“Darius …,” panggil Izora.
Kala itu ia sedikit berlari, wajahnya terlampau ceria. Tak ada sorot mata dingin, ekspresi kaku dan gestur angkuh. Izora terlihat seperti gadis biasa yang mencintai kehidupannya.
Ia menghampiri Darius yang baru saja pulang dari kantor.
“Ada apa, Izora?” Tatapan Darius pun tak merendahkannya. Dia terlihat biasa saja. Meski tak ada percikan cinta di sana.
Izora melompat-lompat kecil dengan girang. Kedua tangannya tersembunyi di belakang punggung. “Tebak apa yang ingin kukatakan.”
Darius mengerutkan kening, lalu tersenyum geli dengan pandangan menyerah. Ia mengangkat bahu. “Aku bukan cenayang, Izora.”
“Aku hamil.”
Ada kilat kejut di manik Darius. Sejenak ia terpaku, lalu menyunggingkan senyum aneh. “Selamat.” Gesturnya menjadi kaku.
Dan Izora tak menyadari hal itu. Ia berpikir semua suami akan senang mendengar kabar keha
Izora memasuki kediaman Farzan dan seketika pandangan-pandangan kaget langsung menyerbunya. Rasa ingin tahu, jijik, dan segala prasangka buruk terlihat jelas dalam setiap sorot mata mereka.Pelayan-pelayan yang tampak sibuk berlalu-lalang di dalam rumah mematung, tercengang mendapati penampilan Izora. Baju robek, bibir berdarah, dan jejak kissmark di mana-mana. Sudah pasti kesimpulan itu sudah terpatri jelas dalam kepala mereka.“Kenapa? Belum pernah melihat orang yang habis diperkosa?” tusuk Izora telak.Mereka terkesiap. Kaget luar biasa sampai mulut mereka tak kunjung menutup, wajah mereka merah padam. Satu hentakan napas kasar Izora membubarkan perkumpulan pelayan itu.Kakinya ia seret naik ke lantai dua, dibukanya pakaian compang-campingnya di tengah kamar lalu mengguyur badan di dalam kamar mandi.Rambutnya yang basah ia sugar ke belakang. Dirasakannya air dingin itu membekukan kulitnya, dan ia harap perasaannya juga ikut me
Bandit memandangi kekacauan di sekitarnya. Bungkus makanan yang berceceran. Lembaran kapas baru dan bekas yang berhamburan, botol-botol air yang kosong dan bajunya yang ikut meramaikan. Berserakan bersamaan dengan pakaian dalam yang teronggok di dekat kakinya.Dia masih berada di tempat. Masih disorientasi akan apa yang telah terjadi. Ditemani dengan sinar kuning yang berusaha keras menyerbu jendela yang dipasangi seng. Aroma prcintaan itu masih merebak.Napasnya berembus keras ketika potongan-potongan ingatan semalam memberondongnya.“Lagi. Aku ingin lagi.” Waktu itu ia memandangi Izora dengan sangat mendamba seperti singa yang sangat kelaparan.Sial! Dia sudah seperti binatang.Matanya menelusuri barang-barang yang tercecer, satu per satu dan tak ada bekas pengaman.Apa wanita itu sudah membuangnya? Tidak. Bekas makannya saja dia tinggalkan.Dia tidak memakai pengaman apa pun?Bandit berusaha men
Bandit baru saja memasuki gudang ketika menyadari keberadaan seseorang. Meski gelap, ia merasakannya. Dan ia tentu tahu siapa yang berkunjung seenaknya di tengah malam seperti ini.Di kursi panjang itu Izora duduk. Di lantai ada lilin yang dinyalakan sehingga Bandit bisa melihat dengan jelas wanita dalam balutan blazer hitam dan celana kain itu. Rambut panjangnya terikat tinggi sampai garis-garis wajahnya terlihat semakin tegas.Lalu di sana saat pandangannya menurun, Bandit terpaku. Jejak-jejak brutalnya masih ada pada leher wanita itu.“Aku sudah bilang untuk menyediakan tempat tidur dan lampu.” Suara itu dingin dan mendominasi, menyalurkan ketidaksenangan di benak Bandit.“Aku tidak butuh itu.”“Aku yang butuh.”Bandit mengernyit. Belum sempat ia menyanggah, wanita itu sudah mengulurkan selembar kertas. Bandit bertanya lewat sorot matanya yang secepat kilat dimengerti oleh Izora.&ldq
Well, tidak buruk.Penampilan si pengawal pembangkang sudah rapi. Cambangnya sudah bersih meski masih tersisa jejak-jejak kasar di sana. Rambutnya dipotong pendek dan ditata dengan apik layaknya bodyguard profesional.Kendati Izora harus menunggu selama tiga jam. Hasilnya lumayan. Setidaknya laki-laki yang badannya seperti beruang itu tidak lagi terlihat seperti gembong narkoba yang akan meremukkan leher orang-orang yang dia temui.“Ini tidak perlu. Terlalu rapi dan—"“Kau pernah melihat pengawal berpenampilan seperti pengedar narkoba?” Mata tajam Izora menyipit, menelusuri keseluruhan tubuh Bandit yang terbungkus rapat di balik setelan jasnya.Bandit diam. Dia memang pernah bekerja sebagai pengedar narkoba.Tubuh besar, mata beringas, otot-otot yang liat dan rambut berantakan. Meski enggan, tapi ia mengakui kebenaran perkataan Izora.“Aku bisa mencukurnya sendiri, kau tak perlu membawaku ke s
Ketika Izora memasuki ruang makan, pelayan sudah berjejeran melingkupi meja makan, yang mana belum pernah dilihatnya semenjak dia ada di rumah ini.Semua pelayan itu menunduk gugup sesaat setelah menyadari kehadirannya yang diikuti oleh Bandit. Meja makan sudah diisi dengan sajian ala Barat yang sangat jarang dipamerkan di meja makan.Ah, jadi makan malam kali ini berkonsep.Atau karena sesi makan malam dengan hidangan banyak dan istimewa itu dipersiapkan untuk menyambut seseorang yang mengekor di belakang Darius, masih dengan seragam kantor, blazer yang tak mampu menyembunyikan lekuk payudara dan pinggangnya yang ramping serta rok spam setengah paha yang memperlihatkan betapa jenjang kakinya.Sekretaris Darius, Raline yang juga merupakan teman baik Marina, melangkah anggun dan tersenyum lebar membalas perkataan Darius, dan laki-laki itu tampak ramah dan mudah digapai.Ah, mereka bahkan duduk bersebelahan sementara Izora sudah sejak tadi menetap di k
Bandit melirik kaca spion tengah, hanya sekali dalam perjalanan yang lumayan panjang itu. Sebab dia tak mendengar sedikit pun desah napas atau suara apa pun dari penumpang di kursi belakang.Wanita itu tengah merenung degan sorot mata yang tak tertebak. Kepalanya masih terangkat angkuh, tegar dan seolah tak akan goyah oleh badai sekeras apa pun.Bandit ingat bisikan cemoohan dari para pelayan saat mereka hampir keluar dari ruang makan, lirikan jijik mereka bahkan terasa dari balik punggungnya.Ia tak pernah tertarik dengan urusan kliennya, serumit apa pun itu. Meski ia sudah puluhan kali melihat bagaimana reaksi setiap kliennya saat menghadapi masalah mereka, tapi tak ada yang setenang Izora, seolah kejadian barusan hanyalah angin lalu baginya.“Berhenti di depan sana.”Saat Bandit menghentikan mobil, pandangan Izora tertuju pada tenda warung makan yang sangat ramai. Orang-orang berdesakan untuk mengantre di sana. Ia lalu mengalih
Izora keluar dari mobil dan terhuyung memasuki lobi. Sepertinya kakinya terkilir dan punggungnya cedera.“Mau saya bantu, Nyonya?” Seorang staf berseragam kombinasi hijau dan hitam berdiri di hadapannya.Setengah mati ia memaksakan diri untuk berdiri tegak. Rasanya sangat sakit sampai ia ingin menangis. “Tidak, aku bisa sendiri.”Ia masuk ke lift dengan pikiran yang berkecamuk. Lebih dari segala rasa sakit di tubuhnya, ketakutanlah yang menang. Untuk sesaat yang lalu ia sudah mengira dirinya akan mati.“Tidak. Aku tidak boleh mati sebelum membunuh iblis itu.” Dikepalkannya tangannya. Kendati kedua mata indahnya memerah dan kakinya gemetar, ia masih kokoh. “Belum waktunya.”Dia bisa mati kapan pun itu, dengan cara apa pun—asal setelah segala dendamnya terlaksana. Asal Darius sudah mati lebih dulu. Mati dengan cara yang sadis, sama seperti ketika dia membunuh kedua anak yan
Bandit tak mengerti. Sesaat yang lalu wanita ini tampak kehilangan kendali dan sangat marah. Sekarang ia menjadi perayu ulung, matanya tajam menggoda tapi sama sekali tidak menimbulkan kesan murahan, justru sebaliknya.Ia seperti makanan mahal di dalam restoran yang menggoda untuk disantap tapi tidak diperuntukkan untuk sembarang orang.Luka yang menganga dalam binar matanya terlihat jelas, tapi dengan lihai wanita itu menyembunyikannya.“Siapa yang menyuruhmu menelusuri rahasia di mataku? Apa yang ingin kau tahu?”Bandit juga menanyakan itu pada dirinya sendiri. Seharusnya sekarang dia sudah bangkit dari tubuh telanjang Izora.“Semua orang punya luka yang ingin disembunyikan, Tuan Bandit—ah, aku harus terbiasa memanggilmu Kayman. Dan kau tak perlu repot-repot kasihan padaku.”Izora mendorong tubuh Bandit menyingkir. Ia duduk dan sudah mendapatkan ketenangannya yang tidak wajar itu. Terlalu tenang.&n