Bandit melirik kaca spion tengah, hanya sekali dalam perjalanan yang lumayan panjang itu. Sebab dia tak mendengar sedikit pun desah napas atau suara apa pun dari penumpang di kursi belakang.
Wanita itu tengah merenung degan sorot mata yang tak tertebak. Kepalanya masih terangkat angkuh, tegar dan seolah tak akan goyah oleh badai sekeras apa pun.
Bandit ingat bisikan cemoohan dari para pelayan saat mereka hampir keluar dari ruang makan, lirikan jijik mereka bahkan terasa dari balik punggungnya.
Ia tak pernah tertarik dengan urusan kliennya, serumit apa pun itu. Meski ia sudah puluhan kali melihat bagaimana reaksi setiap kliennya saat menghadapi masalah mereka, tapi tak ada yang setenang Izora, seolah kejadian barusan hanyalah angin lalu baginya.
“Berhenti di depan sana.”
Saat Bandit menghentikan mobil, pandangan Izora tertuju pada tenda warung makan yang sangat ramai. Orang-orang berdesakan untuk mengantre di sana. Ia lalu mengalih
Izora keluar dari mobil dan terhuyung memasuki lobi. Sepertinya kakinya terkilir dan punggungnya cedera.“Mau saya bantu, Nyonya?” Seorang staf berseragam kombinasi hijau dan hitam berdiri di hadapannya.Setengah mati ia memaksakan diri untuk berdiri tegak. Rasanya sangat sakit sampai ia ingin menangis. “Tidak, aku bisa sendiri.”Ia masuk ke lift dengan pikiran yang berkecamuk. Lebih dari segala rasa sakit di tubuhnya, ketakutanlah yang menang. Untuk sesaat yang lalu ia sudah mengira dirinya akan mati.“Tidak. Aku tidak boleh mati sebelum membunuh iblis itu.” Dikepalkannya tangannya. Kendati kedua mata indahnya memerah dan kakinya gemetar, ia masih kokoh. “Belum waktunya.”Dia bisa mati kapan pun itu, dengan cara apa pun—asal setelah segala dendamnya terlaksana. Asal Darius sudah mati lebih dulu. Mati dengan cara yang sadis, sama seperti ketika dia membunuh kedua anak yan
Bandit tak mengerti. Sesaat yang lalu wanita ini tampak kehilangan kendali dan sangat marah. Sekarang ia menjadi perayu ulung, matanya tajam menggoda tapi sama sekali tidak menimbulkan kesan murahan, justru sebaliknya.Ia seperti makanan mahal di dalam restoran yang menggoda untuk disantap tapi tidak diperuntukkan untuk sembarang orang.Luka yang menganga dalam binar matanya terlihat jelas, tapi dengan lihai wanita itu menyembunyikannya.“Siapa yang menyuruhmu menelusuri rahasia di mataku? Apa yang ingin kau tahu?”Bandit juga menanyakan itu pada dirinya sendiri. Seharusnya sekarang dia sudah bangkit dari tubuh telanjang Izora.“Semua orang punya luka yang ingin disembunyikan, Tuan Bandit—ah, aku harus terbiasa memanggilmu Kayman. Dan kau tak perlu repot-repot kasihan padaku.”Izora mendorong tubuh Bandit menyingkir. Ia duduk dan sudah mendapatkan ketenangannya yang tidak wajar itu. Terlalu tenang.&n
Tak sulit bagi Bandit untuk menyelinap masuk ke dalam apartemen yang disinggahi Darius. Lima pengawal yang berjaga di depan pintu sudah ia lumpuhkan. Ia mengintai di sudut yang paling gelap dan tak terjamah oleh mata. Di depan sana, pada dapur yang menyatu dengan ruang makan dan hanya dipisahkan sekat tipis dengan ruang tamu, Darius duduk meminum wine-nya di kursi bar, sedang seorang perempuan berdiri di depan meja pantry dan menyiapkan makanan untuknya.Bandit mengenali perempuan itu, perempuan yang ikut makan malam kemarin malam. Rambut sebahu, wajah oriental yang terkesan dewasa dan mata hitam yang cemerlang.Mereka tampak akrab, dan sepertinya Darius sedang berada pada mode frustrasi. Bandit hanya bisa menangkap samar percakapan mereka.“Jadi semalam kau betul-betul menghukumnya di hotel? Lagi?”Darius hanya bergumam malas.“Ayolah, Darius. Dia bisa dendam padamu kalau kau terus begitu padanya.”
Izora memandang Darius yang terbaring dengan selang infus di tangan dan perban yang melilit perut dan tangannya. kondisinya tidak begitu buruk. Izora mendengus.‘Jadi hanya segini kemampuanmu, Kayman?’Ia mendongak ke semua sudut ruangan, matanya mencari-cari dan menemukan satu CCTV di salah satu sudutnya.Apakah sekarang dia harus bersandiwara?Secepat kilat kedua alisnya menukik ke bawah dan matanya menjadi sayu memandang Darius.Air matanya menetes dan ia segera berhambur ke arah Darius. Mengusap wajah pria yang masih tak sadarkan itu. Berharap bisa meremukkannya saat ini juga kendati air matanya meleleh.‘Kau terlalu beruntung, Darius,’ bisiknya dalam hati. ‘Orang jahat seperti dirimu sangat diberkahi. Bukankah itu tidak adil?’Tak sedikit pun Darius bergerak. Matanya terpejam damai seolah tak memiliki kesalahan apa pun dalam hidupnya.‘Kau senang diberkahi, Dari
Ada hal lain yang disesali Izora selain tinggal di sisi Darius setelah lelaki itu menghancurkan hidupnya, yaitu malam ini. Saat ia melepaskan segala topeng kepura-puraannya di depan orang lain, di depan pria yang dia waspadai.Lelaki yang selalu menggeram seperti monster ini tengah memeluknya di atas tikar tipis dan kasar dalam keadaan telanjang bulat. Tubuhnya menempel pada pria itu. Aroma keringat memenuhi mereka.Dari sekian banyak tempat yang bisa ia jadikan tempat rehat, mengapa harus ke gudang panas, pengap dan gelap ini?Ah, dia sudah memasang lampu rupanya. Lampu neon yang tidak membantu banyak.Meski sudah sadar, tapi rasanya Izora belum ingin beranjak dari dekapan yang kuat itu.Tidak, pelukan lengannya terlalu erat sampai aku tak bisa meloloskan diri, benaknya menyangkal.Diliriknya rahang bertekstur kasar itu. Jejak-jejak kasar dari cambangnya yang sudah dicukur menggelitik ujung jarinya saat ia menyentuhnya. Hidung y
Darius menatap perban yang melilit di perutnya, tepat di titik luka yang ia dapatkan dari orang yang tiba-tiba menyerangnya dengan brutal.Gerakan dan rasa dari serangan itu sama. Pelakunya adalah orang yang sama yang menyerangnya di hotel. Gerakannya buas seperti petarung jalanan yang tidak kenal ampun.KEPARAT!Darius mengerang marah. Sudah dua kali dia masuk ke rumah sakit dalam waktu dekat.“BHANU!” Dipanggilnya pengawalnya berang. “Sepertinya percuma saja aku memiliki banyak pengawal. Kalian tidak bisa menemukan pelakunya dan membiarkanku diserang untuk kedua kalinya!”“Maafkan saya, Tuan.” Bhanu menunduk. “Saya akan menemukan pelakunya segera.”“Aku tidak suka janjimu, Bhanu. Lakukan dengan cepat!”“Baik.”Selepas kepergian pengawal pribadi yang usianya sudah kepala empat itu, Darius melepaskan selang infus di punggung tangannya dengan kas
“Aku cuma ingin anak dari Marina. Bukan dari wanita itu. Dia tidak berhak hamil dan seenaknya punya anak sementara Marina tidak bisa.”Izora terbahak. Jadi begitu alasan Darius. Alasan yang terdengar kekanakan, tapi mampu menghancurkan hidupnya. Wanita itu tertawa pahit sambil memegang pembatas rooftop rumah sakit.Rasanya seperti ada gempa yang melanda hatinya. “Air mataku bahkan sudah habis menangisi kemalanganku.” Ia menyeringai dengan mata bergetar lalu tertawa lagi.Sebuah jas tiba-tiba disampirkan pada kedua bahunya. Izora menoleh dan mendapati Bandit yang menatapnya kaku. Lelaki itu tak mengatakan apa-apa. Ia mundur beberapa langkah dan berdiri tidak jauh di belakang Izora, memberikan jarak untuk wanita itu.Izora tersenyum tipis meski ia tak menyukai perhatian kecil itu. “Apa begini rasanya punya pengawal? Dilindungi dan dijaga.”Bandit tak meyukai senyum itu. Senyum pahit yang seharusnya tidak ada di bib
“Kita tidak bisa melakukannya, Kayman.”Izora menatap cemas kedua mata Bandit. Ia berharap lelaki ini hanya bersimpati padanya. Tidak yang lain.Bandit meraih kaki Izora dan meletakkannya di atas pahanya kemudian tanpa disangka-sangka ia mengecup betis wanita itu. Pelan dan dalam. Matanya terlihat bingung sekaligus memuja.Izora terhenyak. Ia terdiam kaku dan menatap Bandit ngeri.“Jangan,” ucap Izora ketika Bandit hendak mencium punggung kakinya. “Aku bisa memberikannya untukmu, seks—tapi tidak dengan cinta. Itu mustahil, Kayman.”Bandit terlihat semakin bingung seolah tidak menyadari arti perasaannya sama sekali.“Aku tidak bisa memberikan apa yang ada di hatimu.”“Apa yang ada di hatiku?”Tatapan bingung itu membuat Izora frustrasi. Dengan apa dia harus menjelaskannya, bahwa yang ada di dalam hati pria ini sangatlah berbahaya.&l
Halo, ini author Mustacis. Terima kasih sudah mengikuti dan mendukung Izora dan Bandit. Jangan sungkan untuk kasih masukan yang berarti supaya aku bisa terus memperbaiki tulisan aku dan mempersembahkan yang terbaik untuk kalian 😘 Cerita Pembunuh Suamiku adalah tantangan kedua yang aku berikan kepada diri sendiri setelah 'Tertawan Dua Suami' juga tamat. Semoga kalian bisa terhibur, ada sedikit pelajaran yang bisa diambil dan puas dengan cerita ini. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita aku, kalian bisa pantengi akun F4ceb00k aku: Mustacis Kim untuk dapet info-info seputar cerita aku. Terima kasih banyak. Jangan lupa masukkan komentar yang banyak supaya cerita ini bisa masuk di beranda promosi dan Izora-Bandit bisa semakin dikenal banyak pembaca 🙏🏻 Sampai jumpa di karya-karya aku selanjutnya ❤️❤️
“Dia sudah tidur?”Bandit mengintip dari balik bahu Izora, pada Ciara yang sudah telentang nyenyak. Kedua tangan kecilnya mengepal di sisi kepala dan napasnya berembus hangat dengan teratur.Sedang Izora menyangga kepala dengan sebelah tangan dan tangan yang lain masih menepuk pelan paha Ciara. Ia menoleh sebentar kepada Bandit.“Dia baru saja tidur,” bisiknya.Bandit mengangguk lalu menyandarkan dagunya pada lengan Izora. Menatap pemandangan Ciara yang tertidur damai tidak punya beban dan ketakutan apa pun.“Dia sangat menggemaskan.”Izora menyetujui dengan senyuman. Entah sejak kapan dia seringkali tersenyum konyol, tapi saat ini pikirannya sama dengan pikiran sang suami.Suami.Dulu dia membenci kata itu, sekarang ia menyanjungnya. Menghitung berapa banyak istri yang bahagia di dunia ini seperti dirinya.Bisakah ia sebut ini sebagai keluarga?Keluarga
Bhanu mengamati dua pusara yang berbaris rapi itu dengan nanar. Padahal baru satu minggu yang lalu dia datang ke sini dan dia harus datang lagi hari ini.Ia menarik napas dalam, merasa déjà vu melihat dua makam yang berdampingan itu. Segalanya berakhir tragis. Hidup sang tuan yang diperjuangkan selama dua tahun akhirnya menemui ajal.Mungkin inilah hukuman yang selalu ditunggu-tunggu sang nyonya. Bhanu merasa sangat sayang. Padahal mereka semua bisa hidup dengan baik.Rumput-rumput di bawah kakinya menyusut ketika ia melangkah meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi. Di dalam kepalanya ia masih mengingat pusara yang bertuliskan nama Darius Farzan dan Raline Maharani yang baru saja dia tinggalkan.Ia masuk mobil, bukan lagi milik Farzan. sudah sejak lama Bhanu tidak memakai lagi fasilitas Farzan. Ia sendirian sekarang, tak ada pengawal lain atau bawahan yang bisa ia komando.Bersama dengan sang pemimpin keluarga yang ti
Izora baru saja hendak tidur ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Nama Serina muncul di layar panggilan. Diamatinya sang suami yang tertidur pulas tanpa baju di sampingnya sambil memeluk Ciara, putri yang mereka rawat sejak kemarin malam.Namanya mirip dengan nama Ibu. Tiara. Karena Izora merindukannya. Ia merindukan sang ibu yang tak pernah lagi ia temui sejak dua tahun lalu. Mereka hanya berbicara lewat telepon sesekali.Ayah dan Adnan sudah mengira Izora meninggal dan diliputi perasaan bersalah setiap hari. Usaha Ayah bangkrut dan tentu saja mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil.Rumah yang dibelikan Izora secara diam-diam.Ayah berhenti bekerja dan Adnan menjadi pegawai kantoran biasa. Kehidupan mereka normal, hanya perasaan bersalah itu yang terus menghantui mereka.Biarlah. Anggap sebagai pembalasan dendam.Ponselnya masih berdering dan gegas Izora mengangkatnya. “Ada apa, Serina? Ini sudah larut malam.&rd
SPECIAL BAB 2PUNYA ANAK?Malam ini terasa lengang. Suara ketikan keyboard Izora mendominasi kamar sebelum dia menyadari bahwa malam sudah larut dan Kayman belum pulang.Ia menutup laptopnya dan keluar kamar. Menuruni tangga menuju ruang tengah yang hawanya cukup dingin. Angin berembus masuk lewat celah ventilasi di atas jendela, menerbangkan gorden dan meniup rambut Izora.Izora tidak menunjukkan gestur kedinginan sedikit pun. Ini sudah menjadi makanan kesehariannya. Tinggal di vila yang Darius berikan, terletak di daerah yang tinggi dan dingin. Izora sudah terbiasa kedinginan.Kayman belum pulang dan tidak memberikan kabar apa pun, membuat Izora khawatir. Jangan sampai lelaki itu pulang dalam keadaan terluka seperti yang sudah-sudah.Semoga pekerjaannya malam ini berjalan lancar. Kayman memang biasa pulang terlambat jika ada tugas penting, tapi malam ini Izora lebih khawatir dari biasanya. Firasatnya buruk.Gaun tidu
Dua tahun kemudian. “Ah, Kayman …” Tautan jari-jemari itu kian menguat ketika lagi-lagi Izora menggaungkan nama Kayman ke seluruh sudut-sudut kamar. Napasnya yang berembus panas beradu dengan napas pria yang bergerak dengan lihai di atas tubuhnya. Lelaki itu menggila, wajahnya mengeras, keningnya mengernyit menikmati gulungan gairah yang menghantamnya tanpa ampun. Hari yang cerah itu terasa sangat panas, membuat dua tubuh yang telanjang di atas ranjang bermandikan peluh. Sudah sejak tadi dan tak ada siapa pun di antara mereka yang berniat menghentikan aktivitas yang meleburkan hasrat itu. Otot-otot Bandit terdenyut-denyut menggoda Izora. Kulit kecokelatannya basah dan mengalirkan tetesan keringat berbau jantan ke perut Izora. Dari bawah, Izora bisa melihat betapa indahnya lelaki itu. Dari ekor matanya, ia bisa melihat cahaya raja siang mulai memudar dan menyiarkan semburat berwarna oranye dari balik jendela kaca. Berarti hari sud
“Saya dengar Anda sudah sadar.” Tipikal Bhanu. Kaku dan tegas. Tidak banyak basa-basi.“Ya, seperti yang kau lihat.” Izora masih berada di atas tempat tidur keesokan harinya di saat Bhanu datang.“Saya ikut senang.”Izora mengangguk dan hening merayap kemudian. Hingga lima menit kemudian Serina masuk dan memecahan keheningan itu.“Oh, siapa ini? Bagaimana keadaan tuanmu itu?” Serina melompat ke atas ranjang, di samping Izora sambil memegang apel yang sudah tergigit di beberapa bagian.“Buruk. Beliau koma.”“Bukannya kau sudah memberikan penawarnya?” Serina menggigit apelnya.“Seperti kata laki-laki yang mengaku sebagai orang Nyonya. Tuan menolak obatnya dan berakhir koma.”“Aku bukan lagi nyonya-mu, Bhanu.”“Hmm … kau membingungkan, Tuan Bhanu. Kau setia pada tuanmu tapi malah membantu nyonya-mu berkhianat.&
Pukul lima pagi, Ronald yang berbaring tidak nyaman di sofa ruang tengah bangun dengan tergesa. Sudah lebih dari 72 jam Izora belum sadar.Jantungnya berdebar hebat. Jika Izora betul-betul pergi maka Ronald akan sangat menyesali mengapa dia tidak menahan wanita itu untuk berbuat nekat.Ronald melangkah ragu ke kamar yang ditempati Izora. Ronald takut jika terjadi hal-hal yang buruk. Ia sudah sampai di ambang pintu ketika menemukan Izora berada dalam pelukan Bandit.Ronald mematung. Izora membalas pelukan Bandit dan itu artinya dia sudah sadar.Betapa leganya hati Ronald. Ia langsung menjauh dari kamar itu dan menumpahkan napas selega-leganya.“Oh, Tuhan … aku hampir mati karena khawatir. Syukurlah.”Tanpa basa-basi, Ronald berlari ke kamar sebelah. Melihat Serina dan Flora yang tertidur di atas lantai tanpa alas dan ibu Izora di ranjang.Kesenangan yang melimpah ruah membuat Ronald membangunk
“Saya Izora Farzan, istri dari Darius Farzan.” Izora menunduk, agak ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.“Saya pernah mengandung, anak kembar. Saya sudah memegang hasil USG mereka ketika suami saya memaksa saya untuk menggugurkan mereka. Waktu itu saya tidak mengerti apa alasannya dan kenapa saya juga harus mengangkat rahim dan tidak boleh hamil lagi. Saya tidak tahu.”Wajah sendu Izora memenuhi seluruh stasiun TV nasional dan tersiar ke layar-layar besar gedung pencakar langit di tengah-tengah kota dan pusat perbelanjaan.Orang-orang membeku melihat dirinya di dalam layar. Tanpa air mata dan tanpa wajah yang sedih, tapi sorot matanya sudah mengungkap segalanya.“Saya bertahan untuk mendapatkan penjelasan karena saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, tapi bukannya mendapat penjelasan, saya malah dilecehkan. Dia memanggil saya Marina—mendiang istri pertamanya—setiap kali dia meniduri saya.&rdquo