Bab 40
Malam itu, Nisrina sedang bersiap untuk menghadiri resepsi pernikahan Bian dan Ratih. Ada rasa tak nyaman saat ia sedang menatap pantulan wajahnya di dalam kaca.Kenangan saat mereka bersama kembali berkelindan dalam kepala. Perlakuan hangat yang diberikan Bian kembali mengusik hatinya. Senyum tulus yang terbit dari wajah laki-laki yang dulu sangat dicintainya itu kembali mengorek luka yang sudah dengan susah payah ia tutupi.Namun, tamparan dari wanita paruh baya yang telah melahirkan Bian itu kembali terasa perih di wajah Nisrina, yang membuat kenangan-kenangan itu menguap entah kemana.Terbersit rasa ragu untuk hadir di acara itu, mengingat sikap orang tua Bian yang tak menyukainya dan cenderung kasar padanya.Sayangnya pesan dari Bian malam kemarin membuat Nisrina merasa bahwa kehadiran memang harus benar-benar terjadi.[Datang lah dipestaku, sebagai bukti bahwa kamu memang tak lagi mencintaiku. Ketidakhadiranmu kBab 41Nisrina menatap jengah perempuan yang memakai kebaya di depannya. Meskipun sakit hati, Nisrina tak ingin buang-buang tenaga untuk membuat keributan di atas panggung pelaminan ini. Ia ingin datang dengan elegan untuk membuktikan pada Bian dan keluarganya bahwa dirinya bukan perempuan lemah yang larut dalam derita.Abi merangkul pinggang Nisrina dengan eratnya, hingga tubuh mereka tak berjarak. "Ayo, Sayang," ucap Abi dengan tak melepas rangkulannya. Ia sengaja mengeraskan suaranya agar sepasang pengantin di sana mendengar suaranya.Nisrina menatap wajah Abisatya dengan seulas senyum di bibirnya. Hati yang sedang terluka itu makin terasa perih mendapati perlakuan manis dari sang suami yang ternyata hanya sebuah kepura-puraan."Live must go on, meskipun sakit tak boleh terlihat lemah di depan musuh," batin Nisrina menyemangati dirinya. Ia lantas berjalan mengikuti langkah sang suami."Selamat ya?" Abi mengulurkan tangannya pada Bian yang sedang kepayahan mengatur napas."Terima k
Bab 42Rania membanting ponselnya di atas ranjang empuk miliknya. Ia lantas menjatuhkan badannya ke sembarang arah di tempat yang sama.Rasa kesal telah merasuk ke dalam dada Rania sebab sang kekasih tak kunjung bisa dihubungi."Kenapa sih dia ini," gerutu Rania sambil memijit dahinya yang pening."Bagaimana jika aku gagal mendapatkannya? Apalagi gagal menikah," omel Rania lagi.Rania lantas bangun dari tempat tidurnya. Ia meraih tas dan juga kunci mobil yang tergeletak di nakas."Aku harus pergi!" Rania bermonolog. Ia menggenggam erat kunci mobil di tangannya.Namun saat pintu ruang tamu itu terbuka, Rania memutar bola matanya malas ketika mendapati seorang pria sedang berdiri di depan pintu.Urung mengetuk, Natan tersenyum lebar melihat wanita yang ada di depannya."Hai, Sayang. Aku rindu." Seringai menggoda terbit di wajah Natan."Untuk apa lagi kamu datang kemari? Bukannya aku sudah melarangmu ke sini?""Aku rindu, Sayang. Juga rindu dia," ucap Natan sambil melirik bagian tubuh Ra
Bab 43Nisrina menatap layar ponselnya dengan napas tercekat di tenggorokan. Pemandangan itu benar-benar membuatnya sakit hati.Belum ada cinta diantara mereka tapi Nisrina merasa Abi terlalu tega menyakitinya dengan berbuat semata-mata, sama sekali tidak menjaga perasaannya yang berstatus sebagai istri sah.Dalam gambar itu, kepala Abi sedang terlelap di atas kulit dada seorang wanita yang tak terlihat wajahnya. Yang jelas wanita itu bukan diri Nisrina. Mata Abi memejam, seolah Abisatya sedang terlelap. Wajahnya tampak letih, seperti baru saja melakukan aktivitas yang melelahkan.Siapa lagi yang dekat dengan Abi kalau bukan Rania. Jelas saja itu Rania dan nomor yang mengiriminya gambar juga milik Rania. Nomor siapa lagi memang?Tak henti kejadian demi kejadian membuat Nisrina merasa sakit hati. Luka itu lama-lama kian menumpuk. Terlebih setelah pengakuan Abi bahwa dirinya sudah menepati janji tapi ternyata janji itu hanya di mulut.
Bab 44"Kenapa?" tanya Ferdy setelah hanya ada mereka berdua di meja makan, sementara Caca sedang asik main prosotan di sebuah restoran siap saji.Lengkingan suara Caca saat badannya meluncur sesekali mengalihkan perhatian Nisrina dari obrolan santainya dengan Ferdy. Sepiring kentang goreng juga bola-bola ayam menjadi teman mereka mengobrol.Ferdy menatap Nisrina dengan pandangan tak biasa. Wajah yang biasanya teduh, hari ini berubah sedikit murung. Tidak seceria biasanya.Nisrina mengalihkan pandangannya dari Caca ke lelaki di dekatnya. Ia lantas tersenyum kecut saat lawan bicaranya menuntut penjelasan dari obrolan sebelumnya."Mas Abi," balas Nisrina lirih. Bibirnya menghela napas berat. "Aku ingin pisah saja. Ngga kuat lagi ngehadepin dia.""Kenapa memang? Dia bikin ulah?" Ferdy penasaran dibuatnya."Bikin perjanjian tertulis sudah, ganti nomor sudah, bahkan Mama sama Papa sudah tahu semuanya tapi dia masih saja
Bab 45"Caca senang sekali hari ini, Tante," ucap Caca sambil mendongakkan kepalanya, menatap wajah ayu yang sedang duduk memangkunya. Senyumnya melebar, menampakkan barisan giginya yang bersih."Alhamdulillah ya, Tante juga senang bisa ketemu sama Caca." Jemari Nisrina mengusap gemas pipi yang gembil itu.Sementara laki-laki yang ada di sebelah mereka hanya tersenyum, sambil sesekali mengalihkan pandangannya dari jalanan yang sedang ramai.Ada banyak kalimat pengandaian dalam kepala Ferdy. Sayangnya, itu semua harus dipendam dalam-dalam di lubuk hati."Jangan sering-sering ya, Ca? Tante kan harus kerja," sela laki-laki itu."Ngga apa-apa kan, Tante? Caca kan kangen kalau lama ngga ketemu." Caca merajuk."Boleh, Sayang." Tangan Nisrina mendekap erat badan gadis kecil itu dengan penuh kasih. Perempuan dua generasi berbeda itu memiliki kesamaan, yaitu sama-sama merindukan kasih sayang orang tua."Maaf ya, Rin
Bab 46Mata Nisrina memicing menatap laki-laki yang sedang diliputi amarah itu. Kakinya urung bergerak masuk ke dalam kamar, ia melangkah mendekati sumber suara itu."Apa maksud Mas?" Dagu Nisrina terangkat, menatap lawan bicaranya dengan tatapan tanpa takut."Jangan pura-pura bego kamu! Selama ini diam-diam kamu jalan sama Ferdy! Brengsek dia! Diam-diam kalian menusukku dari belakang," geram Abi. Napasnya makin memburu melihat wajah Nisrina yang tampak menantang."Kalau pun memang kami jalan kenapa? Toh setelah ini hubungan kita berakhir? Lagi pula, diam-diam Mas juga masih jalan sama perempuan itu, kan? Aku ngga marah lagi, aku sudah lelah. Semuanya terserah kita masing-masing. Jadi Mas ngga usah sok marah sama aku." Usai berucap, Nisrina membalikkan badannya. Namun, suara Abi itu kembali menghentian langkahnya."Apa katamu? Coba ulangi?" Abi mendekati Nisrina."Diam-diam kamu jalan sama perempuan itu kan?" Wajah Nisrina seperti sedang menantang lawan bicaranya. Sudah lama ia memen
Bab 47 Abisatya tercenung setelah mendengar penjelasan kekasihnya. Benar juga soal tujuan Rania melakukan itu semua, akan tetapi itu berdampak buruk bagi suasana hatinya dan Nisrina yang masih harus tinggal satu atap sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. "Tapi, Sayang, seharusnya kamu bicara dulu padaku. Ngga bisa langsung grusah grusuh lakuin semuanya sendiri." Abi berucap setelah beberapa saat terdiam. "Kamu yakin akan mendukung kalau aku katakan rencanaku?" Rania menegakkan badannya setelah sebelumnya menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Abisatya. Matanya menatap wajah yang masih terdiam itu dengan tatapan menelisik. "Ya, kalau tujuannya baik?" sahut Abi. "Jangankan bicara soal rencanaku, aku datang padamu malam itu saja kamu malah memintaku pergi. Nomor juga sekarang ngga bisa dihubungi, lalu bagaimana aku bisa katakan semuanya padamu?" Rania mencebikkan bibirnya. Abi tercekat mendengar penjelasan Rania yang memang benar adanya. Ia sendiri yang meminta s
Bab 48"Rina? Kamu ngapain di sini?" tanya Abi dengan pandangan mengarah ke istri serta papanya bergantian. Tangan Nisrina terulur di depan sang suami. Lalu setelah mendapatkan tangan suaminya, ia membawa tangan itu di depan wajahnya untuk dicium takdzim.Abi menurut saja. Ia hanya diam diperlakukan sang istri sedemikian baiknya tanpa tahu maksud sang istri datang ke kantor papanya."Aku permisi dulu, Mas," pamit Nisrina sopan. Ia menoleh ke arah Pak Gunawan sejenak sebelum badannya menghilang dari pandangan dua lelaki beda usia tersebut.Abisatya hanya mampu mengerutkan dahi. Ia masuk ke ruangan papanya untuk menyelesaikan pekerjaannya tanpa peduli bagaimana dengan sang istri."Mau apa dia, Pa?" tanya Abi santai. Ia duduk di kursi empuk yang sebelumnya digunakan oleh sang istri.Pak Gunawan hanya diam. Beliau menatap Abi dengan rahang mengeras. Rasanya ingin sekali melempar wajah yang sedang diliputi tanda tanya i
Bab 87Abi benar-benar mengantar Nisirina pulang. Ia merasa tak mampu menahan wanita itu untuk menuruti keinginannya setelah permintaan maaf yang dia ucapkan.Sebagai seorang suami, Abi merasa gagal. Semakin merasa gagal lagi setelah melihat respon Nisrina usai ia meminta maaf.Sebuah pesan dikirim Nisirina untuk seseorang. Ia pun menahan bibirnya untuk tidak banyak bicara di dalam mobil. Rencananya berhasil membuat Abi merasa menjadi orang yang telah abai pada tanggung jawab.Sebagai lelaki, Nisrina mau Abi gentleman. Sebentar lagi ia akan memasuki babak baru dalam hidupnya. Apa jadinya seperti kepala keluarga jika selalu mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah. Nisrina wanita yang mandiri dan tegas. Ia mau lelaki yang menjadi suaminya adalah lelaki yang tegas, berwibawa dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sayangnya, suami yang ia dapatkan jauh berbeda dari apa yang ia inginkan.Setibanya di rumah Nisrina, tampak banyak orang yang berada di rumah itu."Kok rumah
Bab 86Bu Rumaisha seketika menoleh setelah mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Senyum sumringah seketika terkembang di wajahnya yang masih tampak cantik meski termakan usia."Duduk sini, Nak. Mama sudah pesan makanan buat kamu," titah Bu Rumaisha sambil menepuk kursi yang ada di sisi meja sebelahnya.Wajah milik Abisatya itu seketika berubah canggung. Ia kepayahan mengatur napas yang memburu bercampur kaget karena pemandangan di depannya."Iya, Ma," ucap Abi salah tingkah. Ia canggung duduk di sisi Nisrina yang langsung menunduk setelah pandangan mereka bersitatap."Kapan jadwal kamu periksa, Sayang?" tanya Bu Rumaisha pada Nisrina yang tak kalah salah tingkahnya."Sebelum balik kemarin udah periksa, Ma. Tapi kayaknya harus cari dokter lagi di sini buat persiapan lahiran beberapa bulan lagi.""Waah nanti kabari Mama ya? Mama pengen antar kamu. Mama pengen tahu gimana wajah cucu Mama itu. Ganteng apa cantik.""Selama periksa Nisrina ngga pernah tanya, Ma. Biar jadi s
Bab 85"Masya Allah anakku," teriak Bu Rumaisha saat melihat wanita hamil yang ada di depannya. Ia merentangkan tangannya untuk memeluk menantunya itu.Tangis Nisrina pecah seketika. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya kesepian dan merasa butuh pelukan keluarga. Bu Rahmi sudah melakukannya, tapi tentu beda dengan mereka yang sudah kenal lebih lama dan terikat tali pernikahan seperti Abi dan keluarganya."Mama, maafkan Rina," ucap Rina dalam pelukan Bu Rumaisha."Enggak, Nak. Kamu ngga salah. Abi yang salah. Tapi tenang, Mama sudah marahi dia. Sudah Mama hajar dia sampai kapok," balas Bu Rumaisha dengan tegas dan mantap."Mama hajar Mas Abi?" tanya Rina mengulang ucapan mertuanya. Kepalanya mendongak, menatap wajah yang sedang berbicara itu untuk mendapatkan kejelasan.Ekor mata Bu Rumaisha melirik ke arah laki-laki paruh baya di sampingnya. "Itu, dia yang hajar sampai berdarah wajahnya.""Papa hajar Mas Abi?" tanya Rina setelah pandangannya mengikuti arah mata Bu Ru
Bab 84Nisrina sedang bersiap untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan rumah itu tanpa penghuni. Ia tak lagi mendapatkan alasan untuk menghindar dari orang-orang di masa lalunya. Akan tetapi, untuk kembali ke rumah Abisatya itu tak mungkin dilakukan sebab hubungan keduanya masih terbilang panas."Kamu jadi pergi, Nak?" Bu Rahmi menghampiri Nisrina di ruang tengah. Nisrina yang sedang duduk sambil memegang ponsel seketika mendongak, melihat sosok yang baru saja datang ke rumahnya."Jadi, Bu. Rina harus kembali. Tidak mungkin Nisrina selamanya ada di sini, toh badan Rina sudah sehat. Mbak Nur saya ajak ikut pulang tapi beliau tidak bisa.""Nur masih ada keluarga di sini. Ngga bisa pergi begitu saja.""Iya, Bu. Rina paham.""Ibu pasti akan merindukanmu, Nak," sahut Bu Rahmi dengan tatapan sendu. Ia lantas duduk di samping Nisrina yang sudah lebih dulu menggeser badannya."Ibu ngga ikut antar Rina?" tanya Nisrina saat perempuan paruh baya itu sudah du
Bab 83Bu Rumaisha tak sengaja menemukan story Nisrina yang baru saja di posting itu. Dengan penuh semangat, beliau membukanya untuk melihat apa yang dibagi menantunya setelah sekian lama tak sapat dihubungi.Sebuah video yang menampakkan perut besar Nisrina yang sedang bergerak-gerak membuat Bu Rumaisha tersenyum penuh rasa haru."Pa, bangun, Pa!" bisik Bu Rumaisha tak sabaran. Ia menepuk-nepuk pundak suaminya untuk menunjukkan video tersebut."Apaan sih, Ma! Papa ngantuk!" elak Pak Gunawan menepis tangan Bu Rumaisha agar tak mengganggu tidurnya."Pa, lihatlah. Kita akan punya cucu, Pa!" Bu Rumaisha tak putus asa untuk membangunkan sang suami."Abi juga sudah bilang kemarin. Menantumu saja pergi dan menghilang, bagaimana kita bisa ketemu sama dia." Pak Gunawan kembali memejamkan matanya."Tapi ini story di nomor yang lama, Pa. Kayaknya sudah aktif lagi. Coba lihat dulu," ucap Bu Rumaisha makin memaksa.Tak punya pilihan lain, Pak Gunawan pun mengubah posisi tidurnya. Ia melihat layar
Bab 82Nisrina menatap geram wajah yang sedang ada di depannya. Ia tak menyangka jika kebaikannya dianggap seolah membuka celah untuknya bisa kembali dekat."Rin!" panggil Bian saat Nisrina berlari menjauh dari hadapan laki-laki itu.Tak peduli suara teriakan Bian, Nisrina berlari menuju sebuah angkutan umum yang tak sengaja berhenti tak jauh dari rumahnya."Cepat berangkat, Pak!" titah Nisrina setelah ia duduk di atas kendaraan roda empat itu.Nisrina kepayahan mengatur napas. Bahunya naik turun sebab ritme jantungnya tak tak beraturan. Dalam hati Nisrina merasa kesal pada Bian. Ia merasa telah kecolongan terhadap lelaki yang ia kira bisa dijadikan teman baik.Beberapa saat setelah duduk, perut Nisrina terasa nyeri. Tak biasanya ia merasakan nyeri yang hebat seperti itu.Sekuat tenaga Nisrina berusaha menahan rasa nyeri di perutnya itu hingga suara teriakan orang yang duduk di depannya membuat Nisrina terkaget."Mbak, di kakinya ada darah," ucap seorang wanita berhijab.Nisrina refle
Bab 81Hati Nisrina bak diiris sembilu membaca pesan yang dikirim oleh Abisatya. Tak mau membalas pesan itu, Nisrina lebih memilih diam dan menangis dalam diam. Bagaimana pun dia salah karena terlalu keras pada Abi."Maafkan aku, Mas. Aku terlalu keras padamu," gumam Nisrina sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi wajah.Nisrina tenggelam dalam tangisnya hingga matanya terlelap. Badan yang letih itu tak lagi sanggup menopang bobot tubuhnya yang sekarang mudah sekali terasa letih.Keesokan harinya, Nisrina bersiap hendak memeriksakan diri. Janin dalam rahimnya sudah diajak bepergian dan menghabiskan waktu banyak di perjalanan beberapa hari lalu. Ia harus memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Terlebih sebentar lagi, ia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya dan membutuhkan tenaga yang fit untuk membawa beberapa baju dan barang bawaan."Pagi sekali sudah rapi, Nak? Mau kemana?" tanya Bu Rahmi ketika sedang menyapu halaman. Ia meletakkan sapunya d
Bab 80Nisrina tersedu dalam pelukan Bu Rahmi. Ia tak kuasa menahan rasa sesal yang kian menambah dalam luka di hatinya. Selama ini, perempuan yang sedang hamil muda itu terlalu menuruti egonya hingga kini ia terjerembab dalam penyesalan yang membuatnya tak henti menitikkan air mata."Tidak apa-apa kamu merasa bersalah. Yang penting setelah ini kamu mau berubah menjadi lebih baik. Bagaimana pun dia bapak dari anakmu, yang masih memiliki hak atas dirimu dan bayi dalam kandunganmu.""Tapi Rina takut, Bu. Rina sudah terlalu kasar padanya kemarin. Wajah Mas Abi yang semula mengiba, saat kami berpisah berubah menjadi penuh emosi." Nisrina memejamkan matanya, mengingat kembali urat-urat yang makin tercetak tebal di leher Abisatya."Kalau begitu datangi dia, minta maaf padanya," sambung Bu Rahmi lagi.Rina seketika mendongakkan kepalanya, lalu mengurai pelukan dari wanita paruh baya yang sedang menasehatinya itu. "Rina takut, Bu. Rina takut."Air mata Nisrina makin deras membanjiri wajahnya.
Bab 79Abi kembali ke rumah dengan kondisi hati dan pikiran yang tak baik. Harapannya bisa kembali bersama sang istri seketika lenyap setelah mendengar penolakan Nisrina yang keras itu.Ucapan Nisrina itu, bak tombak yang menancap tepat sasaran. Nyeri, perih dan terasa tak berarti sebagai seorang lelaki.Mobil yang ditumpangi Abi itu melaju dengan kencangnya. Tak peduli dengan kendaraan lainnya, Abi terus memacu mobilnya dengan kecepatan yang tak biasanya.Setibanya di rumah yang lama tak ditempati, Abi membawa masuk beberapa botol minuman yang sudah dibelinya di luar. Ia tak mau mengambil resiko seperti yang kemarin. Lelaki yang sedang hancur itu butuh sesuatu untuk melampiaskan amarahnya.Abi memilih melampiaskan emosinya dengan menenggak minuman kerasnya di rumah. Tak peduli soal halal dan haramnya, Abi terus menikmati minuman yang melenakan itu dengan hati yang penuh emosi. Padahal tak ada manfaat dari minuman itu sekalipun hanya sedikit.Kadang bibir Abi itu berteriak sambil mena