Ada hal lain yang disesali Izora selain tinggal di sisi Darius setelah lelaki itu menghancurkan hidupnya, yaitu malam ini. Saat ia melepaskan segala topeng kepura-puraannya di depan orang lain, di depan pria yang dia waspadai.
Lelaki yang selalu menggeram seperti monster ini tengah memeluknya di atas tikar tipis dan kasar dalam keadaan telanjang bulat. Tubuhnya menempel pada pria itu. Aroma keringat memenuhi mereka.
Dari sekian banyak tempat yang bisa ia jadikan tempat rehat, mengapa harus ke gudang panas, pengap dan gelap ini?
Ah, dia sudah memasang lampu rupanya. Lampu neon yang tidak membantu banyak.
Meski sudah sadar, tapi rasanya Izora belum ingin beranjak dari dekapan yang kuat itu.
Tidak, pelukan lengannya terlalu erat sampai aku tak bisa meloloskan diri, benaknya menyangkal.
Diliriknya rahang bertekstur kasar itu. Jejak-jejak kasar dari cambangnya yang sudah dicukur menggelitik ujung jarinya saat ia menyentuhnya. Hidung y
Darius menatap perban yang melilit di perutnya, tepat di titik luka yang ia dapatkan dari orang yang tiba-tiba menyerangnya dengan brutal.Gerakan dan rasa dari serangan itu sama. Pelakunya adalah orang yang sama yang menyerangnya di hotel. Gerakannya buas seperti petarung jalanan yang tidak kenal ampun.KEPARAT!Darius mengerang marah. Sudah dua kali dia masuk ke rumah sakit dalam waktu dekat.“BHANU!” Dipanggilnya pengawalnya berang. “Sepertinya percuma saja aku memiliki banyak pengawal. Kalian tidak bisa menemukan pelakunya dan membiarkanku diserang untuk kedua kalinya!”“Maafkan saya, Tuan.” Bhanu menunduk. “Saya akan menemukan pelakunya segera.”“Aku tidak suka janjimu, Bhanu. Lakukan dengan cepat!”“Baik.”Selepas kepergian pengawal pribadi yang usianya sudah kepala empat itu, Darius melepaskan selang infus di punggung tangannya dengan kas
“Aku cuma ingin anak dari Marina. Bukan dari wanita itu. Dia tidak berhak hamil dan seenaknya punya anak sementara Marina tidak bisa.”Izora terbahak. Jadi begitu alasan Darius. Alasan yang terdengar kekanakan, tapi mampu menghancurkan hidupnya. Wanita itu tertawa pahit sambil memegang pembatas rooftop rumah sakit.Rasanya seperti ada gempa yang melanda hatinya. “Air mataku bahkan sudah habis menangisi kemalanganku.” Ia menyeringai dengan mata bergetar lalu tertawa lagi.Sebuah jas tiba-tiba disampirkan pada kedua bahunya. Izora menoleh dan mendapati Bandit yang menatapnya kaku. Lelaki itu tak mengatakan apa-apa. Ia mundur beberapa langkah dan berdiri tidak jauh di belakang Izora, memberikan jarak untuk wanita itu.Izora tersenyum tipis meski ia tak menyukai perhatian kecil itu. “Apa begini rasanya punya pengawal? Dilindungi dan dijaga.”Bandit tak meyukai senyum itu. Senyum pahit yang seharusnya tidak ada di bib
“Kita tidak bisa melakukannya, Kayman.”Izora menatap cemas kedua mata Bandit. Ia berharap lelaki ini hanya bersimpati padanya. Tidak yang lain.Bandit meraih kaki Izora dan meletakkannya di atas pahanya kemudian tanpa disangka-sangka ia mengecup betis wanita itu. Pelan dan dalam. Matanya terlihat bingung sekaligus memuja.Izora terhenyak. Ia terdiam kaku dan menatap Bandit ngeri.“Jangan,” ucap Izora ketika Bandit hendak mencium punggung kakinya. “Aku bisa memberikannya untukmu, seks—tapi tidak dengan cinta. Itu mustahil, Kayman.”Bandit terlihat semakin bingung seolah tidak menyadari arti perasaannya sama sekali.“Aku tidak bisa memberikan apa yang ada di hatimu.”“Apa yang ada di hatiku?”Tatapan bingung itu membuat Izora frustrasi. Dengan apa dia harus menjelaskannya, bahwa yang ada di dalam hati pria ini sangatlah berbahaya.&l
Tiara melarikan mata ke lain arah, bukan karena ia takut kepada lelaki tinggi itu. Sejak dulu ia memang tidak pernah sanggup menatap wajah Darius, mengingat betapa laki-laki itu sudah menghancurkan kehidupan putrinya.“Kami hanya berselisih kecil. Kami sengaja datang pagi untuk menemuimu karena tidak sempat menjenguk di rumah sakit. Ayah juga dirawat beberapa hari yang lalu.” Adnan menjelaskan dengan suara yang ramah dan bersahabat.Tiara tidak mengerti. Apa karena terlalu berambisi mengembangkan perusahaan, mereka menjadi lupa siapa orang yang ada di hadapan mereka ini?“Terima kasih atas perhatian kalian. Kalian datang pagi sekali. Apa sudah sarapan?”“Ya, ini terlalu pagi. Kami belum sempat karena buru-buru kemari.”“Mari sarapan dulu.”Tiara sangat memahami jenis senyuman yang terpatri di wajah Darius. Senyum merendahkan yang teramat jelas. Keramahan itu jelas sangat palsu.Mer
Kening Bhanu mengerut bingung.Lalu Darius melanjutkan, “Dia cukup cerdik melawanku, jadi aku harus lebih cerdik darinya.”Ada banyak rencana dari raut wajah Darius yang tak bisa Bhanu tebak. Majikannya ini selalu punya pemikiran yang tidak terduga, berubah-ubah dan tak bisa diprediksi sekalipun oleh pengawal berpengalaman sepertinya.“Kau tahu yang harus kau lakukan ‘kan, Bhanu?”Bhanu mengangguk dan memberikan sorot mata mengerti. Meskipun tidak memahami makna sesungguhnya dari rencana Darius, tapi ia mengetahui dengan pasti apa langkah pertama yang harus dia lakukan.Darius kembali menekuni laptopnya, memberikan tanda bahwa sudah saatnya Bhanu keluar dari ruang kerjanya.Bhanu membuka pintu ruangan Darius untuk keluar, tapi kehadiran Izora di depan pintu membuat Bhanu sedikit terkejut, namun ia berhasil menguasai diri dalam beberapa detik.“Darius sibuk?”Bhanu menatap ma
Izora bisa merasakan bagaimana napas hangat beraroma mint itu menyerbu wajahnya, hidungnya dan semakin dekat dengan bibirnya.Jantungnya memompa gila-gilaan dan ia tahu jantung Bandit tidak lebih tenang dari miliknya. Rasa panas yang aneh menjalar tiba-tiba dari dada sampai ke tungkai kakinya saat tangan lelaki itu merayap di pinggangnya.Bandit seolah memberikan waktu untuk Izora menolak dan Izora seharusnya melakukan itu. Ia semestinya mengikuti akal sehatnya, tapi dadanya yang berdenyut antusias sampai terasa perih membuat kakinya terus terpaku di tempat.Kelima indranya masih berfungsi dengan baik—hanya akalnya yang menguap—saat samar-samar di tengah keheningan yang mendebarkan itu ia mendengar suara kenop pintu yang diputar.Sedetik sebelum pintu terbuka, Izora segera mendorong tubuh Bandit menjauh. Sepertinya Bandit tidak menyadari suara pintu, ia terengah dan kebingungan memandang Izora.Dan saat itulah Darius m
Bandit memberondong dinding gudang dengan pukulan penuh kemarahan. Geramannya menggema di seluruh sudut seperti amukan binatang liar.Lampu neon yang dayanya rendah itu memperlihatkan noda-noda darah yang memenuhi dinding. Buku-buku jarinya terluka dan meneteskan darah.Lagi-lagi dia menjadi tidak berguna.Izora dilecehkan di depan matanya dan dia tidak melakukan apa-apa. Bandit menerjang lantai, memberikan sekali lagi pukulan telak, sekali lagi lalu menjadi berkali-kali tanpa henti.Kemejanya sudah basah kuyup karena keringat. Anak-anak rambut jatuh menutupi dahinya, menambah kesan liar dan berbahaya pada lelaki itu.Raut tenang Izora yang palsu, sorot matanya yang membutuhkan pertolongan, tubuh kecilnya yang dicengkeram dengan kasar.“AAAAAAAARRGGGHHHHHH!” Bandit mendongak ke langit-langit gudang yang dipenuhi sarang laba-laba. Sekujur tubuhnya mengeras dengan urat-urat yang menonjol.Seharusn
Tengah malam Izora terbangun dengan selimut tipis yang membungkus tubuhnya. Matanya terbuka dan langsung berhadapan dengan wajah Bandit yang tertidur gelisah, kening lelaki itu mengernyit dan ia bergumam tidak jelas.Mengingatkan Izora pada dirinya sendiri ketika di malam-malam dia bermimpi buruk dan tak bisa tidur dengan nyenyak. Sejujurnya, lelaki ini sama dengannya. Izora tak tahu masa lalu Bandit, tapi ia melihat kekelaman itu di matanya.Bibir dingin yang maskulin itu tertutup rapat. Izora melarikan ujung jari telunjuknya di sana, menyentuh dengan hati-hati, merasakan kulit bibir yang keras itu bersentuhan dengan jarinya.Rasanya sangat benar.Malam ini terasa benar.Saat ia memindahkan ujung jarinya naik ke hidung bangir lelaki itu, ke tulang pipinya yang bertekstur kasar dan pada kelopak matanya yang dihiasi luka goresan yang melintang. Perpaduan wajahnya benar-benar khas lelaki jantan, mengingatkan Izora pada Rambo, si pahlawan dengan
Halo, ini author Mustacis. Terima kasih sudah mengikuti dan mendukung Izora dan Bandit. Jangan sungkan untuk kasih masukan yang berarti supaya aku bisa terus memperbaiki tulisan aku dan mempersembahkan yang terbaik untuk kalian 😘 Cerita Pembunuh Suamiku adalah tantangan kedua yang aku berikan kepada diri sendiri setelah 'Tertawan Dua Suami' juga tamat. Semoga kalian bisa terhibur, ada sedikit pelajaran yang bisa diambil dan puas dengan cerita ini. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita aku, kalian bisa pantengi akun F4ceb00k aku: Mustacis Kim untuk dapet info-info seputar cerita aku. Terima kasih banyak. Jangan lupa masukkan komentar yang banyak supaya cerita ini bisa masuk di beranda promosi dan Izora-Bandit bisa semakin dikenal banyak pembaca 🙏🏻 Sampai jumpa di karya-karya aku selanjutnya ❤️❤️
“Dia sudah tidur?”Bandit mengintip dari balik bahu Izora, pada Ciara yang sudah telentang nyenyak. Kedua tangan kecilnya mengepal di sisi kepala dan napasnya berembus hangat dengan teratur.Sedang Izora menyangga kepala dengan sebelah tangan dan tangan yang lain masih menepuk pelan paha Ciara. Ia menoleh sebentar kepada Bandit.“Dia baru saja tidur,” bisiknya.Bandit mengangguk lalu menyandarkan dagunya pada lengan Izora. Menatap pemandangan Ciara yang tertidur damai tidak punya beban dan ketakutan apa pun.“Dia sangat menggemaskan.”Izora menyetujui dengan senyuman. Entah sejak kapan dia seringkali tersenyum konyol, tapi saat ini pikirannya sama dengan pikiran sang suami.Suami.Dulu dia membenci kata itu, sekarang ia menyanjungnya. Menghitung berapa banyak istri yang bahagia di dunia ini seperti dirinya.Bisakah ia sebut ini sebagai keluarga?Keluarga
Bhanu mengamati dua pusara yang berbaris rapi itu dengan nanar. Padahal baru satu minggu yang lalu dia datang ke sini dan dia harus datang lagi hari ini.Ia menarik napas dalam, merasa déjà vu melihat dua makam yang berdampingan itu. Segalanya berakhir tragis. Hidup sang tuan yang diperjuangkan selama dua tahun akhirnya menemui ajal.Mungkin inilah hukuman yang selalu ditunggu-tunggu sang nyonya. Bhanu merasa sangat sayang. Padahal mereka semua bisa hidup dengan baik.Rumput-rumput di bawah kakinya menyusut ketika ia melangkah meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi. Di dalam kepalanya ia masih mengingat pusara yang bertuliskan nama Darius Farzan dan Raline Maharani yang baru saja dia tinggalkan.Ia masuk mobil, bukan lagi milik Farzan. sudah sejak lama Bhanu tidak memakai lagi fasilitas Farzan. Ia sendirian sekarang, tak ada pengawal lain atau bawahan yang bisa ia komando.Bersama dengan sang pemimpin keluarga yang ti
Izora baru saja hendak tidur ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Nama Serina muncul di layar panggilan. Diamatinya sang suami yang tertidur pulas tanpa baju di sampingnya sambil memeluk Ciara, putri yang mereka rawat sejak kemarin malam.Namanya mirip dengan nama Ibu. Tiara. Karena Izora merindukannya. Ia merindukan sang ibu yang tak pernah lagi ia temui sejak dua tahun lalu. Mereka hanya berbicara lewat telepon sesekali.Ayah dan Adnan sudah mengira Izora meninggal dan diliputi perasaan bersalah setiap hari. Usaha Ayah bangkrut dan tentu saja mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil.Rumah yang dibelikan Izora secara diam-diam.Ayah berhenti bekerja dan Adnan menjadi pegawai kantoran biasa. Kehidupan mereka normal, hanya perasaan bersalah itu yang terus menghantui mereka.Biarlah. Anggap sebagai pembalasan dendam.Ponselnya masih berdering dan gegas Izora mengangkatnya. “Ada apa, Serina? Ini sudah larut malam.&rd
SPECIAL BAB 2PUNYA ANAK?Malam ini terasa lengang. Suara ketikan keyboard Izora mendominasi kamar sebelum dia menyadari bahwa malam sudah larut dan Kayman belum pulang.Ia menutup laptopnya dan keluar kamar. Menuruni tangga menuju ruang tengah yang hawanya cukup dingin. Angin berembus masuk lewat celah ventilasi di atas jendela, menerbangkan gorden dan meniup rambut Izora.Izora tidak menunjukkan gestur kedinginan sedikit pun. Ini sudah menjadi makanan kesehariannya. Tinggal di vila yang Darius berikan, terletak di daerah yang tinggi dan dingin. Izora sudah terbiasa kedinginan.Kayman belum pulang dan tidak memberikan kabar apa pun, membuat Izora khawatir. Jangan sampai lelaki itu pulang dalam keadaan terluka seperti yang sudah-sudah.Semoga pekerjaannya malam ini berjalan lancar. Kayman memang biasa pulang terlambat jika ada tugas penting, tapi malam ini Izora lebih khawatir dari biasanya. Firasatnya buruk.Gaun tidu
Dua tahun kemudian. “Ah, Kayman …” Tautan jari-jemari itu kian menguat ketika lagi-lagi Izora menggaungkan nama Kayman ke seluruh sudut-sudut kamar. Napasnya yang berembus panas beradu dengan napas pria yang bergerak dengan lihai di atas tubuhnya. Lelaki itu menggila, wajahnya mengeras, keningnya mengernyit menikmati gulungan gairah yang menghantamnya tanpa ampun. Hari yang cerah itu terasa sangat panas, membuat dua tubuh yang telanjang di atas ranjang bermandikan peluh. Sudah sejak tadi dan tak ada siapa pun di antara mereka yang berniat menghentikan aktivitas yang meleburkan hasrat itu. Otot-otot Bandit terdenyut-denyut menggoda Izora. Kulit kecokelatannya basah dan mengalirkan tetesan keringat berbau jantan ke perut Izora. Dari bawah, Izora bisa melihat betapa indahnya lelaki itu. Dari ekor matanya, ia bisa melihat cahaya raja siang mulai memudar dan menyiarkan semburat berwarna oranye dari balik jendela kaca. Berarti hari sud
“Saya dengar Anda sudah sadar.” Tipikal Bhanu. Kaku dan tegas. Tidak banyak basa-basi.“Ya, seperti yang kau lihat.” Izora masih berada di atas tempat tidur keesokan harinya di saat Bhanu datang.“Saya ikut senang.”Izora mengangguk dan hening merayap kemudian. Hingga lima menit kemudian Serina masuk dan memecahan keheningan itu.“Oh, siapa ini? Bagaimana keadaan tuanmu itu?” Serina melompat ke atas ranjang, di samping Izora sambil memegang apel yang sudah tergigit di beberapa bagian.“Buruk. Beliau koma.”“Bukannya kau sudah memberikan penawarnya?” Serina menggigit apelnya.“Seperti kata laki-laki yang mengaku sebagai orang Nyonya. Tuan menolak obatnya dan berakhir koma.”“Aku bukan lagi nyonya-mu, Bhanu.”“Hmm … kau membingungkan, Tuan Bhanu. Kau setia pada tuanmu tapi malah membantu nyonya-mu berkhianat.&
Pukul lima pagi, Ronald yang berbaring tidak nyaman di sofa ruang tengah bangun dengan tergesa. Sudah lebih dari 72 jam Izora belum sadar.Jantungnya berdebar hebat. Jika Izora betul-betul pergi maka Ronald akan sangat menyesali mengapa dia tidak menahan wanita itu untuk berbuat nekat.Ronald melangkah ragu ke kamar yang ditempati Izora. Ronald takut jika terjadi hal-hal yang buruk. Ia sudah sampai di ambang pintu ketika menemukan Izora berada dalam pelukan Bandit.Ronald mematung. Izora membalas pelukan Bandit dan itu artinya dia sudah sadar.Betapa leganya hati Ronald. Ia langsung menjauh dari kamar itu dan menumpahkan napas selega-leganya.“Oh, Tuhan … aku hampir mati karena khawatir. Syukurlah.”Tanpa basa-basi, Ronald berlari ke kamar sebelah. Melihat Serina dan Flora yang tertidur di atas lantai tanpa alas dan ibu Izora di ranjang.Kesenangan yang melimpah ruah membuat Ronald membangunk
“Saya Izora Farzan, istri dari Darius Farzan.” Izora menunduk, agak ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.“Saya pernah mengandung, anak kembar. Saya sudah memegang hasil USG mereka ketika suami saya memaksa saya untuk menggugurkan mereka. Waktu itu saya tidak mengerti apa alasannya dan kenapa saya juga harus mengangkat rahim dan tidak boleh hamil lagi. Saya tidak tahu.”Wajah sendu Izora memenuhi seluruh stasiun TV nasional dan tersiar ke layar-layar besar gedung pencakar langit di tengah-tengah kota dan pusat perbelanjaan.Orang-orang membeku melihat dirinya di dalam layar. Tanpa air mata dan tanpa wajah yang sedih, tapi sorot matanya sudah mengungkap segalanya.“Saya bertahan untuk mendapatkan penjelasan karena saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, tapi bukannya mendapat penjelasan, saya malah dilecehkan. Dia memanggil saya Marina—mendiang istri pertamanya—setiap kali dia meniduri saya.&rdquo