Izora keluar dari gudang yang teramat gelap itu. Sama sekali tak ada getaran pada tubuhnya sekalipun ia hampir saja mati di tangan beruang besar yang sangat buas.
Gaun yang mencetak lekuk tubuhnya dengan pas itu makin mengukuhkan bagaimana tangguhnya wanita itu. Ia berjalan angkuh menuju mobilnya, tak takut sedikit pun meskipun lelaki besar bernama Bandit itu bisa saja berlari menghampirinya dan kembali mencekiknya dengan brutal.
Izora menyentuh lehernya sesaat setelah memasuki mobil. Lumayan perih dan ia yakin akan ada bekas di sana.
Ia menyalakan mesin mobilnya sambil menelepon Ronald melalui speaker. "Kau yakin dia seahli itu?"
"Maksudmu Bandit?"
"Hm."
"Sejak remaja dia sudah mendalami profesi itu. Tak sembarang orang bisa menyewa jasanya. Terakhir yang kutahu salah satu anggota inti DPR berhasil membujuknya. Lalu tak ada kabar lagi, karena tahu-tahu dia sudah berada di penjara."
Izora mengernyit. Pegangannya pada setir kemudi sedikit mengerat. "Jadi maksudmu dia tak menerima sembarang orang? Karena itu dia mencoba membunuhku?"
"Apa? Dia mencoba membunuhmu?"
Izora mendengus muak. Tinggal dalam gudang yang tak layak dan baru saja keluar dari penjara. Angkuh sekali si beruang buas itu.
"Jadi dia berhasil membunuhmu?"
"Apa sekarang yang meneleponmu adalah arwahku?"
"Maksudku kau lolos? Bagaimana dengan penawaranmu, kau berhasil membujuknya?"
"Aku tak membujuk, Ronald. Dia akan datang sendiri kepadaku."
"Kenapa kau seyakin itu?"
Izora menyeringai. Alih-alih menjawab pertanyaan Ronald, ia malah menutup telepon secara sepihak. Memandang lurus ke arah jalanan. Sorot matanya tak mampu ditebak.
Waktu itu gelap dan dia tak benar-benar melihat seperti apa wajah sang pembunuh bayaran eksklusif itu. Tapi Izora teramat tahu bahwa Bandit sedang berada pada fase terburuknya.
Tak sulit jika masalah lelaki itu berhubungan dengan uang.
***
Izora baru saja memasuki rumah ketika Darius keluar dari kamarnya dengan menenteng tablet. Kacamatanya sedikit melorot. Satu tangannya tenggelam di dalam saku celana santainya.
"Dari mana?" Kedua alis Darius tampak tegang, matanya menyorot Izora menghakimi.
Sedangkan Izora berkedip santai. "Ke rumah teman."
"Sampai tengah malam begini?"
"Ya."
"Dengan baju pendek itu?" Darius menurunkan sedikit kacamatanya untuk menatap penampilan Izora yang cocok untuk pergi ke club. Gaun hitam pendek yang hanya menutupi sepertiga pahanya, berkerah kotak yang lebar sehingga dadanya yang indah terekspos.
"Pergaulan di kelas atas tidak sesederhana itu untuk memakai baju yang biasa saja. Teman hanya sebagai kedok." Dagu Izora terangkat angkuh, matanya berpendar dingin, menatap langsung ke mata Darius meski jarak mereka cukup jauh.
Dan Izora tidak cukup lugu untuk tahu arti pandangan jijik Darius. Di dalam benaknya, sudah pasti Darius akan membandingkan watak Izora dengan Marina.
Marina yang selalu bersahaja. Sosok istri yang mengayomi. Hangat, lembut dan bijaksana. Tapi tidak dengan Izora. Jika Marina adalah putih, maka Izora adalah hitam. Tak ada yang patut dibanggakan dari Izora.
Dan ia sudah tahu itu.
"Seharusnya kau meminta izin, Izora. Aku suamimu."
"Maafkan aku." Kendati ia merendahkan ego untuk meminta maaf, binar dalam mata biru keabuannya masih tetap dingin.
"Masuk ke kamarmu. Barang yang kau minta sudah ada di sana."
Kening Izora mengernyit alih-alih senang. "Siapa yang menaruhnya di sana?"
"Pelayan."
Izora menarik napas kasar. "Aku sudah bilang tak ada yang boleh memasuki kamarku, Darius. Itu ruang yang sangat pribadi untukku."
"Termasuk aku?"
Tak butuh waktu lama untuk Izora menjawab, "Ya."
Ada ketegangan yang tercipta di antara mereka, seperti lapisan es tipis di atas lautan. Izora tahu bahwa saat ini lebih daripada rasa kesalnya, rasa marah Darius-lah yang paling besar. Lelaki itu tak suka dibantah.
"Tak ada satu pun yang boleh memasuki kamarku."Meski begitu, Izora masih mempertahankan ketegasan pada nada suaranya.
Darius menyentakkan napas kasar. Pegangannya pada benda elektronik di tangannya semakin kuat.
"Kembali ke kamarmu. Bersiaplah besok malam. Kita akan berada di hotel sampai pagi." Pandangan lelaki itu berapi-api, menghunjam Izora seperti akan mengulitinya sampai mati.
Dan Izora tahu betul apa yang dimaksud lelaki itu. Saat dirinya membantah atau memperlihatkan kelakuan yang tidak sesuai dengan keinginan Darius, maka lelaki itu akan membawanya ke hotel, menidurinya sampai pagi dengan dalih memberikan hukuman, dan mengukuhkan posisi Izora yang tak lebih dari alat pemuas hasratnya.
Izora menyeret langkahnya menaiki tangga. Dengan ekspresi yang arogan dan memperlihatkan segala 'perbedaannya' dengan Marina.
Gelap yang pekat seketika menyambutnya saat ia membuka pintu kamar. Ia bergerak menyalakan lampu kecil di atas nakas dan ruangan yang tak begitu luas itu kini dipenuhi dengan cahaya remang-remang.
Dibukanya seluruh pakaiannya, menyisakan hanya pakaian dalam. Ia bergerak ke lemari dan mengambil Russo Baltique Vodka-nya dari dalam sana.
Dengan langkah yang mengalun perlahan, Izora membuka tutup botol berdesain emas murni itu dan duduk di tepi ranjangnya.
Tanpa gelas, ia meminum langsung minuman mewah itu. Menenggaknya dengan gerakan yang pelan. Matanya berkilat, seolah di hadapannya ada sesuatu yang akan ia bunuh hanya dengan sekilas tatapan mata.
Menumpukan kedua tangan di atas ranjang, menyilang kaki dan mendongak, melepaskan segala penat dan sesak yang menyiksanya selama hampir tiga tahun ini.
Rasa Vodka itu mengalir dengan deras ke tenggorokannya bersamaan dengan rasa panas yang membakar sampai ke perutnya.
Haruskah ia sebut ini sebagai perayaan atas kemenangannya yang akan terjadi besok malam ataukah sebagai pelaksanaan rutinitas yang sudah dilakukannya selama tiga tahun ini seperti ritual?
Napasnya yang beraroma manis dan menyengat dia embuskan secara perlahan. Lalu seuntai senyum bertakhta di bibir mungilnya yang kemerahan. Senyum yang menyiratkan rasa muak kendati kelopak mata indahnya berkedip pedih.
Izora yang palsu.
Segala yang ada dalam dirinya telah lenyap, berganti dengan Izora yang mengerikan. Jika orang-orang akan menatapnya takut atau jijik, maka dia tidak ingin melihat dirinya sendiri dalam pantulan cermin manapun atau bahkan ia tak mau melirik bayangannya sendiri.
Izora yang telah menjelma menjadi manusia asing itu memaku kakinya di depan meja. Pada laptop yang terbuka, alat tulis dan kertas yang berserakan dan buku-buku yang berhamburan.
Dibukanya laci paling bawah, dikeluarkannya satu buku dari sana. Lalu disentuhnya buku bersampul biru langit dengan gambar pelangi yang hampir memenuhi sampul.
Buku bertuliskan Anak Abadi itu ia pandangi dengan lekat. Ada secercah pilu di dalam mata yang dalam itu bersamaan dengan kerjapannya yang berat.
Di bagian atas sampul tertulis nama sang penulis. Rachel Agam. Kedua nama yang ia gabungkan menjadi satu.
Nama yang selalu menjadi dorongan baginya untuk memupuk dendam.
Bahwa suatu saat nanti, dia akan bisa menyingkirkan Darius dari hatinya, dari hidupnya dan dari dunia ini.
Jaket kulit cokelat yang warnanya sudah pudar, celana jeans belel yang robek-robek di bagian lutut dan paha, dan kaus putih yang sudah berganti warna menjadi kekuningan. Dengan penampilan yang sama, Bandit kembali ke club itu.Dan ia mesti mendapati tatapan meremehkan si bartender bernama Andi kemarin malam. Laki-laki rapi yang berwajah seperti orang Jepang itu menyapukan pandangannya pada penampilan Bandit yang tidak berubah, lalu mendengus bosan."Buat apa lagi kau ke sini? Kurasa bukan untuk memesan minuman dan berjoget seperti orang gila di lantai dansa."Bandit hanya berdiri, sama sekali tak menyentuh kursi tinggi di sampingnya. Ia menatap lurus ke dalam mata Andi, seolah ingin mencongkel alat penglihatan lelaki berkulit putih itu."Renata."Mendapati tatapan yang teramat tajam dari laki-laki berpenampilan urakan dan seram seperti Bandit, Andi akhirnya menunduk. Lututnya tiba-tiba gemetar dan jantungnya berdegup lebih cepat."Sialan. Ak
Sampai kapan pun Bandit akan terus berada dalam tempurung rasa bersalah atas berubahnya segala yang ada dalam diri Renata.Dirinya yang membuat gadis manis itu terjebak di kubangan lumpur ini. Dia yang harus bertanggung jawab atas segalanya.Seolah ada belati yang sangat tajam mencabik-cabik dada Bandit. Diberinya Renata tatapan kesakitan. "Kau hidup dengan baik di sini?"Di tempat ini? Melayani banyak laki-laki setiap malam. Dia bilang hidupnya baik?"Aku tak akan mengganggumu setelah kau keluar dari sini. Aku mohon." Kepala itu menunduk, meratapi sepatunya yang kotor dan sudah tak layak dipakai. Napasnya kian memberat menahan desakan untuk memaksa wanita ini pergi."Hentikan ini. Pergilah."Tak ada harapan dan tak ada kesempatan yang diberikan oleh Renata. Maka saat dia meninggalkan tempatnya dan menjauh, Bandit mengambil langkah pasti. Membopong tubuh Renata di pundaknya dan bergegas memotong hiruk pikuk yang meledak itu.
Untuk kesekian kalinya, Izora melirik arloji mungil di pergelangan tangannya. Sudah lewat pukul sebelas malam dan pembunuh bayaran itu belum juga muncul. Ia tak melihat tanda-tanda keberadaannya di mana pun di sudut restoran ini, padahal di belakang foto Darius yang ia berikan, tertulis pukul Sembilan.Makan malam dengan klien Darius bersama istrinya hampir berakhir. Pembicaraan bisnis mereka sudah selesai, yang tersisa hanya basa-basi sebelum Pak Haryono dan istrinya berdiri kemudian mengulurkan tangan ke hadapan Darius.“Saya sangat senang dengan kualitas produk-produk Anda. Tak ada satu pun yang mengecewakan saya.”Darius membalas uluran tangan itu sambil melemparkan senyum bersahabat. “Ah, senang bisa menjadi pilihan Anda di antara banyaknya brand ternama yang sedang naik daun.”Ketiganya tertawa, sedang Izora hanya tersenyum tipis. Tidak menangkap di mana letak lucunya.Izora ikut menyalami Pak Haryono dan istriny
Bandit merasakan sakit yang amat sangat di kepalanya saat satu tinjunya kembali melayang ke wajah pria di bawahnya. Kepalanya berat, matanya mengabur dan berdenyut perih.Satu jam yang lalu dia masih bersimpuh di depan club. Merasakan disorientasi saat pemukul bisbol dihantamkan ke kepalanya. Dilihatnya Renata memandang dingin ke arahnya."Sudah kubilang pergi. Kau mau mati di sini?"Bandit merasa pusing. Tidak. Ia tidak ingin roboh sekarang. Ia harus membawa Renata pergi dari sini."Pergi kalau masih ingjn hidup." Renata berbalik, memperlihatkan punggungnya yang tegak dan tidak peduli."Jika aku membawa uang untuk menebusmu, apa kau akan ikut denganku?""Ya, bawa yang banyak, Berengsek." Bukan Renata yang menjawab, melainkan salah satu pengawal. "Dia bernilai tiga miliar. Kau bisa bawa dia dan lakukan apa pun yang kau mau."Renata berhenti sejenak, lalu kembali melangkah, menghilang di balik pintu club."Pergi kau. Janga
Napas Bandit meluncur. Berkali-kali. Keras dan putus-putus. Rasa panas itu membabi buta berlari dari perut, dada, kerongkongan hingga ke kepalanya. Untuk berkedip saja rasanya sangat sulit.Dari ekor matanya, ia lihat wanita itu menyandarkan kepala pada kursi di sampingnya sambil menghela napas dan memijat pangkal hidung.Tentu saja. Dia pasti kesal.Bandit datang tanpa persiapan yang matang. Pikirannya terbelenggu antara ingin membebaskan Renata dari tempat terkutuk itu dan segera mendapatkan uang yang mereka minta. Membuat ia sepenuhnya lupa bahwa target pertamanya setelah ia hiatus dari bunuh membunuh itu bukanlah orang sembarangan.Taksi berhenti. Pintu di seberangnya terbuka dan wanita bernama Izora Farzan itu keluar, kemudian kembali dengan napas yang menyentak kasar, lalu tahu-tahu baju dan celana Bandit dirabanya. Memasukkan tangan pada setiap kantong yang ada pada pakaian Bandit.Sedang Bandit mengerang parau ketika sentuhan-sentuhan
Tak ada yang lebih menyiksa Bandit selain bisikan menggoda dan sentuhan yang terasa sensual itu, menggelitik seluruh sisi tubuhnya, membuatnya ingin menerjang wanita ini sekarang juga.Sekali lagi ia mengerang, atau mungkin melolong seperti serigala kelaparan. Dia butuh itu. Apa pun yang bisa meredakan rasa panas yang sangat gila ini.Akan tetapi, Bandit teramat tahu harga yang harus dia bayar untuk itu. Renata.Sekali lagi dia harus mengorbankan Renata. Hanya untuk kelegaan satu malam ini."Tidakkah itu menyiksamu?"Bandit muak. Mengapa bisikan wanita ini terasa seperti kokain yang membuat candu?Ia tak bisa mengelak ketika tangannya bertindak seenaknya, menarik pinggang Izora hingga jatuh ke pangkuannya. Dia yang melakukannya. Memposisikan wanita itu tepat di hadapannya, duduk di atas pahanya.Sedang Izora tak melakukan apa pun. Berkedip pun tidak. Rambut panjang yang menutupi bahunya Bandit singkirkan
Hari sudah pagi ketika Izora duduk menumpukan kedua tangannya di lantai. Kepalanya mendongak dan kaki indahnya ia luruskan. Sinar fajar berusaha masuk lewat jendela yang dipasangi seng berkarat yang berlubang di mana-mana.Ia masih telanjang. Meresapi sensasi gila yang masih tersisa di sepanjang tubuhnya. Sebab mereka baru saja selesai. Defenisi bercinta sampai pagi. Baik Izora maupun Bandit tak ada yang ingin berhenti. Bandit selalu meminta dan Izora selalu mengiyakan.Bagus. Sekarang dia menjadi jalang yang bercinta dengan pembunuh yang dia sewa jasanya. Ah, bukan. Itu bukan bercinta, hanya seks. Seks yang terasa asing namun terlampau hebat untuk dia rasakan.Lelaki ini—diamatinya Bandit yang tidur di sampingnya, menumpukan lengan pada wajahnya dalam keadaan telanjang sama sepertinya—bagaimana caranya dia melakukan seks segila itu?Apa karena obat perangsang itu?Dan bagaimana Izora bisa merasakan sensasi yang tak kalah gila?
Izora membiarkan darah di sudut bibirnya mengering sambil menelusuri jalan berkerikil menuju jalan raya di mana dia bisa mendapatkan kendaraan. Melewati gang sempit yang sepi.Sinar matahari yang masih belum terasa panas menyambutnya ketika ia menemukan jalan besar. segera ia menuju halte di samping kanan.Tak ada seorang pun yang berbagi tempat duduk dengannya di kursi kayu panjang yang warna catnya sudah luntur itu. Baguslah. Jadi dia bisa meluruskan kaki dan sedikit mengembuskan napas.Lelaki itu adalah definisi dari kata buas. Benar-benar di luar kendali.Dirinya tidak jauh beda omong-omong. Sama buasnya atau mungkin lebih buas. Terlampau asing dan sama sekali tak bisa ia mengerti. Rasanya seperti dia menemukan air mendidih di tengah musim dingin yang membekukan. Rasa antusiasnya begitu besar.Sekaligus rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perih di bahunya yang digigit dan juga sudut bibirnya. Pegal-pegalnya begitu terasa. Namun, m