Napas Bandit meluncur. Berkali-kali. Keras dan putus-putus. Rasa panas itu membabi buta berlari dari perut, dada, kerongkongan hingga ke kepalanya. Untuk berkedip saja rasanya sangat sulit.
Dari ekor matanya, ia lihat wanita itu menyandarkan kepala pada kursi di sampingnya sambil menghela napas dan memijat pangkal hidung.
Tentu saja. Dia pasti kesal.
Bandit datang tanpa persiapan yang matang. Pikirannya terbelenggu antara ingin membebaskan Renata dari tempat terkutuk itu dan segera mendapatkan uang yang mereka minta. Membuat ia sepenuhnya lupa bahwa target pertamanya setelah ia hiatus dari bunuh membunuh itu bukanlah orang sembarangan.
Taksi berhenti. Pintu di seberangnya terbuka dan wanita bernama Izora Farzan itu keluar, kemudian kembali dengan napas yang menyentak kasar, lalu tahu-tahu baju dan celana Bandit dirabanya. Memasukkan tangan pada setiap kantong yang ada pada pakaian Bandit.
Sedang Bandit mengerang parau ketika sentuhan-sentuhan
Tak ada yang lebih menyiksa Bandit selain bisikan menggoda dan sentuhan yang terasa sensual itu, menggelitik seluruh sisi tubuhnya, membuatnya ingin menerjang wanita ini sekarang juga.Sekali lagi ia mengerang, atau mungkin melolong seperti serigala kelaparan. Dia butuh itu. Apa pun yang bisa meredakan rasa panas yang sangat gila ini.Akan tetapi, Bandit teramat tahu harga yang harus dia bayar untuk itu. Renata.Sekali lagi dia harus mengorbankan Renata. Hanya untuk kelegaan satu malam ini."Tidakkah itu menyiksamu?"Bandit muak. Mengapa bisikan wanita ini terasa seperti kokain yang membuat candu?Ia tak bisa mengelak ketika tangannya bertindak seenaknya, menarik pinggang Izora hingga jatuh ke pangkuannya. Dia yang melakukannya. Memposisikan wanita itu tepat di hadapannya, duduk di atas pahanya.Sedang Izora tak melakukan apa pun. Berkedip pun tidak. Rambut panjang yang menutupi bahunya Bandit singkirkan
Hari sudah pagi ketika Izora duduk menumpukan kedua tangannya di lantai. Kepalanya mendongak dan kaki indahnya ia luruskan. Sinar fajar berusaha masuk lewat jendela yang dipasangi seng berkarat yang berlubang di mana-mana.Ia masih telanjang. Meresapi sensasi gila yang masih tersisa di sepanjang tubuhnya. Sebab mereka baru saja selesai. Defenisi bercinta sampai pagi. Baik Izora maupun Bandit tak ada yang ingin berhenti. Bandit selalu meminta dan Izora selalu mengiyakan.Bagus. Sekarang dia menjadi jalang yang bercinta dengan pembunuh yang dia sewa jasanya. Ah, bukan. Itu bukan bercinta, hanya seks. Seks yang terasa asing namun terlampau hebat untuk dia rasakan.Lelaki ini—diamatinya Bandit yang tidur di sampingnya, menumpukan lengan pada wajahnya dalam keadaan telanjang sama sepertinya—bagaimana caranya dia melakukan seks segila itu?Apa karena obat perangsang itu?Dan bagaimana Izora bisa merasakan sensasi yang tak kalah gila?
Izora membiarkan darah di sudut bibirnya mengering sambil menelusuri jalan berkerikil menuju jalan raya di mana dia bisa mendapatkan kendaraan. Melewati gang sempit yang sepi.Sinar matahari yang masih belum terasa panas menyambutnya ketika ia menemukan jalan besar. segera ia menuju halte di samping kanan.Tak ada seorang pun yang berbagi tempat duduk dengannya di kursi kayu panjang yang warna catnya sudah luntur itu. Baguslah. Jadi dia bisa meluruskan kaki dan sedikit mengembuskan napas.Lelaki itu adalah definisi dari kata buas. Benar-benar di luar kendali.Dirinya tidak jauh beda omong-omong. Sama buasnya atau mungkin lebih buas. Terlampau asing dan sama sekali tak bisa ia mengerti. Rasanya seperti dia menemukan air mendidih di tengah musim dingin yang membekukan. Rasa antusiasnya begitu besar.Sekaligus rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perih di bahunya yang digigit dan juga sudut bibirnya. Pegal-pegalnya begitu terasa. Namun, m
“Darius …,” panggil Izora.Kala itu ia sedikit berlari, wajahnya terlampau ceria. Tak ada sorot mata dingin, ekspresi kaku dan gestur angkuh. Izora terlihat seperti gadis biasa yang mencintai kehidupannya.Ia menghampiri Darius yang baru saja pulang dari kantor.“Ada apa, Izora?” Tatapan Darius pun tak merendahkannya. Dia terlihat biasa saja. Meski tak ada percikan cinta di sana.Izora melompat-lompat kecil dengan girang. Kedua tangannya tersembunyi di belakang punggung. “Tebak apa yang ingin kukatakan.”Darius mengerutkan kening, lalu tersenyum geli dengan pandangan menyerah. Ia mengangkat bahu. “Aku bukan cenayang, Izora.”“Aku hamil.”Ada kilat kejut di manik Darius. Sejenak ia terpaku, lalu menyunggingkan senyum aneh. “Selamat.” Gesturnya menjadi kaku.Dan Izora tak menyadari hal itu. Ia berpikir semua suami akan senang mendengar kabar keha
Izora memasuki kediaman Farzan dan seketika pandangan-pandangan kaget langsung menyerbunya. Rasa ingin tahu, jijik, dan segala prasangka buruk terlihat jelas dalam setiap sorot mata mereka.Pelayan-pelayan yang tampak sibuk berlalu-lalang di dalam rumah mematung, tercengang mendapati penampilan Izora. Baju robek, bibir berdarah, dan jejak kissmark di mana-mana. Sudah pasti kesimpulan itu sudah terpatri jelas dalam kepala mereka.“Kenapa? Belum pernah melihat orang yang habis diperkosa?” tusuk Izora telak.Mereka terkesiap. Kaget luar biasa sampai mulut mereka tak kunjung menutup, wajah mereka merah padam. Satu hentakan napas kasar Izora membubarkan perkumpulan pelayan itu.Kakinya ia seret naik ke lantai dua, dibukanya pakaian compang-campingnya di tengah kamar lalu mengguyur badan di dalam kamar mandi.Rambutnya yang basah ia sugar ke belakang. Dirasakannya air dingin itu membekukan kulitnya, dan ia harap perasaannya juga ikut me
Bandit memandangi kekacauan di sekitarnya. Bungkus makanan yang berceceran. Lembaran kapas baru dan bekas yang berhamburan, botol-botol air yang kosong dan bajunya yang ikut meramaikan. Berserakan bersamaan dengan pakaian dalam yang teronggok di dekat kakinya.Dia masih berada di tempat. Masih disorientasi akan apa yang telah terjadi. Ditemani dengan sinar kuning yang berusaha keras menyerbu jendela yang dipasangi seng. Aroma prcintaan itu masih merebak.Napasnya berembus keras ketika potongan-potongan ingatan semalam memberondongnya.“Lagi. Aku ingin lagi.” Waktu itu ia memandangi Izora dengan sangat mendamba seperti singa yang sangat kelaparan.Sial! Dia sudah seperti binatang.Matanya menelusuri barang-barang yang tercecer, satu per satu dan tak ada bekas pengaman.Apa wanita itu sudah membuangnya? Tidak. Bekas makannya saja dia tinggalkan.Dia tidak memakai pengaman apa pun?Bandit berusaha men
Bandit baru saja memasuki gudang ketika menyadari keberadaan seseorang. Meski gelap, ia merasakannya. Dan ia tentu tahu siapa yang berkunjung seenaknya di tengah malam seperti ini.Di kursi panjang itu Izora duduk. Di lantai ada lilin yang dinyalakan sehingga Bandit bisa melihat dengan jelas wanita dalam balutan blazer hitam dan celana kain itu. Rambut panjangnya terikat tinggi sampai garis-garis wajahnya terlihat semakin tegas.Lalu di sana saat pandangannya menurun, Bandit terpaku. Jejak-jejak brutalnya masih ada pada leher wanita itu.“Aku sudah bilang untuk menyediakan tempat tidur dan lampu.” Suara itu dingin dan mendominasi, menyalurkan ketidaksenangan di benak Bandit.“Aku tidak butuh itu.”“Aku yang butuh.”Bandit mengernyit. Belum sempat ia menyanggah, wanita itu sudah mengulurkan selembar kertas. Bandit bertanya lewat sorot matanya yang secepat kilat dimengerti oleh Izora.&ldq
Well, tidak buruk.Penampilan si pengawal pembangkang sudah rapi. Cambangnya sudah bersih meski masih tersisa jejak-jejak kasar di sana. Rambutnya dipotong pendek dan ditata dengan apik layaknya bodyguard profesional.Kendati Izora harus menunggu selama tiga jam. Hasilnya lumayan. Setidaknya laki-laki yang badannya seperti beruang itu tidak lagi terlihat seperti gembong narkoba yang akan meremukkan leher orang-orang yang dia temui.“Ini tidak perlu. Terlalu rapi dan—"“Kau pernah melihat pengawal berpenampilan seperti pengedar narkoba?” Mata tajam Izora menyipit, menelusuri keseluruhan tubuh Bandit yang terbungkus rapat di balik setelan jasnya.Bandit diam. Dia memang pernah bekerja sebagai pengedar narkoba.Tubuh besar, mata beringas, otot-otot yang liat dan rambut berantakan. Meski enggan, tapi ia mengakui kebenaran perkataan Izora.“Aku bisa mencukurnya sendiri, kau tak perlu membawaku ke s
Halo, ini author Mustacis. Terima kasih sudah mengikuti dan mendukung Izora dan Bandit. Jangan sungkan untuk kasih masukan yang berarti supaya aku bisa terus memperbaiki tulisan aku dan mempersembahkan yang terbaik untuk kalian 😘 Cerita Pembunuh Suamiku adalah tantangan kedua yang aku berikan kepada diri sendiri setelah 'Tertawan Dua Suami' juga tamat. Semoga kalian bisa terhibur, ada sedikit pelajaran yang bisa diambil dan puas dengan cerita ini. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita aku, kalian bisa pantengi akun F4ceb00k aku: Mustacis Kim untuk dapet info-info seputar cerita aku. Terima kasih banyak. Jangan lupa masukkan komentar yang banyak supaya cerita ini bisa masuk di beranda promosi dan Izora-Bandit bisa semakin dikenal banyak pembaca 🙏🏻 Sampai jumpa di karya-karya aku selanjutnya ❤️❤️
“Dia sudah tidur?”Bandit mengintip dari balik bahu Izora, pada Ciara yang sudah telentang nyenyak. Kedua tangan kecilnya mengepal di sisi kepala dan napasnya berembus hangat dengan teratur.Sedang Izora menyangga kepala dengan sebelah tangan dan tangan yang lain masih menepuk pelan paha Ciara. Ia menoleh sebentar kepada Bandit.“Dia baru saja tidur,” bisiknya.Bandit mengangguk lalu menyandarkan dagunya pada lengan Izora. Menatap pemandangan Ciara yang tertidur damai tidak punya beban dan ketakutan apa pun.“Dia sangat menggemaskan.”Izora menyetujui dengan senyuman. Entah sejak kapan dia seringkali tersenyum konyol, tapi saat ini pikirannya sama dengan pikiran sang suami.Suami.Dulu dia membenci kata itu, sekarang ia menyanjungnya. Menghitung berapa banyak istri yang bahagia di dunia ini seperti dirinya.Bisakah ia sebut ini sebagai keluarga?Keluarga
Bhanu mengamati dua pusara yang berbaris rapi itu dengan nanar. Padahal baru satu minggu yang lalu dia datang ke sini dan dia harus datang lagi hari ini.Ia menarik napas dalam, merasa déjà vu melihat dua makam yang berdampingan itu. Segalanya berakhir tragis. Hidup sang tuan yang diperjuangkan selama dua tahun akhirnya menemui ajal.Mungkin inilah hukuman yang selalu ditunggu-tunggu sang nyonya. Bhanu merasa sangat sayang. Padahal mereka semua bisa hidup dengan baik.Rumput-rumput di bawah kakinya menyusut ketika ia melangkah meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi. Di dalam kepalanya ia masih mengingat pusara yang bertuliskan nama Darius Farzan dan Raline Maharani yang baru saja dia tinggalkan.Ia masuk mobil, bukan lagi milik Farzan. sudah sejak lama Bhanu tidak memakai lagi fasilitas Farzan. Ia sendirian sekarang, tak ada pengawal lain atau bawahan yang bisa ia komando.Bersama dengan sang pemimpin keluarga yang ti
Izora baru saja hendak tidur ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Nama Serina muncul di layar panggilan. Diamatinya sang suami yang tertidur pulas tanpa baju di sampingnya sambil memeluk Ciara, putri yang mereka rawat sejak kemarin malam.Namanya mirip dengan nama Ibu. Tiara. Karena Izora merindukannya. Ia merindukan sang ibu yang tak pernah lagi ia temui sejak dua tahun lalu. Mereka hanya berbicara lewat telepon sesekali.Ayah dan Adnan sudah mengira Izora meninggal dan diliputi perasaan bersalah setiap hari. Usaha Ayah bangkrut dan tentu saja mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil.Rumah yang dibelikan Izora secara diam-diam.Ayah berhenti bekerja dan Adnan menjadi pegawai kantoran biasa. Kehidupan mereka normal, hanya perasaan bersalah itu yang terus menghantui mereka.Biarlah. Anggap sebagai pembalasan dendam.Ponselnya masih berdering dan gegas Izora mengangkatnya. “Ada apa, Serina? Ini sudah larut malam.&rd
SPECIAL BAB 2PUNYA ANAK?Malam ini terasa lengang. Suara ketikan keyboard Izora mendominasi kamar sebelum dia menyadari bahwa malam sudah larut dan Kayman belum pulang.Ia menutup laptopnya dan keluar kamar. Menuruni tangga menuju ruang tengah yang hawanya cukup dingin. Angin berembus masuk lewat celah ventilasi di atas jendela, menerbangkan gorden dan meniup rambut Izora.Izora tidak menunjukkan gestur kedinginan sedikit pun. Ini sudah menjadi makanan kesehariannya. Tinggal di vila yang Darius berikan, terletak di daerah yang tinggi dan dingin. Izora sudah terbiasa kedinginan.Kayman belum pulang dan tidak memberikan kabar apa pun, membuat Izora khawatir. Jangan sampai lelaki itu pulang dalam keadaan terluka seperti yang sudah-sudah.Semoga pekerjaannya malam ini berjalan lancar. Kayman memang biasa pulang terlambat jika ada tugas penting, tapi malam ini Izora lebih khawatir dari biasanya. Firasatnya buruk.Gaun tidu
Dua tahun kemudian. “Ah, Kayman …” Tautan jari-jemari itu kian menguat ketika lagi-lagi Izora menggaungkan nama Kayman ke seluruh sudut-sudut kamar. Napasnya yang berembus panas beradu dengan napas pria yang bergerak dengan lihai di atas tubuhnya. Lelaki itu menggila, wajahnya mengeras, keningnya mengernyit menikmati gulungan gairah yang menghantamnya tanpa ampun. Hari yang cerah itu terasa sangat panas, membuat dua tubuh yang telanjang di atas ranjang bermandikan peluh. Sudah sejak tadi dan tak ada siapa pun di antara mereka yang berniat menghentikan aktivitas yang meleburkan hasrat itu. Otot-otot Bandit terdenyut-denyut menggoda Izora. Kulit kecokelatannya basah dan mengalirkan tetesan keringat berbau jantan ke perut Izora. Dari bawah, Izora bisa melihat betapa indahnya lelaki itu. Dari ekor matanya, ia bisa melihat cahaya raja siang mulai memudar dan menyiarkan semburat berwarna oranye dari balik jendela kaca. Berarti hari sud
“Saya dengar Anda sudah sadar.” Tipikal Bhanu. Kaku dan tegas. Tidak banyak basa-basi.“Ya, seperti yang kau lihat.” Izora masih berada di atas tempat tidur keesokan harinya di saat Bhanu datang.“Saya ikut senang.”Izora mengangguk dan hening merayap kemudian. Hingga lima menit kemudian Serina masuk dan memecahan keheningan itu.“Oh, siapa ini? Bagaimana keadaan tuanmu itu?” Serina melompat ke atas ranjang, di samping Izora sambil memegang apel yang sudah tergigit di beberapa bagian.“Buruk. Beliau koma.”“Bukannya kau sudah memberikan penawarnya?” Serina menggigit apelnya.“Seperti kata laki-laki yang mengaku sebagai orang Nyonya. Tuan menolak obatnya dan berakhir koma.”“Aku bukan lagi nyonya-mu, Bhanu.”“Hmm … kau membingungkan, Tuan Bhanu. Kau setia pada tuanmu tapi malah membantu nyonya-mu berkhianat.&
Pukul lima pagi, Ronald yang berbaring tidak nyaman di sofa ruang tengah bangun dengan tergesa. Sudah lebih dari 72 jam Izora belum sadar.Jantungnya berdebar hebat. Jika Izora betul-betul pergi maka Ronald akan sangat menyesali mengapa dia tidak menahan wanita itu untuk berbuat nekat.Ronald melangkah ragu ke kamar yang ditempati Izora. Ronald takut jika terjadi hal-hal yang buruk. Ia sudah sampai di ambang pintu ketika menemukan Izora berada dalam pelukan Bandit.Ronald mematung. Izora membalas pelukan Bandit dan itu artinya dia sudah sadar.Betapa leganya hati Ronald. Ia langsung menjauh dari kamar itu dan menumpahkan napas selega-leganya.“Oh, Tuhan … aku hampir mati karena khawatir. Syukurlah.”Tanpa basa-basi, Ronald berlari ke kamar sebelah. Melihat Serina dan Flora yang tertidur di atas lantai tanpa alas dan ibu Izora di ranjang.Kesenangan yang melimpah ruah membuat Ronald membangunk
“Saya Izora Farzan, istri dari Darius Farzan.” Izora menunduk, agak ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.“Saya pernah mengandung, anak kembar. Saya sudah memegang hasil USG mereka ketika suami saya memaksa saya untuk menggugurkan mereka. Waktu itu saya tidak mengerti apa alasannya dan kenapa saya juga harus mengangkat rahim dan tidak boleh hamil lagi. Saya tidak tahu.”Wajah sendu Izora memenuhi seluruh stasiun TV nasional dan tersiar ke layar-layar besar gedung pencakar langit di tengah-tengah kota dan pusat perbelanjaan.Orang-orang membeku melihat dirinya di dalam layar. Tanpa air mata dan tanpa wajah yang sedih, tapi sorot matanya sudah mengungkap segalanya.“Saya bertahan untuk mendapatkan penjelasan karena saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, tapi bukannya mendapat penjelasan, saya malah dilecehkan. Dia memanggil saya Marina—mendiang istri pertamanya—setiap kali dia meniduri saya.&rdquo