Jaket kulit cokelat yang warnanya sudah pudar, celana jeans belel yang robek-robek di bagian lutut dan paha, dan kaus putih yang sudah berganti warna menjadi kekuningan. Dengan penampilan yang sama, Bandit kembali ke club itu.
Dan ia mesti mendapati tatapan meremehkan si bartender bernama Andi kemarin malam. Laki-laki rapi yang berwajah seperti orang Jepang itu menyapukan pandangannya pada penampilan Bandit yang tidak berubah, lalu mendengus bosan.
"Buat apa lagi kau ke sini? Kurasa bukan untuk memesan minuman dan berjoget seperti orang gila di lantai dansa."
Bandit hanya berdiri, sama sekali tak menyentuh kursi tinggi di sampingnya. Ia menatap lurus ke dalam mata Andi, seolah ingin mencongkel alat penglihatan lelaki berkulit putih itu.
"Renata."
Mendapati tatapan yang teramat tajam dari laki-laki berpenampilan urakan dan seram seperti Bandit, Andi akhirnya menunduk. Lututnya tiba-tiba gemetar dan jantungnya berdegup lebih cepat.
"Sialan. Akan kupanggilkan, puas?!" Satu entakan napas kasar meluncur dari mulut Andi. "Leon!! Panggilkan Serina!"
Bandit mengernyit saat nama asing itu terdengar. Serina bukan nama yang buruk, tapi rasanya sangat asing. Siapa yang memberikan nama itu padanya?
Saat Leon melihatnya, laki-laki kurus dan tinggi itu menghela napas. "Serina bilang dia tidak ingin bertemu denganmu. Dia punya banyak pelanggan."
Kernyitan di dahi Bandit kian melebar. Banyak pelanggan. Maksudnya laki-laki hidung belang?
Selesai menyadari fakta itu, wajah Bandit mengeras. Kedua tangannya terkepal dan Leon mesti mundur dua langkah karena ia tahu lelaki bertubuh lebih besar dari para pengawal di club ini siap untuk meledak.
"Aku bisa memanggilnya sebagai wanita penghibur untukmu, tentunya dengan bayaran seharusnya."
Wanita penghibur.
Kepalan tangan Bandit kian menjadi. Tak pernah sekalipun dia membayangkan Renata akan menyandang gelar itu. Dia terlalu lugu. Terlalu murni. Terlalu manis untuk menjadi wanita penghibur yang menemani laki-laki asing setiap malam.
"Hey, Bung. Tidak usah marah begitu. Di sini tidak ada Renata, yang ada hanya Serina si bunga club yang selalu diincar oleh laki-laki berduit. Renata-mu itu sudah mati, jadi tidak usah datang setiap malam ke tempat ini dan membuat orang-orang tidak nyaman."
Saat ucapan Andi berakhir, urat-urat di pelipis dan rahang Bandit sudah menyembul keluar. Entakan napasnya kian kasar dan sedikit lagi dia akan menerjang Andi ketika Leon menginterupsinya.
"Akan kupanggilkan. Ini yang terakhir. Jangan datang lagi dan membuat ulah."
Serina si Bunga club datang dengan raut wajah yang tidak menyenangkan. Kulit bersihnya berkeringat dan tali tipis di bahunya sedikit longgar.
"Aku sedang bekerja dan kau langsung memanggilku secara darurat. Sudah kubilang aku tidak ingin bertemu dengan orang ini lagi!"
Bandit tahu betul 'sedang bekerja' yang dimaksud Renata.
Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Pada akhirnya dia tak mampu melindungi gadis ini. Dia hanya memberikan luka baru dan pergi begitu saja.
"Dia akan mencari gara-gara."
"Apa kau tak punya pengawal? Atau pengawal-pengawal di sini cuma sebagai pajangan?" Decakan keras mengalun dari bibir merah yang merekah itu.
"Ini yang terakhir. Urus dia. Aku tak ingin ada keributan di sini."
Renata mengalihkan perhatian kepada Bandit setelah Leon melenggang pergi. Sangat jelas ada ketidaksukaan dari sorot matanya.
"Ikut aku."
Renata mengambil tangan Bandit dan membawanya membelah lautan orang yang tengah berdansa dengan dentuman musik yang menggila. Tangan Renata terasa halus dan hangat, mengingatkan Bandit saat dulu dia yang menggandeng sang adik ke mana-mana.
Renata masuk ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan loker—mungkin ruang ganti.
Ia lalu bersedekap sambil menghadap Bandit. Ada kekalutan tersirat dalam gurat-gurat keningnya yang tengah mengernyit."Sudah kubilang jangan mencariku lagi. Kita tak ada hubungan apa-apa lagi!"
"Aku ingin menjemputmu. Tinggalkan tempat ini."
"Lalu ikut bersamamu! Tinggal denganmu? Apa yang kau punya sekarang? Apa yang bisa kau berikan padaku?!"
Ucapan-ucapan bernada tinggi itu seolah menusuk dada Bandit. Renata benar. Dia tak punya apa-apa untuk gadis ini.
"Kau bisa tinggal di mana saja asal jangan di sini."
Renata mendengus. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum nanar. "Sejak awal harusnya Ibu tak menikah dengan laki-laki bajingan itu. Seharusnya setelah dipukul sekali dia kabur dan tak kembali lagi, bukannya malah minggat ke neraka dan meninggalkanku. Sekarang ayah keparatnu itu sudah mati. Aku bebas. Apalagi yang kau inginkan dariku? Kembali terjerat dengan kehidupanmu yang busuk itu?"
Bandit memalingkan wajah, bulu-bulu kasar di rahangnya tak sepenuhnya menutupi betapa tegangnya wajah lelaki itu. Di matanya ada pergolakan batin, antara membenarkan perkataan Renata dan tetap pada pendiriannya untuk membawa wanita ini pergi. Ada rasa bersalah yang bisa ditangkap dengan jelas oleh Renata.
"Rena, jangan melakukan ini karena membenci masa lalumu dan aku. Hiduplah lebih baik dari yang dulu. Jangan hidup begini."
"Bagaimana pun hidupku, akan selalu baik jika kau dan ayahmu tak menggangguku lagi."
Sampai kapan pun Bandit akan terus berada dalam tempurung rasa bersalah atas berubahnya segala yang ada dalam diri Renata.Dirinya yang membuat gadis manis itu terjebak di kubangan lumpur ini. Dia yang harus bertanggung jawab atas segalanya.Seolah ada belati yang sangat tajam mencabik-cabik dada Bandit. Diberinya Renata tatapan kesakitan. "Kau hidup dengan baik di sini?"Di tempat ini? Melayani banyak laki-laki setiap malam. Dia bilang hidupnya baik?"Aku tak akan mengganggumu setelah kau keluar dari sini. Aku mohon." Kepala itu menunduk, meratapi sepatunya yang kotor dan sudah tak layak dipakai. Napasnya kian memberat menahan desakan untuk memaksa wanita ini pergi."Hentikan ini. Pergilah."Tak ada harapan dan tak ada kesempatan yang diberikan oleh Renata. Maka saat dia meninggalkan tempatnya dan menjauh, Bandit mengambil langkah pasti. Membopong tubuh Renata di pundaknya dan bergegas memotong hiruk pikuk yang meledak itu.
Untuk kesekian kalinya, Izora melirik arloji mungil di pergelangan tangannya. Sudah lewat pukul sebelas malam dan pembunuh bayaran itu belum juga muncul. Ia tak melihat tanda-tanda keberadaannya di mana pun di sudut restoran ini, padahal di belakang foto Darius yang ia berikan, tertulis pukul Sembilan.Makan malam dengan klien Darius bersama istrinya hampir berakhir. Pembicaraan bisnis mereka sudah selesai, yang tersisa hanya basa-basi sebelum Pak Haryono dan istrinya berdiri kemudian mengulurkan tangan ke hadapan Darius.“Saya sangat senang dengan kualitas produk-produk Anda. Tak ada satu pun yang mengecewakan saya.”Darius membalas uluran tangan itu sambil melemparkan senyum bersahabat. “Ah, senang bisa menjadi pilihan Anda di antara banyaknya brand ternama yang sedang naik daun.”Ketiganya tertawa, sedang Izora hanya tersenyum tipis. Tidak menangkap di mana letak lucunya.Izora ikut menyalami Pak Haryono dan istriny
Bandit merasakan sakit yang amat sangat di kepalanya saat satu tinjunya kembali melayang ke wajah pria di bawahnya. Kepalanya berat, matanya mengabur dan berdenyut perih.Satu jam yang lalu dia masih bersimpuh di depan club. Merasakan disorientasi saat pemukul bisbol dihantamkan ke kepalanya. Dilihatnya Renata memandang dingin ke arahnya."Sudah kubilang pergi. Kau mau mati di sini?"Bandit merasa pusing. Tidak. Ia tidak ingin roboh sekarang. Ia harus membawa Renata pergi dari sini."Pergi kalau masih ingjn hidup." Renata berbalik, memperlihatkan punggungnya yang tegak dan tidak peduli."Jika aku membawa uang untuk menebusmu, apa kau akan ikut denganku?""Ya, bawa yang banyak, Berengsek." Bukan Renata yang menjawab, melainkan salah satu pengawal. "Dia bernilai tiga miliar. Kau bisa bawa dia dan lakukan apa pun yang kau mau."Renata berhenti sejenak, lalu kembali melangkah, menghilang di balik pintu club."Pergi kau. Janga
Napas Bandit meluncur. Berkali-kali. Keras dan putus-putus. Rasa panas itu membabi buta berlari dari perut, dada, kerongkongan hingga ke kepalanya. Untuk berkedip saja rasanya sangat sulit.Dari ekor matanya, ia lihat wanita itu menyandarkan kepala pada kursi di sampingnya sambil menghela napas dan memijat pangkal hidung.Tentu saja. Dia pasti kesal.Bandit datang tanpa persiapan yang matang. Pikirannya terbelenggu antara ingin membebaskan Renata dari tempat terkutuk itu dan segera mendapatkan uang yang mereka minta. Membuat ia sepenuhnya lupa bahwa target pertamanya setelah ia hiatus dari bunuh membunuh itu bukanlah orang sembarangan.Taksi berhenti. Pintu di seberangnya terbuka dan wanita bernama Izora Farzan itu keluar, kemudian kembali dengan napas yang menyentak kasar, lalu tahu-tahu baju dan celana Bandit dirabanya. Memasukkan tangan pada setiap kantong yang ada pada pakaian Bandit.Sedang Bandit mengerang parau ketika sentuhan-sentuhan
Tak ada yang lebih menyiksa Bandit selain bisikan menggoda dan sentuhan yang terasa sensual itu, menggelitik seluruh sisi tubuhnya, membuatnya ingin menerjang wanita ini sekarang juga.Sekali lagi ia mengerang, atau mungkin melolong seperti serigala kelaparan. Dia butuh itu. Apa pun yang bisa meredakan rasa panas yang sangat gila ini.Akan tetapi, Bandit teramat tahu harga yang harus dia bayar untuk itu. Renata.Sekali lagi dia harus mengorbankan Renata. Hanya untuk kelegaan satu malam ini."Tidakkah itu menyiksamu?"Bandit muak. Mengapa bisikan wanita ini terasa seperti kokain yang membuat candu?Ia tak bisa mengelak ketika tangannya bertindak seenaknya, menarik pinggang Izora hingga jatuh ke pangkuannya. Dia yang melakukannya. Memposisikan wanita itu tepat di hadapannya, duduk di atas pahanya.Sedang Izora tak melakukan apa pun. Berkedip pun tidak. Rambut panjang yang menutupi bahunya Bandit singkirkan
Hari sudah pagi ketika Izora duduk menumpukan kedua tangannya di lantai. Kepalanya mendongak dan kaki indahnya ia luruskan. Sinar fajar berusaha masuk lewat jendela yang dipasangi seng berkarat yang berlubang di mana-mana.Ia masih telanjang. Meresapi sensasi gila yang masih tersisa di sepanjang tubuhnya. Sebab mereka baru saja selesai. Defenisi bercinta sampai pagi. Baik Izora maupun Bandit tak ada yang ingin berhenti. Bandit selalu meminta dan Izora selalu mengiyakan.Bagus. Sekarang dia menjadi jalang yang bercinta dengan pembunuh yang dia sewa jasanya. Ah, bukan. Itu bukan bercinta, hanya seks. Seks yang terasa asing namun terlampau hebat untuk dia rasakan.Lelaki ini—diamatinya Bandit yang tidur di sampingnya, menumpukan lengan pada wajahnya dalam keadaan telanjang sama sepertinya—bagaimana caranya dia melakukan seks segila itu?Apa karena obat perangsang itu?Dan bagaimana Izora bisa merasakan sensasi yang tak kalah gila?
Izora membiarkan darah di sudut bibirnya mengering sambil menelusuri jalan berkerikil menuju jalan raya di mana dia bisa mendapatkan kendaraan. Melewati gang sempit yang sepi.Sinar matahari yang masih belum terasa panas menyambutnya ketika ia menemukan jalan besar. segera ia menuju halte di samping kanan.Tak ada seorang pun yang berbagi tempat duduk dengannya di kursi kayu panjang yang warna catnya sudah luntur itu. Baguslah. Jadi dia bisa meluruskan kaki dan sedikit mengembuskan napas.Lelaki itu adalah definisi dari kata buas. Benar-benar di luar kendali.Dirinya tidak jauh beda omong-omong. Sama buasnya atau mungkin lebih buas. Terlampau asing dan sama sekali tak bisa ia mengerti. Rasanya seperti dia menemukan air mendidih di tengah musim dingin yang membekukan. Rasa antusiasnya begitu besar.Sekaligus rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perih di bahunya yang digigit dan juga sudut bibirnya. Pegal-pegalnya begitu terasa. Namun, m
“Darius …,” panggil Izora.Kala itu ia sedikit berlari, wajahnya terlampau ceria. Tak ada sorot mata dingin, ekspresi kaku dan gestur angkuh. Izora terlihat seperti gadis biasa yang mencintai kehidupannya.Ia menghampiri Darius yang baru saja pulang dari kantor.“Ada apa, Izora?” Tatapan Darius pun tak merendahkannya. Dia terlihat biasa saja. Meski tak ada percikan cinta di sana.Izora melompat-lompat kecil dengan girang. Kedua tangannya tersembunyi di belakang punggung. “Tebak apa yang ingin kukatakan.”Darius mengerutkan kening, lalu tersenyum geli dengan pandangan menyerah. Ia mengangkat bahu. “Aku bukan cenayang, Izora.”“Aku hamil.”Ada kilat kejut di manik Darius. Sejenak ia terpaku, lalu menyunggingkan senyum aneh. “Selamat.” Gesturnya menjadi kaku.Dan Izora tak menyadari hal itu. Ia berpikir semua suami akan senang mendengar kabar keha