“Selamat, Nisa. Kamu sudah memenangkan hak asuh penuh atas Ais,” kata Pak Arif dengan senyum puas di wajahnya. Mereka baru saja keluar dari ruang sidang, di mana hakim telah memutuskan untuk memberikan hak asuh anak kepada Nisa. “Dengan semua bukti yang kita punya, keputusan ini memang sudah seharusnya.”Nisa mengangguk, mencoba menyerap kabar baik ini dengan penuh syukur, tetapi ada keraguan yang menyelinap di benaknya. “Tapi... Asep pasti nggak akan terima dengan mudah, Pak Arif. Aku tahu dia. Dia pasti akan mencoba sesuatu.”Pak Arif menatap Nisa dengan serius. “Aku mengerti kekhawatiran kamu, Nisa. Tapi keputusan pengadilan ini sudah final. Kalau Asep melakukan sesuatu yang melanggar hukum, kita bisa mengambil tindakan lebih lanjut. Kamu harus tetap kuat.”Nisa menarik napas dalam-dalam dan mengangguk lagi. Meskipun ia merasa lega karena perjuangannya untuk mendapatkan hak asuh Ais telah berakhir dengan kemenangan, kekhawatiran tentang reaksi Asep tidak bisa hilang begitu saja. As
"Nisa, kamu yakin tidak mau bicara sama Ryan dulu sebelum memutuskan ini?" tanya Lia, sahabat Nisa yang sudah mengenalnya sejak kecil. Mereka duduk di ruang tamu rumah Nisa, dengan cangkir teh yang hampir habis. Di luar, suara anak-anak bermain dan deru sepeda motor yang lewat sesekali terdengar, memberi kesan hari yang normal di desa.Nisa menghela napas, pandangannya terpaku pada lantai yang dingin. " Lia, aku... aku rasa ini yang terbaik untuk sekarang. Aku perlu menjauh dari Ryan, setidaknya untuk sementara." Lia memandang Nisa dengan tatapan penuh keprihatinan. "Aku tahu kamu pasti punya alasan, Nis. Tapi kalau aku lihat, Ryan itu tulus sama kamu. Dia bisa jadi penopang di saat-saat sulit seperti ini."Nisa tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku tahu. Ryan sudah banyak membantu aku, lebih dari yang bisa aku ucapkan. Tapi justru karena itu, aku merasa harus memberi jarak. Hidupku sekarang ini kacau, dan aku nggak mau menyeret Ryan ke dalam kekacauan ini.
"Aku sudah bilang, Ryan, kamu nggak usah repot-repot nganterin aku," kata Nisa sambil melangkah cepat menuju rumahnya. Hari itu matahari mulai terbenam, dan langit berubah menjadi warna jingga yang indah. Nisa baru saja pulang dari pabrik dan merasa lelah setelah seharian bekerja.Ryan, yang berjalan di sampingnya, tidak memperlambat langkahnya. "Nggak apa-apa, Nis. Aku senang bisa menemani kamu. Lagipula, nggak ada salahnya kan kalau aku memastikan kamu sampai rumah dengan selamat?"Nisa mendesah pelan. Sudah beberapa minggu berlalu sejak ia memutuskan untuk menjaga jarak dari Ryan, tetapi pria itu terus saja menunjukkan perhatiannya. Meskipun hatinya hangat setiap kali Ryan ada di dekatnya, Nisa tetap merasa ragu. Pandangan negatif warga desa terhadap hubungan mereka adalah sesuatu yang terus menghantuinya."Aku tahu kamu khawatir, Ryan, tapi aku nggak ingin orang-orang di desa salah paham," Nisa mencoba menjelaskan sekali lagi.Ryan menatap Nisa dengan senyum lembut. "Nisa, aku ped
"Jadi, kamu yakin ini akan berhasil?" suara Bu Rika terdengar tegas, namun masih ada keraguan yang tersirat di balik kata-katanya. Ia menatap Eka yang duduk di hadapannya, seakan mencari jaminan bahwa rencana yang sedang mereka bicarakan akan berjalan sesuai harapan.Eka, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang licik dan penuh perhitungan, mengangguk dengan keyakinan. "Tentu saja, Bu. Ini satu-satunya cara untuk memastikan Nisa hancur. Aku sudah siapkan semuanya. Tinggal kita eksekusi saja."Bu Rika menatap Eka dengan mata penuh sinis. "Kamu ingat kan, Eka? Nggak ada ruang untuk kesalahan. Sekali kita mulai, nggak ada jalan mundur."Eka menegakkan punggungnya, seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya tak gentar dengan peringatan itu. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu. Aku sudah atur semuanya. Proyek pabrik itu akan jadi senjata kita. Nisa nggak akan punya kesempatan untuk bertahan."Bu Rika menarik napas dalam, lalu mengangguk setuju. “Baiklah. Pastikan kamu melakukan apa yang
“Aku rasa ini waktunya kita bicara jujur sama Asep,” kata Bu Rika, suaranya rendah namun penuh dengan maksud tersembunyi. Ia menatap Eka dengan mata tajam, memastikan bahwa sahabatnya itu siap untuk melibatkan Asep lebih jauh dalam rencana mereka.Eka menghela napas pelan, lalu mengangguk setuju. “Ya, aku setuju. Kalau kita ingin benar-benar menghancurkan Nisa, kita butuh Asep. Dia yang paling mengenal Nisa, dan dia juga yang paling punya pengaruh di desa ini. Lagipula, Asep punya dendam yang sama besarnya dengan kita.”Bu Rika tersenyum tipis, senang melihat bahwa Eka sepenuhnya berada di pihaknya. Mereka berdua tahu bahwa melibatkan Asep berarti bermain dengan api, tetapi api inilah yang mereka butuhkan untuk membakar habis kehidupan Nisa.Malam itu, mereka berdua menemui Asep di rumahnya yang sedikit terpencil di pinggir desa. Rumah yang tampak suram dan gelap, seakan mencerminkan jiwa Asep yang penuh dengan kebencian dan dendam.Saat mereka duduk di ruang tamu yang sederhana, Asep
“Aku yakin kita hampir sampai di ujungnya, Nisa,” kata Ryan dengan nada yakin saat mereka bertiga duduk di ruang kantor Nisa. Andi, yang tampak tegang, setuju dengan anggukan kepala. Mereka baru saja menyelesaikan penyelidikan internal mengenai insiden sabotase di pabrik, dan semua petunjuk mulai mengarah pada satu kesimpulan yang tak terbantahkan.Nisa memandang kedua pria di depannya dengan tatapan penuh tekad. Setelah semua yang terjadi, dia tak lagi bisa menunggu. “Kita harus bertindak sekarang. Kalau tidak, mereka akan terus merusak semuanya sampai kita nggak punya apa-apa lagi.”Andi menggeser tumpukan kertas di hadapannya, menunjukkan laporan kerusakan mesin dan bukti-bukti lain yang telah mereka kumpulkan selama beberapa minggu terakhir. “Semua bukti ini mengarah pada Eka dan Bu Rika. Mereka yang berada di balik semua sabotase ini. Tapi kita perlu lebih dari sekadar bukti, kita butuh saksi atau pengakuan yang bisa memperkuat kasus ini.”Ryan menatap Andi dengan serius. “Aku su
“Bu, aku dapet ranking satu!” seru Ais dengan mata berbinar-binar, melompat ke pelukan Nisa saat mereka berjalan keluar dari gerbang sekolah. Nisa tak bisa menyembunyikan rasa bangga yang memuncak di hatinya. Ini adalah momen yang telah lama dinantikannya, sebuah tanda bahwa meski badai berkecamuk dalam hidup mereka, Ais tetap bisa bersinar.Nisa memeluk Ais erat-erat, merasakan betapa kuat ikatan antara ibu dan anak ini telah menjadi. “Ibu bangga sekali sama kamu, sayang. Kamu benar-benar hebat.”Ais tertawa senang, menggoyang-goyangkan rapor yang baru saja ia terima di tangan kecilnya. “Aku juga senang, Bu! Guru-guru bilang aku pinter dan rajin belajar. Aku belajar keras biar Ibu seneng.”Nisa mengusap rambut Ais dengan penuh kasih sayang. “Dan Ibu memang sangat senang, Ais. Kamu selalu buat Ibu bangga. Apa pun yang terjadi, kamu adalah hadiah terbesar dalam hidup Ibu.”Ais tersenyum manis, kemudian bertanya dengan nada polos, “Bu, apakah sekarang kita bisa merayakannya? Aku pengen
"Aduh, Bu... perut Ais sakit sekali," keluh Ais dengan wajah pucat, memegangi perutnya yang meringkuk di atas kasur. Keringat dingin membasahi dahinya, dan suara lemah gadis kecil itu memecah kesunyian di kamar mereka yang sederhana.Nisa menatap putrinya dengan panik, berusaha tetap tenang meski hatinya bergemuruh penuh kecemasan. "Sabar ya, Nak... Ibu akan cari bantuan. Kamu kuat, ya, sayang."Nisa bergegas ke dapur, meraih telepon genggamnya. Ia tak tahu harus menghubungi siapa dulu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Ryan. Jarinya gemetar saat menekan nomor pria itu."Halo, Ryan?" Suaranya pecah, hampir tak bisa menahan tangis."Nisa? Ada apa?" Suara Ryan terdengar penuh perhatian di seberang sana, membuat Nisa merasa sedikit lega."Ais sakit... parah, Ryan. Aku nggak tahu harus bagaimana. Dia demam tinggi dan perutnya sakit. Aku takut..." Nisa tak bisa melanjutkan kata-katanya, tenggelam dalam isak tangis yang tertahan.Ryan terdengar menghela napas berat sebelum menjawa