Izora baru saja hendak tidur ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Nama Serina muncul di layar panggilan. Diamatinya sang suami yang tertidur pulas tanpa baju di sampingnya sambil memeluk Ciara, putri yang mereka rawat sejak kemarin malam.
Namanya mirip dengan nama Ibu. Tiara. Karena Izora merindukannya. Ia merindukan sang ibu yang tak pernah lagi ia temui sejak dua tahun lalu. Mereka hanya berbicara lewat telepon sesekali.
Ayah dan Adnan sudah mengira Izora meninggal dan diliputi perasaan bersalah setiap hari. Usaha Ayah bangkrut dan tentu saja mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil.
Rumah yang dibelikan Izora secara diam-diam.
Ayah berhenti bekerja dan Adnan menjadi pegawai kantoran biasa. Kehidupan mereka normal, hanya perasaan bersalah itu yang terus menghantui mereka.
Biarlah. Anggap sebagai pembalasan dendam.
Ponselnya masih berdering dan gegas Izora mengangkatnya. “Ada apa, Serina? Ini sudah larut malam.&rd
Bhanu mengamati dua pusara yang berbaris rapi itu dengan nanar. Padahal baru satu minggu yang lalu dia datang ke sini dan dia harus datang lagi hari ini.Ia menarik napas dalam, merasa déjà vu melihat dua makam yang berdampingan itu. Segalanya berakhir tragis. Hidup sang tuan yang diperjuangkan selama dua tahun akhirnya menemui ajal.Mungkin inilah hukuman yang selalu ditunggu-tunggu sang nyonya. Bhanu merasa sangat sayang. Padahal mereka semua bisa hidup dengan baik.Rumput-rumput di bawah kakinya menyusut ketika ia melangkah meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi. Di dalam kepalanya ia masih mengingat pusara yang bertuliskan nama Darius Farzan dan Raline Maharani yang baru saja dia tinggalkan.Ia masuk mobil, bukan lagi milik Farzan. sudah sejak lama Bhanu tidak memakai lagi fasilitas Farzan. Ia sendirian sekarang, tak ada pengawal lain atau bawahan yang bisa ia komando.Bersama dengan sang pemimpin keluarga yang ti
“Dia sudah tidur?”Bandit mengintip dari balik bahu Izora, pada Ciara yang sudah telentang nyenyak. Kedua tangan kecilnya mengepal di sisi kepala dan napasnya berembus hangat dengan teratur.Sedang Izora menyangga kepala dengan sebelah tangan dan tangan yang lain masih menepuk pelan paha Ciara. Ia menoleh sebentar kepada Bandit.“Dia baru saja tidur,” bisiknya.Bandit mengangguk lalu menyandarkan dagunya pada lengan Izora. Menatap pemandangan Ciara yang tertidur damai tidak punya beban dan ketakutan apa pun.“Dia sangat menggemaskan.”Izora menyetujui dengan senyuman. Entah sejak kapan dia seringkali tersenyum konyol, tapi saat ini pikirannya sama dengan pikiran sang suami.Suami.Dulu dia membenci kata itu, sekarang ia menyanjungnya. Menghitung berapa banyak istri yang bahagia di dunia ini seperti dirinya.Bisakah ia sebut ini sebagai keluarga?Keluarga
Halo, ini author Mustacis. Terima kasih sudah mengikuti dan mendukung Izora dan Bandit. Jangan sungkan untuk kasih masukan yang berarti supaya aku bisa terus memperbaiki tulisan aku dan mempersembahkan yang terbaik untuk kalian 😘 Cerita Pembunuh Suamiku adalah tantangan kedua yang aku berikan kepada diri sendiri setelah 'Tertawan Dua Suami' juga tamat. Semoga kalian bisa terhibur, ada sedikit pelajaran yang bisa diambil dan puas dengan cerita ini. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita aku, kalian bisa pantengi akun F4ceb00k aku: Mustacis Kim untuk dapet info-info seputar cerita aku. Terima kasih banyak. Jangan lupa masukkan komentar yang banyak supaya cerita ini bisa masuk di beranda promosi dan Izora-Bandit bisa semakin dikenal banyak pembaca 🙏🏻 Sampai jumpa di karya-karya aku selanjutnya ❤️❤️
"ANJING! MATI KAU SIALAN!"Sebuah pisau lipat diacungkan tepat di depan muka Bandit. Sedikit lagi ujung pisau yang tajam itu akan menembus bola matanya.Seorang pria berbadan dua kali lebih besar darinya menindih dengan sekuat tenaga. Hidung besarnya berkerut-kerut menandakan dia sudah mencapai batas kekuatannya.Bandit mengamati bagaimana lawan yang sedang berada di atasnya itu terengah-engah. Tujuannya hanya terfokus untuk menusuk salah satu bagian tubuh Bandit, tapi lupa mengunci kekuatannya.Maka Bandit mengapit badan orang itu, menjepitnya dengan kuat sampai pria itu mengerang kesakitan lalu membalik tubuhnya."BANGSAT! SETAN SIALAN! LEPASKAN AKU!"Laki-laki yang kulitnya lebih cerah dibanding Bandit itu tengkurap di atas lantai penjara yang berdebu dan berkarat. Kedua tangannya terpelintir ke belakang. Kekuatan dan pergerakannya dikunci dengan mudah oleh Bandit."LEPASKAN, ANAK JALANG! ORANG RENDAHAN YANG LAHIR DARI PEREMP
Bandit duduk diam seperti orang yang tengah disidang. Di depannya ada kepala petugas yang menatapnya tidak suka, seolah Bandit adalah parasit yang menghancurkan ketenteraman tempat ini.Itu tidak salah.Sudah berapa kali dia duduk di tempat ini sejak masuk ke sini. Berkali-kali ia pindah sel dan hampir membunuh teman satu selnya."Kali ini karena apa?"Bandit tak membuka mulut. Dia sudah terbiasa dalam situasi ini. Tak peduli seberapa panjang ia bercerita, segalanya akan tetap sama.Petugas dengan tanda nama bertuliskan Budi Susanto itu mendecak sambil menggebrak meja sedikit keras. "Aku berusaha sabar selama ini dengan semua sikapmu yang seperti binatang liar itu. Siapa yang bilang kau boleh menghajar tahanan lain sesukamu?!"Bandit masih bungkam. Kendati baju tahanan sudah terpasang kembali di tubuhnya, tak ada yang mampu menyangkal bahwa lelaki ini sangatlah berbahaya.Pak Budi menyadari itu. Dia menekan segala amarah yang me
Sejak berumur enam tahun, Bandit sudah dipaksa memasuki dunia kriminal. Tugas pertamanya adalah mengantarkan paket berisi narkoba dengan aman. Ayahnya adalah orang yang mendapatkan keuntungan atas semua kerja keras di masa kecilnya itu.Hidup berdua dengan sang ayah saat ibunya sudah meninggal membuat Bandit tak masalah melakukan itu asal dia bisa membeli pakaian, makan dan juga membeli bunga untuk dia letakkan di makam ibunya.Di umurnya yang ke-15 tahun, seorang perempuan datang bersama anak gadis yang umurnya tak jauh berbeda dengan Bandit. Mereka diperkenalkan sebagai istri baru Ayah dan juga anak tirinya.Bukannya senang ataupun benci karena posisi ibunya sekarang terisi oleh perempuan lain, Bandit malah merasa kasihan. Karena sang ayah bukanlah laki-laki bertanggung jawab yang akan memberikan kebahagiaan untuk mereka.Renata dan ibunya mengalami penyiksaan yang selama ini Bandit dapatkan. Rumah mereka yang kecil hanya diisi dengan suara bantin
Peluh membasahi tubuh indah Izora. Dirinya masih sangat sadar ketika Darius semakin mempercepat hunjamannya. Ia mendesah pelan, semata untuk tak membolongi harga diri Darius.Bahwa ia tak merasakan apa-apa.Kendati dirinya mendesah dan merintih. Itu hanyalah palsu.Izora hanya berbaring diam di bawah tindihan Darius sambil menerima semua perlakuan lelaki itu."Ah, Marina."Sudah berulang kali nama asing itu meluncur dari mulut Darius. Setiap ia kali ia berada pada puncak kewarasannya, nama itu akan selalu hadir menghiasi percintaan mereka."Kau sangat nikmat, Marina!"Tak ada usaha sedikit pun yang dilakukan Izora untuk mengoreksi kesalahan itu. Pura-pura ia memasang ekspresi rumit yang menandakan betapa hebatnya lelaki itu menggagahinya.Kening Izora berkerut, matanya terpejam. Ia lengkungkan punggungnya saat hunjaman Darius semakin cepat sampai tubuh lelaki itu gemetar, Izora ikut bergetar. Meski
Saat Izora turun dari mobil, yang dia lihat hanya kegelapan. Diperiksanya kembali pesan dari orang kepercayaannya, alamatnya betul di sini.Di depan sana cuma ada gudang saat Izora menyalakan senter pada ponselnya. Ia menghela napas pelan sebelum mengangkat kaki menuju satu-satunya bangunan di tempat ini.Hawanya lumayan mengerikan, cukup untuk membuatnya sedikit merinding. Diketuknya pintu besi yang berkarat itu dan tak ada jawaban.Meski sedikit ragu, Izora kembali mengetuk. Lalu memutuskan untuk menarik pegangannya saat beberapa lama masih tetap hening.Tak terkunci. Bunyi geretan yang memekakkan telinga membuatnya mendengus sedikit kesal karena terkejut.Izora sudah terbiasa dengan gelap. Tak masalah baginya. Namun, ia tetap harus berjalan dengan senter ponselnya jika tak mau tersandung sesuatu atau diserang oleh seseorang yang tak dikenal, karena ini betul-betul gelap. Tak ada sedikit pun cahaya yang bisa membantunya berjalan kecua