"Aku sudah bilang, Ryan, kamu nggak usah repot-repot nganterin aku," kata Nisa sambil melangkah cepat menuju rumahnya. Hari itu matahari mulai terbenam, dan langit berubah menjadi warna jingga yang indah. Nisa baru saja pulang dari pabrik dan merasa lelah setelah seharian bekerja.Ryan, yang berjalan di sampingnya, tidak memperlambat langkahnya. "Nggak apa-apa, Nis. Aku senang bisa menemani kamu. Lagipula, nggak ada salahnya kan kalau aku memastikan kamu sampai rumah dengan selamat?"Nisa mendesah pelan. Sudah beberapa minggu berlalu sejak ia memutuskan untuk menjaga jarak dari Ryan, tetapi pria itu terus saja menunjukkan perhatiannya. Meskipun hatinya hangat setiap kali Ryan ada di dekatnya, Nisa tetap merasa ragu. Pandangan negatif warga desa terhadap hubungan mereka adalah sesuatu yang terus menghantuinya."Aku tahu kamu khawatir, Ryan, tapi aku nggak ingin orang-orang di desa salah paham," Nisa mencoba menjelaskan sekali lagi.Ryan menatap Nisa dengan senyum lembut. "Nisa, aku ped
"Jadi, kamu yakin ini akan berhasil?" suara Bu Rika terdengar tegas, namun masih ada keraguan yang tersirat di balik kata-katanya. Ia menatap Eka yang duduk di hadapannya, seakan mencari jaminan bahwa rencana yang sedang mereka bicarakan akan berjalan sesuai harapan.Eka, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang licik dan penuh perhitungan, mengangguk dengan keyakinan. "Tentu saja, Bu. Ini satu-satunya cara untuk memastikan Nisa hancur. Aku sudah siapkan semuanya. Tinggal kita eksekusi saja."Bu Rika menatap Eka dengan mata penuh sinis. "Kamu ingat kan, Eka? Nggak ada ruang untuk kesalahan. Sekali kita mulai, nggak ada jalan mundur."Eka menegakkan punggungnya, seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya tak gentar dengan peringatan itu. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu. Aku sudah atur semuanya. Proyek pabrik itu akan jadi senjata kita. Nisa nggak akan punya kesempatan untuk bertahan."Bu Rika menarik napas dalam, lalu mengangguk setuju. “Baiklah. Pastikan kamu melakukan apa yang
“Aku rasa ini waktunya kita bicara jujur sama Asep,” kata Bu Rika, suaranya rendah namun penuh dengan maksud tersembunyi. Ia menatap Eka dengan mata tajam, memastikan bahwa sahabatnya itu siap untuk melibatkan Asep lebih jauh dalam rencana mereka.Eka menghela napas pelan, lalu mengangguk setuju. “Ya, aku setuju. Kalau kita ingin benar-benar menghancurkan Nisa, kita butuh Asep. Dia yang paling mengenal Nisa, dan dia juga yang paling punya pengaruh di desa ini. Lagipula, Asep punya dendam yang sama besarnya dengan kita.”Bu Rika tersenyum tipis, senang melihat bahwa Eka sepenuhnya berada di pihaknya. Mereka berdua tahu bahwa melibatkan Asep berarti bermain dengan api, tetapi api inilah yang mereka butuhkan untuk membakar habis kehidupan Nisa.Malam itu, mereka berdua menemui Asep di rumahnya yang sedikit terpencil di pinggir desa. Rumah yang tampak suram dan gelap, seakan mencerminkan jiwa Asep yang penuh dengan kebencian dan dendam.Saat mereka duduk di ruang tamu yang sederhana, Asep
“Aku yakin kita hampir sampai di ujungnya, Nisa,” kata Ryan dengan nada yakin saat mereka bertiga duduk di ruang kantor Nisa. Andi, yang tampak tegang, setuju dengan anggukan kepala. Mereka baru saja menyelesaikan penyelidikan internal mengenai insiden sabotase di pabrik, dan semua petunjuk mulai mengarah pada satu kesimpulan yang tak terbantahkan.Nisa memandang kedua pria di depannya dengan tatapan penuh tekad. Setelah semua yang terjadi, dia tak lagi bisa menunggu. “Kita harus bertindak sekarang. Kalau tidak, mereka akan terus merusak semuanya sampai kita nggak punya apa-apa lagi.”Andi menggeser tumpukan kertas di hadapannya, menunjukkan laporan kerusakan mesin dan bukti-bukti lain yang telah mereka kumpulkan selama beberapa minggu terakhir. “Semua bukti ini mengarah pada Eka dan Bu Rika. Mereka yang berada di balik semua sabotase ini. Tapi kita perlu lebih dari sekadar bukti, kita butuh saksi atau pengakuan yang bisa memperkuat kasus ini.”Ryan menatap Andi dengan serius. “Aku su
“Bu, aku dapet ranking satu!” seru Ais dengan mata berbinar-binar, melompat ke pelukan Nisa saat mereka berjalan keluar dari gerbang sekolah. Nisa tak bisa menyembunyikan rasa bangga yang memuncak di hatinya. Ini adalah momen yang telah lama dinantikannya, sebuah tanda bahwa meski badai berkecamuk dalam hidup mereka, Ais tetap bisa bersinar.Nisa memeluk Ais erat-erat, merasakan betapa kuat ikatan antara ibu dan anak ini telah menjadi. “Ibu bangga sekali sama kamu, sayang. Kamu benar-benar hebat.”Ais tertawa senang, menggoyang-goyangkan rapor yang baru saja ia terima di tangan kecilnya. “Aku juga senang, Bu! Guru-guru bilang aku pinter dan rajin belajar. Aku belajar keras biar Ibu seneng.”Nisa mengusap rambut Ais dengan penuh kasih sayang. “Dan Ibu memang sangat senang, Ais. Kamu selalu buat Ibu bangga. Apa pun yang terjadi, kamu adalah hadiah terbesar dalam hidup Ibu.”Ais tersenyum manis, kemudian bertanya dengan nada polos, “Bu, apakah sekarang kita bisa merayakannya? Aku pengen
"Aduh, Bu... perut Ais sakit sekali," keluh Ais dengan wajah pucat, memegangi perutnya yang meringkuk di atas kasur. Keringat dingin membasahi dahinya, dan suara lemah gadis kecil itu memecah kesunyian di kamar mereka yang sederhana.Nisa menatap putrinya dengan panik, berusaha tetap tenang meski hatinya bergemuruh penuh kecemasan. "Sabar ya, Nak... Ibu akan cari bantuan. Kamu kuat, ya, sayang."Nisa bergegas ke dapur, meraih telepon genggamnya. Ia tak tahu harus menghubungi siapa dulu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Ryan. Jarinya gemetar saat menekan nomor pria itu."Halo, Ryan?" Suaranya pecah, hampir tak bisa menahan tangis."Nisa? Ada apa?" Suara Ryan terdengar penuh perhatian di seberang sana, membuat Nisa merasa sedikit lega."Ais sakit... parah, Ryan. Aku nggak tahu harus bagaimana. Dia demam tinggi dan perutnya sakit. Aku takut..." Nisa tak bisa melanjutkan kata-katanya, tenggelam dalam isak tangis yang tertahan.Ryan terdengar menghela napas berat sebelum menjawa
“Bagaimana, Nisa?” Suara lembut Ryan memecah kesunyian. Dia berdiri di pintu kamar rumah sakit, membawa secangkir teh hangat untuk Nisa.“Dia belum juga membaik,” jawab Nisa pelan, suaranya parau karena terlalu banyak menangis. Dia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap teh itu sebentar sebelum meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ryan. Rasanya aku ingin menggantikannya saja, biar dia nggak perlu merasakan sakit ini.”Ryan menarik kursi ke dekat Nisa, duduk di sampingnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nisa. Ais anak yang kuat, dia akan melewati ini. Kita harus percaya itu.”Nisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tetap merasa bersalah, Ryan. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sibuk dengan masalah-masalahku sendiri...”Ryan menghela napas, lalu menatap Nisa dengan penuh pengertian. “Kamu nggak
"Ais sudah mulai makan lebih banyak hari ini, Alhamdulillah," ujar Nisa dengan suara lembut, sambil menutup pintu kamar putrinya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun kelelahan yang tertinggal jelas tampak di matanya. Ryan, yang sedang duduk di ruang tamu kecil rumah Nisa, menoleh dengan ekspresi lega. "Syukurlah. Aku sudah khawatir banget. Dia butuh banyak istirahat untuk pulih sepenuhnya." Nisa duduk di samping Ryan, menghela napas panjang. "Iya, aku juga khawatir. Melihat dia sakit parah kemarin benar-benar bikin aku merasa tak berdaya. Untung ada kamu yang selalu siap membantu, Ryan. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu."Ryan tersenyum hangat, menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa membantu, Nisa. Kamu nggak usah merasa terbebani sama sekali. Kamu tahu, Ais itu udah kayak anakku sendiri. Aku akan selalu ada buat dia dan buat kamu."Kata-kata Ryan itu membuat hati Nisa terasa hangat. Selama Ais sakit, Ryan selalu berada di sisinya, me