Share

Bab 106

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-24 09:18:18

Mereka berlari cepat.

Dalam perjalanannya, Hong Sam-hwesio bercerita bahwa ketika akan berlari ke arah dermaga, ia dihadang oleh kelompok bertopeng. Ada sekitar sepuluh orang yang mengeroyoknya. Semua dengan ilmu aneh yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

“Lalu, di mana mereka sekarang, Siansing?” tanya Beng Liong.

“Mereka semua pinceng totok dan pinceng taruh di kuil Buddha di pinggir kota,” jawab sang Hwesio (Bhiksu).

Tak berapa lama mereka sampai di kuil yang dimaksud. Masuk ke ruang belakang, kamar Hong Sam-hwesio ‘menyandra’ pasukan bertopeng itu. Ternyata begitu kamar terbuka, terlihat tidak ada seorang pun di dalamnya!

Hong Sam-hwesio tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Beng Liong terlihat tidak bisa menahan amarah.

Cio San semakin kagum dengan pergerakan kelompok bertopeng ini. Pastilah seusai Hong Sam-hwesio menotok dan meninggalkan mereka di kuil ini, ada orang yang datang melepaskan. Cara kerja kelompok bertopeng yang penuh rahasia ini, sungguh membuat hatinya penas
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 107

    “Salah satunya. Sebenarnya kami telah mengirimkan murid terbaik kami. Tapi ia tidak melapor sejak sebulan yang lalu. Padahal tidak pernah ia berbuat demikian. Kalau bukan telah terjadi sesuatu, tidak mungkin ia tidak melapor.”Cio San terdiam lagi. Ia masih belum bisa memutuskan untuk bercerita. Setelah berpikir lama, akhirnya ia memilih untuk bercerita.Mendengar peracunan di markas Ma Kauw, 3 mayat di sungai, fitnah atas Ang Hoat Kiam Sian, pembunuhan seluruh anggota beserta Ketua Ma Kauw, serta fitnah atas Beng Liong, membuat kedua orang yang mendengar ini terpaku.“Demi Tuhan, kalau tidak mendengar sendiri, aku merasa seperti membaca cerita dongeng,” kata Beng Liong.Musuh membunuh untuk menyingkirkan saingan. Memfitnah untuk menyingkirkan mereka yang dianggap mengganggu pergerakan.Musuh yang bergerak dalam bayangan. Yang selalu mengintai, dan bergerak saat mereka lengah. Musuh yang tidak bisa mereka duga siapa. Musuh yang ilmu silat dan racunnya sangat berbahaya. Siapapun, sesak

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 108

    “Rahasia apa yang ingin Ciokhee sampaikan kepada cayhe?” tanya Cio San.“Kau tahu aku ingin menyampaikan sebuah rahasia?” tanyanya terbelalak. Sampai lupa menggunakan bahasa yang sopan. Orang seperti dia memang mana bisa sopan lama-lama?“Urusan dengan Ciokhee bukankah cuma dua? Mengambil dan mengembalikan barang. Cayhe tidak punya barang yang bisa Ciokhee ambil sekarang. Berarti tinggal urusan mengembalikan barang. Sejauh ini, cayhe hanya punya sebuah buntalan kotor yang tertinggal di atas kapal. Buntalan itu bukan sesuatu yang berharga. Dan cayhe pun bukan orang ternama yang bisa dianggap pantas untuk jadi korban Ciokhee. Jadi kalau bukan urusan rahasia yang amat penting mengenai kejadian semalam, memangnya Ciokhee hendak mengajak cayhe minum arak?” jelas Cio San. Senyumnya itu pun tak pernah hilang meskipun hatinya sedang bersedih.“Bukan main! Kau memang mengagumkan, Cio San. Orang seperti kau, jika tidak kujadikan musuh besar, maka hidupku sungguh membosankan! Maukah kau jadi mus

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 109

    Mayatnya sudah mulai kaku dan dingin. Tapi darah di tenggorokannya masih hangat. Cio San memeriksa luka di leher itu. Sebuah tusukan pedang. Satu tusukan. Satu nyawa. Tidak banyak orang yang mampu membunuh Sih Hek Tiauw hanya dalam satu tusukan. Selain Ang Hoat Kiam Sian, Cio San tidak bisa membayangkan ada orang lain yang punya ilmu pedang sedahsyat itu.Jendela di dekat kamar terbuka lebar. Pasti pembunuhnya melarikan diri dari situ. Cio San memeriksa jendela dan daerah sekitarnya. Tidak ada jejak yang tertinggal. Cio San mencoba mereka-reka apa yang dilakukan pembunuh itu setelah selesai melakukan perbuatannya. Lari keluar jendela adalah jalan yang paling masuk akal. Ia mencoba dengan seksama memperhatikan tanah yang dipijaknya. Hanya sebuah goresan kecil di tanah. Garis kecil yang samar, dan mungkin hanya dianggap sebagai garis biasa di atas tanah. Besarnya hanya seujung kuku. Tapi itu sudah cukup membuat Cio San curiga.Dengan seksama, ia menelusuri garis kecil itu. Ia menemukan

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-25
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 110

    Mimpi pun Cio San tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Kedua orang yang tadi menyerangnya pun kini melakukan hal yang sama. Bersujud berkali-kali dan menyebut hal yang sama.“Sam-wi (Kalian bertiga) bangunlah. Dan jelaskan kepadaku apa maksud semua ini,” kata Cio San.Ketiga orang ini lalu bangkit.“Maaf kelancangan kami menyerang Kauwcu (Ketua). Kami hanya ingin menguji apakah benar Tuanlah orang yang dimaksud,” jelas orang yang tadi senjatanya bola rantai.“Sejak kapan aku menjadi ketua kalian?” tanya Cio San.“Semalam berita sudah tersebar. Apa Tuan tidak tahu?”“Berita apa?”“Tuanlah Ma Kauw-kauwcu yang baru!”Ia seperti mendengar petir di siang bolong.“Bagaimana bisa?” tanyanya heran.“Tuan benar-benar tidak tahu?” tanya si bola rantai.“Apa kau pikir aku terlihat seperti orang yang tahu?” ia bertanya sambil tersenyum. Kekagetannya hilang. Ia sudah mulai paham.“Apakah ini semua berasal dari Cukat Tong?” tanyanya.“Benar, Kauwcu. Semalam si Raja Maling Tanpa Tanding datang

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-25
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 111

    “Awalnya susah, Tuan. Tetapi untunglah berdasarkan ciri-cirinya, kami bisa mengenali jasad beliau. Dari cincin lambang ketua. Lalu kalung dan beberapa gelang. Selain itu, dari gigi geligi beliau, ada beberapa emas yang beliau pakai. Kami semua yakin betul itu jasad beliau,” jawab salah seorang.Ia melanjutkan, “Kami tidak tahu harus marah atau senang kepada Cukat Tong. Ia berani sekali mencuri barang Kauwcu. Tapi justru karena dia lah, Ma Kauw terselamatkan. Ia berhasil menyelamatkan kotak yang sangat penting. Ini kotaknya, Kauwcu. Silahkan Kauwcu buka dan lihat isinya.”Sebuah kotak kayu sederhana. Cio San membukanya.Seketika itu juga, puluhan jarum yang sangat tipis menyerang matanya!Tapi Cio San lebih cepat. Ia sudah siap sejak tadi. Ia hanya memiringkan kepalanya. Puluhan jarum itu lewat di belakangnya, mengenai ketiga orang yang tadi mengantarnya. Mereka semua tewas berkelojotan di lantai.Ketujuh orang yang duduk di depannya, serempak menyerangnya. Tujuh senjata, tujuh titik m

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-25
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 112

    Mereka kini duduk bersama di bawah sebuah pohon. Menikmati arak dan buah-buahan. Mendengar Cukat Tong bercerita.“Segera sesudah bertemu denganmu, aku mengirimkan surat kepada Ang Hoat Kiam Sian, menceritakan apa yang telah terjadi. Aku lalu penasaran apa isi kotak Ma Kauw-kauwcu, karena kotak itu diberi perangkap senjata rahasia yang ganas. Setelah berhasil memecahkan rahasia senjata itu, kotak akhirnya berhasil kubuka. Isinya adalah sebuah surat perintah, yang berisi bahwa kau telah diangkat sebagai Kauwcu baru. Karena merasa surat itu penting, aku membawa kotak itu ke markas Ma Kauw terdekat.”“Mereka menerimaku dengan baik, karena aku kenal beberapa orang disana. Kuceritakan semua yang terjadi. Herannya, mereka tidak begitu kaget. Aku lantas curiga. Untunglah, ketika melangkah pulang dan lewat di depan salah satu kamar rumah bordil, aku melihat si keparat nahkoda itu. Kamarnya terbuka sedikit, saat ada perempuan keluar dari dalam. Dari sedikit celah itu, aku bisa melihatnya sedang

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-25
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 113

    Tidur Cio San sangat pulas. Dari sejak tengah hari, ia tidur sampai sore. Begitu bangun, ia melihat Cukat Tong dan Ang Hoat Kiam Sian masih duduk di sebelahnya. Yang satu duduk diam tenang. Tanpa suara dan tanpa kata-kata. Yang satu sedang menyandar di pohon sambil minum arak.“Kalian berdua sejak tadi duduk saling diam?” tanya Cio San kepada Cukat Tong.Cukat Tong hanya mengangguk.“Dan sejak tadi kau minum arak? Banyak sekali persediaan arakmu.”Cukat Tong mengangguk sambil tertawa. “Aku sudah 3 kali bolak-balik ke warung arak.”Cio San ikut tertawa. Ia duduk menyandar pohon dan ikut minum arak. Arak Lin Cia. Arak ini dibuat dari sari buah-buahan yang dimasukkan ke dalam bilah bambu, lalu di kubur dalam tanah selama berbulan-bulan. Semakin lama dikubur, semakin enak rasanya.Bangun tidur lalu minum arak. Habis minum arak, lantas tidur lagi. Di dunia ini tidak ada yang lebih menggembirakan buat para peminum selain hal ini.”Kau kenal dia darimana?” tanya Cio San sambil menunjuk Ang H

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-25
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 114

    “Sejak awal bertemu dengannya di Rumah Teng Teng. Cara pandang dan sinar matanya yang aneh, membuatku curiga. Setelah kuperhatikan, ketika ia berbicara atau melakukan gerakan apapun, kepalanya agak dimiringkan. Itu tanda kalau dia lebih mengandalkan telinga ketimbang matanya.”“Tapi jurus pedangnya yang mantap dan cepat seperti itu?” tanya Cukat Tong lagi.“Justru karena ia buta, maka jurus pedangnya bisa dahsyat seperti itu. Karena ia tidak bertarung dengan menggunakan mata. Ia bertarung menggunakan hati. Ia adalah contoh manusia yang telah bisa menyatu dengan pedangnya,” jelas Cio San.“Ada sebagian orang yang hidupnya adalah pedang. Yang sebagian lain, pedang adalah hidupnya. Tapi baginya, hidupnya bukan pedang, dan pedang bukan hidupnya. Ia adalah pedang itu sendiri.”Mau tidak mau, Cukat Tong bergidik juga mendengarnya.“Kau tidak tahu asal-usulnya?” tanya Cio San.“Aku tidak tahu pasti. Aku hanya bisa menebak-nebak.” Cukat Tong lalu melanjutkan, “Sekitar dua puluh sampai tiga pu

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-25

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 248

    Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 247

    Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir

  • Kisah Para Penggetar Langit   246

    Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge

DMCA.com Protection Status