Bab 39
Nisrina bungkam seketika. Ia tak berani menjawab pertanyaan mertuanya."Tidak, Ma. Bukan begitu. Kami hanya butuh waktu," sahut Abi yang berusaha membantu sang istri. Meskipun Abi tahu pertanyaan mamanya itu benar adanya, tapi tidak mungkin juga semuanya selesai sekarang juga.Kondisi Bu Rumaisha perlu perhatian dan tak mungkin makin diperparah dengan kabar ketidakcocokan antara keduanya."Butuh waktu itu lumrah, tapi kamu jangan hadirkan orang lain antara kalian. Tidak begitu caranya, Nak," ujar Bu Rumaisha. Ia tak bisa marah pada sang putra."Maafkan Abi ya, Ma. Abi sudah bikin Mama kayak gini." Raut penuh rasa bersalah tercipta di wajah Abisatya."Iya, Nak. Mama maafkan. Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Percayalah, Nisrina perempuan yang baik, yang akan menjadi pendamping hidup terbaik buatmu."Abi diam saja. Ia memegang ujung bibirnya yang memar.Sementara itu, Nisrina dilanda kekaBab 40Malam itu, Nisrina sedang bersiap untuk menghadiri resepsi pernikahan Bian dan Ratih. Ada rasa tak nyaman saat ia sedang menatap pantulan wajahnya di dalam kaca.Kenangan saat mereka bersama kembali berkelindan dalam kepala. Perlakuan hangat yang diberikan Bian kembali mengusik hatinya. Senyum tulus yang terbit dari wajah laki-laki yang dulu sangat dicintainya itu kembali mengorek luka yang sudah dengan susah payah ia tutupi.Namun, tamparan dari wanita paruh baya yang telah melahirkan Bian itu kembali terasa perih di wajah Nisrina, yang membuat kenangan-kenangan itu menguap entah kemana.Terbersit rasa ragu untuk hadir di acara itu, mengingat sikap orang tua Bian yang tak menyukainya dan cenderung kasar padanya.Sayangnya pesan dari Bian malam kemarin membuat Nisrina merasa bahwa kehadiran memang harus benar-benar terjadi.[Datang lah dipestaku, sebagai bukti bahwa kamu memang tak lagi mencintaiku. Ketidakhadiranmu k
Bab 41Nisrina menatap jengah perempuan yang memakai kebaya di depannya. Meskipun sakit hati, Nisrina tak ingin buang-buang tenaga untuk membuat keributan di atas panggung pelaminan ini. Ia ingin datang dengan elegan untuk membuktikan pada Bian dan keluarganya bahwa dirinya bukan perempuan lemah yang larut dalam derita.Abi merangkul pinggang Nisrina dengan eratnya, hingga tubuh mereka tak berjarak. "Ayo, Sayang," ucap Abi dengan tak melepas rangkulannya. Ia sengaja mengeraskan suaranya agar sepasang pengantin di sana mendengar suaranya.Nisrina menatap wajah Abisatya dengan seulas senyum di bibirnya. Hati yang sedang terluka itu makin terasa perih mendapati perlakuan manis dari sang suami yang ternyata hanya sebuah kepura-puraan."Live must go on, meskipun sakit tak boleh terlihat lemah di depan musuh," batin Nisrina menyemangati dirinya. Ia lantas berjalan mengikuti langkah sang suami."Selamat ya?" Abi mengulurkan tangannya pada Bian yang sedang kepayahan mengatur napas."Terima k
Bab 42Rania membanting ponselnya di atas ranjang empuk miliknya. Ia lantas menjatuhkan badannya ke sembarang arah di tempat yang sama.Rasa kesal telah merasuk ke dalam dada Rania sebab sang kekasih tak kunjung bisa dihubungi."Kenapa sih dia ini," gerutu Rania sambil memijit dahinya yang pening."Bagaimana jika aku gagal mendapatkannya? Apalagi gagal menikah," omel Rania lagi.Rania lantas bangun dari tempat tidurnya. Ia meraih tas dan juga kunci mobil yang tergeletak di nakas."Aku harus pergi!" Rania bermonolog. Ia menggenggam erat kunci mobil di tangannya.Namun saat pintu ruang tamu itu terbuka, Rania memutar bola matanya malas ketika mendapati seorang pria sedang berdiri di depan pintu.Urung mengetuk, Natan tersenyum lebar melihat wanita yang ada di depannya."Hai, Sayang. Aku rindu." Seringai menggoda terbit di wajah Natan."Untuk apa lagi kamu datang kemari? Bukannya aku sudah melarangmu ke sini?""Aku rindu, Sayang. Juga rindu dia," ucap Natan sambil melirik bagian tubuh Ra
Bab 43Nisrina menatap layar ponselnya dengan napas tercekat di tenggorokan. Pemandangan itu benar-benar membuatnya sakit hati.Belum ada cinta diantara mereka tapi Nisrina merasa Abi terlalu tega menyakitinya dengan berbuat semata-mata, sama sekali tidak menjaga perasaannya yang berstatus sebagai istri sah.Dalam gambar itu, kepala Abi sedang terlelap di atas kulit dada seorang wanita yang tak terlihat wajahnya. Yang jelas wanita itu bukan diri Nisrina. Mata Abi memejam, seolah Abisatya sedang terlelap. Wajahnya tampak letih, seperti baru saja melakukan aktivitas yang melelahkan.Siapa lagi yang dekat dengan Abi kalau bukan Rania. Jelas saja itu Rania dan nomor yang mengiriminya gambar juga milik Rania. Nomor siapa lagi memang?Tak henti kejadian demi kejadian membuat Nisrina merasa sakit hati. Luka itu lama-lama kian menumpuk. Terlebih setelah pengakuan Abi bahwa dirinya sudah menepati janji tapi ternyata janji itu hanya di mulut.
Bab 44"Kenapa?" tanya Ferdy setelah hanya ada mereka berdua di meja makan, sementara Caca sedang asik main prosotan di sebuah restoran siap saji.Lengkingan suara Caca saat badannya meluncur sesekali mengalihkan perhatian Nisrina dari obrolan santainya dengan Ferdy. Sepiring kentang goreng juga bola-bola ayam menjadi teman mereka mengobrol.Ferdy menatap Nisrina dengan pandangan tak biasa. Wajah yang biasanya teduh, hari ini berubah sedikit murung. Tidak seceria biasanya.Nisrina mengalihkan pandangannya dari Caca ke lelaki di dekatnya. Ia lantas tersenyum kecut saat lawan bicaranya menuntut penjelasan dari obrolan sebelumnya."Mas Abi," balas Nisrina lirih. Bibirnya menghela napas berat. "Aku ingin pisah saja. Ngga kuat lagi ngehadepin dia.""Kenapa memang? Dia bikin ulah?" Ferdy penasaran dibuatnya."Bikin perjanjian tertulis sudah, ganti nomor sudah, bahkan Mama sama Papa sudah tahu semuanya tapi dia masih saja
Bab 45"Caca senang sekali hari ini, Tante," ucap Caca sambil mendongakkan kepalanya, menatap wajah ayu yang sedang duduk memangkunya. Senyumnya melebar, menampakkan barisan giginya yang bersih."Alhamdulillah ya, Tante juga senang bisa ketemu sama Caca." Jemari Nisrina mengusap gemas pipi yang gembil itu.Sementara laki-laki yang ada di sebelah mereka hanya tersenyum, sambil sesekali mengalihkan pandangannya dari jalanan yang sedang ramai.Ada banyak kalimat pengandaian dalam kepala Ferdy. Sayangnya, itu semua harus dipendam dalam-dalam di lubuk hati."Jangan sering-sering ya, Ca? Tante kan harus kerja," sela laki-laki itu."Ngga apa-apa kan, Tante? Caca kan kangen kalau lama ngga ketemu." Caca merajuk."Boleh, Sayang." Tangan Nisrina mendekap erat badan gadis kecil itu dengan penuh kasih. Perempuan dua generasi berbeda itu memiliki kesamaan, yaitu sama-sama merindukan kasih sayang orang tua."Maaf ya, Rin
Bab 46Mata Nisrina memicing menatap laki-laki yang sedang diliputi amarah itu. Kakinya urung bergerak masuk ke dalam kamar, ia melangkah mendekati sumber suara itu."Apa maksud Mas?" Dagu Nisrina terangkat, menatap lawan bicaranya dengan tatapan tanpa takut."Jangan pura-pura bego kamu! Selama ini diam-diam kamu jalan sama Ferdy! Brengsek dia! Diam-diam kalian menusukku dari belakang," geram Abi. Napasnya makin memburu melihat wajah Nisrina yang tampak menantang."Kalau pun memang kami jalan kenapa? Toh setelah ini hubungan kita berakhir? Lagi pula, diam-diam Mas juga masih jalan sama perempuan itu, kan? Aku ngga marah lagi, aku sudah lelah. Semuanya terserah kita masing-masing. Jadi Mas ngga usah sok marah sama aku." Usai berucap, Nisrina membalikkan badannya. Namun, suara Abi itu kembali menghentian langkahnya."Apa katamu? Coba ulangi?" Abi mendekati Nisrina."Diam-diam kamu jalan sama perempuan itu kan?" Wajah Nisrina seperti sedang menantang lawan bicaranya. Sudah lama ia memen
Bab 47 Abisatya tercenung setelah mendengar penjelasan kekasihnya. Benar juga soal tujuan Rania melakukan itu semua, akan tetapi itu berdampak buruk bagi suasana hatinya dan Nisrina yang masih harus tinggal satu atap sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. "Tapi, Sayang, seharusnya kamu bicara dulu padaku. Ngga bisa langsung grusah grusuh lakuin semuanya sendiri." Abi berucap setelah beberapa saat terdiam. "Kamu yakin akan mendukung kalau aku katakan rencanaku?" Rania menegakkan badannya setelah sebelumnya menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Abisatya. Matanya menatap wajah yang masih terdiam itu dengan tatapan menelisik. "Ya, kalau tujuannya baik?" sahut Abi. "Jangankan bicara soal rencanaku, aku datang padamu malam itu saja kamu malah memintaku pergi. Nomor juga sekarang ngga bisa dihubungi, lalu bagaimana aku bisa katakan semuanya padamu?" Rania mencebikkan bibirnya. Abi tercekat mendengar penjelasan Rania yang memang benar adanya. Ia sendiri yang meminta s