Pagi itu, Nisa bangun lebih awal dari biasanya. Setelah mempersiapkan sarapan sederhana, ia menyiapkan seragam Ais dan mengecek ulang tas sekolah putrinya. Hari ini adalah hari penting, bukan hanya karena Nisa harus bekerja, tetapi juga karena tekanan dari sidang perceraian yang semakin mendekat. Namun, ia mencoba untuk tidak memikirkannya terlalu banyak, fokus pada apa yang bisa ia kendalikan.“Nak, ayo bangun, sudah hampir waktu berangkat sekolah,” ujar Nisa lembut saat membangunkan Ais.Ais menggeliat sebentar sebelum membuka matanya dan tersenyum melihat ibunya. "Pagi, Bu.""Pagi, Sayang. Ayo, Ibu sudah siapin sarapan, nanti kita bisa berangkat lebih cepat," Nisa mengusap kepala Ais dengan sayang.Tak butuh waktu lama bagi Ais untuk bersiap. Gadis kecil itu duduk di meja makan dengan wajah ceria, meski Nisa bisa merasakan ada sedikit ketegangan di balik senyum putrinya.“Bu, nanti Ais dijemput siapa sepulang sekolah?” tanya Ais sambil mengunyah roti bakarnya.“Ibu sudah minta Pak
Pagi itu, suasana desa terasa lebih riuh dari biasanya. Nisa, yang baru saja selesai mengantar Ais ke sekolah, berjalan cepat menuju pabrik. Langkahnya tergesa, bukan karena dikejar waktu, tetapi karena perasaan tak nyaman yang terus menggelayut di hatinya. Sejak meninggalkan rumah tadi, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tatapan tetangga yang biasanya ramah kini tampak menghindar, seolah ada sesuatu yang ingin mereka katakan tapi tak berani.Setibanya di pabrik, Nisa langsung disambut oleh beberapa pekerja yang memulai aktivitas mereka. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam cara mereka menyapa. Sapaan yang biasanya disertai senyum tulus, kini terasa dingin dan penuh keraguan. Nisa mencoba mengabaikannya, berpikir mungkin hanya perasaannya saja."Nisa, ada rapat pagi ini dengan Pak Ryan. Kita harus menyelesaikan laporan mingguan," kata Andi, yang baru saja datang dan berjalan bersamanya menuju kantor.Nisa mengangguk. "Iya, Ndi. Sudah siap kok."Saat mereka berjalan berdampingan, And
Pagi itu, Nisa bergegas menuju tukang sayur keliling seperti biasa setelah mengantar Ais ke sekolah. Udara pagi terasa sejuk, dan matahari baru saja muncul dari balik bukit, menyinari kampung kecilnya yang masih tenang. Nisa sudah terbiasa dengan rutinitas ini, tapi entah kenapa, hari ini dia merasa sedikit cemas.Saat tiba di tempat tukang sayur, dia mendapati beberapa tetangga sudah berkumpul, sibuk memilih sayuran segar. Namun, ketika dia mulai mendekat, beberapa dari mereka tiba-tiba menghentikan percakapan dan melirik ke arahnya dengan tatapan aneh. Nisa bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres."Eh, Bu Nisa, pagi-pagi udah belanja aja nih," sapa Bu Leha, tetangga yang terkenal suka bergosip, dengan senyum yang nampak dibuat-buat. Dia berhenti memilih sayuran dan langsung mendekati Nisa."Iya, Bu Leha. Mumpung masih segar sayurannya," jawab Nisa dengan senyum tipis. Dia berusaha bersikap biasa, meski sudah merasa ada yang tidak beres.Bu Leha tertawa kecil. "Memang betul, sayura
Pagi hari setelah pertemuan dengan para tetangga, Nisa masih terus memikirkan apa yang terjadi kemarin. Pikiran untuk berhenti bekerja terus mengganggu benaknya. Namun, saat ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, suara ceria Ais yang baru selesai sarapan menghentikan langkahnya."Bu, Om Ryan itu baik banget, ya?" tanya Ais sambil menatap Nisa dengan mata polosnya.Nisa tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Om Ryan memang orang yang baik.""Terus, kenapa Ibu nggak menikah aja sama Om Ryan? Ais suka banget kalau punya Ayah kayak Om Ryan," ucap Ais dengan wajah penuh harap.Nisa tersenyum lembut, mengusap rambut Ais. "Sayang, itu bukan sesuatu yang mudah. Om Ryan itu bos Ibu, dan kita harus menghormati beliau. Lagi pula, menikah itu bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja."Ais mengerutkan dahi, tampak berpikir keras. "Tapi, Ais beneran suka sama Om Ryan. Ayah kan jahat, bu. Kenapa nggak sama Om Ryan aja?"Nisa terdiam sejenak, merasa berat untuk menjelaskan lebih jauh pa
"Haha ... Jalan terang sudah terbuka untuk kita!" Suara tawa terdengar keras dari ruang tengah rumah itu. Asep, Bu Rika, dan Eka duduk bersama di ruang itu, wajah mereka penuh kepuasan. Mereka baru saja mendengar kabar dari beberapa tetangga bahwa gosip yang mereka sebarkan tentang Nisa mulai menyebar luas. Bagi mereka, ini adalah kemenangan kecil yang layak dirayakan."Aku dengar dari Bu Leha tadi pagi, Nisa sudah mulai cemas karena gosip itu," kata Asep dengan nada bangga. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi puas. "Akhirnya dia merasakan juga akibat dari tingkahnya."Eka, yang duduk di sampingnya, menimpali sambil menyisir rambutnya yang hitam panjang. "Baguslah, biar dia tahu rasanya. Selama ini dia selalu merasa lebih baik dari kita, selalu merendahkan kita. Sekarang, biar dia kena batunya."Bu Rika, yang duduk di kursi di seberang mereka, mengangguk setuju. Wajahnya yang sudah berkerut dipenuhi oleh ekspresi licik. "Anak itu memang sudah lama cari gara-gara. Dari
Eka menghempaskan tubuhnya ke kursi kayu tua di rumah Bu Rika, matanya menatap jengkel ke arah pintu. "Bu, ini semua karena Nisa, ya! Semua masalah datang gara-gara dia!" geramnya sambil menendang kaki meja di depannya.Bu Rika, yang sedang mengupas bawang di dapur, hanya mendengus pelan. "Ya, memang dari dulu dia selalu bikin repot. Lagipula, siapa suruh dia balik? Enak-enakan di luar negeri, tiba-tiba balik bawa masalah," ujarnya dengan nada sinis.Asep, yang sedang duduk di lantai sambil memeriksa ponselnya, tiba-tiba tertawa kecil. "Kalian tenang saja. Aku sudah mulai menjalankan rencana baru. Gosip yang aku sebar di kampung sudah mulai mempan. Lihat saja, Nisa pasti akan makin terpojok," katanya sambil menyeringai.Eka mengerutkan keningnya. "Tapi, Mas, kalau gosip saja nggak cukup buat dia berhenti bekerja, gimana?"Asep melirik Eka dengan tatapan licik. "Kita bikin dia nggak tahan tinggal di kampung ini. Lagipula, orang-orang sudah mulai percaya kalau dia main sama bule. Kala
Di depan rumah Nisa, Andi melihat pintu yang terbuka lebar, menandakan bahwa Nisa sedang di rumah. Ia berdeham pelan, mencoba menarik perhatian. "Nis, ada di rumah?" serunya dari pintu.Tak lama, Nisa muncul di ambang pintu dengan wajah lelah. "Oh, Andi... Ada apa ya?"Andi memasuki rumah dengan ragu-ragu. "Aku cuma pengen ngobrol sebentar. Ada yang harus kuberitahu," jawabnya, menatap Nisa dengan serius.Nisa menghela napas, lalu mengajak Andi duduk di ruang tamu sederhana yang hanya beralaskan tikar anyaman. "Ada masalah apa lagi, Di? Semakin hari, semuanya terasa makin berat," katanya dengan nada pasrah.Andi menatap Nisa dengan rasa prihatin. "Aku dengar bisik-bisik soal Bu Rika sama Eka yang nggak enak, Nis. Kayaknya mereka lagi nyusun rencana buat jatuhin kamu. Aku nggak tau pasti apa rencananya, tapi aku rasa kamu harus hati-hati."Nisa terdiam sejenak, meresapi ucapan Andi. "Rencana apa, Di? Apa yang bisa mereka lakukan lagi? Rasanya mereka udah cukup merusak hidupku," ucapny
"Nggak bisa terus-terusan begini, Eka! Kita harus buat Nisa nggak punya muka lagi di desa ini!" Suara Bu Rika terdengar tajam dan penuh amarah. Andi yang sedang melintas di dekat warung kopi kecil itu, menghentikan langkahnya. Ia mengenali suara itu dengan baik—Bu Rika, tokoh yang sering kali menjadi biang gosip di desa. Yang diketahuinya juga mertua Nisa. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Andi merasa ada yang tidak beres. Ia memutuskan untuk mendekat sedikit, menyelinap di balik tembok warung, dan mendengarkan percakapan itu.Eka, yang duduk berseberangan dengan Bu Rika, mengangguk dengan wajah serius. "Aku udah siapin rencana, Bu. Ini bukan cuma soal gosip lagi. Kita harus buat dia benar-benar hancur. Aku dengar dia masih berhubungan sama Ryan, kan? Kita bisa manfaatin itu."Bu Rika mengernyit, "Maksudmu?"Eka menyeringai, wajahnya memancarkan kebencian yang dingin. "Kita bisa jebak mereka, Bu. Buat seolah-olah mereka terlibat sesuatu yang nggak pantas. Kalau warga desa
“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa
"Nisa, tolonglah, ini demi Ais. Dia butuh ayahnya," suara Asep terdengar serak dan penuh kepalsuan saat dia berdiri di depan rumah Nisa. Matahari siang menyinari wajahnya yang tampak lelah, tetapi di balik ekspresi simpatinya, ada niat tersembunyi yang Nisa kenal dengan sangat baik.Nisa berdiri di ambang pintu, menatap mantan suaminya dengan tatapan yang tak lagi goyah. Sudah terlalu banyak air mata yang dia tumpahkan karena Asep, terlalu banyak kebohongan dan manipulasi yang dia terima. Kali ini, Nisa tidak akan membiarkan Asep mempengaruhi dirinya lagi, terutama ketika menyangkut Ais."Asep, aku tahu apa yang kamu coba lakukan," kata Nisa dengan suara tegas. "Jangan gunakan kesehatan Ais sebagai alasan untuk membuat aku kembali padamu. Ais baik-baik saja sekarang, dan aku nggak butuh campur tanganmu untuk merawatnya."Asep menghela napas panjang, mencoba bersikap seolah dia benar-benar peduli. "Nisa, aku ini ayahnya. Aku punya hak untuk ada di hidupnya, apalagi saat dia sedang saki
"Ais sudah mulai makan lebih banyak hari ini, Alhamdulillah," ujar Nisa dengan suara lembut, sambil menutup pintu kamar putrinya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun kelelahan yang tertinggal jelas tampak di matanya. Ryan, yang sedang duduk di ruang tamu kecil rumah Nisa, menoleh dengan ekspresi lega. "Syukurlah. Aku sudah khawatir banget. Dia butuh banyak istirahat untuk pulih sepenuhnya." Nisa duduk di samping Ryan, menghela napas panjang. "Iya, aku juga khawatir. Melihat dia sakit parah kemarin benar-benar bikin aku merasa tak berdaya. Untung ada kamu yang selalu siap membantu, Ryan. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu."Ryan tersenyum hangat, menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa membantu, Nisa. Kamu nggak usah merasa terbebani sama sekali. Kamu tahu, Ais itu udah kayak anakku sendiri. Aku akan selalu ada buat dia dan buat kamu."Kata-kata Ryan itu membuat hati Nisa terasa hangat. Selama Ais sakit, Ryan selalu berada di sisinya, me
“Bagaimana, Nisa?” Suara lembut Ryan memecah kesunyian. Dia berdiri di pintu kamar rumah sakit, membawa secangkir teh hangat untuk Nisa.“Dia belum juga membaik,” jawab Nisa pelan, suaranya parau karena terlalu banyak menangis. Dia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap teh itu sebentar sebelum meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ryan. Rasanya aku ingin menggantikannya saja, biar dia nggak perlu merasakan sakit ini.”Ryan menarik kursi ke dekat Nisa, duduk di sampingnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nisa. Ais anak yang kuat, dia akan melewati ini. Kita harus percaya itu.”Nisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tetap merasa bersalah, Ryan. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sibuk dengan masalah-masalahku sendiri...”Ryan menghela napas, lalu menatap Nisa dengan penuh pengertian. “Kamu nggak