Bab 2
Binar haru tak lepas dari wajah laki-laki yang sedang mendekap erat badan seorang wanita berambut panjang itu. Matanya memejam, tapi senyum penuh kelegaan itu tak luntur dari bibir Abisatya. Hati Nisrina bak disayat sembilu. Laki-laki yang ia kira bisa menjadi sandaran setelah akad rupanya telah lebih dulu memasang benteng diantara mereka, bahkan sebelum Nisrina memulai usahanya. "Mas," lirih Nisrina lemas. Lidahnya tercekat, seperti tertahan untuk menghentikan apa yang sedang terjadi di depannya. Dadanya pun turut memberikan respon, hingga membuatnya sulit bernapas. Sepasang kekasih itu pun mengurai pelukannya sebab suara Nisrina yang menjadi satu-satunya suara dalam lorong itu. "Kamu," lirih Abisatya kaget. Ia tidak menyangka kalau Nisrina sudah sampai di hadapannya dan melihat semua itu. Binar kelegaan itu seketika berubah menjadi sebuah rasa cemas. Perempuan yang baru saja dilepas oleh Abi itu memicingkan matanya menatap Nisrina, yang masih memakai pakaian pengantin. Tanpa bertanya, siapa pun tahu bahwa perempuan berbaju pengantin itu adalah istri dari lelaki yang ia cintai. "Ceraikan dia, Mas. Aku sudah kembali," ujar gadis itu sedikit memaksa. Rania namanya. Dress bunga-bunga selutut itu membungkus badan langsingnya. Parasnya yang ayu dengan tinggi semampai, membuat siapapun pasti terpanah saat menatapnya, termasuk Abisatya. Suami Nisrina itu jatuh cinta pada pandangan pertama. "Cerai?" gumam Nisrina. "Siapa kamu?" lirih Rina. Kata yang tak pernah terbersit untuk terucap dalam hidupnya. Nisrina paham pernikahan tanpa cinta itu berat, tapi bukan berarti semudah itu mengatakan kata "Cerai" disaat pernikahan baru saja dilangsungkan. Abi berusaha menetralkan rasa kaget dalam dirinya. Akan tetapi, kata-kata Rania itu membuatnya mengerutkan dahi. Sejenak ia lupa bahwa statusnya sudah menjadi suami orang lain. "Ceraikan dia, Sayang. Aku sudah kembali, kita bisa menikah setelah ini." Rania berujar dengan memaksa. Tangannya mencengkeram baju Abi bagian depan dengan keras. Ia dikuasai rasa khawatir yang berlebihan. Perempuan itu takut jika laki-laki yang dicintainya lebih memilih bertahan dengan wanita yang baru saja dinikahi. "Jangan dulu bahas itu. Jelaskan apa yang terjadi denganmu? Mengapa kamu pergi selama ini?" Abi mengabaikan Rina yang masih berdiri, mengatur detak jantung yang berdegup kencang. "Aku ... aku ...." Rania menjeda ucapannya. "Katakan, Sayang. Jangan takut." Abi melihat kilatan rasa cemas dari manik hitam milik Rania. "Aku ... aku dipaksa Mama untuk menikah dengan lelaki itu. Hutang almarhum Papa yang banyak itu, katanya bisa lunas jika aku berkenan menikah dengannya. Tapi yang kudapat hanya perlakuan kasar bak binatang. Perlakuannya jauh lebih buruk dibanding kamu, yang mencintaiku. Kamu masih mencintaiku, 'kan, Sayang? Kita bisa menikah setelah ini, 'kan?" Rania meracau. Ia tak peduli ada Nisrina yang sedang berdiri di antara mereka. Rasa sakit yang dialami Rania seolah membuat keinginannya harus dipenuhi, Ia sudah menderita selama ini, dan kini menuntut Abi untuk membahagiakan dirinya dan ... mengabaikan Nisrina yang baru saja menyandang gelar Nyonya Abisatya. "Mengapa kamu tidak bilang padaku? Aku bisa saja bantu keluargamu untuk menyelesaikan hutang-hutang itu." Lagi, Abi berujar tanpa peduli dengan keberadaan Nisrina di antara mereka. Rania menggeleng. Bibirnya bungkam. Ia tak berkenan bercerita di sana. "Sekarang aku sudah kembali, Sayang. Kita bisa bersatu lagi setelah ini. Ceraikan dia, kalian dijodohkan 'kan? Tidak ada cinta diantara kalian, jadi mudah saja untuk berpisah." Nisrina memicingkan matanya, tidak terima dengan ucapan perempuan yang mengenakan dress itu. "Tidak bisa. Tidak bisa begitu. Kamu tidak main-main kan, Mas, dengan pernikahan ini?" Nisrina menyela. Ia tidak mau menjadi janda sia-sia hanya karena ulah satu perempuan lain yang tidak ia kenal. Abi menatap Nisrina dan Rania bergantian. Dua wanita yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Ancaman papanya, juga cintanya untuk Rania tidak bisa ia abaikan begitu saja. Kepala Abi mendadak pening. Ia tak tahu harus bagaimana. "Kamu akan menceraikan dia, kan, Mas?" Rania menyela. "Aku sudah kembali, kita akan hidup bahagia, berjanjilah," ujar Rania mengiba. "Mas, kamu sudah janji pada Papa dan Mama dengan pernikahan ini," sahut Nisrina tegas. Meskipun karena perjodohan, baginya pernikahan itu tidak bisa begitu saja diselesaikan. Abisatya mencengkeram rambutnya keras. Ia menatap wajah Rania dengan Nisrina bergantian. "Sayang, berjanjillah," ucap Rania tak mau kehilangan kesempatan. "Kamu pulang dulu ya? Ada banyak hal yang harus aku selesaikan dengan dia," balas Abi sambil melirik Nisrina. "Tapi kamu janji sama aku?" pinta Rania manja. Raut melas yang terpasang di wajah Rania membuat Abi merasa iba. Akan tetapi ia tak bisa asal mengambil keputusan tanpa pembahasan yang matang, terlebih Nisrina adalah gadis yang dipilih secara langsung oleh kedua orang tuanya yang tentu memiliki kuasa untuk mengadukan masalah ini pada mereka. "Iya, aku janji. Aku masih harus bicara dengan dia." Abi menatap Rania dengan tatapan penuh kasih. "Kamu pulang dulu ya? Kita bahas masalah ini besok." Rania mengangguk setuju. "Antar aku," pintanya sambil merajuk. Nada manja yang keluar dari bibir Rania membuat Abi tak dapat menolak permintaannya itu. Abisatya membuang napas kasar, lalu mengangguk. "Kamu masuk dulu ke dalam kamar, setelah aku kembali kita bicara," ujar Abi tegas. Ia menyerahkan cardlock pada Nisrina sebelum berlalu dari hadapannya. Seulas senyum penuh kemenangan terbit dari bibir Rania yang kemerahan. Ekspresi sedih yang sejak tadi terpasang di wajahnya seketika sirna setelah Abi mulai berjalan meninggalkan lorong itu dengan menggandeng tangannya. Rania menoleh ke arah Nisrina yang sedang menatap nanar cardlock di tangannya, hingga pandangan keduanya beradu. Dengan berani Nisrina membalas tatapan mata mengerikan milik Rania. Hati yang semula patah, perlahan berjalan terseok-seok menyatu dan tersambung sebab ia sadar bahwa perempuan itu sedang mempermainkannya.Bab 3Nisrina menyandarkan punggungnya di dinding depan kamar. Sekuat apapun ia berusaha menutupi rasa kecewanya di depan sepasang kekasih itu, ia tetap wanita lemah yang membutuhkan sandaran ketika hatinya terluka."Rin?" panggil seseorang yang seketika membuat Nisrina mengusap air mata di wajahnya.Ferdy mendekat dan memicingkan matanya menatap istri sepupunya yang baru saja menikah sedang memejamkan mata sambil kepayahan mengatur napas."Kenapa? Kamu lihat mereka tadi?" tanya Ferdy dengan tatapan masih memindai wajah ayu yang tengah basah di depannya."Apa kamu habis berantem sama mereka?" Lagi, Ferdy tak puas dengan Nisrina yang hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya. Tangannya menunjuk arah di mana Abi dan Rania berjalan.Nisrina menghela napas berat. Ia tak mau membuka masalah rumah tangganya di depan orang lain, tapi Ferdy melihat dengan mata kepalanya sendiri."Mas lihat mereka?" tanya Nisrina sebelum ia menjawab pertanyaan sepupunya.Ferdy mengangguk. "Makanya aku ke sini. T
Bab 4"Berusahalah menjadi yang terbaik sekalipun kamu harus berperang dengan egomu sendiri karena penyesalan selalu datang diakhir." Nisrina teringat ucapan Ferdy sesaat setelah sepasang kekasih itu pergi dari hadapannya.Namun, tatapan mata Abisatya untuk Rania cukup membuat hati Nisrina kebat kebit. Sebagai seorang istri baru, mendapati sang suami menatap mantan kekasihnya sedemikian dalam dan hangat membuat segumpal daging dalam dadanya terasa sakit."Jangan lupa, ada Om dan Tante yang ada dipihakmu. Kamu istri sah, kamu menang meskipun hatinya belum jadi milikmu." Lagi, Ferdy memberikan semangat.Nisrina merasa mendapatkan angin segar. Meskipun sakit, ia harus berusaha untuk menjadi istri yang berkesan untuk suaminya setelah penolakan itu terus diberikan oleh sang suami.Dering ponsel yang menggema membuyarkan lamunan Rania dari ingatannya tentang kejadian beberapa waktu lalu bersama Ferdy. Ia segera meraihnya dan melihat layar yang sedang menyala itu."Mas Bian?" Dahi Nisrina me
Bab 5 "Lepas, Mas!" ucap Nisrina saat tangan kekar itu merengkuhnya dalam dekapan."Tidak, Sayang! Aku tidak akan melepaskanmu! Kamu kemana saja? Mas cari kamu tapi kamu tidak ada!" Abian meracau. Ia mendekap erat badan langsing yang ada di depannya, tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikan. "Apa-apaan ini!" teriak seorang wanita paruh baya. Ia berjalan dengan cepat dan mengurai pelukan sepasang anak manusia itu.Tangan yang tak lagi mulus itu dengan kerasnya menyingkirkan badan anak laki-lakinya. Lalu dengan penuh semangat, tangan itu terangkat dan mendarat dengan kerasnya di pipi mulus milik Nisrina.Rasa panas seketika menjalari wajah ayu Nisrina. Tak hanya di wajah, rasa panas itu menjalari sekujur tubuh wanita yang baru saja melepas masa lajangnya."Bu!" sentak Abian keras. "Diam kamu! Sudah Ibu bilang jangan dekati wanita tidak jelas ini!" hardik wanita berkerudung pasmina itu. Ia menatap wajah anak laki-lakinya dengan tajam bak Elang yang menemukan mangsanya.Bibir w
Bab 6Sebuah paperbag berisi baju sudah berada di tangan Nisrina, sesuai dengan perintah sang mertua. Ia membawa benda itu masuk ke dalam mobil, di mana Abisatya sedang berbincang dengan seseorang di ujung telepon."Aku balik dulu ya, Sayang? Setelah itu aku ke sana," ujar Abi sebelum mengakhiri panggilannya."Beneran ya? Jangan lama-lama." Suara diujung panggilan samar terdengar di telinga wanita yang duduk di samping Abisatya itu."Iya. Setelah sampai rumah Mama, aku langsung pergi ke tempat kamu."Nisrina hanya diam dan duduk sambil meremas tali paperbag yang berisi baju pesanan mertuanya. Hatinya yang terluka, makin terluka dengan apa yang baru saja ia dengar. Panggilan sayang yang seharusnya menjadi miliknya, dengan mudahnya dilontarkan oleh lelaki bergelar suami untuk wanita lain.Nisrina menghela napas dalam. Betapa pernikahannya dimulai dengan ujian berat yang rasanya ia tak sanggup untuk memikulnya."Kita ke rumah Mama dulu ya?" ucap Abisatya setelah meletakan ponselnya di at
Bab 7Abisatya lebih dulu meninggalkan mertua dan menantu itu di dalam ruang tamu. Bibirnya mengatup rapat. Hatinya menahan kesal sebab acaranya berantakan gara-gara mamanya.Dering ponselnya kembali terdengar. Nama Rania kembali muncul dalam layar panggilan tersebut.Dengan segera Abi menggeser tombol gagang telepon warna hijau agar segera terhubung dengan wanita di ujung panggilan sana."Sayang, kenapa ngga diangkat? Lama sekali kamu, kemana aja sih! Aku sudah ngga sabar pengen ketemu," gerutu Rania. Ia sudah menunggu lebih dari setengah jam tapi Abi tak kunjung datang."Iya. Sebentar ya. Aku pasti ke sana. Kamu tenang saja." Abi makin menahan kesal karena suara rengekan Rania."Cepetan ya? Aku sudah kangen sama kamu. Aku ingin cerita banyak, juga pengen disayang-sayang sama kamu."Abi terkekeh. Rengekan Rania itu sedikit mengurangi rasa kesalnya akibat ulah mamanya."Iya. Sabar. Tunggu ya?" jawab Abi kemudian.Saat Nisrina masuk ke dalam mobil, Abi segera mematikan panggilannya. Ia
Bab 8Abi memandangi tubuh langsing yang sedang terbaring di atas ranjang dengan pakaian tipis yang membungkus badan itu, menampakkan sedikit gumpalan daging di dadanya. Wajah yang cantik dengan rambut tak beraturan menutupi wajah membuat kecantikan alami dari perempuan itu terpancar sempurna.Ada orang yang bilang bahwa kecantikan alami seorang wanita itu terpancar ketika ia sedang terlelap. Benar saja. Abi melihat itu di wajah Nisrina, wanita yang sedang terlelap dengan lingerie melekat di tubuhnya. Wajah polos tanpa mekap dan tetap terlihat bersih dan putih. Kecantikan alami dari seorang wanita.Abisatya tersenyum melihat wajah ayu yang sedang terlelap itu tampak cantik. Berbeda dengan Rania yang selalu memakai mekap di wajahnya. Meskipun tidak tebal, Rania tidak pernah lepas dari bedak dan lipstik. Namun meskipun begitu, Abi tetap cinta kepada Ranianya."Rin," panggil Abi. Ia merasa risih melihat Nisrina dengan pakaian seperti itu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya
Bab 9Sepasang laki-laki dan perempuan itu terperanjat mendapati sosok yang sedang berdiri di depannya. Tautan tangan yang semula menyatukan kedua badan mereka seketika terlepas. Senyum yang awalnya terbit di wajah dua insan itu tiba-tiba lenyap saat mendapati sosok yang tengah berdiri di depan mereka."Ratih?" gumam Nisrina. Matanya menatap sosok yang selalu berada di sisinya saat suka dan duka sebelum pernikahan itu terjadi. Dadanya berdegup kencang mendapati wanita yang sudah ia anggap layaknya saudara bisa sebegitu bahagianya dengan lelaki yang baru saja ia putuskan cintanya.Nisrina lupa bahwa orang yang paling dekat dengannya berpeluang besar menjadi orang yang paling melukai. Layaknya apa yang dilakukan oleh Abisatya padanya."Rin," lirih Ratih. Paperbag yang ada di tangan Ratih seketika terjatuh. Ia menutup mulutnya tak percaya bisa berjumpa dengan sahabatnya saat sedang jalan dengan Abian. Ratih tertangkap basah."Jelaskan padaku apa ini, Mas? Sejak kapan kalian menjalin hubu
Bab 10"Apa maksudmu?" tanya Nisrina dengan tatapan menelisik. "Aku memang punya rumah. Tapi itu akan kutempati dengan Raniaku nanti." Abi berujar dengan santainya. Tak peduli jika kalimat itu akan menyakiti istrinya.Nisrina mencebikkan bibirnya. "Lalu, kita akan tinggal di rumah Mama? Dan di kamar yang sama? Mas yakin?" tanya Nisrina dengan tatapan tak yakin."Hanya sebulan, kan? Itu bukan waktu yang lama untuk kita hidup bersama dalam satu kamar.""Satu atap oke lah, tapi kalau satu kamar selama sebulan? Kamu sehat?" Nisrina mencoba mengutarakan ketidaksetujuannya.Laki-laki di depan Nisrina itu tercengang. Ia tidak berpikir sejauh itu.Tiba-tiba saja apa yang terjadi di kamar hotel tadi terlintas di kepala Abi. Badan Nisrina yang terbalut pakaian minim bahan kembali muncul dalam ingatannya. Bukankah jika tinggal dalam satu kamar hal serupa bisa saja terulang kembali?Abisatya menghela napas kasar. Rumah itu telah lama disiapkannya dengan Rania, lebih tepatnya sebelum Rania pergi
Bab 87Abi benar-benar mengantar Nisirina pulang. Ia merasa tak mampu menahan wanita itu untuk menuruti keinginannya setelah permintaan maaf yang dia ucapkan.Sebagai seorang suami, Abi merasa gagal. Semakin merasa gagal lagi setelah melihat respon Nisrina usai ia meminta maaf.Sebuah pesan dikirim Nisirina untuk seseorang. Ia pun menahan bibirnya untuk tidak banyak bicara di dalam mobil. Rencananya berhasil membuat Abi merasa menjadi orang yang telah abai pada tanggung jawab.Sebagai lelaki, Nisrina mau Abi gentleman. Sebentar lagi ia akan memasuki babak baru dalam hidupnya. Apa jadinya seperti kepala keluarga jika selalu mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah. Nisrina wanita yang mandiri dan tegas. Ia mau lelaki yang menjadi suaminya adalah lelaki yang tegas, berwibawa dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sayangnya, suami yang ia dapatkan jauh berbeda dari apa yang ia inginkan.Setibanya di rumah Nisrina, tampak banyak orang yang berada di rumah itu."Kok rumah
Bab 86Bu Rumaisha seketika menoleh setelah mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Senyum sumringah seketika terkembang di wajahnya yang masih tampak cantik meski termakan usia."Duduk sini, Nak. Mama sudah pesan makanan buat kamu," titah Bu Rumaisha sambil menepuk kursi yang ada di sisi meja sebelahnya.Wajah milik Abisatya itu seketika berubah canggung. Ia kepayahan mengatur napas yang memburu bercampur kaget karena pemandangan di depannya."Iya, Ma," ucap Abi salah tingkah. Ia canggung duduk di sisi Nisrina yang langsung menunduk setelah pandangan mereka bersitatap."Kapan jadwal kamu periksa, Sayang?" tanya Bu Rumaisha pada Nisrina yang tak kalah salah tingkahnya."Sebelum balik kemarin udah periksa, Ma. Tapi kayaknya harus cari dokter lagi di sini buat persiapan lahiran beberapa bulan lagi.""Waah nanti kabari Mama ya? Mama pengen antar kamu. Mama pengen tahu gimana wajah cucu Mama itu. Ganteng apa cantik.""Selama periksa Nisrina ngga pernah tanya, Ma. Biar jadi s
Bab 85"Masya Allah anakku," teriak Bu Rumaisha saat melihat wanita hamil yang ada di depannya. Ia merentangkan tangannya untuk memeluk menantunya itu.Tangis Nisrina pecah seketika. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya kesepian dan merasa butuh pelukan keluarga. Bu Rahmi sudah melakukannya, tapi tentu beda dengan mereka yang sudah kenal lebih lama dan terikat tali pernikahan seperti Abi dan keluarganya."Mama, maafkan Rina," ucap Rina dalam pelukan Bu Rumaisha."Enggak, Nak. Kamu ngga salah. Abi yang salah. Tapi tenang, Mama sudah marahi dia. Sudah Mama hajar dia sampai kapok," balas Bu Rumaisha dengan tegas dan mantap."Mama hajar Mas Abi?" tanya Rina mengulang ucapan mertuanya. Kepalanya mendongak, menatap wajah yang sedang berbicara itu untuk mendapatkan kejelasan.Ekor mata Bu Rumaisha melirik ke arah laki-laki paruh baya di sampingnya. "Itu, dia yang hajar sampai berdarah wajahnya.""Papa hajar Mas Abi?" tanya Rina setelah pandangannya mengikuti arah mata Bu Ru
Bab 84Nisrina sedang bersiap untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan rumah itu tanpa penghuni. Ia tak lagi mendapatkan alasan untuk menghindar dari orang-orang di masa lalunya. Akan tetapi, untuk kembali ke rumah Abisatya itu tak mungkin dilakukan sebab hubungan keduanya masih terbilang panas."Kamu jadi pergi, Nak?" Bu Rahmi menghampiri Nisrina di ruang tengah. Nisrina yang sedang duduk sambil memegang ponsel seketika mendongak, melihat sosok yang baru saja datang ke rumahnya."Jadi, Bu. Rina harus kembali. Tidak mungkin Nisrina selamanya ada di sini, toh badan Rina sudah sehat. Mbak Nur saya ajak ikut pulang tapi beliau tidak bisa.""Nur masih ada keluarga di sini. Ngga bisa pergi begitu saja.""Iya, Bu. Rina paham.""Ibu pasti akan merindukanmu, Nak," sahut Bu Rahmi dengan tatapan sendu. Ia lantas duduk di samping Nisrina yang sudah lebih dulu menggeser badannya."Ibu ngga ikut antar Rina?" tanya Nisrina saat perempuan paruh baya itu sudah du
Bab 83Bu Rumaisha tak sengaja menemukan story Nisrina yang baru saja di posting itu. Dengan penuh semangat, beliau membukanya untuk melihat apa yang dibagi menantunya setelah sekian lama tak sapat dihubungi.Sebuah video yang menampakkan perut besar Nisrina yang sedang bergerak-gerak membuat Bu Rumaisha tersenyum penuh rasa haru."Pa, bangun, Pa!" bisik Bu Rumaisha tak sabaran. Ia menepuk-nepuk pundak suaminya untuk menunjukkan video tersebut."Apaan sih, Ma! Papa ngantuk!" elak Pak Gunawan menepis tangan Bu Rumaisha agar tak mengganggu tidurnya."Pa, lihatlah. Kita akan punya cucu, Pa!" Bu Rumaisha tak putus asa untuk membangunkan sang suami."Abi juga sudah bilang kemarin. Menantumu saja pergi dan menghilang, bagaimana kita bisa ketemu sama dia." Pak Gunawan kembali memejamkan matanya."Tapi ini story di nomor yang lama, Pa. Kayaknya sudah aktif lagi. Coba lihat dulu," ucap Bu Rumaisha makin memaksa.Tak punya pilihan lain, Pak Gunawan pun mengubah posisi tidurnya. Ia melihat layar
Bab 82Nisrina menatap geram wajah yang sedang ada di depannya. Ia tak menyangka jika kebaikannya dianggap seolah membuka celah untuknya bisa kembali dekat."Rin!" panggil Bian saat Nisrina berlari menjauh dari hadapan laki-laki itu.Tak peduli suara teriakan Bian, Nisrina berlari menuju sebuah angkutan umum yang tak sengaja berhenti tak jauh dari rumahnya."Cepat berangkat, Pak!" titah Nisrina setelah ia duduk di atas kendaraan roda empat itu.Nisrina kepayahan mengatur napas. Bahunya naik turun sebab ritme jantungnya tak tak beraturan. Dalam hati Nisrina merasa kesal pada Bian. Ia merasa telah kecolongan terhadap lelaki yang ia kira bisa dijadikan teman baik.Beberapa saat setelah duduk, perut Nisrina terasa nyeri. Tak biasanya ia merasakan nyeri yang hebat seperti itu.Sekuat tenaga Nisrina berusaha menahan rasa nyeri di perutnya itu hingga suara teriakan orang yang duduk di depannya membuat Nisrina terkaget."Mbak, di kakinya ada darah," ucap seorang wanita berhijab.Nisrina refle
Bab 81Hati Nisrina bak diiris sembilu membaca pesan yang dikirim oleh Abisatya. Tak mau membalas pesan itu, Nisrina lebih memilih diam dan menangis dalam diam. Bagaimana pun dia salah karena terlalu keras pada Abi."Maafkan aku, Mas. Aku terlalu keras padamu," gumam Nisrina sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi wajah.Nisrina tenggelam dalam tangisnya hingga matanya terlelap. Badan yang letih itu tak lagi sanggup menopang bobot tubuhnya yang sekarang mudah sekali terasa letih.Keesokan harinya, Nisrina bersiap hendak memeriksakan diri. Janin dalam rahimnya sudah diajak bepergian dan menghabiskan waktu banyak di perjalanan beberapa hari lalu. Ia harus memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Terlebih sebentar lagi, ia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya dan membutuhkan tenaga yang fit untuk membawa beberapa baju dan barang bawaan."Pagi sekali sudah rapi, Nak? Mau kemana?" tanya Bu Rahmi ketika sedang menyapu halaman. Ia meletakkan sapunya d
Bab 80Nisrina tersedu dalam pelukan Bu Rahmi. Ia tak kuasa menahan rasa sesal yang kian menambah dalam luka di hatinya. Selama ini, perempuan yang sedang hamil muda itu terlalu menuruti egonya hingga kini ia terjerembab dalam penyesalan yang membuatnya tak henti menitikkan air mata."Tidak apa-apa kamu merasa bersalah. Yang penting setelah ini kamu mau berubah menjadi lebih baik. Bagaimana pun dia bapak dari anakmu, yang masih memiliki hak atas dirimu dan bayi dalam kandunganmu.""Tapi Rina takut, Bu. Rina sudah terlalu kasar padanya kemarin. Wajah Mas Abi yang semula mengiba, saat kami berpisah berubah menjadi penuh emosi." Nisrina memejamkan matanya, mengingat kembali urat-urat yang makin tercetak tebal di leher Abisatya."Kalau begitu datangi dia, minta maaf padanya," sambung Bu Rahmi lagi.Rina seketika mendongakkan kepalanya, lalu mengurai pelukan dari wanita paruh baya yang sedang menasehatinya itu. "Rina takut, Bu. Rina takut."Air mata Nisrina makin deras membanjiri wajahnya.
Bab 79Abi kembali ke rumah dengan kondisi hati dan pikiran yang tak baik. Harapannya bisa kembali bersama sang istri seketika lenyap setelah mendengar penolakan Nisrina yang keras itu.Ucapan Nisrina itu, bak tombak yang menancap tepat sasaran. Nyeri, perih dan terasa tak berarti sebagai seorang lelaki.Mobil yang ditumpangi Abi itu melaju dengan kencangnya. Tak peduli dengan kendaraan lainnya, Abi terus memacu mobilnya dengan kecepatan yang tak biasanya.Setibanya di rumah yang lama tak ditempati, Abi membawa masuk beberapa botol minuman yang sudah dibelinya di luar. Ia tak mau mengambil resiko seperti yang kemarin. Lelaki yang sedang hancur itu butuh sesuatu untuk melampiaskan amarahnya.Abi memilih melampiaskan emosinya dengan menenggak minuman kerasnya di rumah. Tak peduli soal halal dan haramnya, Abi terus menikmati minuman yang melenakan itu dengan hati yang penuh emosi. Padahal tak ada manfaat dari minuman itu sekalipun hanya sedikit.Kadang bibir Abi itu berteriak sambil mena