"Bu. Om Ryan itu baik banget. Ais suka."Gadis kecil itu berseloroh setelah selesai belajar. Nisa menghela nafas panjang dan tersenyum. Ini bukan kali pertama sang anak mengucapkan kalimat yang sama."Iya, beliau memang baik sekali."Tak dipungkiri, Nisa atau bahkan orang lain pun bisa melihat kebaikan dari pria bule itu. Kebaikan tulus yang diberikan pada semua orang. Tetapi memang terlihat berbeda sekali dengan yang dicurahkan pada Nisa dan Ais.Ais pun dengan cepatnya kemudian membeberkan semua kebaikan dan perhatian yang diberikan oleh Ryan. Meski pun beberapa hal Nisa sudah melihat sendiri, tetapi Dia tetap mendengarkan dengan baik celoteh putrinya itu."Beda banget sama Ayah." Tiba tiba raut wajah gadis kecil itu berubah kesal. "Jahat."Nisa mendengus pelan mendengar hal itu. Jika mengatakan tentang Ryan, memang selalu pada ujung ujungnya Ais akan membandingkan dengan Asep. Tak salah sih sebenarnya, memang begitu keadaannya. "Harusnya dulu ibu menikah bukan dengan Ayah, harusn
"Bu, aku nggak mau ketemu Ayah." Ais menarik tangan Nisa dengan wajah kecilnya yang penuh kegelisahan. Langkah mereka mendekati gedung pengadilan yang lusuh di ujung jalan, membuat Nisa merasa sesak di dada. Namun, dia tetap tenang, berusaha menunjukkan kekuatannya di depan Ais. "Ayah nggak bisa apa-apa, Sayang. Ibu yang akan melindungi Ais," jawab Nisa sambil tersenyum lembut, berusaha menenangkan putrinya. Mereka melangkah ke dalam gedung yang sepi, di mana suara pintu tua berderit menyambut mereka. Di dalam, sudah ada beberapa orang duduk di kursi kayu yang terlihat tua, termasuk Asep yang duduk di ujung ruangan dengan tatapan penuh dendam. Nisa menuntun Ais menuju tempat duduk yang paling jauh dari Asep, berusaha menjaga jarak. Tak ada rasa takut di hati Nisa, hanya rasa muak pada lelaki yang pernah menjadi suaminya itu. Kini, Asep hanyalah bayangan dari masa lalunya yang kelam, seorang pria yang sudah jatuh miskin dan kehilangan segalanya. "Sini, duduk dulu, Sayang," ujar Nis
Matahari baru saja terbit ketika Nisa menyiapkan sarapan di dapur. Pikirannya masih terbelah antara ketegangan yang dirasakan kemarin di pengadilan dan kecemasannya tentang mediasi yang akan mereka hadapi hari ini. Meskipun ia merasa kuat dan yakin bahwa hukum berada di pihaknya, tetap saja ada rasa gelisah yang merayap di hatinya.Ais, yang baru selesai mandi, muncul dengan rambut yang masih basah dan handuk kecil menggantung di lehernya. Gadis kecil itu terlihat lebih tenang hari ini, meski Nisa tahu bahwa dalam hatinya, Ais masih merasa takut."Bu, hari ini kita ke pengadilan lagi?" tanya Ais dengan suara lembut."Iya, Sayang. Kita harus bertemu lagi dengan Ayah untuk mediasi," jawab Nisa sambil tersenyum, mencoba memberikan ketenangan.Ais mengangguk, meski jelas bahwa dia tidak suka dengan rencana itu. "Om Ryan nggak datang hari ini?"Nisa menggeleng. "Nggak, Sayang. Om Ryan harus kerja di pabrik. Tapi beliau titip salam buat Ais, katanya Ais harus jadi anak pemberani."Mendengar
Pagi itu, Nisa bangun lebih awal dari biasanya. Setelah mempersiapkan sarapan sederhana, ia menyiapkan seragam Ais dan mengecek ulang tas sekolah putrinya. Hari ini adalah hari penting, bukan hanya karena Nisa harus bekerja, tetapi juga karena tekanan dari sidang perceraian yang semakin mendekat. Namun, ia mencoba untuk tidak memikirkannya terlalu banyak, fokus pada apa yang bisa ia kendalikan.“Nak, ayo bangun, sudah hampir waktu berangkat sekolah,” ujar Nisa lembut saat membangunkan Ais.Ais menggeliat sebentar sebelum membuka matanya dan tersenyum melihat ibunya. "Pagi, Bu.""Pagi, Sayang. Ayo, Ibu sudah siapin sarapan, nanti kita bisa berangkat lebih cepat," Nisa mengusap kepala Ais dengan sayang.Tak butuh waktu lama bagi Ais untuk bersiap. Gadis kecil itu duduk di meja makan dengan wajah ceria, meski Nisa bisa merasakan ada sedikit ketegangan di balik senyum putrinya.“Bu, nanti Ais dijemput siapa sepulang sekolah?” tanya Ais sambil mengunyah roti bakarnya.“Ibu sudah minta Pak
Pagi itu, suasana desa terasa lebih riuh dari biasanya. Nisa, yang baru saja selesai mengantar Ais ke sekolah, berjalan cepat menuju pabrik. Langkahnya tergesa, bukan karena dikejar waktu, tetapi karena perasaan tak nyaman yang terus menggelayut di hatinya. Sejak meninggalkan rumah tadi, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tatapan tetangga yang biasanya ramah kini tampak menghindar, seolah ada sesuatu yang ingin mereka katakan tapi tak berani.Setibanya di pabrik, Nisa langsung disambut oleh beberapa pekerja yang memulai aktivitas mereka. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam cara mereka menyapa. Sapaan yang biasanya disertai senyum tulus, kini terasa dingin dan penuh keraguan. Nisa mencoba mengabaikannya, berpikir mungkin hanya perasaannya saja."Nisa, ada rapat pagi ini dengan Pak Ryan. Kita harus menyelesaikan laporan mingguan," kata Andi, yang baru saja datang dan berjalan bersamanya menuju kantor.Nisa mengangguk. "Iya, Ndi. Sudah siap kok."Saat mereka berjalan berdampingan, And
Pagi itu, Nisa bergegas menuju tukang sayur keliling seperti biasa setelah mengantar Ais ke sekolah. Udara pagi terasa sejuk, dan matahari baru saja muncul dari balik bukit, menyinari kampung kecilnya yang masih tenang. Nisa sudah terbiasa dengan rutinitas ini, tapi entah kenapa, hari ini dia merasa sedikit cemas.Saat tiba di tempat tukang sayur, dia mendapati beberapa tetangga sudah berkumpul, sibuk memilih sayuran segar. Namun, ketika dia mulai mendekat, beberapa dari mereka tiba-tiba menghentikan percakapan dan melirik ke arahnya dengan tatapan aneh. Nisa bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres."Eh, Bu Nisa, pagi-pagi udah belanja aja nih," sapa Bu Leha, tetangga yang terkenal suka bergosip, dengan senyum yang nampak dibuat-buat. Dia berhenti memilih sayuran dan langsung mendekati Nisa."Iya, Bu Leha. Mumpung masih segar sayurannya," jawab Nisa dengan senyum tipis. Dia berusaha bersikap biasa, meski sudah merasa ada yang tidak beres.Bu Leha tertawa kecil. "Memang betul, sayura
Pagi hari setelah pertemuan dengan para tetangga, Nisa masih terus memikirkan apa yang terjadi kemarin. Pikiran untuk berhenti bekerja terus mengganggu benaknya. Namun, saat ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, suara ceria Ais yang baru selesai sarapan menghentikan langkahnya."Bu, Om Ryan itu baik banget, ya?" tanya Ais sambil menatap Nisa dengan mata polosnya.Nisa tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Om Ryan memang orang yang baik.""Terus, kenapa Ibu nggak menikah aja sama Om Ryan? Ais suka banget kalau punya Ayah kayak Om Ryan," ucap Ais dengan wajah penuh harap.Nisa tersenyum lembut, mengusap rambut Ais. "Sayang, itu bukan sesuatu yang mudah. Om Ryan itu bos Ibu, dan kita harus menghormati beliau. Lagi pula, menikah itu bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja."Ais mengerutkan dahi, tampak berpikir keras. "Tapi, Ais beneran suka sama Om Ryan. Ayah kan jahat, bu. Kenapa nggak sama Om Ryan aja?"Nisa terdiam sejenak, merasa berat untuk menjelaskan lebih jauh pa
"Haha ... Jalan terang sudah terbuka untuk kita!" Suara tawa terdengar keras dari ruang tengah rumah itu. Asep, Bu Rika, dan Eka duduk bersama di ruang itu, wajah mereka penuh kepuasan. Mereka baru saja mendengar kabar dari beberapa tetangga bahwa gosip yang mereka sebarkan tentang Nisa mulai menyebar luas. Bagi mereka, ini adalah kemenangan kecil yang layak dirayakan."Aku dengar dari Bu Leha tadi pagi, Nisa sudah mulai cemas karena gosip itu," kata Asep dengan nada bangga. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi puas. "Akhirnya dia merasakan juga akibat dari tingkahnya."Eka, yang duduk di sampingnya, menimpali sambil menyisir rambutnya yang hitam panjang. "Baguslah, biar dia tahu rasanya. Selama ini dia selalu merasa lebih baik dari kita, selalu merendahkan kita. Sekarang, biar dia kena batunya."Bu Rika, yang duduk di kursi di seberang mereka, mengangguk setuju. Wajahnya yang sudah berkerut dipenuhi oleh ekspresi licik. "Anak itu memang sudah lama cari gara-gara. Dari