Saat Izora turun dari mobil, yang dia lihat hanya kegelapan. Diperiksanya kembali pesan dari orang kepercayaannya, alamatnya betul di sini.
Di depan sana cuma ada gudang saat Izora menyalakan senter pada ponselnya. Ia menghela napas pelan sebelum mengangkat kaki menuju satu-satunya bangunan di tempat ini.
Hawanya lumayan mengerikan, cukup untuk membuatnya sedikit merinding. Diketuknya pintu besi yang berkarat itu dan tak ada jawaban.
Meski sedikit ragu, Izora kembali mengetuk. Lalu memutuskan untuk menarik pegangannya saat beberapa lama masih tetap hening.
Tak terkunci. Bunyi geretan yang memekakkan telinga membuatnya mendengus sedikit kesal karena terkejut.
Izora sudah terbiasa dengan gelap. Tak masalah baginya. Namun, ia tetap harus berjalan dengan senter ponselnya jika tak mau tersandung sesuatu atau diserang oleh seseorang yang tak dikenal, karena ini betul-betul gelap. Tak ada sedikit pun cahaya yang bisa membantunya berjalan kecuali cahaya dari ponselnya.
Cuma ada gudang yang kosong. Tak ada barang-barang ataupun tanda-tanda keberadaan seseorang.
Izora mendengus lagi. Jangan bilang Ronald memberikan informasi yang salah.
Meski berpikir begitu, Izora tetap maju menerjang kegelapan dan rasa sesak yang mengikuti.
Ia menyibak tirai dan masuk ke ruangan yang lain. Sama kosongnya, hanya ada sebuah kamar mandi tanpa pintu yang cuma diisi dengan ember besar dan gayung.
Lalu di depan sana ada bangku kecil. Seseorang yang duduk di atas bangku itu membuat Izora menahan napas dan hampir menjerit kaget.
Belum sempat dia menetralkan jantungnya yang hampir berhenti, orang itu memicing tajam padanya lalu mengeluarkan suara geraman seperti singa yang baru bangun.
"Siapa kau?"
Perpaduan antara gelap yang pekat, keheningan yang menyesakkan dan suara berat yang mengerikan tak lantas membuat Izora ingin melarikan diri.
Aura di depannya terasa begitu tajam, dengan keberadaannya saja sudah mampu memberikan ketakutan yang sangat. Tapi tidak dengan Izora. Segalanya dia abaikan dan maju mendekati pria itu.
"Bandit?"
Geraman pria itu kian terdengar. "Kutanya siapa kau?"
Ah, rasanya seperti dia tengah berada di kandang singa. Izora tak heran, karena yang ingin dia temui adalah seorang pembunuh bayaran.
"Izora Farzan. Aku datang untuk memakai jasamu."
Dari cahaya ponselnya yang menyorot wajah lelaki itu, yang terlihat hanyalah tatapan tajam yang siap menerkam Izora saat ini juga.
"Pergilah. Kau datang ke tempat yang salah."
"Aku datang bukan untuk pergi tanpa hasil. Nyalakan lampunya dan biarkan aku duduk." Tak ada getar sama sekali dalam suara Izora. Dia tangguh dan mengambil alih suasana.
"Di sini tak ada lampu."
"Bagus. Aku akan langsung ke intinya. Bunuh Suamiku."
"Aku tak mengizinkanmu tinggal lebih lama. Pergi."
"Aku memberikan penawaran yang tidak main-main."
"Pergi."
Izora mendenguskan tawa mengejek. Alunan suaranya yang lembut tapi tegas membungkam geraman Bandit. Gestur dan nada bicara wanita ini begitu percaya diri.
"Berapa bayaran tertinggi yang pernah kau dapatkan?"
"Kubilang pergi. Tempat ini tidak cocok untuk—"
"Akan kuberikan. Dua kali lipat dari bayaran tinggi yang pernah kau dapat. Bunuh suamiku kurang dari tiga hari."
Tatapan Bandit mencincang semua suara di sekitar mereka sampai yang terdengar hanyalah suara embusan napas kasarnya. Wanita itu tak bersuara lagi, bahkan desah napasnya tak terasa sama sekali.
"Pergi sebelum aku yang membunuhmu, Nyonya."
Ancaman itu sama sekali tak menyurutkan niat Izora. Ia mematikan cahaya ponselnya, lalu bersedekap angkuh. "Kau yakin? Dengan kondisi baru keluar dari penjara dan tanpa kejelasan masa depan, kupikir kau butuh uang untuk menebus wanita yang kau temui di club."
BRAK!
Secepat itu tubuh Izora terbanting ke atas kursi. Ditindih dan lehernya dicengkeram oleh tangan besar dan kasar.
"Kau masuk ke sini seenaknya setelah menyelidikiku dengan lancang. Jangan berharap kau bisa pulang dengan utuh."
Izora tak mampu melihat eskpresi pria itu yang jelas-jelas begitu dekat dengan wajahnya. Yang ia rasakan hanya geraman marah dan intensitas cekikannya yang semakin menguat di leher Izora. Napasnya begitu berhasrat untuk membunuh Izora.
Izora jelas sudah bisa memprediksi hal ini jauh sebelum dia datang ke sini. Tak sedikit pun dia bersuara kendati napasnya tertelan oleh cengkeraman Bandit. Lehernya terasa akan remuk saat itu juga, kepalanya sepertinya akan ikut pecah.
Laki-laki ini jelas tak segan membunuhnya.
Detik menjelma menjadi menit, tak ada gerakan ataupun embusan napas yang terdengar dari wanita di bawahnya. Bandit mengernyit, mengendurkan cengkeramannya dan meraba-raba titik nadi wanita itu.
"Kenapa berhenti?"
Kelopak mata Bandit berkerut. Seingatnya leher yang baru saja dia cengkeram begitu mungil jika dibandingkan dengan telapak tangannya.
Tidakkah leher itu seharusnya sudah remuk?
"Sepertinya kau lebih memilih membunuhku dan tidak menghasilkan apa-apa ketimbang menyelamatkan perempuan itu."
Meski sama sekali tak bisa melihat wajahnya, Bandit bisa merasakan jika wanita itu tengah memberinya senyum penuh ejekan.
Pegangan Bandit di leher mungil itu semakin mengendur sampai akhirnya terlepas. Wanita bernama Izora itu bangun tanpa ada desahan napas berat atau suara kesakitan.
Tahu-tahu sesuatu dipukulkan ke dadanya.
"Itu foto suamiku, Darius Farzan. Di belakang foto itu ada waktu dan alamat di mana kau harus datang. Bunuh dengan cara apa pun."
Izora keluar dari gudang yang teramat gelap itu. Sama sekali tak ada getaran pada tubuhnya sekalipun ia hampir saja mati di tangan beruang besar yang sangat buas.Gaun yang mencetak lekuk tubuhnya dengan pas itu makin mengukuhkan bagaimana tangguhnya wanita itu. Ia berjalan angkuh menuju mobilnya, tak takut sedikit pun meskipun lelaki besar bernama Bandit itu bisa saja berlari menghampirinya dan kembali mencekiknya dengan brutal.Izora menyentuh lehernya sesaat setelah memasuki mobil. Lumayan perih dan ia yakin akan ada bekas di sana.Ia menyalakan mesin mobilnya sambil menelepon Ronald melalui speaker. "Kau yakin dia seahli itu?""Maksudmu Bandit?""Hm.""Sejak remaja dia sudah mendalami profesi itu. Tak sembarang orang bisa menyewa jasanya. Terakhir yang kutahu salah satu anggota inti DPR berhasil membujuknya. Lalu tak ada kabar lagi, karena tahu-tahu dia sudah berada di penjara."Izora mengernyit. Pegangannya pada setir kemud
Jaket kulit cokelat yang warnanya sudah pudar, celana jeans belel yang robek-robek di bagian lutut dan paha, dan kaus putih yang sudah berganti warna menjadi kekuningan. Dengan penampilan yang sama, Bandit kembali ke club itu.Dan ia mesti mendapati tatapan meremehkan si bartender bernama Andi kemarin malam. Laki-laki rapi yang berwajah seperti orang Jepang itu menyapukan pandangannya pada penampilan Bandit yang tidak berubah, lalu mendengus bosan."Buat apa lagi kau ke sini? Kurasa bukan untuk memesan minuman dan berjoget seperti orang gila di lantai dansa."Bandit hanya berdiri, sama sekali tak menyentuh kursi tinggi di sampingnya. Ia menatap lurus ke dalam mata Andi, seolah ingin mencongkel alat penglihatan lelaki berkulit putih itu."Renata."Mendapati tatapan yang teramat tajam dari laki-laki berpenampilan urakan dan seram seperti Bandit, Andi akhirnya menunduk. Lututnya tiba-tiba gemetar dan jantungnya berdegup lebih cepat."Sialan. Ak
Sampai kapan pun Bandit akan terus berada dalam tempurung rasa bersalah atas berubahnya segala yang ada dalam diri Renata.Dirinya yang membuat gadis manis itu terjebak di kubangan lumpur ini. Dia yang harus bertanggung jawab atas segalanya.Seolah ada belati yang sangat tajam mencabik-cabik dada Bandit. Diberinya Renata tatapan kesakitan. "Kau hidup dengan baik di sini?"Di tempat ini? Melayani banyak laki-laki setiap malam. Dia bilang hidupnya baik?"Aku tak akan mengganggumu setelah kau keluar dari sini. Aku mohon." Kepala itu menunduk, meratapi sepatunya yang kotor dan sudah tak layak dipakai. Napasnya kian memberat menahan desakan untuk memaksa wanita ini pergi."Hentikan ini. Pergilah."Tak ada harapan dan tak ada kesempatan yang diberikan oleh Renata. Maka saat dia meninggalkan tempatnya dan menjauh, Bandit mengambil langkah pasti. Membopong tubuh Renata di pundaknya dan bergegas memotong hiruk pikuk yang meledak itu.
Untuk kesekian kalinya, Izora melirik arloji mungil di pergelangan tangannya. Sudah lewat pukul sebelas malam dan pembunuh bayaran itu belum juga muncul. Ia tak melihat tanda-tanda keberadaannya di mana pun di sudut restoran ini, padahal di belakang foto Darius yang ia berikan, tertulis pukul Sembilan.Makan malam dengan klien Darius bersama istrinya hampir berakhir. Pembicaraan bisnis mereka sudah selesai, yang tersisa hanya basa-basi sebelum Pak Haryono dan istrinya berdiri kemudian mengulurkan tangan ke hadapan Darius.“Saya sangat senang dengan kualitas produk-produk Anda. Tak ada satu pun yang mengecewakan saya.”Darius membalas uluran tangan itu sambil melemparkan senyum bersahabat. “Ah, senang bisa menjadi pilihan Anda di antara banyaknya brand ternama yang sedang naik daun.”Ketiganya tertawa, sedang Izora hanya tersenyum tipis. Tidak menangkap di mana letak lucunya.Izora ikut menyalami Pak Haryono dan istriny
Bandit merasakan sakit yang amat sangat di kepalanya saat satu tinjunya kembali melayang ke wajah pria di bawahnya. Kepalanya berat, matanya mengabur dan berdenyut perih.Satu jam yang lalu dia masih bersimpuh di depan club. Merasakan disorientasi saat pemukul bisbol dihantamkan ke kepalanya. Dilihatnya Renata memandang dingin ke arahnya."Sudah kubilang pergi. Kau mau mati di sini?"Bandit merasa pusing. Tidak. Ia tidak ingin roboh sekarang. Ia harus membawa Renata pergi dari sini."Pergi kalau masih ingjn hidup." Renata berbalik, memperlihatkan punggungnya yang tegak dan tidak peduli."Jika aku membawa uang untuk menebusmu, apa kau akan ikut denganku?""Ya, bawa yang banyak, Berengsek." Bukan Renata yang menjawab, melainkan salah satu pengawal. "Dia bernilai tiga miliar. Kau bisa bawa dia dan lakukan apa pun yang kau mau."Renata berhenti sejenak, lalu kembali melangkah, menghilang di balik pintu club."Pergi kau. Janga
Napas Bandit meluncur. Berkali-kali. Keras dan putus-putus. Rasa panas itu membabi buta berlari dari perut, dada, kerongkongan hingga ke kepalanya. Untuk berkedip saja rasanya sangat sulit.Dari ekor matanya, ia lihat wanita itu menyandarkan kepala pada kursi di sampingnya sambil menghela napas dan memijat pangkal hidung.Tentu saja. Dia pasti kesal.Bandit datang tanpa persiapan yang matang. Pikirannya terbelenggu antara ingin membebaskan Renata dari tempat terkutuk itu dan segera mendapatkan uang yang mereka minta. Membuat ia sepenuhnya lupa bahwa target pertamanya setelah ia hiatus dari bunuh membunuh itu bukanlah orang sembarangan.Taksi berhenti. Pintu di seberangnya terbuka dan wanita bernama Izora Farzan itu keluar, kemudian kembali dengan napas yang menyentak kasar, lalu tahu-tahu baju dan celana Bandit dirabanya. Memasukkan tangan pada setiap kantong yang ada pada pakaian Bandit.Sedang Bandit mengerang parau ketika sentuhan-sentuhan
Tak ada yang lebih menyiksa Bandit selain bisikan menggoda dan sentuhan yang terasa sensual itu, menggelitik seluruh sisi tubuhnya, membuatnya ingin menerjang wanita ini sekarang juga.Sekali lagi ia mengerang, atau mungkin melolong seperti serigala kelaparan. Dia butuh itu. Apa pun yang bisa meredakan rasa panas yang sangat gila ini.Akan tetapi, Bandit teramat tahu harga yang harus dia bayar untuk itu. Renata.Sekali lagi dia harus mengorbankan Renata. Hanya untuk kelegaan satu malam ini."Tidakkah itu menyiksamu?"Bandit muak. Mengapa bisikan wanita ini terasa seperti kokain yang membuat candu?Ia tak bisa mengelak ketika tangannya bertindak seenaknya, menarik pinggang Izora hingga jatuh ke pangkuannya. Dia yang melakukannya. Memposisikan wanita itu tepat di hadapannya, duduk di atas pahanya.Sedang Izora tak melakukan apa pun. Berkedip pun tidak. Rambut panjang yang menutupi bahunya Bandit singkirkan
Hari sudah pagi ketika Izora duduk menumpukan kedua tangannya di lantai. Kepalanya mendongak dan kaki indahnya ia luruskan. Sinar fajar berusaha masuk lewat jendela yang dipasangi seng berkarat yang berlubang di mana-mana.Ia masih telanjang. Meresapi sensasi gila yang masih tersisa di sepanjang tubuhnya. Sebab mereka baru saja selesai. Defenisi bercinta sampai pagi. Baik Izora maupun Bandit tak ada yang ingin berhenti. Bandit selalu meminta dan Izora selalu mengiyakan.Bagus. Sekarang dia menjadi jalang yang bercinta dengan pembunuh yang dia sewa jasanya. Ah, bukan. Itu bukan bercinta, hanya seks. Seks yang terasa asing namun terlampau hebat untuk dia rasakan.Lelaki ini—diamatinya Bandit yang tidur di sampingnya, menumpukan lengan pada wajahnya dalam keadaan telanjang sama sepertinya—bagaimana caranya dia melakukan seks segila itu?Apa karena obat perangsang itu?Dan bagaimana Izora bisa merasakan sensasi yang tak kalah gila?