Di depan rumah Nisa, Andi melihat pintu yang terbuka lebar, menandakan bahwa Nisa sedang di rumah. Ia berdeham pelan, mencoba menarik perhatian. "Nis, ada di rumah?" serunya dari pintu.Tak lama, Nisa muncul di ambang pintu dengan wajah lelah. "Oh, Andi... Ada apa ya?"Andi memasuki rumah dengan ragu-ragu. "Aku cuma pengen ngobrol sebentar. Ada yang harus kuberitahu," jawabnya, menatap Nisa dengan serius.Nisa menghela napas, lalu mengajak Andi duduk di ruang tamu sederhana yang hanya beralaskan tikar anyaman. "Ada masalah apa lagi, Di? Semakin hari, semuanya terasa makin berat," katanya dengan nada pasrah.Andi menatap Nisa dengan rasa prihatin. "Aku dengar bisik-bisik soal Bu Rika sama Eka yang nggak enak, Nis. Kayaknya mereka lagi nyusun rencana buat jatuhin kamu. Aku nggak tau pasti apa rencananya, tapi aku rasa kamu harus hati-hati."Nisa terdiam sejenak, meresapi ucapan Andi. "Rencana apa, Di? Apa yang bisa mereka lakukan lagi? Rasanya mereka udah cukup merusak hidupku," ucapny
"Nggak bisa terus-terusan begini, Eka! Kita harus buat Nisa nggak punya muka lagi di desa ini!" Suara Bu Rika terdengar tajam dan penuh amarah. Andi yang sedang melintas di dekat warung kopi kecil itu, menghentikan langkahnya. Ia mengenali suara itu dengan baik—Bu Rika, tokoh yang sering kali menjadi biang gosip di desa. Yang diketahuinya juga mertua Nisa. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Andi merasa ada yang tidak beres. Ia memutuskan untuk mendekat sedikit, menyelinap di balik tembok warung, dan mendengarkan percakapan itu.Eka, yang duduk berseberangan dengan Bu Rika, mengangguk dengan wajah serius. "Aku udah siapin rencana, Bu. Ini bukan cuma soal gosip lagi. Kita harus buat dia benar-benar hancur. Aku dengar dia masih berhubungan sama Ryan, kan? Kita bisa manfaatin itu."Bu Rika mengernyit, "Maksudmu?"Eka menyeringai, wajahnya memancarkan kebencian yang dingin. "Kita bisa jebak mereka, Bu. Buat seolah-olah mereka terlibat sesuatu yang nggak pantas. Kalau warga desa
"Selamat pagi, Nisa. Sudah sarapan belum?" suara Ryan terdengar hangat saat Nisa baru saja memasuki ruang kerjanya.Nisa tersenyum tipis sambil meletakkan tasnya di meja. "Belum, Pak Ryan. Tadi terburu-buru berangkat, jadi belum sempat."Ryan mengerutkan kening, lalu merogoh sesuatu dari laci mejanya. "Kebetulan sekali. Saya bawa roti lebih hari ini. Mungkin bisa jadi pengganjal perut sementara."Nisa terkejut dengan perhatian kecil itu. "Wah, nggak perlu repot-repot, Pak. Saya bisa beli di kantin nanti."Ryan menggeleng sambil menyodorkan bungkus roti tersebut. "Nggak apa-apa, Nisa. Daripada kamu kerja dengan perut kosong. Lagipula, saya nggak bisa habiskan semuanya sendiri."Dengan ragu, Nisa menerima roti itu sambil tersenyum. "Terima kasih banyak, Pak Ryan. Anda benar-benar perhatian."Ryan membalas senyumannya. "Sama-sama. Dan tolong, panggil saja Ryan. Kita sudah cukup lama bekerja bersama, nggak perlu terlalu formal."Nisa mengangguk pelan. "Baiklah, Ryan. Terima kasih sekali l
“Aku nggak akan biarkan kamu menang semudah itu, Nis.” Asep menatap Nisa dengan penuh kebencian, suaranya penuh ancaman. “Kalau kamu terusin perceraian ini, aku bakal buka mulut soal semua aibmu. Semua orang di desa bakal tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan di luar negeri.”Nisa menatapnya dengan mata berkilat, menahan marah yang sudah lama ia pendam. Di sampingnya, Ryan duduk dengan tenang, tatapannya tidak lepas dari Asep. Nisa merasa tangan Ryan menggenggam lengan kursinya sedikit lebih erat, memberikan isyarat bahwa ia siap mendukung Nisa sepenuhnya.“Jangan omong kosong, Asep,” Nisa akhirnya membuka suara, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Aku tahu permainanmu. Kamu cuma mau menakut-nakuti aku biar aku mundur.”Asep tertawa kecil, sinis, seolah mengejek keberanian Nisa. “Kamu pikir kamu bisa menang? Kamu yang ninggalin rumah buat jadi TKW, terus balik-balik bawa masalah. Siapa yang bakal percaya sama kamu, Nis? Desa ini nggak akan pernah berpihak sama kamu.”Nisa mer
“Selamat, Nisa. Kamu sudah memenangkan hak asuh penuh atas Ais,” kata Pak Arif dengan senyum puas di wajahnya. Mereka baru saja keluar dari ruang sidang, di mana hakim telah memutuskan untuk memberikan hak asuh anak kepada Nisa. “Dengan semua bukti yang kita punya, keputusan ini memang sudah seharusnya.”Nisa mengangguk, mencoba menyerap kabar baik ini dengan penuh syukur, tetapi ada keraguan yang menyelinap di benaknya. “Tapi... Asep pasti nggak akan terima dengan mudah, Pak Arif. Aku tahu dia. Dia pasti akan mencoba sesuatu.”Pak Arif menatap Nisa dengan serius. “Aku mengerti kekhawatiran kamu, Nisa. Tapi keputusan pengadilan ini sudah final. Kalau Asep melakukan sesuatu yang melanggar hukum, kita bisa mengambil tindakan lebih lanjut. Kamu harus tetap kuat.”Nisa menarik napas dalam-dalam dan mengangguk lagi. Meskipun ia merasa lega karena perjuangannya untuk mendapatkan hak asuh Ais telah berakhir dengan kemenangan, kekhawatiran tentang reaksi Asep tidak bisa hilang begitu saja. As
"Nisa, kamu yakin tidak mau bicara sama Ryan dulu sebelum memutuskan ini?" tanya Lia, sahabat Nisa yang sudah mengenalnya sejak kecil. Mereka duduk di ruang tamu rumah Nisa, dengan cangkir teh yang hampir habis. Di luar, suara anak-anak bermain dan deru sepeda motor yang lewat sesekali terdengar, memberi kesan hari yang normal di desa.Nisa menghela napas, pandangannya terpaku pada lantai yang dingin. " Lia, aku... aku rasa ini yang terbaik untuk sekarang. Aku perlu menjauh dari Ryan, setidaknya untuk sementara." Lia memandang Nisa dengan tatapan penuh keprihatinan. "Aku tahu kamu pasti punya alasan, Nis. Tapi kalau aku lihat, Ryan itu tulus sama kamu. Dia bisa jadi penopang di saat-saat sulit seperti ini."Nisa tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku tahu. Ryan sudah banyak membantu aku, lebih dari yang bisa aku ucapkan. Tapi justru karena itu, aku merasa harus memberi jarak. Hidupku sekarang ini kacau, dan aku nggak mau menyeret Ryan ke dalam kekacauan ini.
"Aku sudah bilang, Ryan, kamu nggak usah repot-repot nganterin aku," kata Nisa sambil melangkah cepat menuju rumahnya. Hari itu matahari mulai terbenam, dan langit berubah menjadi warna jingga yang indah. Nisa baru saja pulang dari pabrik dan merasa lelah setelah seharian bekerja.Ryan, yang berjalan di sampingnya, tidak memperlambat langkahnya. "Nggak apa-apa, Nis. Aku senang bisa menemani kamu. Lagipula, nggak ada salahnya kan kalau aku memastikan kamu sampai rumah dengan selamat?"Nisa mendesah pelan. Sudah beberapa minggu berlalu sejak ia memutuskan untuk menjaga jarak dari Ryan, tetapi pria itu terus saja menunjukkan perhatiannya. Meskipun hatinya hangat setiap kali Ryan ada di dekatnya, Nisa tetap merasa ragu. Pandangan negatif warga desa terhadap hubungan mereka adalah sesuatu yang terus menghantuinya."Aku tahu kamu khawatir, Ryan, tapi aku nggak ingin orang-orang di desa salah paham," Nisa mencoba menjelaskan sekali lagi.Ryan menatap Nisa dengan senyum lembut. "Nisa, aku ped
"Jadi, kamu yakin ini akan berhasil?" suara Bu Rika terdengar tegas, namun masih ada keraguan yang tersirat di balik kata-katanya. Ia menatap Eka yang duduk di hadapannya, seakan mencari jaminan bahwa rencana yang sedang mereka bicarakan akan berjalan sesuai harapan.Eka, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang licik dan penuh perhitungan, mengangguk dengan keyakinan. "Tentu saja, Bu. Ini satu-satunya cara untuk memastikan Nisa hancur. Aku sudah siapkan semuanya. Tinggal kita eksekusi saja."Bu Rika menatap Eka dengan mata penuh sinis. "Kamu ingat kan, Eka? Nggak ada ruang untuk kesalahan. Sekali kita mulai, nggak ada jalan mundur."Eka menegakkan punggungnya, seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya tak gentar dengan peringatan itu. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu. Aku sudah atur semuanya. Proyek pabrik itu akan jadi senjata kita. Nisa nggak akan punya kesempatan untuk bertahan."Bu Rika menarik napas dalam, lalu mengangguk setuju. “Baiklah. Pastikan kamu melakukan apa yang