Bandit duduk diam seperti orang yang tengah disidang. Di depannya ada kepala petugas yang menatapnya tidak suka, seolah Bandit adalah parasit yang menghancurkan ketenteraman tempat ini.
Itu tidak salah.
Sudah berapa kali dia duduk di tempat ini sejak masuk ke sini. Berkali-kali ia pindah sel dan hampir membunuh teman satu selnya.
"Kali ini karena apa?"
Bandit tak membuka mulut. Dia sudah terbiasa dalam situasi ini. Tak peduli seberapa panjang ia bercerita, segalanya akan tetap sama.
Petugas dengan tanda nama bertuliskan Budi Susanto itu mendecak sambil menggebrak meja sedikit keras. "Aku berusaha sabar selama ini dengan semua sikapmu yang seperti binatang liar itu. Siapa yang bilang kau boleh menghajar tahanan lain sesukamu?!"
Bandit masih bungkam. Kendati baju tahanan sudah terpasang kembali di tubuhnya, tak ada yang mampu menyangkal bahwa lelaki ini sangatlah berbahaya.
Pak Budi menyadari itu. Dia menekan segala amarah yang membelenggunya. Menyandarkan punggung pada kursi berbusa empuk itu sambil menghela napas berulang kali.
"Kepulanganmu akan dipercepat. Tiga hari lagi aku pastikan kau akan keluar dari sini. Tidak perlu menunggu sampai tiga minggu."
Pak Budi tampaknya sudah menyerah. Dia tak peduli apa masalah yang membuat Bandit terus saja menghajar tahanan lain, yang penting pria yang seperti binatang itu menyingkir dari hadapannya.
"Selama tiga hari kau akan tinggal di sel sendirian. Jangan berbuat ulah lagi atau masa hukumanmu akan ditambahkan."
Pak Budi tidak mengharapkan itu. Ia ingin Bandit cepat-cepat keluar dari tempat ini agar kehidupan pekerjaannya bisa tenteram. Ia sudah sangat muak.
Lelaki di depannya ini sudah seperti tembok yang penuh dengan ranjau. Jika menyentuhnya sedikit saja maka siapa pun yang ada sekitarnya akan terkena ledakan.
"Pergilah. Urusan kita sudah selesai."
Bandit berdiri, mengikuti arahan petugas lain yang membawanya ke ruang isolasi yang pengap dan menyesakkan. Sempit, berdebu dan akan menghancurkan akal sehat jika berada di dalamnya lebih dari sehari.
Tapi tidak dengan Bandit. Sudah puluhan kali ia menjajal tempat ini, sudah seperti kamar pribadi baginya. Secara alami dia masuk sembari menundukkan kepala karena pintunya lebih pendek dari tinggi tubuh Bandit.
Ia berdiri di tengah ruangan yang hanya berisi tempat tidur dan jamban, melirik punggung tangannya yang dilumuri darah yang hampir mengering.
Disobeknya baju tahanan yang melekat di tubuhnya kemudian melilitkan kain itu di sepanjang tangannya. Pandangannya lurus ke depan. Fokus dan bengis.
Sama seperti Pak Budi dan para petugas lain, dia juga sudah muak berada di sini. Dia muak harus mendengar ocehan sumbang dari mulut-mulut kotor tahanan lain. Dia paling membenci memukul tanpa membunuh. Itu membuatnya frustrasi.
Di sini terlalu berbahaya untuk orang yang lemah. Perlu kekuatan untuk terus bertahan dan untuk tetap waras. Sebab begitu banyak orang jahat yang tidak punya otak. Bandit bukan orang baik, tapi dia masih punya akal sehat untuk tidak melecehkan orang lain atau bertindak asusila.
Itu sangat menjijikkan.
Tiga hari kemudian, seperti yang dijanjikan Pak Budi, Bandit akhirnya keluar dari penjara setelah tiga tahun lamanya, kendati ia merasa heran mengapa masa tahanannya begitu singkat setelah terdakwa membunuh ayahnya dan berbuat buruk di penjara.
"Kau akhirnya keluar. Senang?"
Salah satu petugas yang biasanya membina para narapidana, Pak Pandu adalah satu-satunya orang yang akan mengajak Bandit berbicara dengan santai.
"Ya."
Kendati respon Bandit terlihat dingin bagi orang-orang awam, Pak Pandu tetap membuka mulut, menghela napas dengan santai sambil menepuk pundak Bandit di depan gerbang keluar lapas.
"Kudengar kau habis menggebuk si Babi Johan."
"Ya."
Alih-alih tersinggung dengan jawaban singkat Bandit, Pak Pandu malah terus berceloteh. "Kali ini dia mengataimu apa? Mengulik orang tuamu? Keluargamu? Masa lalumu?"
Bandit tak menjawab dan Pak Pandu sudah tahu jawabannya. Ia mengambil sebungkus rokok dari saku celananya lalu menyelipkannya pada saku jaket kulit Bandit yang sudah pudar warnanya.
"Jangan ke sini lagi. Di sini penuh dengan penjahat."
Bandit menoleh sejenak kepadanya untuk melemparkan lirikan aneh, seolah berkata 'Itu tidak masalah, karena aku juga penjahat.'
Pak Pandu menepuk pundak Bandit sebelum masuk kembali ke dalam lapas.
"Terima kasih."
Ucapan spontan itu membuat langkah Pak Pandu yang baru saja akan melangkahi gerbang berhenti.
"Berbahagialah."
Bandit tak menghiraukan kata itu. Asing dan mustahil baginya. Ucapan Pak Pandu hanyalah sebatas basa-basi pengantar perpisahan.
***
Lampu remang yang berkedip liar, aroma alkohol yang menyengat, hiruk pikuk musik dan pemandangan orang-orang yang berdansa sekaligus bermesraan.
Bandit menelusuri lautan manusia yang menggila di club mewah itu. Matanya awas dan mencari-cari, tak peduli pada senggolan orang-orang yang terlena dengan musik dan minuman.
Pada kursi tinggi di depan bartender ia duduk. Bukan untuk meminta minuman. "Di mana Renata?"
Sang bartender yang sedang meracik minuman memandangnya aneh. "Sebagai tamu?"
"Bukan. Pekerja."
"Tak ada pekerja bernama Renata di sini." Nama itu terdengar biasa saja untuk tempat hiburan seperti ini.
"Panggil dia. Aku ingin bertemu dengannya."
Bartender bernama Andi itu mendecak. Baru kali ini dia kedatangan tamu berpenampilan gembel, urakan dan juga seperti preman yang menyuruh seenaknya seperti orang kaya. "Tak ada yang bernama Renata di sini."
Bandit menatap Andi tajam. Jenis tatapan tajam yang buas seperti dia benar-benar akan memangsamu.
"Baiklah. Akan kucarikan. Leon!"
Seorang pria kurus dan tinggi datang menghampiri.
"Apa di sini ada pekerja bernama Renata? Kau yang mengawasi mereka semua, kan?" Andi menyapu mata Leon, sepenuhnya mengalihkan tubuh dari Bandit.
Leon mengerutkan kening. "Renata? Pekerja di bagian mana?"
Pandangan Andi beralih kepada Bandit. "Apa posisinya?"
Bandit tak menjawab sekian detik. Keningnya sedikit berkerut seolah memikirkan jawaban yang sulit. "Dia ... pelayan." Raut wajah Bandit terlihat tidak enak.
"Maksudmu waitress?"
"Bukan."
Leon memiringkan kepala, mengetuk-ngetuk pelipis lalu bersuara dengan ragu. "Kalau bukan waitress apa dia penghibur? Maksudmu melayani laki-laki?"
"Ya."
"Renata ya? Sepertinya tak ada yang bernama Renata di antara para penghibur. Kecuali jika Renata adalah nama asli. Aku mesti mengecek daftar identitas mereka dulu di tempat Bos untuk mengetahuinya."
"Kau mau melakukannya?" Ekspresi Andi tampak aneh, seolah dengan jelas mengatakan bahwa Leon tak usah repot-repot meladeni seorang preman seperti Bandit.
"Begini saja. Seperti apa orangnya. Kalau kau menyebutkan ciri-cirinya mungkin aku akan mengenalinya."
"Dia cantik."
Leon mengernyit, sedang Andi sang bartender mengibas tangan. "Sudahlah. Kau punya banyak pekerjaan, kan? Buat apa repot-repot melayani orang seperti dia." Terang-terangan Andi melirik penampilan Bandit yang hanya cocok berada di tempat pembangunan sebagai kuli.
Tapi Leon masih menatapnya biasa, tak merendahkan tapi sedikit terganggu. "Banyak perempuan cantik di sini. Berikan yang lebih spesifik."
Bandit bungkam. Sepenuhnya lupa bagaimana penampilan wanita itu sekarang. Apakah berada di tempat ini selama tiga tahun masih akan mempertahankan senyum lugunya yang manis dan juga penampilannya yang sederhana?
Bukannya memikirkan jawaban yang lebih baik, Bandit malah menunduk. Mungkin Renata tidak ada di sini. Ia berdiri dan baru saja ingin pergi ketika seorang perempuan menghampiri tempat mereka.
"Kenapa memanggilku, Leon? Aku baru saja pulang dari tempat si Broto tua bangka itu."
Bandit mematung. Matanya terfokus pada wanita seksi yang kulitnya teramat bersih dengan gaun berpotongan rendah.
"Rena ...."
Wanita yang ia panggil Rena itu membalas tatapannya sama. Membeku sejenak sebelum mengerjap dan menyadari sesuatu.
***
"Kenapa ke sini?" Wajah cantik yang tadi santai itu berubah menjadi dingin.
Bandit tak melakukan apa-apa selain menatap lekat Renata. Tiga tahun bukan waktu yang singkat baginya untuk berpisah dengan wanita ini.
"Kau tak perlu mencariku. Aku sudah—"
"Pulang bersamaku, Rena."
Renata bersedekap. Dalam sorot mata nyalangnya ada sesuatu yang membuat Bandit ingin kembali ke masa lalu. Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun yang berengsek itu saat ia melihat kembali wajah wanita ini, ia akhirnya menyesali banyak hal.
"Namaku bukan Renata, tapi Serina. Dan kau bukan keluargaku. Bukan pula siapa-siapa. Jadi pergilah dan jangan pernah datang lagi." Renata meninggalkan Bandit di halaman belakang yang gelap dan penuh dengan asap rokok. Tempat di mana orang-orang ingin menjauh dari hiruk pikuk musik dan juga melakukan hal-hal terlarang.
Tentu saja Bandit mengejar. Ditahannya tangan Renata. Wajah yang urakan itu begitu tegang, seolah di hadapannya ada tembok besar yang tak pernah bisa ia taklukkan.
"Kita saudara. Kau adikku."
Mata Renata memicing kejam. "Saudara mana yang meniduri saudaranya sendiri?"
Sejak berumur enam tahun, Bandit sudah dipaksa memasuki dunia kriminal. Tugas pertamanya adalah mengantarkan paket berisi narkoba dengan aman. Ayahnya adalah orang yang mendapatkan keuntungan atas semua kerja keras di masa kecilnya itu.Hidup berdua dengan sang ayah saat ibunya sudah meninggal membuat Bandit tak masalah melakukan itu asal dia bisa membeli pakaian, makan dan juga membeli bunga untuk dia letakkan di makam ibunya.Di umurnya yang ke-15 tahun, seorang perempuan datang bersama anak gadis yang umurnya tak jauh berbeda dengan Bandit. Mereka diperkenalkan sebagai istri baru Ayah dan juga anak tirinya.Bukannya senang ataupun benci karena posisi ibunya sekarang terisi oleh perempuan lain, Bandit malah merasa kasihan. Karena sang ayah bukanlah laki-laki bertanggung jawab yang akan memberikan kebahagiaan untuk mereka.Renata dan ibunya mengalami penyiksaan yang selama ini Bandit dapatkan. Rumah mereka yang kecil hanya diisi dengan suara bantin
Peluh membasahi tubuh indah Izora. Dirinya masih sangat sadar ketika Darius semakin mempercepat hunjamannya. Ia mendesah pelan, semata untuk tak membolongi harga diri Darius.Bahwa ia tak merasakan apa-apa.Kendati dirinya mendesah dan merintih. Itu hanyalah palsu.Izora hanya berbaring diam di bawah tindihan Darius sambil menerima semua perlakuan lelaki itu."Ah, Marina."Sudah berulang kali nama asing itu meluncur dari mulut Darius. Setiap ia kali ia berada pada puncak kewarasannya, nama itu akan selalu hadir menghiasi percintaan mereka."Kau sangat nikmat, Marina!"Tak ada usaha sedikit pun yang dilakukan Izora untuk mengoreksi kesalahan itu. Pura-pura ia memasang ekspresi rumit yang menandakan betapa hebatnya lelaki itu menggagahinya.Kening Izora berkerut, matanya terpejam. Ia lengkungkan punggungnya saat hunjaman Darius semakin cepat sampai tubuh lelaki itu gemetar, Izora ikut bergetar. Meski
Saat Izora turun dari mobil, yang dia lihat hanya kegelapan. Diperiksanya kembali pesan dari orang kepercayaannya, alamatnya betul di sini.Di depan sana cuma ada gudang saat Izora menyalakan senter pada ponselnya. Ia menghela napas pelan sebelum mengangkat kaki menuju satu-satunya bangunan di tempat ini.Hawanya lumayan mengerikan, cukup untuk membuatnya sedikit merinding. Diketuknya pintu besi yang berkarat itu dan tak ada jawaban.Meski sedikit ragu, Izora kembali mengetuk. Lalu memutuskan untuk menarik pegangannya saat beberapa lama masih tetap hening.Tak terkunci. Bunyi geretan yang memekakkan telinga membuatnya mendengus sedikit kesal karena terkejut.Izora sudah terbiasa dengan gelap. Tak masalah baginya. Namun, ia tetap harus berjalan dengan senter ponselnya jika tak mau tersandung sesuatu atau diserang oleh seseorang yang tak dikenal, karena ini betul-betul gelap. Tak ada sedikit pun cahaya yang bisa membantunya berjalan kecua
Izora keluar dari gudang yang teramat gelap itu. Sama sekali tak ada getaran pada tubuhnya sekalipun ia hampir saja mati di tangan beruang besar yang sangat buas.Gaun yang mencetak lekuk tubuhnya dengan pas itu makin mengukuhkan bagaimana tangguhnya wanita itu. Ia berjalan angkuh menuju mobilnya, tak takut sedikit pun meskipun lelaki besar bernama Bandit itu bisa saja berlari menghampirinya dan kembali mencekiknya dengan brutal.Izora menyentuh lehernya sesaat setelah memasuki mobil. Lumayan perih dan ia yakin akan ada bekas di sana.Ia menyalakan mesin mobilnya sambil menelepon Ronald melalui speaker. "Kau yakin dia seahli itu?""Maksudmu Bandit?""Hm.""Sejak remaja dia sudah mendalami profesi itu. Tak sembarang orang bisa menyewa jasanya. Terakhir yang kutahu salah satu anggota inti DPR berhasil membujuknya. Lalu tak ada kabar lagi, karena tahu-tahu dia sudah berada di penjara."Izora mengernyit. Pegangannya pada setir kemud
Jaket kulit cokelat yang warnanya sudah pudar, celana jeans belel yang robek-robek di bagian lutut dan paha, dan kaus putih yang sudah berganti warna menjadi kekuningan. Dengan penampilan yang sama, Bandit kembali ke club itu.Dan ia mesti mendapati tatapan meremehkan si bartender bernama Andi kemarin malam. Laki-laki rapi yang berwajah seperti orang Jepang itu menyapukan pandangannya pada penampilan Bandit yang tidak berubah, lalu mendengus bosan."Buat apa lagi kau ke sini? Kurasa bukan untuk memesan minuman dan berjoget seperti orang gila di lantai dansa."Bandit hanya berdiri, sama sekali tak menyentuh kursi tinggi di sampingnya. Ia menatap lurus ke dalam mata Andi, seolah ingin mencongkel alat penglihatan lelaki berkulit putih itu."Renata."Mendapati tatapan yang teramat tajam dari laki-laki berpenampilan urakan dan seram seperti Bandit, Andi akhirnya menunduk. Lututnya tiba-tiba gemetar dan jantungnya berdegup lebih cepat."Sialan. Ak
Sampai kapan pun Bandit akan terus berada dalam tempurung rasa bersalah atas berubahnya segala yang ada dalam diri Renata.Dirinya yang membuat gadis manis itu terjebak di kubangan lumpur ini. Dia yang harus bertanggung jawab atas segalanya.Seolah ada belati yang sangat tajam mencabik-cabik dada Bandit. Diberinya Renata tatapan kesakitan. "Kau hidup dengan baik di sini?"Di tempat ini? Melayani banyak laki-laki setiap malam. Dia bilang hidupnya baik?"Aku tak akan mengganggumu setelah kau keluar dari sini. Aku mohon." Kepala itu menunduk, meratapi sepatunya yang kotor dan sudah tak layak dipakai. Napasnya kian memberat menahan desakan untuk memaksa wanita ini pergi."Hentikan ini. Pergilah."Tak ada harapan dan tak ada kesempatan yang diberikan oleh Renata. Maka saat dia meninggalkan tempatnya dan menjauh, Bandit mengambil langkah pasti. Membopong tubuh Renata di pundaknya dan bergegas memotong hiruk pikuk yang meledak itu.
Untuk kesekian kalinya, Izora melirik arloji mungil di pergelangan tangannya. Sudah lewat pukul sebelas malam dan pembunuh bayaran itu belum juga muncul. Ia tak melihat tanda-tanda keberadaannya di mana pun di sudut restoran ini, padahal di belakang foto Darius yang ia berikan, tertulis pukul Sembilan.Makan malam dengan klien Darius bersama istrinya hampir berakhir. Pembicaraan bisnis mereka sudah selesai, yang tersisa hanya basa-basi sebelum Pak Haryono dan istrinya berdiri kemudian mengulurkan tangan ke hadapan Darius.“Saya sangat senang dengan kualitas produk-produk Anda. Tak ada satu pun yang mengecewakan saya.”Darius membalas uluran tangan itu sambil melemparkan senyum bersahabat. “Ah, senang bisa menjadi pilihan Anda di antara banyaknya brand ternama yang sedang naik daun.”Ketiganya tertawa, sedang Izora hanya tersenyum tipis. Tidak menangkap di mana letak lucunya.Izora ikut menyalami Pak Haryono dan istriny
Bandit merasakan sakit yang amat sangat di kepalanya saat satu tinjunya kembali melayang ke wajah pria di bawahnya. Kepalanya berat, matanya mengabur dan berdenyut perih.Satu jam yang lalu dia masih bersimpuh di depan club. Merasakan disorientasi saat pemukul bisbol dihantamkan ke kepalanya. Dilihatnya Renata memandang dingin ke arahnya."Sudah kubilang pergi. Kau mau mati di sini?"Bandit merasa pusing. Tidak. Ia tidak ingin roboh sekarang. Ia harus membawa Renata pergi dari sini."Pergi kalau masih ingjn hidup." Renata berbalik, memperlihatkan punggungnya yang tegak dan tidak peduli."Jika aku membawa uang untuk menebusmu, apa kau akan ikut denganku?""Ya, bawa yang banyak, Berengsek." Bukan Renata yang menjawab, melainkan salah satu pengawal. "Dia bernilai tiga miliar. Kau bisa bawa dia dan lakukan apa pun yang kau mau."Renata berhenti sejenak, lalu kembali melangkah, menghilang di balik pintu club."Pergi kau. Janga