Bab 2
Binar haru tak lepas dari wajah laki-laki yang sedang mendekap erat badan seorang wanita berambut panjang itu. Matanya memejam, tapi senyum penuh kelegaan itu tak luntur dari bibir Abisatya. Hati Nisrina bak disayat sembilu. Laki-laki yang ia kira bisa menjadi sandaran setelah akad rupanya telah lebih dulu memasang benteng diantara mereka, bahkan sebelum Nisrina memulai usahanya. "Mas," lirih Nisrina lemas. Lidahnya tercekat, seperti tertahan untuk menghentikan apa yang sedang terjadi di depannya. Dadanya pun turut memberikan respon, hingga membuatnya sulit bernapas. Sepasang kekasih itu pun mengurai pelukannya sebab suara Nisrina yang menjadi satu-satunya suara dalam lorong itu. "Kamu," lirih Abisatya kaget. Ia tidak menyangka kalau Nisrina sudah sampai di hadapannya dan melihat semua itu. Binar kelegaan itu seketika berubah menjadi sebuah rasa cemas. Perempuan yang baru saja dilepas oleh Abi itu memicingkan matanya menatap Nisrina, yang masih memakai pakaian pengantin. Tanpa bertanya, siapa pun tahu bahwa perempuan berbaju pengantin itu adalah istri dari lelaki yang ia cintai. "Ceraikan dia, Mas. Aku sudah kembali," ujar gadis itu sedikit memaksa. Rania namanya. Dress bunga-bunga selutut itu membungkus badan langsingnya. Parasnya yang ayu dengan tinggi semampai, membuat siapapun pasti terpanah saat menatapnya, termasuk Abisatya. Suami Nisrina itu jatuh cinta pada pandangan pertama. "Cerai?" gumam Nisrina. "Siapa kamu?" lirih Rina. Kata yang tak pernah terbersit untuk terucap dalam hidupnya. Nisrina paham pernikahan tanpa cinta itu berat, tapi bukan berarti semudah itu mengatakan kata "Cerai" disaat pernikahan baru saja dilangsungkan. Abi berusaha menetralkan rasa kaget dalam dirinya. Akan tetapi, kata-kata Rania itu membuatnya mengerutkan dahi. Sejenak ia lupa bahwa statusnya sudah menjadi suami orang lain. "Ceraikan dia, Sayang. Aku sudah kembali, kita bisa menikah setelah ini." Rania berujar dengan memaksa. Tangannya mencengkeram baju Abi bagian depan dengan keras. Ia dikuasai rasa khawatir yang berlebihan. Perempuan itu takut jika laki-laki yang dicintainya lebih memilih bertahan dengan wanita yang baru saja dinikahi. "Jangan dulu bahas itu. Jelaskan apa yang terjadi denganmu? Mengapa kamu pergi selama ini?" Abi mengabaikan Rina yang masih berdiri, mengatur detak jantung yang berdegup kencang. "Aku ... aku ...." Rania menjeda ucapannya. "Katakan, Sayang. Jangan takut." Abi melihat kilatan rasa cemas dari manik hitam milik Rania. "Aku ... aku dipaksa Mama untuk menikah dengan lelaki itu. Hutang almarhum Papa yang banyak itu, katanya bisa lunas jika aku berkenan menikah dengannya. Tapi yang kudapat hanya perlakuan kasar bak binatang. Perlakuannya jauh lebih buruk dibanding kamu, yang mencintaiku. Kamu masih mencintaiku, 'kan, Sayang? Kita bisa menikah setelah ini, 'kan?" Rania meracau. Ia tak peduli ada Nisrina yang sedang berdiri di antara mereka. Rasa sakit yang dialami Rania seolah membuat keinginannya harus dipenuhi, Ia sudah menderita selama ini, dan kini menuntut Abi untuk membahagiakan dirinya dan ... mengabaikan Nisrina yang baru saja menyandang gelar Nyonya Abisatya. "Mengapa kamu tidak bilang padaku? Aku bisa saja bantu keluargamu untuk menyelesaikan hutang-hutang itu." Lagi, Abi berujar tanpa peduli dengan keberadaan Nisrina di antara mereka. Rania menggeleng. Bibirnya bungkam. Ia tak berkenan bercerita di sana. "Sekarang aku sudah kembali, Sayang. Kita bisa bersatu lagi setelah ini. Ceraikan dia, kalian dijodohkan 'kan? Tidak ada cinta diantara kalian, jadi mudah saja untuk berpisah." Nisrina memicingkan matanya, tidak terima dengan ucapan perempuan yang mengenakan dress itu. "Tidak bisa. Tidak bisa begitu. Kamu tidak main-main kan, Mas, dengan pernikahan ini?" Nisrina menyela. Ia tidak mau menjadi janda sia-sia hanya karena ulah satu perempuan lain yang tidak ia kenal. Abi menatap Nisrina dan Rania bergantian. Dua wanita yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Ancaman papanya, juga cintanya untuk Rania tidak bisa ia abaikan begitu saja. Kepala Abi mendadak pening. Ia tak tahu harus bagaimana. "Kamu akan menceraikan dia, kan, Mas?" Rania menyela. "Aku sudah kembali, kita akan hidup bahagia, berjanjilah," ujar Rania mengiba. "Mas, kamu sudah janji pada Papa dan Mama dengan pernikahan ini," sahut Nisrina tegas. Meskipun karena perjodohan, baginya pernikahan itu tidak bisa begitu saja diselesaikan. Abisatya mencengkeram rambutnya keras. Ia menatap wajah Rania dengan Nisrina bergantian. "Sayang, berjanjillah," ucap Rania tak mau kehilangan kesempatan. "Kamu pulang dulu ya? Ada banyak hal yang harus aku selesaikan dengan dia," balas Abi sambil melirik Nisrina. "Tapi kamu janji sama aku?" pinta Rania manja. Raut melas yang terpasang di wajah Rania membuat Abi merasa iba. Akan tetapi ia tak bisa asal mengambil keputusan tanpa pembahasan yang matang, terlebih Nisrina adalah gadis yang dipilih secara langsung oleh kedua orang tuanya yang tentu memiliki kuasa untuk mengadukan masalah ini pada mereka. "Iya, aku janji. Aku masih harus bicara dengan dia." Abi menatap Rania dengan tatapan penuh kasih. "Kamu pulang dulu ya? Kita bahas masalah ini besok." Rania mengangguk setuju. "Antar aku," pintanya sambil merajuk. Nada manja yang keluar dari bibir Rania membuat Abi tak dapat menolak permintaannya itu. Abisatya membuang napas kasar, lalu mengangguk. "Kamu masuk dulu ke dalam kamar, setelah aku kembali kita bicara," ujar Abi tegas. Ia menyerahkan cardlock pada Nisrina sebelum berlalu dari hadapannya. Seulas senyum penuh kemenangan terbit dari bibir Rania yang kemerahan. Ekspresi sedih yang sejak tadi terpasang di wajahnya seketika sirna setelah Abi mulai berjalan meninggalkan lorong itu dengan menggandeng tangannya. Rania menoleh ke arah Nisrina yang sedang menatap nanar cardlock di tangannya, hingga pandangan keduanya beradu. Dengan berani Nisrina membalas tatapan mata mengerikan milik Rania. Hati yang semula patah, perlahan berjalan terseok-seok menyatu dan tersambung sebab ia sadar bahwa perempuan itu sedang mempermainkannya.Bab 3Nisrina menyandarkan punggungnya di dinding depan kamar. Sekuat apapun ia berusaha menutupi rasa kecewanya di depan sepasang kekasih itu, ia tetap wanita lemah yang membutuhkan sandaran ketika hatinya terluka."Rin?" panggil seseorang yang seketika membuat Nisrina mengusap air mata di wajahnya.Ferdy mendekat dan memicingkan matanya menatap istri sepupunya yang baru saja menikah sedang memejamkan mata sambil kepayahan mengatur napas."Kenapa? Kamu lihat mereka tadi?" tanya Ferdy dengan tatapan masih memindai wajah ayu yang tengah basah di depannya."Apa kamu habis berantem sama mereka?" Lagi, Ferdy tak puas dengan Nisrina yang hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya. Tangannya menunjuk arah di mana Abi dan Rania berjalan.Nisrina menghela napas berat. Ia tak mau membuka masalah rumah tangganya di depan orang lain, tapi Ferdy melihat dengan mata kepalanya sendiri."Mas lihat mereka?" tanya Nisrina sebelum ia menjawab pertanyaan sepupunya.Ferdy mengangguk. "Makanya aku ke sini. T
Bab 4"Berusahalah menjadi yang terbaik sekalipun kamu harus berperang dengan egomu sendiri karena penyesalan selalu datang diakhir." Nisrina teringat ucapan Ferdy sesaat setelah sepasang kekasih itu pergi dari hadapannya.Namun, tatapan mata Abisatya untuk Rania cukup membuat hati Nisrina kebat kebit. Sebagai seorang istri baru, mendapati sang suami menatap mantan kekasihnya sedemikian dalam dan hangat membuat segumpal daging dalam dadanya terasa sakit."Jangan lupa, ada Om dan Tante yang ada dipihakmu. Kamu istri sah, kamu menang meskipun hatinya belum jadi milikmu." Lagi, Ferdy memberikan semangat.Nisrina merasa mendapatkan angin segar. Meskipun sakit, ia harus berusaha untuk menjadi istri yang berkesan untuk suaminya setelah penolakan itu terus diberikan oleh sang suami.Dering ponsel yang menggema membuyarkan lamunan Rania dari ingatannya tentang kejadian beberapa waktu lalu bersama Ferdy. Ia segera meraihnya dan melihat layar yang sedang menyala itu."Mas Bian?" Dahi Nisrina me
Bab 5 "Lepas, Mas!" ucap Nisrina saat tangan kekar itu merengkuhnya dalam dekapan."Tidak, Sayang! Aku tidak akan melepaskanmu! Kamu kemana saja? Mas cari kamu tapi kamu tidak ada!" Abian meracau. Ia mendekap erat badan langsing yang ada di depannya, tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikan. "Apa-apaan ini!" teriak seorang wanita paruh baya. Ia berjalan dengan cepat dan mengurai pelukan sepasang anak manusia itu.Tangan yang tak lagi mulus itu dengan kerasnya menyingkirkan badan anak laki-lakinya. Lalu dengan penuh semangat, tangan itu terangkat dan mendarat dengan kerasnya di pipi mulus milik Nisrina.Rasa panas seketika menjalari wajah ayu Nisrina. Tak hanya di wajah, rasa panas itu menjalari sekujur tubuh wanita yang baru saja melepas masa lajangnya."Bu!" sentak Abian keras. "Diam kamu! Sudah Ibu bilang jangan dekati wanita tidak jelas ini!" hardik wanita berkerudung pasmina itu. Ia menatap wajah anak laki-lakinya dengan tajam bak Elang yang menemukan mangsanya.Bibir w
Bab 6Sebuah paperbag berisi baju sudah berada di tangan Nisrina, sesuai dengan perintah sang mertua. Ia membawa benda itu masuk ke dalam mobil, di mana Abisatya sedang berbincang dengan seseorang di ujung telepon."Aku balik dulu ya, Sayang? Setelah itu aku ke sana," ujar Abi sebelum mengakhiri panggilannya."Beneran ya? Jangan lama-lama." Suara diujung panggilan samar terdengar di telinga wanita yang duduk di samping Abisatya itu."Iya. Setelah sampai rumah Mama, aku langsung pergi ke tempat kamu."Nisrina hanya diam dan duduk sambil meremas tali paperbag yang berisi baju pesanan mertuanya. Hatinya yang terluka, makin terluka dengan apa yang baru saja ia dengar. Panggilan sayang yang seharusnya menjadi miliknya, dengan mudahnya dilontarkan oleh lelaki bergelar suami untuk wanita lain.Nisrina menghela napas dalam. Betapa pernikahannya dimulai dengan ujian berat yang rasanya ia tak sanggup untuk memikulnya."Kita ke rumah Mama dulu ya?" ucap Abisatya setelah meletakan ponselnya di at
Bab 7Abisatya lebih dulu meninggalkan mertua dan menantu itu di dalam ruang tamu. Bibirnya mengatup rapat. Hatinya menahan kesal sebab acaranya berantakan gara-gara mamanya.Dering ponselnya kembali terdengar. Nama Rania kembali muncul dalam layar panggilan tersebut.Dengan segera Abi menggeser tombol gagang telepon warna hijau agar segera terhubung dengan wanita di ujung panggilan sana."Sayang, kenapa ngga diangkat? Lama sekali kamu, kemana aja sih! Aku sudah ngga sabar pengen ketemu," gerutu Rania. Ia sudah menunggu lebih dari setengah jam tapi Abi tak kunjung datang."Iya. Sebentar ya. Aku pasti ke sana. Kamu tenang saja." Abi makin menahan kesal karena suara rengekan Rania."Cepetan ya? Aku sudah kangen sama kamu. Aku ingin cerita banyak, juga pengen disayang-sayang sama kamu."Abi terkekeh. Rengekan Rania itu sedikit mengurangi rasa kesalnya akibat ulah mamanya."Iya. Sabar. Tunggu ya?" jawab Abi kemudian.Saat Nisrina masuk ke dalam mobil, Abi segera mematikan panggilannya. Ia
Bab 8Abi memandangi tubuh langsing yang sedang terbaring di atas ranjang dengan pakaian tipis yang membungkus badan itu, menampakkan sedikit gumpalan daging di dadanya. Wajah yang cantik dengan rambut tak beraturan menutupi wajah membuat kecantikan alami dari perempuan itu terpancar sempurna.Ada orang yang bilang bahwa kecantikan alami seorang wanita itu terpancar ketika ia sedang terlelap. Benar saja. Abi melihat itu di wajah Nisrina, wanita yang sedang terlelap dengan lingerie melekat di tubuhnya. Wajah polos tanpa mekap dan tetap terlihat bersih dan putih. Kecantikan alami dari seorang wanita.Abisatya tersenyum melihat wajah ayu yang sedang terlelap itu tampak cantik. Berbeda dengan Rania yang selalu memakai mekap di wajahnya. Meskipun tidak tebal, Rania tidak pernah lepas dari bedak dan lipstik. Namun meskipun begitu, Abi tetap cinta kepada Ranianya."Rin," panggil Abi. Ia merasa risih melihat Nisrina dengan pakaian seperti itu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya
Bab 9Sepasang laki-laki dan perempuan itu terperanjat mendapati sosok yang sedang berdiri di depannya. Tautan tangan yang semula menyatukan kedua badan mereka seketika terlepas. Senyum yang awalnya terbit di wajah dua insan itu tiba-tiba lenyap saat mendapati sosok yang tengah berdiri di depan mereka."Ratih?" gumam Nisrina. Matanya menatap sosok yang selalu berada di sisinya saat suka dan duka sebelum pernikahan itu terjadi. Dadanya berdegup kencang mendapati wanita yang sudah ia anggap layaknya saudara bisa sebegitu bahagianya dengan lelaki yang baru saja ia putuskan cintanya.Nisrina lupa bahwa orang yang paling dekat dengannya berpeluang besar menjadi orang yang paling melukai. Layaknya apa yang dilakukan oleh Abisatya padanya."Rin," lirih Ratih. Paperbag yang ada di tangan Ratih seketika terjatuh. Ia menutup mulutnya tak percaya bisa berjumpa dengan sahabatnya saat sedang jalan dengan Abian. Ratih tertangkap basah."Jelaskan padaku apa ini, Mas? Sejak kapan kalian menjalin hubu
Bab 10"Apa maksudmu?" tanya Nisrina dengan tatapan menelisik. "Aku memang punya rumah. Tapi itu akan kutempati dengan Raniaku nanti." Abi berujar dengan santainya. Tak peduli jika kalimat itu akan menyakiti istrinya.Nisrina mencebikkan bibirnya. "Lalu, kita akan tinggal di rumah Mama? Dan di kamar yang sama? Mas yakin?" tanya Nisrina dengan tatapan tak yakin."Hanya sebulan, kan? Itu bukan waktu yang lama untuk kita hidup bersama dalam satu kamar.""Satu atap oke lah, tapi kalau satu kamar selama sebulan? Kamu sehat?" Nisrina mencoba mengutarakan ketidaksetujuannya.Laki-laki di depan Nisrina itu tercengang. Ia tidak berpikir sejauh itu.Tiba-tiba saja apa yang terjadi di kamar hotel tadi terlintas di kepala Abi. Badan Nisrina yang terbalut pakaian minim bahan kembali muncul dalam ingatannya. Bukankah jika tinggal dalam satu kamar hal serupa bisa saja terulang kembali?Abisatya menghela napas kasar. Rumah itu telah lama disiapkannya dengan Rania, lebih tepatnya sebelum Rania pergi