Izora bisa merasakan bagaimana napas hangat beraroma mint itu menyerbu wajahnya, hidungnya dan semakin dekat dengan bibirnya.
Jantungnya memompa gila-gilaan dan ia tahu jantung Bandit tidak lebih tenang dari miliknya. Rasa panas yang aneh menjalar tiba-tiba dari dada sampai ke tungkai kakinya saat tangan lelaki itu merayap di pinggangnya.
Bandit seolah memberikan waktu untuk Izora menolak dan Izora seharusnya melakukan itu. Ia semestinya mengikuti akal sehatnya, tapi dadanya yang berdenyut antusias sampai terasa perih membuat kakinya terus terpaku di tempat.
Kelima indranya masih berfungsi dengan baik—hanya akalnya yang menguap—saat samar-samar di tengah keheningan yang mendebarkan itu ia mendengar suara kenop pintu yang diputar.
Sedetik sebelum pintu terbuka, Izora segera mendorong tubuh Bandit menjauh. Sepertinya Bandit tidak menyadari suara pintu, ia terengah dan kebingungan memandang Izora.
Dan saat itulah Darius m
Bandit memberondong dinding gudang dengan pukulan penuh kemarahan. Geramannya menggema di seluruh sudut seperti amukan binatang liar.Lampu neon yang dayanya rendah itu memperlihatkan noda-noda darah yang memenuhi dinding. Buku-buku jarinya terluka dan meneteskan darah.Lagi-lagi dia menjadi tidak berguna.Izora dilecehkan di depan matanya dan dia tidak melakukan apa-apa. Bandit menerjang lantai, memberikan sekali lagi pukulan telak, sekali lagi lalu menjadi berkali-kali tanpa henti.Kemejanya sudah basah kuyup karena keringat. Anak-anak rambut jatuh menutupi dahinya, menambah kesan liar dan berbahaya pada lelaki itu.Raut tenang Izora yang palsu, sorot matanya yang membutuhkan pertolongan, tubuh kecilnya yang dicengkeram dengan kasar.“AAAAAAAARRGGGHHHHHH!” Bandit mendongak ke langit-langit gudang yang dipenuhi sarang laba-laba. Sekujur tubuhnya mengeras dengan urat-urat yang menonjol.Seharusn
Tengah malam Izora terbangun dengan selimut tipis yang membungkus tubuhnya. Matanya terbuka dan langsung berhadapan dengan wajah Bandit yang tertidur gelisah, kening lelaki itu mengernyit dan ia bergumam tidak jelas.Mengingatkan Izora pada dirinya sendiri ketika di malam-malam dia bermimpi buruk dan tak bisa tidur dengan nyenyak. Sejujurnya, lelaki ini sama dengannya. Izora tak tahu masa lalu Bandit, tapi ia melihat kekelaman itu di matanya.Bibir dingin yang maskulin itu tertutup rapat. Izora melarikan ujung jari telunjuknya di sana, menyentuh dengan hati-hati, merasakan kulit bibir yang keras itu bersentuhan dengan jarinya.Rasanya sangat benar.Malam ini terasa benar.Saat ia memindahkan ujung jarinya naik ke hidung bangir lelaki itu, ke tulang pipinya yang bertekstur kasar dan pada kelopak matanya yang dihiasi luka goresan yang melintang. Perpaduan wajahnya benar-benar khas lelaki jantan, mengingatkan Izora pada Rambo, si pahlawan dengan
“Kalau begitu, mau kubuat kelelahan lagi?”Bandit menatap Izora intens, tak ada sorot bercanda dalam matanya, ia terlihat sangat serius.“Untuk membuatmu tidur nyenyak.”Izora tidak mengerti mengapa dirinya yang berdebar seperti ini, padahal sebelum-sebelumnya dia yang selalu menguasai keadaan di antara mereka.Wajah Bandit bergerak ke arahnya, perlahan seolah meminta izin kepada Izora, dan yang terjadi selanjutnya di luar kendali Izora ketika ia membiarkan Bandit menemukan bibirnya, mengulum dan memberikan sensasi panas yang membangkitkan kembali hasrat liar dalam dirinya yang ia pikir telah lama mati.Bibir lelaki itu terasa dingin dan keras, tapi mampu membuat Izora merinding dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun. Ia merasa pening saat Bandit menggeram dam semakin agresif mendekatinya.Napas Bandit bahkan jauh lebih buruk. Izora bisa merasakan debar jantung pria itu di telapak tangannya. Bandit berusaha mendoro
Ketika Bandit membuka mata di pagi hari, Izora sudah tidak berada di pelukannya. Dengan panik dia bangun dan mencari-cari di seluruh sudut gudang sambil memanggil-manggil nama Izora.Napasnya terengah-terangah, tapi Izora sama sekali tidak terlihat. Pintu gudang yang sejak semalam tidak tertutup membuatnya menghela napas. Mobil Izora juga tidak ada, tapi ketiga gaun yang dicobanya semalam masih ada. Dengan cepat ia kembali ke dalam dan mengambil ponsel yang dibelikan Izora.Jika Izora pulang, ia pasti meninggalkan pesan dan membawa gaunnya. Seolah-olah wanita itu sedang pergi buru-buru atau mungkin dibawa pergi secara paksa.Diteleponnya wanita itu. Ada ketakutan dalam kepalanya meski akal sehatnya mengatakan Izora mungkin sudah pulang kembali ke rumah Darius.Tapi kenapa tiba-tiba?Napasnya kian memburu ketika nomor Izora tidak aktif. Berulang kali ia mengulang panggilan telepon, tapi operator di seberang sana tetap tak mengizinkannya berbicara de
Baru kali ini Izora luar biasa panik, seolah semua rahasianya terkupas habis. Mata Ronald tak lagi memicing curiga dan malah menjadi sangat yakin.Lelaki itu menyandarkan pungung dengan senyum santai. “Padahal aku hanya asal tebak."“Tebakanmu salah." Izora menepis dengan cepat.Ronald mengangguk sambil menyeringai jahil. “Jadi sejauh mana hubungan kalian?”Izora mengernyit. Tatapan yang seolah mengetahui semua rahasianya itu membuat dadanya terasa panas. Sejauh ini, ia tak pernah keberatan jika Ronald mengetahui setiap hal yang dia rasakan, tapi kali ini dia idak menyukainya.Tahu-tahu Izora berdiri. Kedua alisnya menukik tajam dan ia benar-benar membenci betapa santainya Ronald menanggapi masalah itu.“Kau sudah kelewatan batas, Ronald Prayoga. Aku tidak akan pernah menjalin hubungan dengan seorang pembunuh bayaran dan merasakan kenyamanan yang tidak seharusnya. Aku harus membunuh Darius, titik! Maka tujuanku
Bhanu meninggalkan Darius sejenak untuk memeriksa keadaan toilet, sebab rasa penasarannya meronta. Belum pernah dia melihat seorang pengawal yang menatap marah saat pasangan majikannya saling menyentuh, baru kali ini.Jika yang menyentuh sang nyonya adalah pria lain, maka wajar jika naluri melindunginya muncul, tapi akan sangat mencurigakan jika dia mengepalkan tangan dan menggertakkan gigi melihat kedua majikannya yang berpelukan mesra.Bhanu harus memastikannya.Ia memasuki area toilet dan menjumpai antrean yang cukup panjang, terutama pada toilet wanita. Dia tidak bisa masuk ke sana dan Kayman juga tidak berdiri di luar toilet untuk menjaga layaknya pengawal.Makin besarlah kecurigaan pengawal berusia empat puluhan itu.‘Ke mana mereka?’ batinnya bertanya-tanya diikuti dengan kenyitan dahi.Ia memutuskan mencari Kayman di dalam toilet pria, memindai setiap orang yang berada di sana dan tidak menemukan jejak keberad
Izora keluar dari ballroom, membawa champagne sebagai kamuflase menuju halaman berupa taman di samping tempat pesta itu. Disesapnya champagne itu dengan rakus untuk menghilangkan pening yang menjalar di kepalanya. Dia buang gelas champagne yang sudah habis isinya ke sembarang arah lalu mengeluarkan rokok dari tas kecilnya. Izora mengapit batang rokok di jarinya. Menikmati zat bernikotin itu dengan kepala mendongak parau. “Tuan Farzan sedang berdansa dengan sekretarisnya dan kau ada di sini, Nyonya Farzan. Sedang menyendiri, hm?” Suara yang sok mengintimidasi itu membuyarkan lamunan Izora. “Ah, sedang merokok ternyata.” Seorang pria dengan setelan jas mewah dan berwajah parlente datang dari sudut yang tak Izora ketahui. Sambil memegang gelas red wine-nya dan memasukkan sebelah tangan ke saku celana. Matanya memicing licik dengan bibir yang mengembang. “Aku tidak tahu jika istri Farzan yang anggun dan dingin ini merokok.”
Bandit kembali ke tengah-tengah ballroom. Matanya memindai awas dan langsung menemukan targetnya yang sedang berdansa dengan perempuan yang ia tahu bernama Raline.Mana Izora?Bandit mengedarkan mata ke seluruh sudut ruangan. Tak ada sedikit pun tanda keberadaan Izora.Entah sejak kapan, saat Izora tak berada dalam ranah penglihatannya, ia menjadi gelisah dan khawatir.Bandit tahu ia harus segera menyelesaikan tugasnya. Darius ada di depan sana. Dia hanya perlu menggores kulitnya sedikit saja dan akan membuat pria itu mati dalam waktu beberapa jam.Ia menunggu saat yang tepat. Momen satu detik yang selalu digunakannya untuk membunuh tepat di titik vital dan membuat targetnya mati dalam sekejap, yaitu waktu ketika sang target lengah sepenuhnya.Dan Bandit menemukan memon itu. Ketika Darius meninggalkan ruang dansa, melewati deretan meja dan melewatinya begitu saja untuk berbelok ke arah toilet.Bandit menunggu sekian detik
Halo, ini author Mustacis. Terima kasih sudah mengikuti dan mendukung Izora dan Bandit. Jangan sungkan untuk kasih masukan yang berarti supaya aku bisa terus memperbaiki tulisan aku dan mempersembahkan yang terbaik untuk kalian 😘 Cerita Pembunuh Suamiku adalah tantangan kedua yang aku berikan kepada diri sendiri setelah 'Tertawan Dua Suami' juga tamat. Semoga kalian bisa terhibur, ada sedikit pelajaran yang bisa diambil dan puas dengan cerita ini. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita aku, kalian bisa pantengi akun F4ceb00k aku: Mustacis Kim untuk dapet info-info seputar cerita aku. Terima kasih banyak. Jangan lupa masukkan komentar yang banyak supaya cerita ini bisa masuk di beranda promosi dan Izora-Bandit bisa semakin dikenal banyak pembaca 🙏🏻 Sampai jumpa di karya-karya aku selanjutnya ❤️❤️
“Dia sudah tidur?”Bandit mengintip dari balik bahu Izora, pada Ciara yang sudah telentang nyenyak. Kedua tangan kecilnya mengepal di sisi kepala dan napasnya berembus hangat dengan teratur.Sedang Izora menyangga kepala dengan sebelah tangan dan tangan yang lain masih menepuk pelan paha Ciara. Ia menoleh sebentar kepada Bandit.“Dia baru saja tidur,” bisiknya.Bandit mengangguk lalu menyandarkan dagunya pada lengan Izora. Menatap pemandangan Ciara yang tertidur damai tidak punya beban dan ketakutan apa pun.“Dia sangat menggemaskan.”Izora menyetujui dengan senyuman. Entah sejak kapan dia seringkali tersenyum konyol, tapi saat ini pikirannya sama dengan pikiran sang suami.Suami.Dulu dia membenci kata itu, sekarang ia menyanjungnya. Menghitung berapa banyak istri yang bahagia di dunia ini seperti dirinya.Bisakah ia sebut ini sebagai keluarga?Keluarga
Bhanu mengamati dua pusara yang berbaris rapi itu dengan nanar. Padahal baru satu minggu yang lalu dia datang ke sini dan dia harus datang lagi hari ini.Ia menarik napas dalam, merasa déjà vu melihat dua makam yang berdampingan itu. Segalanya berakhir tragis. Hidup sang tuan yang diperjuangkan selama dua tahun akhirnya menemui ajal.Mungkin inilah hukuman yang selalu ditunggu-tunggu sang nyonya. Bhanu merasa sangat sayang. Padahal mereka semua bisa hidup dengan baik.Rumput-rumput di bawah kakinya menyusut ketika ia melangkah meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi. Di dalam kepalanya ia masih mengingat pusara yang bertuliskan nama Darius Farzan dan Raline Maharani yang baru saja dia tinggalkan.Ia masuk mobil, bukan lagi milik Farzan. sudah sejak lama Bhanu tidak memakai lagi fasilitas Farzan. Ia sendirian sekarang, tak ada pengawal lain atau bawahan yang bisa ia komando.Bersama dengan sang pemimpin keluarga yang ti
Izora baru saja hendak tidur ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Nama Serina muncul di layar panggilan. Diamatinya sang suami yang tertidur pulas tanpa baju di sampingnya sambil memeluk Ciara, putri yang mereka rawat sejak kemarin malam.Namanya mirip dengan nama Ibu. Tiara. Karena Izora merindukannya. Ia merindukan sang ibu yang tak pernah lagi ia temui sejak dua tahun lalu. Mereka hanya berbicara lewat telepon sesekali.Ayah dan Adnan sudah mengira Izora meninggal dan diliputi perasaan bersalah setiap hari. Usaha Ayah bangkrut dan tentu saja mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil.Rumah yang dibelikan Izora secara diam-diam.Ayah berhenti bekerja dan Adnan menjadi pegawai kantoran biasa. Kehidupan mereka normal, hanya perasaan bersalah itu yang terus menghantui mereka.Biarlah. Anggap sebagai pembalasan dendam.Ponselnya masih berdering dan gegas Izora mengangkatnya. “Ada apa, Serina? Ini sudah larut malam.&rd
SPECIAL BAB 2PUNYA ANAK?Malam ini terasa lengang. Suara ketikan keyboard Izora mendominasi kamar sebelum dia menyadari bahwa malam sudah larut dan Kayman belum pulang.Ia menutup laptopnya dan keluar kamar. Menuruni tangga menuju ruang tengah yang hawanya cukup dingin. Angin berembus masuk lewat celah ventilasi di atas jendela, menerbangkan gorden dan meniup rambut Izora.Izora tidak menunjukkan gestur kedinginan sedikit pun. Ini sudah menjadi makanan kesehariannya. Tinggal di vila yang Darius berikan, terletak di daerah yang tinggi dan dingin. Izora sudah terbiasa kedinginan.Kayman belum pulang dan tidak memberikan kabar apa pun, membuat Izora khawatir. Jangan sampai lelaki itu pulang dalam keadaan terluka seperti yang sudah-sudah.Semoga pekerjaannya malam ini berjalan lancar. Kayman memang biasa pulang terlambat jika ada tugas penting, tapi malam ini Izora lebih khawatir dari biasanya. Firasatnya buruk.Gaun tidu
Dua tahun kemudian. “Ah, Kayman …” Tautan jari-jemari itu kian menguat ketika lagi-lagi Izora menggaungkan nama Kayman ke seluruh sudut-sudut kamar. Napasnya yang berembus panas beradu dengan napas pria yang bergerak dengan lihai di atas tubuhnya. Lelaki itu menggila, wajahnya mengeras, keningnya mengernyit menikmati gulungan gairah yang menghantamnya tanpa ampun. Hari yang cerah itu terasa sangat panas, membuat dua tubuh yang telanjang di atas ranjang bermandikan peluh. Sudah sejak tadi dan tak ada siapa pun di antara mereka yang berniat menghentikan aktivitas yang meleburkan hasrat itu. Otot-otot Bandit terdenyut-denyut menggoda Izora. Kulit kecokelatannya basah dan mengalirkan tetesan keringat berbau jantan ke perut Izora. Dari bawah, Izora bisa melihat betapa indahnya lelaki itu. Dari ekor matanya, ia bisa melihat cahaya raja siang mulai memudar dan menyiarkan semburat berwarna oranye dari balik jendela kaca. Berarti hari sud
“Saya dengar Anda sudah sadar.” Tipikal Bhanu. Kaku dan tegas. Tidak banyak basa-basi.“Ya, seperti yang kau lihat.” Izora masih berada di atas tempat tidur keesokan harinya di saat Bhanu datang.“Saya ikut senang.”Izora mengangguk dan hening merayap kemudian. Hingga lima menit kemudian Serina masuk dan memecahan keheningan itu.“Oh, siapa ini? Bagaimana keadaan tuanmu itu?” Serina melompat ke atas ranjang, di samping Izora sambil memegang apel yang sudah tergigit di beberapa bagian.“Buruk. Beliau koma.”“Bukannya kau sudah memberikan penawarnya?” Serina menggigit apelnya.“Seperti kata laki-laki yang mengaku sebagai orang Nyonya. Tuan menolak obatnya dan berakhir koma.”“Aku bukan lagi nyonya-mu, Bhanu.”“Hmm … kau membingungkan, Tuan Bhanu. Kau setia pada tuanmu tapi malah membantu nyonya-mu berkhianat.&
Pukul lima pagi, Ronald yang berbaring tidak nyaman di sofa ruang tengah bangun dengan tergesa. Sudah lebih dari 72 jam Izora belum sadar.Jantungnya berdebar hebat. Jika Izora betul-betul pergi maka Ronald akan sangat menyesali mengapa dia tidak menahan wanita itu untuk berbuat nekat.Ronald melangkah ragu ke kamar yang ditempati Izora. Ronald takut jika terjadi hal-hal yang buruk. Ia sudah sampai di ambang pintu ketika menemukan Izora berada dalam pelukan Bandit.Ronald mematung. Izora membalas pelukan Bandit dan itu artinya dia sudah sadar.Betapa leganya hati Ronald. Ia langsung menjauh dari kamar itu dan menumpahkan napas selega-leganya.“Oh, Tuhan … aku hampir mati karena khawatir. Syukurlah.”Tanpa basa-basi, Ronald berlari ke kamar sebelah. Melihat Serina dan Flora yang tertidur di atas lantai tanpa alas dan ibu Izora di ranjang.Kesenangan yang melimpah ruah membuat Ronald membangunk
“Saya Izora Farzan, istri dari Darius Farzan.” Izora menunduk, agak ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.“Saya pernah mengandung, anak kembar. Saya sudah memegang hasil USG mereka ketika suami saya memaksa saya untuk menggugurkan mereka. Waktu itu saya tidak mengerti apa alasannya dan kenapa saya juga harus mengangkat rahim dan tidak boleh hamil lagi. Saya tidak tahu.”Wajah sendu Izora memenuhi seluruh stasiun TV nasional dan tersiar ke layar-layar besar gedung pencakar langit di tengah-tengah kota dan pusat perbelanjaan.Orang-orang membeku melihat dirinya di dalam layar. Tanpa air mata dan tanpa wajah yang sedih, tapi sorot matanya sudah mengungkap segalanya.“Saya bertahan untuk mendapatkan penjelasan karena saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, tapi bukannya mendapat penjelasan, saya malah dilecehkan. Dia memanggil saya Marina—mendiang istri pertamanya—setiap kali dia meniduri saya.&rdquo