Pagi hari setelah pertemuan dengan para tetangga, Nisa masih terus memikirkan apa yang terjadi kemarin. Pikiran untuk berhenti bekerja terus mengganggu benaknya. Namun, saat ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, suara ceria Ais yang baru selesai sarapan menghentikan langkahnya."Bu, Om Ryan itu baik banget, ya?" tanya Ais sambil menatap Nisa dengan mata polosnya.Nisa tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Om Ryan memang orang yang baik.""Terus, kenapa Ibu nggak menikah aja sama Om Ryan? Ais suka banget kalau punya Ayah kayak Om Ryan," ucap Ais dengan wajah penuh harap.Nisa tersenyum lembut, mengusap rambut Ais. "Sayang, itu bukan sesuatu yang mudah. Om Ryan itu bos Ibu, dan kita harus menghormati beliau. Lagi pula, menikah itu bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja."Ais mengerutkan dahi, tampak berpikir keras. "Tapi, Ais beneran suka sama Om Ryan. Ayah kan jahat, bu. Kenapa nggak sama Om Ryan aja?"Nisa terdiam sejenak, merasa berat untuk menjelaskan lebih jauh pa
"Haha ... Jalan terang sudah terbuka untuk kita!" Suara tawa terdengar keras dari ruang tengah rumah itu. Asep, Bu Rika, dan Eka duduk bersama di ruang itu, wajah mereka penuh kepuasan. Mereka baru saja mendengar kabar dari beberapa tetangga bahwa gosip yang mereka sebarkan tentang Nisa mulai menyebar luas. Bagi mereka, ini adalah kemenangan kecil yang layak dirayakan."Aku dengar dari Bu Leha tadi pagi, Nisa sudah mulai cemas karena gosip itu," kata Asep dengan nada bangga. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi puas. "Akhirnya dia merasakan juga akibat dari tingkahnya."Eka, yang duduk di sampingnya, menimpali sambil menyisir rambutnya yang hitam panjang. "Baguslah, biar dia tahu rasanya. Selama ini dia selalu merasa lebih baik dari kita, selalu merendahkan kita. Sekarang, biar dia kena batunya."Bu Rika, yang duduk di kursi di seberang mereka, mengangguk setuju. Wajahnya yang sudah berkerut dipenuhi oleh ekspresi licik. "Anak itu memang sudah lama cari gara-gara. Dari
Eka menghempaskan tubuhnya ke kursi kayu tua di rumah Bu Rika, matanya menatap jengkel ke arah pintu. "Bu, ini semua karena Nisa, ya! Semua masalah datang gara-gara dia!" geramnya sambil menendang kaki meja di depannya.Bu Rika, yang sedang mengupas bawang di dapur, hanya mendengus pelan. "Ya, memang dari dulu dia selalu bikin repot. Lagipula, siapa suruh dia balik? Enak-enakan di luar negeri, tiba-tiba balik bawa masalah," ujarnya dengan nada sinis.Asep, yang sedang duduk di lantai sambil memeriksa ponselnya, tiba-tiba tertawa kecil. "Kalian tenang saja. Aku sudah mulai menjalankan rencana baru. Gosip yang aku sebar di kampung sudah mulai mempan. Lihat saja, Nisa pasti akan makin terpojok," katanya sambil menyeringai.Eka mengerutkan keningnya. "Tapi, Mas, kalau gosip saja nggak cukup buat dia berhenti bekerja, gimana?"Asep melirik Eka dengan tatapan licik. "Kita bikin dia nggak tahan tinggal di kampung ini. Lagipula, orang-orang sudah mulai percaya kalau dia main sama bule. Kala
Di depan rumah Nisa, Andi melihat pintu yang terbuka lebar, menandakan bahwa Nisa sedang di rumah. Ia berdeham pelan, mencoba menarik perhatian. "Nis, ada di rumah?" serunya dari pintu.Tak lama, Nisa muncul di ambang pintu dengan wajah lelah. "Oh, Andi... Ada apa ya?"Andi memasuki rumah dengan ragu-ragu. "Aku cuma pengen ngobrol sebentar. Ada yang harus kuberitahu," jawabnya, menatap Nisa dengan serius.Nisa menghela napas, lalu mengajak Andi duduk di ruang tamu sederhana yang hanya beralaskan tikar anyaman. "Ada masalah apa lagi, Di? Semakin hari, semuanya terasa makin berat," katanya dengan nada pasrah.Andi menatap Nisa dengan rasa prihatin. "Aku dengar bisik-bisik soal Bu Rika sama Eka yang nggak enak, Nis. Kayaknya mereka lagi nyusun rencana buat jatuhin kamu. Aku nggak tau pasti apa rencananya, tapi aku rasa kamu harus hati-hati."Nisa terdiam sejenak, meresapi ucapan Andi. "Rencana apa, Di? Apa yang bisa mereka lakukan lagi? Rasanya mereka udah cukup merusak hidupku," ucapny
"Nggak bisa terus-terusan begini, Eka! Kita harus buat Nisa nggak punya muka lagi di desa ini!" Suara Bu Rika terdengar tajam dan penuh amarah. Andi yang sedang melintas di dekat warung kopi kecil itu, menghentikan langkahnya. Ia mengenali suara itu dengan baik—Bu Rika, tokoh yang sering kali menjadi biang gosip di desa. Yang diketahuinya juga mertua Nisa. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Andi merasa ada yang tidak beres. Ia memutuskan untuk mendekat sedikit, menyelinap di balik tembok warung, dan mendengarkan percakapan itu.Eka, yang duduk berseberangan dengan Bu Rika, mengangguk dengan wajah serius. "Aku udah siapin rencana, Bu. Ini bukan cuma soal gosip lagi. Kita harus buat dia benar-benar hancur. Aku dengar dia masih berhubungan sama Ryan, kan? Kita bisa manfaatin itu."Bu Rika mengernyit, "Maksudmu?"Eka menyeringai, wajahnya memancarkan kebencian yang dingin. "Kita bisa jebak mereka, Bu. Buat seolah-olah mereka terlibat sesuatu yang nggak pantas. Kalau warga desa
"Selamat pagi, Nisa. Sudah sarapan belum?" suara Ryan terdengar hangat saat Nisa baru saja memasuki ruang kerjanya.Nisa tersenyum tipis sambil meletakkan tasnya di meja. "Belum, Pak Ryan. Tadi terburu-buru berangkat, jadi belum sempat."Ryan mengerutkan kening, lalu merogoh sesuatu dari laci mejanya. "Kebetulan sekali. Saya bawa roti lebih hari ini. Mungkin bisa jadi pengganjal perut sementara."Nisa terkejut dengan perhatian kecil itu. "Wah, nggak perlu repot-repot, Pak. Saya bisa beli di kantin nanti."Ryan menggeleng sambil menyodorkan bungkus roti tersebut. "Nggak apa-apa, Nisa. Daripada kamu kerja dengan perut kosong. Lagipula, saya nggak bisa habiskan semuanya sendiri."Dengan ragu, Nisa menerima roti itu sambil tersenyum. "Terima kasih banyak, Pak Ryan. Anda benar-benar perhatian."Ryan membalas senyumannya. "Sama-sama. Dan tolong, panggil saja Ryan. Kita sudah cukup lama bekerja bersama, nggak perlu terlalu formal."Nisa mengangguk pelan. "Baiklah, Ryan. Terima kasih sekali l
“Aku nggak akan biarkan kamu menang semudah itu, Nis.” Asep menatap Nisa dengan penuh kebencian, suaranya penuh ancaman. “Kalau kamu terusin perceraian ini, aku bakal buka mulut soal semua aibmu. Semua orang di desa bakal tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan di luar negeri.”Nisa menatapnya dengan mata berkilat, menahan marah yang sudah lama ia pendam. Di sampingnya, Ryan duduk dengan tenang, tatapannya tidak lepas dari Asep. Nisa merasa tangan Ryan menggenggam lengan kursinya sedikit lebih erat, memberikan isyarat bahwa ia siap mendukung Nisa sepenuhnya.“Jangan omong kosong, Asep,” Nisa akhirnya membuka suara, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Aku tahu permainanmu. Kamu cuma mau menakut-nakuti aku biar aku mundur.”Asep tertawa kecil, sinis, seolah mengejek keberanian Nisa. “Kamu pikir kamu bisa menang? Kamu yang ninggalin rumah buat jadi TKW, terus balik-balik bawa masalah. Siapa yang bakal percaya sama kamu, Nis? Desa ini nggak akan pernah berpihak sama kamu.”Nisa mer
“Selamat, Nisa. Kamu sudah memenangkan hak asuh penuh atas Ais,” kata Pak Arif dengan senyum puas di wajahnya. Mereka baru saja keluar dari ruang sidang, di mana hakim telah memutuskan untuk memberikan hak asuh anak kepada Nisa. “Dengan semua bukti yang kita punya, keputusan ini memang sudah seharusnya.”Nisa mengangguk, mencoba menyerap kabar baik ini dengan penuh syukur, tetapi ada keraguan yang menyelinap di benaknya. “Tapi... Asep pasti nggak akan terima dengan mudah, Pak Arif. Aku tahu dia. Dia pasti akan mencoba sesuatu.”Pak Arif menatap Nisa dengan serius. “Aku mengerti kekhawatiran kamu, Nisa. Tapi keputusan pengadilan ini sudah final. Kalau Asep melakukan sesuatu yang melanggar hukum, kita bisa mengambil tindakan lebih lanjut. Kamu harus tetap kuat.”Nisa menarik napas dalam-dalam dan mengangguk lagi. Meskipun ia merasa lega karena perjuangannya untuk mendapatkan hak asuh Ais telah berakhir dengan kemenangan, kekhawatiran tentang reaksi Asep tidak bisa hilang begitu saja. As