Bandit merasakan sakit yang amat sangat di kepalanya saat satu tinjunya kembali melayang ke wajah pria di bawahnya. Kepalanya berat, matanya mengabur dan berdenyut perih.
Satu jam yang lalu dia masih bersimpuh di depan club. Merasakan disorientasi saat pemukul bisbol dihantamkan ke kepalanya. Dilihatnya Renata memandang dingin ke arahnya.
"Sudah kubilang pergi. Kau mau mati di sini?"
Bandit merasa pusing. Tidak. Ia tidak ingin roboh sekarang. Ia harus membawa Renata pergi dari sini.
"Pergi kalau masih ingjn hidup." Renata berbalik, memperlihatkan punggungnya yang tegak dan tidak peduli.
"Jika aku membawa uang untuk menebusmu, apa kau akan ikut denganku?"
"Ya, bawa yang banyak, Berengsek." Bukan Renata yang menjawab, melainkan salah satu pengawal. "Dia bernilai tiga miliar. Kau bisa bawa dia dan lakukan apa pun yang kau mau."
Renata berhenti sejenak, lalu kembali melangkah, menghilang di balik pintu club.
"Pergi kau. Janga
Napas Bandit meluncur. Berkali-kali. Keras dan putus-putus. Rasa panas itu membabi buta berlari dari perut, dada, kerongkongan hingga ke kepalanya. Untuk berkedip saja rasanya sangat sulit.Dari ekor matanya, ia lihat wanita itu menyandarkan kepala pada kursi di sampingnya sambil menghela napas dan memijat pangkal hidung.Tentu saja. Dia pasti kesal.Bandit datang tanpa persiapan yang matang. Pikirannya terbelenggu antara ingin membebaskan Renata dari tempat terkutuk itu dan segera mendapatkan uang yang mereka minta. Membuat ia sepenuhnya lupa bahwa target pertamanya setelah ia hiatus dari bunuh membunuh itu bukanlah orang sembarangan.Taksi berhenti. Pintu di seberangnya terbuka dan wanita bernama Izora Farzan itu keluar, kemudian kembali dengan napas yang menyentak kasar, lalu tahu-tahu baju dan celana Bandit dirabanya. Memasukkan tangan pada setiap kantong yang ada pada pakaian Bandit.Sedang Bandit mengerang parau ketika sentuhan-sentuhan
Tak ada yang lebih menyiksa Bandit selain bisikan menggoda dan sentuhan yang terasa sensual itu, menggelitik seluruh sisi tubuhnya, membuatnya ingin menerjang wanita ini sekarang juga.Sekali lagi ia mengerang, atau mungkin melolong seperti serigala kelaparan. Dia butuh itu. Apa pun yang bisa meredakan rasa panas yang sangat gila ini.Akan tetapi, Bandit teramat tahu harga yang harus dia bayar untuk itu. Renata.Sekali lagi dia harus mengorbankan Renata. Hanya untuk kelegaan satu malam ini."Tidakkah itu menyiksamu?"Bandit muak. Mengapa bisikan wanita ini terasa seperti kokain yang membuat candu?Ia tak bisa mengelak ketika tangannya bertindak seenaknya, menarik pinggang Izora hingga jatuh ke pangkuannya. Dia yang melakukannya. Memposisikan wanita itu tepat di hadapannya, duduk di atas pahanya.Sedang Izora tak melakukan apa pun. Berkedip pun tidak. Rambut panjang yang menutupi bahunya Bandit singkirkan
Hari sudah pagi ketika Izora duduk menumpukan kedua tangannya di lantai. Kepalanya mendongak dan kaki indahnya ia luruskan. Sinar fajar berusaha masuk lewat jendela yang dipasangi seng berkarat yang berlubang di mana-mana.Ia masih telanjang. Meresapi sensasi gila yang masih tersisa di sepanjang tubuhnya. Sebab mereka baru saja selesai. Defenisi bercinta sampai pagi. Baik Izora maupun Bandit tak ada yang ingin berhenti. Bandit selalu meminta dan Izora selalu mengiyakan.Bagus. Sekarang dia menjadi jalang yang bercinta dengan pembunuh yang dia sewa jasanya. Ah, bukan. Itu bukan bercinta, hanya seks. Seks yang terasa asing namun terlampau hebat untuk dia rasakan.Lelaki ini—diamatinya Bandit yang tidur di sampingnya, menumpukan lengan pada wajahnya dalam keadaan telanjang sama sepertinya—bagaimana caranya dia melakukan seks segila itu?Apa karena obat perangsang itu?Dan bagaimana Izora bisa merasakan sensasi yang tak kalah gila?
Izora membiarkan darah di sudut bibirnya mengering sambil menelusuri jalan berkerikil menuju jalan raya di mana dia bisa mendapatkan kendaraan. Melewati gang sempit yang sepi.Sinar matahari yang masih belum terasa panas menyambutnya ketika ia menemukan jalan besar. segera ia menuju halte di samping kanan.Tak ada seorang pun yang berbagi tempat duduk dengannya di kursi kayu panjang yang warna catnya sudah luntur itu. Baguslah. Jadi dia bisa meluruskan kaki dan sedikit mengembuskan napas.Lelaki itu adalah definisi dari kata buas. Benar-benar di luar kendali.Dirinya tidak jauh beda omong-omong. Sama buasnya atau mungkin lebih buas. Terlampau asing dan sama sekali tak bisa ia mengerti. Rasanya seperti dia menemukan air mendidih di tengah musim dingin yang membekukan. Rasa antusiasnya begitu besar.Sekaligus rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perih di bahunya yang digigit dan juga sudut bibirnya. Pegal-pegalnya begitu terasa. Namun, m
“Darius …,” panggil Izora.Kala itu ia sedikit berlari, wajahnya terlampau ceria. Tak ada sorot mata dingin, ekspresi kaku dan gestur angkuh. Izora terlihat seperti gadis biasa yang mencintai kehidupannya.Ia menghampiri Darius yang baru saja pulang dari kantor.“Ada apa, Izora?” Tatapan Darius pun tak merendahkannya. Dia terlihat biasa saja. Meski tak ada percikan cinta di sana.Izora melompat-lompat kecil dengan girang. Kedua tangannya tersembunyi di belakang punggung. “Tebak apa yang ingin kukatakan.”Darius mengerutkan kening, lalu tersenyum geli dengan pandangan menyerah. Ia mengangkat bahu. “Aku bukan cenayang, Izora.”“Aku hamil.”Ada kilat kejut di manik Darius. Sejenak ia terpaku, lalu menyunggingkan senyum aneh. “Selamat.” Gesturnya menjadi kaku.Dan Izora tak menyadari hal itu. Ia berpikir semua suami akan senang mendengar kabar keha
Izora memasuki kediaman Farzan dan seketika pandangan-pandangan kaget langsung menyerbunya. Rasa ingin tahu, jijik, dan segala prasangka buruk terlihat jelas dalam setiap sorot mata mereka.Pelayan-pelayan yang tampak sibuk berlalu-lalang di dalam rumah mematung, tercengang mendapati penampilan Izora. Baju robek, bibir berdarah, dan jejak kissmark di mana-mana. Sudah pasti kesimpulan itu sudah terpatri jelas dalam kepala mereka.“Kenapa? Belum pernah melihat orang yang habis diperkosa?” tusuk Izora telak.Mereka terkesiap. Kaget luar biasa sampai mulut mereka tak kunjung menutup, wajah mereka merah padam. Satu hentakan napas kasar Izora membubarkan perkumpulan pelayan itu.Kakinya ia seret naik ke lantai dua, dibukanya pakaian compang-campingnya di tengah kamar lalu mengguyur badan di dalam kamar mandi.Rambutnya yang basah ia sugar ke belakang. Dirasakannya air dingin itu membekukan kulitnya, dan ia harap perasaannya juga ikut me
Bandit memandangi kekacauan di sekitarnya. Bungkus makanan yang berceceran. Lembaran kapas baru dan bekas yang berhamburan, botol-botol air yang kosong dan bajunya yang ikut meramaikan. Berserakan bersamaan dengan pakaian dalam yang teronggok di dekat kakinya.Dia masih berada di tempat. Masih disorientasi akan apa yang telah terjadi. Ditemani dengan sinar kuning yang berusaha keras menyerbu jendela yang dipasangi seng. Aroma prcintaan itu masih merebak.Napasnya berembus keras ketika potongan-potongan ingatan semalam memberondongnya.“Lagi. Aku ingin lagi.” Waktu itu ia memandangi Izora dengan sangat mendamba seperti singa yang sangat kelaparan.Sial! Dia sudah seperti binatang.Matanya menelusuri barang-barang yang tercecer, satu per satu dan tak ada bekas pengaman.Apa wanita itu sudah membuangnya? Tidak. Bekas makannya saja dia tinggalkan.Dia tidak memakai pengaman apa pun?Bandit berusaha men
Bandit baru saja memasuki gudang ketika menyadari keberadaan seseorang. Meski gelap, ia merasakannya. Dan ia tentu tahu siapa yang berkunjung seenaknya di tengah malam seperti ini.Di kursi panjang itu Izora duduk. Di lantai ada lilin yang dinyalakan sehingga Bandit bisa melihat dengan jelas wanita dalam balutan blazer hitam dan celana kain itu. Rambut panjangnya terikat tinggi sampai garis-garis wajahnya terlihat semakin tegas.Lalu di sana saat pandangannya menurun, Bandit terpaku. Jejak-jejak brutalnya masih ada pada leher wanita itu.“Aku sudah bilang untuk menyediakan tempat tidur dan lampu.” Suara itu dingin dan mendominasi, menyalurkan ketidaksenangan di benak Bandit.“Aku tidak butuh itu.”“Aku yang butuh.”Bandit mengernyit. Belum sempat ia menyanggah, wanita itu sudah mengulurkan selembar kertas. Bandit bertanya lewat sorot matanya yang secepat kilat dimengerti oleh Izora.&ldq