Bandit tak mengerti. Sesaat yang lalu wanita ini tampak kehilangan kendali dan sangat marah. Sekarang ia menjadi perayu ulung, matanya tajam menggoda tapi sama sekali tidak menimbulkan kesan murahan, justru sebaliknya.
Ia seperti makanan mahal di dalam restoran yang menggoda untuk disantap tapi tidak diperuntukkan untuk sembarang orang.
Luka yang menganga dalam binar matanya terlihat jelas, tapi dengan lihai wanita itu menyembunyikannya.
“Siapa yang menyuruhmu menelusuri rahasia di mataku? Apa yang ingin kau tahu?”
Bandit juga menanyakan itu pada dirinya sendiri. Seharusnya sekarang dia sudah bangkit dari tubuh telanjang Izora.
“Semua orang punya luka yang ingin disembunyikan, Tuan Bandit—ah, aku harus terbiasa memanggilmu Kayman. Dan kau tak perlu repot-repot kasihan padaku.”
Izora mendorong tubuh Bandit menyingkir. Ia duduk dan sudah mendapatkan ketenangannya yang tidak wajar itu. Terlalu tenang.&n
Tak sulit bagi Bandit untuk menyelinap masuk ke dalam apartemen yang disinggahi Darius. Lima pengawal yang berjaga di depan pintu sudah ia lumpuhkan. Ia mengintai di sudut yang paling gelap dan tak terjamah oleh mata. Di depan sana, pada dapur yang menyatu dengan ruang makan dan hanya dipisahkan sekat tipis dengan ruang tamu, Darius duduk meminum wine-nya di kursi bar, sedang seorang perempuan berdiri di depan meja pantry dan menyiapkan makanan untuknya.Bandit mengenali perempuan itu, perempuan yang ikut makan malam kemarin malam. Rambut sebahu, wajah oriental yang terkesan dewasa dan mata hitam yang cemerlang.Mereka tampak akrab, dan sepertinya Darius sedang berada pada mode frustrasi. Bandit hanya bisa menangkap samar percakapan mereka.“Jadi semalam kau betul-betul menghukumnya di hotel? Lagi?”Darius hanya bergumam malas.“Ayolah, Darius. Dia bisa dendam padamu kalau kau terus begitu padanya.”
Izora memandang Darius yang terbaring dengan selang infus di tangan dan perban yang melilit perut dan tangannya. kondisinya tidak begitu buruk. Izora mendengus.‘Jadi hanya segini kemampuanmu, Kayman?’Ia mendongak ke semua sudut ruangan, matanya mencari-cari dan menemukan satu CCTV di salah satu sudutnya.Apakah sekarang dia harus bersandiwara?Secepat kilat kedua alisnya menukik ke bawah dan matanya menjadi sayu memandang Darius.Air matanya menetes dan ia segera berhambur ke arah Darius. Mengusap wajah pria yang masih tak sadarkan itu. Berharap bisa meremukkannya saat ini juga kendati air matanya meleleh.‘Kau terlalu beruntung, Darius,’ bisiknya dalam hati. ‘Orang jahat seperti dirimu sangat diberkahi. Bukankah itu tidak adil?’Tak sedikit pun Darius bergerak. Matanya terpejam damai seolah tak memiliki kesalahan apa pun dalam hidupnya.‘Kau senang diberkahi, Dari
Ada hal lain yang disesali Izora selain tinggal di sisi Darius setelah lelaki itu menghancurkan hidupnya, yaitu malam ini. Saat ia melepaskan segala topeng kepura-puraannya di depan orang lain, di depan pria yang dia waspadai.Lelaki yang selalu menggeram seperti monster ini tengah memeluknya di atas tikar tipis dan kasar dalam keadaan telanjang bulat. Tubuhnya menempel pada pria itu. Aroma keringat memenuhi mereka.Dari sekian banyak tempat yang bisa ia jadikan tempat rehat, mengapa harus ke gudang panas, pengap dan gelap ini?Ah, dia sudah memasang lampu rupanya. Lampu neon yang tidak membantu banyak.Meski sudah sadar, tapi rasanya Izora belum ingin beranjak dari dekapan yang kuat itu.Tidak, pelukan lengannya terlalu erat sampai aku tak bisa meloloskan diri, benaknya menyangkal.Diliriknya rahang bertekstur kasar itu. Jejak-jejak kasar dari cambangnya yang sudah dicukur menggelitik ujung jarinya saat ia menyentuhnya. Hidung y
Darius menatap perban yang melilit di perutnya, tepat di titik luka yang ia dapatkan dari orang yang tiba-tiba menyerangnya dengan brutal.Gerakan dan rasa dari serangan itu sama. Pelakunya adalah orang yang sama yang menyerangnya di hotel. Gerakannya buas seperti petarung jalanan yang tidak kenal ampun.KEPARAT!Darius mengerang marah. Sudah dua kali dia masuk ke rumah sakit dalam waktu dekat.“BHANU!” Dipanggilnya pengawalnya berang. “Sepertinya percuma saja aku memiliki banyak pengawal. Kalian tidak bisa menemukan pelakunya dan membiarkanku diserang untuk kedua kalinya!”“Maafkan saya, Tuan.” Bhanu menunduk. “Saya akan menemukan pelakunya segera.”“Aku tidak suka janjimu, Bhanu. Lakukan dengan cepat!”“Baik.”Selepas kepergian pengawal pribadi yang usianya sudah kepala empat itu, Darius melepaskan selang infus di punggung tangannya dengan kas
“Aku cuma ingin anak dari Marina. Bukan dari wanita itu. Dia tidak berhak hamil dan seenaknya punya anak sementara Marina tidak bisa.”Izora terbahak. Jadi begitu alasan Darius. Alasan yang terdengar kekanakan, tapi mampu menghancurkan hidupnya. Wanita itu tertawa pahit sambil memegang pembatas rooftop rumah sakit.Rasanya seperti ada gempa yang melanda hatinya. “Air mataku bahkan sudah habis menangisi kemalanganku.” Ia menyeringai dengan mata bergetar lalu tertawa lagi.Sebuah jas tiba-tiba disampirkan pada kedua bahunya. Izora menoleh dan mendapati Bandit yang menatapnya kaku. Lelaki itu tak mengatakan apa-apa. Ia mundur beberapa langkah dan berdiri tidak jauh di belakang Izora, memberikan jarak untuk wanita itu.Izora tersenyum tipis meski ia tak menyukai perhatian kecil itu. “Apa begini rasanya punya pengawal? Dilindungi dan dijaga.”Bandit tak meyukai senyum itu. Senyum pahit yang seharusnya tidak ada di bib
“Kita tidak bisa melakukannya, Kayman.”Izora menatap cemas kedua mata Bandit. Ia berharap lelaki ini hanya bersimpati padanya. Tidak yang lain.Bandit meraih kaki Izora dan meletakkannya di atas pahanya kemudian tanpa disangka-sangka ia mengecup betis wanita itu. Pelan dan dalam. Matanya terlihat bingung sekaligus memuja.Izora terhenyak. Ia terdiam kaku dan menatap Bandit ngeri.“Jangan,” ucap Izora ketika Bandit hendak mencium punggung kakinya. “Aku bisa memberikannya untukmu, seks—tapi tidak dengan cinta. Itu mustahil, Kayman.”Bandit terlihat semakin bingung seolah tidak menyadari arti perasaannya sama sekali.“Aku tidak bisa memberikan apa yang ada di hatimu.”“Apa yang ada di hatiku?”Tatapan bingung itu membuat Izora frustrasi. Dengan apa dia harus menjelaskannya, bahwa yang ada di dalam hati pria ini sangatlah berbahaya.&l
Tiara melarikan mata ke lain arah, bukan karena ia takut kepada lelaki tinggi itu. Sejak dulu ia memang tidak pernah sanggup menatap wajah Darius, mengingat betapa laki-laki itu sudah menghancurkan kehidupan putrinya.“Kami hanya berselisih kecil. Kami sengaja datang pagi untuk menemuimu karena tidak sempat menjenguk di rumah sakit. Ayah juga dirawat beberapa hari yang lalu.” Adnan menjelaskan dengan suara yang ramah dan bersahabat.Tiara tidak mengerti. Apa karena terlalu berambisi mengembangkan perusahaan, mereka menjadi lupa siapa orang yang ada di hadapan mereka ini?“Terima kasih atas perhatian kalian. Kalian datang pagi sekali. Apa sudah sarapan?”“Ya, ini terlalu pagi. Kami belum sempat karena buru-buru kemari.”“Mari sarapan dulu.”Tiara sangat memahami jenis senyuman yang terpatri di wajah Darius. Senyum merendahkan yang teramat jelas. Keramahan itu jelas sangat palsu.Mer
Kening Bhanu mengerut bingung.Lalu Darius melanjutkan, “Dia cukup cerdik melawanku, jadi aku harus lebih cerdik darinya.”Ada banyak rencana dari raut wajah Darius yang tak bisa Bhanu tebak. Majikannya ini selalu punya pemikiran yang tidak terduga, berubah-ubah dan tak bisa diprediksi sekalipun oleh pengawal berpengalaman sepertinya.“Kau tahu yang harus kau lakukan ‘kan, Bhanu?”Bhanu mengangguk dan memberikan sorot mata mengerti. Meskipun tidak memahami makna sesungguhnya dari rencana Darius, tapi ia mengetahui dengan pasti apa langkah pertama yang harus dia lakukan.Darius kembali menekuni laptopnya, memberikan tanda bahwa sudah saatnya Bhanu keluar dari ruang kerjanya.Bhanu membuka pintu ruangan Darius untuk keluar, tapi kehadiran Izora di depan pintu membuat Bhanu sedikit terkejut, namun ia berhasil menguasai diri dalam beberapa detik.“Darius sibuk?”Bhanu menatap ma