Sampai kapan pun Bandit akan terus berada dalam tempurung rasa bersalah atas berubahnya segala yang ada dalam diri Renata.
Dirinya yang membuat gadis manis itu terjebak di kubangan lumpur ini. Dia yang harus bertanggung jawab atas segalanya.
Seolah ada belati yang sangat tajam mencabik-cabik dada Bandit. Diberinya Renata tatapan kesakitan. "Kau hidup dengan baik di sini?"
Di tempat ini? Melayani banyak laki-laki setiap malam. Dia bilang hidupnya baik?
"Aku tak akan mengganggumu setelah kau keluar dari sini. Aku mohon." Kepala itu menunduk, meratapi sepatunya yang kotor dan sudah tak layak dipakai. Napasnya kian memberat menahan desakan untuk memaksa wanita ini pergi.
"Hentikan ini. Pergilah."
Tak ada harapan dan tak ada kesempatan yang diberikan oleh Renata. Maka saat dia meninggalkan tempatnya dan menjauh, Bandit mengambil langkah pasti. Membopong tubuh Renata di pundaknya dan bergegas memotong hiruk pikuk yang meledak itu.
Beberapa orang menyenggolnya dan saat Bandit menggeram, mereka menyingkir memberikan jalan.
"Lepaskan! Apa yang kau lakukan?!"
Bandit tak menghiraukan tubuh yang memberontak dalam gendongannya. Telinganya menangkap derap langkah kaki yang bergegas cepat mengejarnya, teriakan marah beberapa orang dan makian kasar yang ditujukan untuknya.
"HEI, PREMAN BERENGSEK! LEPASKAN DIA!"
Beberapa pengawal yang tak lebih besar ketimbang tubuh Bandit menghalanginya, namun tidak sulit bagi Bandit untuk melumpuhkan mereka meski Renata ada dalam gendongannya.
"Lepaskan pekerja kami!"
Di pintu keluar, jumlah pengawal lebih banyak. Memasang formasi dan bersiap menyerang Bandit.
Bandit menurunkan Renata dan membawanya ke sudut-sudut ruangan. Tak mungkin ia melawan puluhan pengawal terlatih ini sambil mempertahankan Renata di pundaknya.
Maka dikeluarkannya seluruh tenaga untuk melawan. Kendati serangan yang dilancarkan padanya tak berhenti walau sedetik pun. Bertubi-tubi dan ia harus bertahan sekaligus terus menyerang dari berbagai sisi.
Setengah dari jumlah pengawal itu sudah tumbang, namun kelompok pengawal lain datang sambil membawa pemukul bisbol, botol minuman dan pisau.
Geraman keras Bandit mengalun bersamaan dengan serangan yang menerjangnya secara membabi buta. Semua senjata itu terhunus dari berbagai sisi.
Pukulan kerasnya menghantam perut dan kaki lawan, tapi alat-alat yang digunakan sebagai senjata itu tetap mengenainya. Pemukul bisbol menerjang paha dan pundaknya, lalu botol minuman itu mengenai punggungnya. Sebisa mungkin Bandit menghindari sabetan pisau.
"Hentikan!"
Bandit yakin suara itu adalah milik Renata. Dengan latar belakang musik yang masih berdentum di dalam sana dan kesiap orang-orang yang sepertinya menonton mereka, Bandit menumpukan satu lututnya ke atas tanah, tak ingin goyah apalagi tumbang.
Ia harus membawa Renata keluar dari tempat ini. Maka ia membelah gerombolan pengawal yang memasang benteng pertahanan melingkarinya, membanting seseorang yang berusaha menghalanginya dan menjatuhkan beberapa di antara mereka secara membabi buta.
Tujuannya adalah Renata.
Penyerangan itu masih berlanjut, dan lagi di depan sana Bandit melihat betapa rumitnya eskpresi Renata. Wajah cantiknya dipenuhi ketegangan, ketakutan, dan kecemasan. Bola matanya bergetar ngeri.
"HENTIKAN!"
PRANG!
Tepat di detik itu, botol minuman itu pecah setelah mendarat di kepala Bandit. Dilihatnya mata Renata membeliak. Mulutnya terbuka lebar dan di matanya ada ketakutan yang amat sangat.
"Hen-hentikan. Berhenti. Jangan pukul lagi." Kedua kaki gemetar itu menghampiri tempat Bandit. Ekspresi rumitnya berusaha ia redam, digantikan dengan raut yang dingin meski kedua bahunya ikut bergetar.
"Renata ...." Bandit berlutut, ambruk setelah kepalanya terhantam botol dengan keras. Ia yakin ada darah yang meleleh di sana, sebab penglihatannya sudah memburam dan kepalanya terasa begitu berat.
"Cukup. Dia tak akan berbuat ulah lagi. Aku akan menjamin itu."
"Tentu saja. Kalau dia masih berbuat ulah, kami benar-benar akan membunuhnya!"
Tenggorokan Bandit terasa panas. Rasanya seperti seluruh tubuhnya mati rasa. Ia ingin menggapai Renata, namun wanita itu berjengit mundur beberapa langkah.
Lalu tahu-tahu seseorang menendangnya, membuat Bandit luruh ke tanah.
"Kau bisa datang lagi, asal membawa uang untuk menebusnya." Pengawal berbadan paling besar di antara yang lain itu menyorot Bandit dari atas, ditunjuknya Renata. "Keluarkan dia dengan cara yang seharusnya. Bawa uang yang banyak. Kau mengerti?!"
Untuk kesekian kalinya, Izora melirik arloji mungil di pergelangan tangannya. Sudah lewat pukul sebelas malam dan pembunuh bayaran itu belum juga muncul. Ia tak melihat tanda-tanda keberadaannya di mana pun di sudut restoran ini, padahal di belakang foto Darius yang ia berikan, tertulis pukul Sembilan.Makan malam dengan klien Darius bersama istrinya hampir berakhir. Pembicaraan bisnis mereka sudah selesai, yang tersisa hanya basa-basi sebelum Pak Haryono dan istrinya berdiri kemudian mengulurkan tangan ke hadapan Darius.“Saya sangat senang dengan kualitas produk-produk Anda. Tak ada satu pun yang mengecewakan saya.”Darius membalas uluran tangan itu sambil melemparkan senyum bersahabat. “Ah, senang bisa menjadi pilihan Anda di antara banyaknya brand ternama yang sedang naik daun.”Ketiganya tertawa, sedang Izora hanya tersenyum tipis. Tidak menangkap di mana letak lucunya.Izora ikut menyalami Pak Haryono dan istriny
Bandit merasakan sakit yang amat sangat di kepalanya saat satu tinjunya kembali melayang ke wajah pria di bawahnya. Kepalanya berat, matanya mengabur dan berdenyut perih.Satu jam yang lalu dia masih bersimpuh di depan club. Merasakan disorientasi saat pemukul bisbol dihantamkan ke kepalanya. Dilihatnya Renata memandang dingin ke arahnya."Sudah kubilang pergi. Kau mau mati di sini?"Bandit merasa pusing. Tidak. Ia tidak ingin roboh sekarang. Ia harus membawa Renata pergi dari sini."Pergi kalau masih ingjn hidup." Renata berbalik, memperlihatkan punggungnya yang tegak dan tidak peduli."Jika aku membawa uang untuk menebusmu, apa kau akan ikut denganku?""Ya, bawa yang banyak, Berengsek." Bukan Renata yang menjawab, melainkan salah satu pengawal. "Dia bernilai tiga miliar. Kau bisa bawa dia dan lakukan apa pun yang kau mau."Renata berhenti sejenak, lalu kembali melangkah, menghilang di balik pintu club."Pergi kau. Janga
Napas Bandit meluncur. Berkali-kali. Keras dan putus-putus. Rasa panas itu membabi buta berlari dari perut, dada, kerongkongan hingga ke kepalanya. Untuk berkedip saja rasanya sangat sulit.Dari ekor matanya, ia lihat wanita itu menyandarkan kepala pada kursi di sampingnya sambil menghela napas dan memijat pangkal hidung.Tentu saja. Dia pasti kesal.Bandit datang tanpa persiapan yang matang. Pikirannya terbelenggu antara ingin membebaskan Renata dari tempat terkutuk itu dan segera mendapatkan uang yang mereka minta. Membuat ia sepenuhnya lupa bahwa target pertamanya setelah ia hiatus dari bunuh membunuh itu bukanlah orang sembarangan.Taksi berhenti. Pintu di seberangnya terbuka dan wanita bernama Izora Farzan itu keluar, kemudian kembali dengan napas yang menyentak kasar, lalu tahu-tahu baju dan celana Bandit dirabanya. Memasukkan tangan pada setiap kantong yang ada pada pakaian Bandit.Sedang Bandit mengerang parau ketika sentuhan-sentuhan
Tak ada yang lebih menyiksa Bandit selain bisikan menggoda dan sentuhan yang terasa sensual itu, menggelitik seluruh sisi tubuhnya, membuatnya ingin menerjang wanita ini sekarang juga.Sekali lagi ia mengerang, atau mungkin melolong seperti serigala kelaparan. Dia butuh itu. Apa pun yang bisa meredakan rasa panas yang sangat gila ini.Akan tetapi, Bandit teramat tahu harga yang harus dia bayar untuk itu. Renata.Sekali lagi dia harus mengorbankan Renata. Hanya untuk kelegaan satu malam ini."Tidakkah itu menyiksamu?"Bandit muak. Mengapa bisikan wanita ini terasa seperti kokain yang membuat candu?Ia tak bisa mengelak ketika tangannya bertindak seenaknya, menarik pinggang Izora hingga jatuh ke pangkuannya. Dia yang melakukannya. Memposisikan wanita itu tepat di hadapannya, duduk di atas pahanya.Sedang Izora tak melakukan apa pun. Berkedip pun tidak. Rambut panjang yang menutupi bahunya Bandit singkirkan
Hari sudah pagi ketika Izora duduk menumpukan kedua tangannya di lantai. Kepalanya mendongak dan kaki indahnya ia luruskan. Sinar fajar berusaha masuk lewat jendela yang dipasangi seng berkarat yang berlubang di mana-mana.Ia masih telanjang. Meresapi sensasi gila yang masih tersisa di sepanjang tubuhnya. Sebab mereka baru saja selesai. Defenisi bercinta sampai pagi. Baik Izora maupun Bandit tak ada yang ingin berhenti. Bandit selalu meminta dan Izora selalu mengiyakan.Bagus. Sekarang dia menjadi jalang yang bercinta dengan pembunuh yang dia sewa jasanya. Ah, bukan. Itu bukan bercinta, hanya seks. Seks yang terasa asing namun terlampau hebat untuk dia rasakan.Lelaki ini—diamatinya Bandit yang tidur di sampingnya, menumpukan lengan pada wajahnya dalam keadaan telanjang sama sepertinya—bagaimana caranya dia melakukan seks segila itu?Apa karena obat perangsang itu?Dan bagaimana Izora bisa merasakan sensasi yang tak kalah gila?
Izora membiarkan darah di sudut bibirnya mengering sambil menelusuri jalan berkerikil menuju jalan raya di mana dia bisa mendapatkan kendaraan. Melewati gang sempit yang sepi.Sinar matahari yang masih belum terasa panas menyambutnya ketika ia menemukan jalan besar. segera ia menuju halte di samping kanan.Tak ada seorang pun yang berbagi tempat duduk dengannya di kursi kayu panjang yang warna catnya sudah luntur itu. Baguslah. Jadi dia bisa meluruskan kaki dan sedikit mengembuskan napas.Lelaki itu adalah definisi dari kata buas. Benar-benar di luar kendali.Dirinya tidak jauh beda omong-omong. Sama buasnya atau mungkin lebih buas. Terlampau asing dan sama sekali tak bisa ia mengerti. Rasanya seperti dia menemukan air mendidih di tengah musim dingin yang membekukan. Rasa antusiasnya begitu besar.Sekaligus rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perih di bahunya yang digigit dan juga sudut bibirnya. Pegal-pegalnya begitu terasa. Namun, m
“Darius …,” panggil Izora.Kala itu ia sedikit berlari, wajahnya terlampau ceria. Tak ada sorot mata dingin, ekspresi kaku dan gestur angkuh. Izora terlihat seperti gadis biasa yang mencintai kehidupannya.Ia menghampiri Darius yang baru saja pulang dari kantor.“Ada apa, Izora?” Tatapan Darius pun tak merendahkannya. Dia terlihat biasa saja. Meski tak ada percikan cinta di sana.Izora melompat-lompat kecil dengan girang. Kedua tangannya tersembunyi di belakang punggung. “Tebak apa yang ingin kukatakan.”Darius mengerutkan kening, lalu tersenyum geli dengan pandangan menyerah. Ia mengangkat bahu. “Aku bukan cenayang, Izora.”“Aku hamil.”Ada kilat kejut di manik Darius. Sejenak ia terpaku, lalu menyunggingkan senyum aneh. “Selamat.” Gesturnya menjadi kaku.Dan Izora tak menyadari hal itu. Ia berpikir semua suami akan senang mendengar kabar keha
Izora memasuki kediaman Farzan dan seketika pandangan-pandangan kaget langsung menyerbunya. Rasa ingin tahu, jijik, dan segala prasangka buruk terlihat jelas dalam setiap sorot mata mereka.Pelayan-pelayan yang tampak sibuk berlalu-lalang di dalam rumah mematung, tercengang mendapati penampilan Izora. Baju robek, bibir berdarah, dan jejak kissmark di mana-mana. Sudah pasti kesimpulan itu sudah terpatri jelas dalam kepala mereka.“Kenapa? Belum pernah melihat orang yang habis diperkosa?” tusuk Izora telak.Mereka terkesiap. Kaget luar biasa sampai mulut mereka tak kunjung menutup, wajah mereka merah padam. Satu hentakan napas kasar Izora membubarkan perkumpulan pelayan itu.Kakinya ia seret naik ke lantai dua, dibukanya pakaian compang-campingnya di tengah kamar lalu mengguyur badan di dalam kamar mandi.Rambutnya yang basah ia sugar ke belakang. Dirasakannya air dingin itu membekukan kulitnya, dan ia harap perasaannya juga ikut me