Pagi itu, suasana desa terasa lebih riuh dari biasanya. Nisa, yang baru saja selesai mengantar Ais ke sekolah, berjalan cepat menuju pabrik. Langkahnya tergesa, bukan karena dikejar waktu, tetapi karena perasaan tak nyaman yang terus menggelayut di hatinya. Sejak meninggalkan rumah tadi, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tatapan tetangga yang biasanya ramah kini tampak menghindar, seolah ada sesuatu yang ingin mereka katakan tapi tak berani.Setibanya di pabrik, Nisa langsung disambut oleh beberapa pekerja yang memulai aktivitas mereka. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam cara mereka menyapa. Sapaan yang biasanya disertai senyum tulus, kini terasa dingin dan penuh keraguan. Nisa mencoba mengabaikannya, berpikir mungkin hanya perasaannya saja."Nisa, ada rapat pagi ini dengan Pak Ryan. Kita harus menyelesaikan laporan mingguan," kata Andi, yang baru saja datang dan berjalan bersamanya menuju kantor.Nisa mengangguk. "Iya, Ndi. Sudah siap kok."Saat mereka berjalan berdampingan, And
Pagi itu, Nisa bergegas menuju tukang sayur keliling seperti biasa setelah mengantar Ais ke sekolah. Udara pagi terasa sejuk, dan matahari baru saja muncul dari balik bukit, menyinari kampung kecilnya yang masih tenang. Nisa sudah terbiasa dengan rutinitas ini, tapi entah kenapa, hari ini dia merasa sedikit cemas.Saat tiba di tempat tukang sayur, dia mendapati beberapa tetangga sudah berkumpul, sibuk memilih sayuran segar. Namun, ketika dia mulai mendekat, beberapa dari mereka tiba-tiba menghentikan percakapan dan melirik ke arahnya dengan tatapan aneh. Nisa bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres."Eh, Bu Nisa, pagi-pagi udah belanja aja nih," sapa Bu Leha, tetangga yang terkenal suka bergosip, dengan senyum yang nampak dibuat-buat. Dia berhenti memilih sayuran dan langsung mendekati Nisa."Iya, Bu Leha. Mumpung masih segar sayurannya," jawab Nisa dengan senyum tipis. Dia berusaha bersikap biasa, meski sudah merasa ada yang tidak beres.Bu Leha tertawa kecil. "Memang betul, sayura
Pagi hari setelah pertemuan dengan para tetangga, Nisa masih terus memikirkan apa yang terjadi kemarin. Pikiran untuk berhenti bekerja terus mengganggu benaknya. Namun, saat ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, suara ceria Ais yang baru selesai sarapan menghentikan langkahnya."Bu, Om Ryan itu baik banget, ya?" tanya Ais sambil menatap Nisa dengan mata polosnya.Nisa tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Om Ryan memang orang yang baik.""Terus, kenapa Ibu nggak menikah aja sama Om Ryan? Ais suka banget kalau punya Ayah kayak Om Ryan," ucap Ais dengan wajah penuh harap.Nisa tersenyum lembut, mengusap rambut Ais. "Sayang, itu bukan sesuatu yang mudah. Om Ryan itu bos Ibu, dan kita harus menghormati beliau. Lagi pula, menikah itu bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja."Ais mengerutkan dahi, tampak berpikir keras. "Tapi, Ais beneran suka sama Om Ryan. Ayah kan jahat, bu. Kenapa nggak sama Om Ryan aja?"Nisa terdiam sejenak, merasa berat untuk menjelaskan lebih jauh pa
"Haha ... Jalan terang sudah terbuka untuk kita!" Suara tawa terdengar keras dari ruang tengah rumah itu. Asep, Bu Rika, dan Eka duduk bersama di ruang itu, wajah mereka penuh kepuasan. Mereka baru saja mendengar kabar dari beberapa tetangga bahwa gosip yang mereka sebarkan tentang Nisa mulai menyebar luas. Bagi mereka, ini adalah kemenangan kecil yang layak dirayakan."Aku dengar dari Bu Leha tadi pagi, Nisa sudah mulai cemas karena gosip itu," kata Asep dengan nada bangga. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi puas. "Akhirnya dia merasakan juga akibat dari tingkahnya."Eka, yang duduk di sampingnya, menimpali sambil menyisir rambutnya yang hitam panjang. "Baguslah, biar dia tahu rasanya. Selama ini dia selalu merasa lebih baik dari kita, selalu merendahkan kita. Sekarang, biar dia kena batunya."Bu Rika, yang duduk di kursi di seberang mereka, mengangguk setuju. Wajahnya yang sudah berkerut dipenuhi oleh ekspresi licik. "Anak itu memang sudah lama cari gara-gara. Dari
Eka menghempaskan tubuhnya ke kursi kayu tua di rumah Bu Rika, matanya menatap jengkel ke arah pintu. "Bu, ini semua karena Nisa, ya! Semua masalah datang gara-gara dia!" geramnya sambil menendang kaki meja di depannya.Bu Rika, yang sedang mengupas bawang di dapur, hanya mendengus pelan. "Ya, memang dari dulu dia selalu bikin repot. Lagipula, siapa suruh dia balik? Enak-enakan di luar negeri, tiba-tiba balik bawa masalah," ujarnya dengan nada sinis.Asep, yang sedang duduk di lantai sambil memeriksa ponselnya, tiba-tiba tertawa kecil. "Kalian tenang saja. Aku sudah mulai menjalankan rencana baru. Gosip yang aku sebar di kampung sudah mulai mempan. Lihat saja, Nisa pasti akan makin terpojok," katanya sambil menyeringai.Eka mengerutkan keningnya. "Tapi, Mas, kalau gosip saja nggak cukup buat dia berhenti bekerja, gimana?"Asep melirik Eka dengan tatapan licik. "Kita bikin dia nggak tahan tinggal di kampung ini. Lagipula, orang-orang sudah mulai percaya kalau dia main sama bule. Kala
Di depan rumah Nisa, Andi melihat pintu yang terbuka lebar, menandakan bahwa Nisa sedang di rumah. Ia berdeham pelan, mencoba menarik perhatian. "Nis, ada di rumah?" serunya dari pintu.Tak lama, Nisa muncul di ambang pintu dengan wajah lelah. "Oh, Andi... Ada apa ya?"Andi memasuki rumah dengan ragu-ragu. "Aku cuma pengen ngobrol sebentar. Ada yang harus kuberitahu," jawabnya, menatap Nisa dengan serius.Nisa menghela napas, lalu mengajak Andi duduk di ruang tamu sederhana yang hanya beralaskan tikar anyaman. "Ada masalah apa lagi, Di? Semakin hari, semuanya terasa makin berat," katanya dengan nada pasrah.Andi menatap Nisa dengan rasa prihatin. "Aku dengar bisik-bisik soal Bu Rika sama Eka yang nggak enak, Nis. Kayaknya mereka lagi nyusun rencana buat jatuhin kamu. Aku nggak tau pasti apa rencananya, tapi aku rasa kamu harus hati-hati."Nisa terdiam sejenak, meresapi ucapan Andi. "Rencana apa, Di? Apa yang bisa mereka lakukan lagi? Rasanya mereka udah cukup merusak hidupku," ucapny
"Nggak bisa terus-terusan begini, Eka! Kita harus buat Nisa nggak punya muka lagi di desa ini!" Suara Bu Rika terdengar tajam dan penuh amarah. Andi yang sedang melintas di dekat warung kopi kecil itu, menghentikan langkahnya. Ia mengenali suara itu dengan baik—Bu Rika, tokoh yang sering kali menjadi biang gosip di desa. Yang diketahuinya juga mertua Nisa. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Andi merasa ada yang tidak beres. Ia memutuskan untuk mendekat sedikit, menyelinap di balik tembok warung, dan mendengarkan percakapan itu.Eka, yang duduk berseberangan dengan Bu Rika, mengangguk dengan wajah serius. "Aku udah siapin rencana, Bu. Ini bukan cuma soal gosip lagi. Kita harus buat dia benar-benar hancur. Aku dengar dia masih berhubungan sama Ryan, kan? Kita bisa manfaatin itu."Bu Rika mengernyit, "Maksudmu?"Eka menyeringai, wajahnya memancarkan kebencian yang dingin. "Kita bisa jebak mereka, Bu. Buat seolah-olah mereka terlibat sesuatu yang nggak pantas. Kalau warga desa
"Selamat pagi, Nisa. Sudah sarapan belum?" suara Ryan terdengar hangat saat Nisa baru saja memasuki ruang kerjanya.Nisa tersenyum tipis sambil meletakkan tasnya di meja. "Belum, Pak Ryan. Tadi terburu-buru berangkat, jadi belum sempat."Ryan mengerutkan kening, lalu merogoh sesuatu dari laci mejanya. "Kebetulan sekali. Saya bawa roti lebih hari ini. Mungkin bisa jadi pengganjal perut sementara."Nisa terkejut dengan perhatian kecil itu. "Wah, nggak perlu repot-repot, Pak. Saya bisa beli di kantin nanti."Ryan menggeleng sambil menyodorkan bungkus roti tersebut. "Nggak apa-apa, Nisa. Daripada kamu kerja dengan perut kosong. Lagipula, saya nggak bisa habiskan semuanya sendiri."Dengan ragu, Nisa menerima roti itu sambil tersenyum. "Terima kasih banyak, Pak Ryan. Anda benar-benar perhatian."Ryan membalas senyumannya. "Sama-sama. Dan tolong, panggil saja Ryan. Kita sudah cukup lama bekerja bersama, nggak perlu terlalu formal."Nisa mengangguk pelan. "Baiklah, Ryan. Terima kasih sekali l