Bhanu meninggalkan Darius sejenak untuk memeriksa keadaan toilet, sebab rasa penasarannya meronta. Belum pernah dia melihat seorang pengawal yang menatap marah saat pasangan majikannya saling menyentuh, baru kali ini.
Jika yang menyentuh sang nyonya adalah pria lain, maka wajar jika naluri melindunginya muncul, tapi akan sangat mencurigakan jika dia mengepalkan tangan dan menggertakkan gigi melihat kedua majikannya yang berpelukan mesra.
Bhanu harus memastikannya.
Ia memasuki area toilet dan menjumpai antrean yang cukup panjang, terutama pada toilet wanita. Dia tidak bisa masuk ke sana dan Kayman juga tidak berdiri di luar toilet untuk menjaga layaknya pengawal.
Makin besarlah kecurigaan pengawal berusia empat puluhan itu.
‘Ke mana mereka?’ batinnya bertanya-tanya diikuti dengan kenyitan dahi.
Ia memutuskan mencari Kayman di dalam toilet pria, memindai setiap orang yang berada di sana dan tidak menemukan jejak keberad
Izora keluar dari ballroom, membawa champagne sebagai kamuflase menuju halaman berupa taman di samping tempat pesta itu. Disesapnya champagne itu dengan rakus untuk menghilangkan pening yang menjalar di kepalanya. Dia buang gelas champagne yang sudah habis isinya ke sembarang arah lalu mengeluarkan rokok dari tas kecilnya. Izora mengapit batang rokok di jarinya. Menikmati zat bernikotin itu dengan kepala mendongak parau. “Tuan Farzan sedang berdansa dengan sekretarisnya dan kau ada di sini, Nyonya Farzan. Sedang menyendiri, hm?” Suara yang sok mengintimidasi itu membuyarkan lamunan Izora. “Ah, sedang merokok ternyata.” Seorang pria dengan setelan jas mewah dan berwajah parlente datang dari sudut yang tak Izora ketahui. Sambil memegang gelas red wine-nya dan memasukkan sebelah tangan ke saku celana. Matanya memicing licik dengan bibir yang mengembang. “Aku tidak tahu jika istri Farzan yang anggun dan dingin ini merokok.”
Bandit kembali ke tengah-tengah ballroom. Matanya memindai awas dan langsung menemukan targetnya yang sedang berdansa dengan perempuan yang ia tahu bernama Raline.Mana Izora?Bandit mengedarkan mata ke seluruh sudut ruangan. Tak ada sedikit pun tanda keberadaan Izora.Entah sejak kapan, saat Izora tak berada dalam ranah penglihatannya, ia menjadi gelisah dan khawatir.Bandit tahu ia harus segera menyelesaikan tugasnya. Darius ada di depan sana. Dia hanya perlu menggores kulitnya sedikit saja dan akan membuat pria itu mati dalam waktu beberapa jam.Ia menunggu saat yang tepat. Momen satu detik yang selalu digunakannya untuk membunuh tepat di titik vital dan membuat targetnya mati dalam sekejap, yaitu waktu ketika sang target lengah sepenuhnya.Dan Bandit menemukan memon itu. Ketika Darius meninggalkan ruang dansa, melewati deretan meja dan melewatinya begitu saja untuk berbelok ke arah toilet.Bandit menunggu sekian detik
Darius menyatukan kedua alis ketika Bhanu membisikkan sesuatu di tengah dansanya bersama Raline.“Kau yakin?”“Ya, Tuan.”Raline ikut penasaran. “Ada apa?”Raut wajah Darius terlihat terkejut sekaligus heran. Ia berjalan keluar ballroom diikuti dengan Bhanu dan berhenti di tempat yang sepi.“Bagaimana itu bisa terjadi? Izora dilecehkan oleh Daniel Angkara?”“Saya tidak melihat dari awal. Dari penampilan Nyonya yang berantakan, gaunnya robek dengan bekas cengkeraman di mana-mana lalu saat saya datang, pengawal Nyonya sudah menghajar pria itu habis-habisan.”“Di mana Angkara?”“Sudah dibawa ke rumah sakit.”Bhanu tidak mengatakan jika kondisi pria itu sudah hampir tak terselamatkan. Jika dia terlambat satu detik saja, maka Daniel Angkara benar-benar akan mati.“Lalu Izora?”“Pengawal pribadinya su
Paginya Izora dibangunkan oleh suara ketukan pintu. Sesaat setelah membuka mata, ia langsung meringis merasakan sengatan hebat pada kakinya dan remuk di sekujur tubuhnya.Ia berdiri dengan bertumpu pada dinding, penglihatannya sedikit buram. Ketika kakinya menyentuh lantai, ia limbung. Susah payah ia berjalan membukakan pintu dalam keadaan yang ia yakin sedang berantakan.Ia menyipitkan mata untuk melihat orang yang sudah membangunkannya pagi-pagi.Ah, Kayman.Lelaki itu membawa semangkuk air dan handuk kecil sambil memasang senyum tipis yang hampir-hampir tidak kelihatan. Sorot matanya sama seperti kemarin malam. Dalam dan penuh binar cinta.“Kompres lukamu.”Kepala Izora terlalu pening untuk menerima mangkuk yang menguap itu—isinya pasti air hangat. Ia mundur dan membiarkan Bandit masuk.Izora terhuyung menuju ranjang, duduk di tepi tempat tidur dan menunggu Bandit yang meletakkan mangkuk di atas nakas dan membasah
Sedetik setelah mendengar pintu yang tergesek dengan lantai, Bandit langsung menegakkan tubuh secepat kilat. Terlambat satu detik saja akan berbahaya.Darius melesat masuk dan menatap tidak suka pada Izora yang terbaring masih memejamkan mata. “Apa ini?”Ia lalu beralih kepada Bandit. “Siapa yang menyuruhmu membawanya ke rumah sakit?”Bandit menegang. Bukan karena takut, tapi karena menyadari dia bisa saja langsung menerjang Darius dengan brutal. Amarahnya menggulung naik tanpa kendali.“Dia tidak boleh berada di sini. Bhanu, bawa dia pulang.”Saat itu mata Bandit memancarkan api. Ketika Bhanu mencabut infus di tangan Izora ia hampir meledak.Bhanu sudah bersiap mengangkat Izora ketika Bandit mencengkeram lengannya sambil menggertakkan gigi.“Jangan.”Darius mengernyit heran. “Bawa dia, Bhanu.”Bhanu melepaskan tangan Bandit. Untuk sesaat merek
“Dia sudah bangun?” Darius melepaskan kancing pada lengan kemejanya. Dia tatap pintu kamarnya yang tertutup rapat.“Sudah, Tuan. Nyonya bangun tadi siang dan memaksa kembali ke kamarnya," lapor salah satu“Bagaimana keadaannya?”“Nyonya masih demam tinggi saat bangun tadi."Darius menyeringai. “Kalian tak memberikannya apa pun, kan? Dia tidak meminta air dan obat?”“Tidak.”Tahu-tahu Darius terkekeh. “Sifat angkuhnya itu masih bertahan rupanya. Aku ingin lihat sampai kapan dia bisa bertahan tanpa diriku.”Ini sudah malam. Wanita itu bertahan lebih lama dari yang dia duga.Darius tak suka saat Izora sakit dan sama sekali tak meminta bantuannya. Ia mengatasinya sendiri dan bahkan tak meminta pelayan merawatnya. Ia sembuh dengan sendirinya tanpa bantuan siapa pun di rumah ini.Kali ini Darius ingin tahu bagaimana cara Izora menyembuhkan dirinya sendiri.
Borgol Bandit sudah dilepas dan ia langsung dibebaskan begitu saja. Bukan untuk kembali ke gudang. Ia tak mengerti mengapa ia kembali diterima bekerja di kediaman Farzan.“Kembalilah dulu. Aku akan mengurus dokumen pembebasanmu.”Sejak tadi, kerutan di kening Bhanu tidak pernah luntur. Dalam kepalanya, ia bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Tuan membebaskan Kayman dan menyuruhnya kembali bekerja.“Bapak membebaskan dia?”Seorang petugas lain datang ke meja Pak Randy untuk mengantarkan dokumen. Dilihatnya punggung Bandit semakin menjauh.“Iya. Tuntutannya dicabut dan korban ingin menyelesaikan masalah secara baik-baik.”“Kali ini siapa korbannya?” Petugas yang tampak lebih muda itu tampak menimbang-nimbang sesuatu.Pak Randy mengangkat wajah dari dokumennya. “Kenapa kau penasaran begitu?”“Aku seperti mengenalnya.” Petugas bertanda nama Aryo itu memiringk
Satu.Bhanu tertohok keras. Ia membungkuk memegangi perutnya. Tonjokan telak itu seperti menembus semua organ-organ dalamnya.Satu detik yang lalu, Bandit meletakkan kembali pisau itu ke dalam saku jasnya. Dia tidak pernah membunuh orang-orang yang tidak bersalah apalagi yang bukan targetnya.Itu menyalahi prinsipnya.Sekalipun seorang pembunuh dan penjahat bayaran, Bandit tidak ingin menjadi monster seutuhnya. Dia bisa saja membunuh siapa pun yang mengganggunya karena dia mampu melakukannya, tapi setelah itu tak ada lagi yang tersisa dalam hatinya.Seperti saat ini, saat ia menyingkirkan bayangan Izora dan membiarkan Bhanu terus hidup.“Aku sendiri yang melakukannya. Tak ada yang menyuruhku.”Bhanu masih terbatuk. Sungguh ia tak menyangka akan mendapat pukulan sekuat itu, seolah perutnya baru saja dilemparkan batu puluhan kilogram. Ia bahkan hampir merasa jantungnya akan lepas.Dari mana kekuatan itu datang?