rahasia yang amat penting mengenai kejadian semalam, memangnya Ciokhee hendak mengajak cayhe minum arak?” jelas Cio San. Senyumnya itu pun tak pernah hilang meskipun hatinya sedang bersedih.“Bukan main! Kau memang mengagumkan, Cio San. Orang seperti kau, jika tidak kujadikan musuh besar, maka hidupku sungguh membosankan! Maukah kau jadi mus
Mayatnya sudah mulai kaku dan dingin. Tapi darah di tenggorokannya masih hangat. Cio San memeriksa luka di leher itu. Sebuah tusukan pedang. Satu tusukan. Satu nyawa. Tidak banyak orang yang mampu membunuh Sih Hek Tiauw hanya dalam satu tusukan. Selain Ang Hoat Kiam Sian, Cio San tidak bisa membayangkan ada orang lain yang punya ilmu pedang sedahsyat itu.Jendela di dekat kamar terbuka lebar. Pasti pembunuhnya melarikan diri dari situ. Cio San memeriksa jendela dan daerah sekitarnya. Tidak ada jejak yang tertinggal. Cio San mencoba mereka-reka apa yang dilakukan pembunuh itu setelah selesai melakukan perbuatannya. Lari keluar jendela adalah jalan yang paling masuk akal. Ia mencoba dengan seksama memperhatikan tanah yang dipijaknya. Hanya sebuah goresan kecil di tanah. Garis kecil yang samar, dan mungkin hanya dianggap sebagai garis biasa di atas tanah. Besarnya hanya seujung kuku. Tapi itu sudah cukup membuat Cio San curiga.Dengan seksama, ia menelusuri garis kecil itu. Ia menemukan
Mimpi pun Cio San tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Kedua orang yang tadi menyerangnya pun kini melakukan hal yang sama. Bersujud berkali-kali dan menyebut hal yang sama.“Sam-wi (Kalian bertiga) bangunlah. Dan jelaskan kepadaku apa maksud semua ini,” kata Cio San.Ketiga orang ini lalu bangkit.“Maaf kelancangan kami menyerang Kauwcu (Ketua). Kami hanya ingin menguji apakah benar Tuanlah orang yang dimaksud,” jelas orang yang tadi senjatanya bola rantai.“Sejak kapan aku menjadi ketua kalian?” tanya Cio San.“Semalam berita sudah tersebar. Apa Tuan tidak tahu?”“Berita apa?”“Tuanlah Ma Kauw-kauwcu yang baru!”Ia seperti mendengar petir di siang bolong.“Bagaimana bisa?” tanyanya heran.“Tuan benar-benar tidak tahu?” tanya si bola rantai.“Apa kau pikir aku terlihat seperti orang yang tahu?” ia bertanya sambil tersenyum. Kekagetannya hilang. Ia sudah mulai paham.“Apakah ini semua berasal dari Cukat Tong?” tanyanya.“Benar, Kauwcu. Semalam si Raja Maling Tanpa Tanding datang
“Awalnya susah, Tuan. Tetapi untunglah berdasarkan ciri-cirinya, kami bisa mengenali jasad beliau. Dari cincin lambang ketua. Lalu kalung dan beberapa gelang. Selain itu, dari gigi geligi beliau, ada beberapa emas yang beliau pakai. Kami semua yakin betul itu jasad beliau,” jawab salah seorang.Ia melanjutkan, “Kami tidak tahu harus marah atau senang kepada Cukat Tong. Ia berani sekali mencuri barang Kauwcu. Tapi justru karena dia lah, Ma Kauw terselamatkan. Ia berhasil menyelamatkan kotak yang sangat penting. Ini kotaknya, Kauwcu. Silahkan Kauwcu buka dan lihat isinya.”Sebuah kotak kayu sederhana. Cio San membukanya.Seketika itu juga, puluhan jarum yang sangat tipis menyerang matanya!Tapi Cio San lebih cepat. Ia sudah siap sejak tadi. Ia hanya memiringkan kepalanya. Puluhan jarum itu lewat di belakangnya, mengenai ketiga orang yang tadi mengantarnya. Mereka semua tewas berkelojotan di lantai.Ketujuh orang yang duduk di depannya, serempak menyerangnya. Tujuh senjata, tujuh titik m
Mereka kini duduk bersama di bawah sebuah pohon. Menikmati arak dan buah-buahan. Mendengar Cukat Tong bercerita.“Segera sesudah bertemu denganmu, aku mengirimkan surat kepada Ang Hoat Kiam Sian, menceritakan apa yang telah terjadi. Aku lalu penasaran apa isi kotak Ma Kauw-kauwcu, karena kotak itu diberi perangkap senjata rahasia yang ganas. Setelah berhasil memecahkan rahasia senjata itu, kotak akhirnya berhasil kubuka. Isinya adalah sebuah surat perintah, yang berisi bahwa kau telah diangkat sebagai Kauwcu baru. Karena merasa surat itu penting, aku membawa kotak itu ke markas Ma Kauw terdekat.”“Mereka menerimaku dengan baik, karena aku kenal beberapa orang disana. Kuceritakan semua yang terjadi. Herannya, mereka tidak begitu kaget. Aku lantas curiga. Untunglah, ketika melangkah pulang dan lewat di depan salah satu kamar rumah bordil, aku melihat si keparat nahkoda itu. Kamarnya terbuka sedikit, saat ada perempuan keluar dari dalam. Dari sedikit celah itu, aku bisa melihatnya sedang
Tidur Cio San sangat pulas. Dari sejak tengah hari, ia tidur sampai sore. Begitu bangun, ia melihat Cukat Tong dan Ang Hoat Kiam Sian masih duduk di sebelahnya. Yang satu duduk diam tenang. Tanpa suara dan tanpa kata-kata. Yang satu sedang menyandar di pohon sambil minum arak.“Kalian berdua sejak tadi duduk saling diam?” tanya Cio San kepada Cukat Tong.Cukat Tong hanya mengangguk.“Dan sejak tadi kau minum arak? Banyak sekali persediaan arakmu.”Cukat Tong mengangguk sambil tertawa. “Aku sudah 3 kali bolak-balik ke warung arak.”Cio San ikut tertawa. Ia duduk menyandar pohon dan ikut minum arak. Arak Lin Cia. Arak ini dibuat dari sari buah-buahan yang dimasukkan ke dalam bilah bambu, lalu di kubur dalam tanah selama berbulan-bulan. Semakin lama dikubur, semakin enak rasanya.Bangun tidur lalu minum arak. Habis minum arak, lantas tidur lagi. Di dunia ini tidak ada yang lebih menggembirakan buat para peminum selain hal ini.”Kau kenal dia darimana?” tanya Cio San sambil menunjuk Ang H
“Sejak awal bertemu dengannya di Rumah Teng Teng. Cara pandang dan sinar matanya yang aneh, membuatku curiga. Setelah kuperhatikan, ketika ia berbicara atau melakukan gerakan apapun, kepalanya agak dimiringkan. Itu tanda kalau dia lebih mengandalkan telinga ketimbang matanya.”“Tapi jurus pedangnya yang mantap dan cepat seperti itu?” tanya Cukat Tong lagi.“Justru karena ia buta, maka jurus pedangnya bisa dahsyat seperti itu. Karena ia tidak bertarung dengan menggunakan mata. Ia bertarung menggunakan hati. Ia adalah contoh manusia yang telah bisa menyatu dengan pedangnya,” jelas Cio San.“Ada sebagian orang yang hidupnya adalah pedang. Yang sebagian lain, pedang adalah hidupnya. Tapi baginya, hidupnya bukan pedang, dan pedang bukan hidupnya. Ia adalah pedang itu sendiri.”Mau tidak mau, Cukat Tong bergidik juga mendengarnya.“Kau tidak tahu asal-usulnya?” tanya Cio San.“Aku tidak tahu pasti. Aku hanya bisa menebak-nebak.” Cukat Tong lalu melanjutkan, “Sekitar dua puluh sampai tiga pu