Bab 6
Sebuah paperbag berisi baju sudah berada di tangan Nisrina, sesuai dengan perintah sang mertua. Ia membawa benda itu masuk ke dalam mobil, di mana Abisatya sedang berbincang dengan seseorang di ujung telepon. "Aku balik dulu ya, Sayang? Setelah itu aku ke sana," ujar Abi sebelum mengakhiri panggilannya. "Beneran ya? Jangan lama-lama." Suara diujung panggilan samar terdengar di telinga wanita yang duduk di samping Abisatya itu. "Iya. Setelah sampai rumah Mama, aku langsung pergi ke tempat kamu." Nisrina hanya diam dan duduk sambil meremas tali paperbag yang berisi baju pesanan mertuanya. Hatinya yang terluka, makin terluka dengan apa yang baru saja ia dengar. Panggilan sayang yang seharusnya menjadi miliknya, dengan mudahnya dilontarkan oleh lelaki bergelar suami untuk wanita lain. Nisrina menghela napas dalam. Betapa pernikahannya dimulai dengan ujian berat yang rasanya ia tak sanggup untuk memikulnya. "Kita ke rumah Mama dulu ya?" ucap Abisatya setelah meletakan ponselnya di atas dasboard. Nisrina hanya mengangguk tanpa bersuara. Ia makin tak enak hati dengan situasi yang lagi-lagi tidak berpihak padanya. Ekor mata Abi mendapati wajah sedih Nisrina sedang menatap pemandangan di luar jendela. Melihat apa yang tadi menimpa istrinya, hati Abi pun penasaran dengan apa yang sudah terjadi padanya. "Emm ... ngomong-ngomong gimana ibunya pacarmu sampai sedemikian kasarnya padamu? Memang apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Abi membuka obrolan. Nisrina membuang napas kasar. Ia memejamkan mata, mencari celah mana yang ada dalam dirinya hingga membuat orang tua Bian sebegitu benci terhadap dirinya. Nihil. Nisrina tidak menemukan satu kejadian pun yang terjadi padanya, yang bisa membuat seseorang sebegitu membenci dirinya. "Aku tidak tahu mengapa bisa ibunya Mas Bian sebegitu bencinya terhadapku. Kami hanya bertemu sekali, dan langsung disambut dengan kebencian yang begitu besarnya." Tangan Nisrina mengusap pipinya yang masih merah. Rasa perih masih membekas di wajahnya yang mulus tanpa jerawat itu. "Pipimu masih sakit? Apa kita apotek dulu untuk membeli sesuatu?" tanya Abi. Ia turut membayangkan betapa perih dan panasnya pipi Nisrina setelah tangan wanita paruh baya itu membekas di wajah wanita di sebelahnya. "Untuk apa?" Dahi Nisrina mengerut. "Barangkali kamu butuh sesuatu untuk meredakan nyeri di wajahmu?" Nisrina tersenyum sumbang. "Tidak perlu. Sepertinya aku harus terbiasa dengan perih dan luka. Ini baru awal, setelah ini aku tidak tahu apa lagi yang akan menimpaku. Bisa jadi lebih parah dari ini, kan?" Bibir Nisrina tersungging miring. Ia menatap wajah laki-laki yang sedang duduk tak nyaman di sampingnya. "Aku pun terluka, tidak hanya kamu. Raniaku pergi sekian lama dan baru kembali setelah sekian lama aku menanti." Abi membela dirinya. "Seharusnya jika Mas menunggu Rania, Mas tidak perlu menerima perjodohan itu." "Jika saja aku tahu Rania akan kembali, aku tidak akan mau dijodohkan dengan siapapun. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Papa dan Mama terlihat sangat menyayangimu. Aku tak punya celah untuk menolak." "Alhamdulillah. Aku tidak dapat kasih sayang suami, tapi aku dapat kasih sayang kedua orang tua yang sudah lama kuinginkan." Lagi, Nisrina tersenyum miring sambil menyapukan pandangan pada laki-laki yang sedang fokus dengan jalan raya. "Kamu selalu menyudutkanku." Abi mulai tak nyaman. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Nisrina bak busur panah yang melesat tepat sasaran. "Bukan menyudutkan. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Pahit bukan?" "Kita sama-sama merasakan pahit, jadi kamu tidak perlu berkata seperti itu." Abi menjawab dengan ketusnya. "Sepahit luka yang Mas rasakan, kalian masih bisa bersama. Masih banyak hal yang bisa membuat Mas bahagia bersama dirinya. Sementara aku?" Nisrina menggelengkan kepalanya tak percaya. Miris sekali nasibnya. "Sebulan bukan waktu yang lama. Setelah sebulan berlalu, kamu bisa mencari kebahagiaanmu sendiri." "Semoga saja," balas Nisrina dengan seulas senyum miring yang lagi-lagi terkembang di wajahnya. Setelah setengah jam perjalanan, mobil Abi berhenti di halaman rumah besar milik keluarga Gunawan. Ia turun dan langsung berjalan menuju pintu yang sedang terbuka itu. Nisrina mengikuti langkah suaminya. Ia melangkah perlahan sambil melihat sekeliling. Rumah besar dengan dua pilar yang menyangga teras rumahnya. Di samping halaman itu ada sebuah taman yang ditengahnya terdapat kolam ikan serta air mancur buatan. Gemericik air yang khas membuat suasana rumah itu terasa asri dan menyenangkan. Bibir Nisrina tersungging melihat ikan dalam kolam itu. Gerak ikan yang gesit dan lincah serta warna warni kulitnya menambah keindahan kolam ikan yang dindingnya terdapat bebatuan buatan. "Rin," panggil Bu Rumaisha. "Masuk yukk, Abi itu masak istrinya ditinggal di luar begini," sambungnya. "Ngga apa-apa, Bu. Tadi pas mau masuk ngga sengaja lihat kolam ini. Bagus banget. Rina suka." Mata Nisrina berbinar. Ia menyukai ikan. Di rumah kedua orang tuanya juga terdapat kolam ikan tapi tidak sebesar milik keluarga Gunawan. "Iya kah? Itu yang minta Abi waktu kecil dulu. Sengaja Mama yang rawat. Wah kayaknya kalian cocok nih, sama-sama suka ikan," jawab Bu Rumaisha senang. Nisrina terdiam. Bagaimana bisa cocok kalau belum apa-apa sudah banyak drama diantara mereka. Sayangnya Nisrina hanya mampu terdiam sambil mengulum senyumnya tanpa berani mengatakan yang sebenarnya. "Masuk yuk, Mama pengen lihat kamu pakai bajunya. Besok mau ada acara di rumah, baju itu kamu pakai ya? Itu sama kayak punya Mama. Kita nanti seragaman," papat wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah menginjak kepala lima. Nisrina mengangguk. Ia mengekor langkah mertuanya menuju rumah besar keluarga Gunawan. Namun saat Nisrina baru saja sampai di ruang tamu, Abi keluar sambil membawa kunci mobil di tangannya. "Mau kemana, Bi?" tanya Bu Rumaisha yang seketika menghentikan langkah sang putra. "Mau keluar bentar, Ma." "Kemana? Masak baru sampai sudah keluar lagi? Harusnya kalian keluar sama-sama, biar makin kenal dan dekat. Ya sudah, sana kamu ikut Abi. Kalian keluar berdua saja!" Nisrina dan Abi saling beradu pandangan. "Ngga bisa, Ma! Masak kemana-mana harus ajak dia!" "Heii, dia kan istrimu. Wajar kalau kemana-mana ikutan. Namanya juga pengantin baru, masih hangat-hangatnya." "Ngga bisa, Ma!" "Kalau gitu kamu ngga usah keluar! Di rumah aja." Bu Rumaisha meraih kunci mobil yang dipegang Abi dengan cepat. "Maa!" sentak Abi tak terima. "Pergi sama Rina atau tetap di rumah!" Bu Rumaisha berujar dengan tegas. Ia tak mau membiarkan anaknya pergi sendiri tanpa istri yang membersamainya. Dalam hati Nisrina bersorak. Tak perlu melarang atau melapor, mertuanya sudah lebih dulu melakukannya. "Mama apa-apaan sih!" protes Abi keras. "Kamu yang apa-apaan! Jangan begitu sama istrimu. Dia baru di sini, harusnya kamu perlakuan dengan baik, bukannya kamu tinggal-tinggal begini. Kalau kamu pergi sendiri, apa gunanya cuti yang kamu ambil kalau kamu kelayapan sendiri." Bersamaan dengan itu, ponsel Abi berbunyi. Ia merogoh benda itu dari dalam sakunya dan melihat nama pemanggil yang tertera dalam layar. Rania. "Ya sudah, Ma. Biar Rina pergi sama Mas Abi dulu," ujar Rina menengahi. Ia tak mau memperkeruh keadaan dengan tetap berdiam diri. "Iya, hati-hati ya, Sayang. Besok aja kita coba bajunya setelah kamu pulang dari hotel." Senyum sumringah terkembang di wajah Bu Rumaisha. Ia menyerahkan kunci mobil Abi pada Nisrina. "Di dalam lemari hotel, mama sudah siapkan lingerie yang bagus untukmu. Semoga malam pertamanya berhasil," bisik Bu Rumaisha yang seketika membuat Nisirna membelalakkan matanya.Bab 7Abisatya lebih dulu meninggalkan mertua dan menantu itu di dalam ruang tamu. Bibirnya mengatup rapat. Hatinya menahan kesal sebab acaranya berantakan gara-gara mamanya.Dering ponselnya kembali terdengar. Nama Rania kembali muncul dalam layar panggilan tersebut.Dengan segera Abi menggeser tombol gagang telepon warna hijau agar segera terhubung dengan wanita di ujung panggilan sana."Sayang, kenapa ngga diangkat? Lama sekali kamu, kemana aja sih! Aku sudah ngga sabar pengen ketemu," gerutu Rania. Ia sudah menunggu lebih dari setengah jam tapi Abi tak kunjung datang."Iya. Sebentar ya. Aku pasti ke sana. Kamu tenang saja." Abi makin menahan kesal karena suara rengekan Rania."Cepetan ya? Aku sudah kangen sama kamu. Aku ingin cerita banyak, juga pengen disayang-sayang sama kamu."Abi terkekeh. Rengekan Rania itu sedikit mengurangi rasa kesalnya akibat ulah mamanya."Iya. Sabar. Tunggu ya?" jawab Abi kemudian.Saat Nisrina masuk ke dalam mobil, Abi segera mematikan panggilannya. Ia
Bab 8Abi memandangi tubuh langsing yang sedang terbaring di atas ranjang dengan pakaian tipis yang membungkus badan itu, menampakkan sedikit gumpalan daging di dadanya. Wajah yang cantik dengan rambut tak beraturan menutupi wajah membuat kecantikan alami dari perempuan itu terpancar sempurna.Ada orang yang bilang bahwa kecantikan alami seorang wanita itu terpancar ketika ia sedang terlelap. Benar saja. Abi melihat itu di wajah Nisrina, wanita yang sedang terlelap dengan lingerie melekat di tubuhnya. Wajah polos tanpa mekap dan tetap terlihat bersih dan putih. Kecantikan alami dari seorang wanita.Abisatya tersenyum melihat wajah ayu yang sedang terlelap itu tampak cantik. Berbeda dengan Rania yang selalu memakai mekap di wajahnya. Meskipun tidak tebal, Rania tidak pernah lepas dari bedak dan lipstik. Namun meskipun begitu, Abi tetap cinta kepada Ranianya."Rin," panggil Abi. Ia merasa risih melihat Nisrina dengan pakaian seperti itu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya
Bab 9Sepasang laki-laki dan perempuan itu terperanjat mendapati sosok yang sedang berdiri di depannya. Tautan tangan yang semula menyatukan kedua badan mereka seketika terlepas. Senyum yang awalnya terbit di wajah dua insan itu tiba-tiba lenyap saat mendapati sosok yang tengah berdiri di depan mereka."Ratih?" gumam Nisrina. Matanya menatap sosok yang selalu berada di sisinya saat suka dan duka sebelum pernikahan itu terjadi. Dadanya berdegup kencang mendapati wanita yang sudah ia anggap layaknya saudara bisa sebegitu bahagianya dengan lelaki yang baru saja ia putuskan cintanya.Nisrina lupa bahwa orang yang paling dekat dengannya berpeluang besar menjadi orang yang paling melukai. Layaknya apa yang dilakukan oleh Abisatya padanya."Rin," lirih Ratih. Paperbag yang ada di tangan Ratih seketika terjatuh. Ia menutup mulutnya tak percaya bisa berjumpa dengan sahabatnya saat sedang jalan dengan Abian. Ratih tertangkap basah."Jelaskan padaku apa ini, Mas? Sejak kapan kalian menjalin hubu
Bab 10"Apa maksudmu?" tanya Nisrina dengan tatapan menelisik. "Aku memang punya rumah. Tapi itu akan kutempati dengan Raniaku nanti." Abi berujar dengan santainya. Tak peduli jika kalimat itu akan menyakiti istrinya.Nisrina mencebikkan bibirnya. "Lalu, kita akan tinggal di rumah Mama? Dan di kamar yang sama? Mas yakin?" tanya Nisrina dengan tatapan tak yakin."Hanya sebulan, kan? Itu bukan waktu yang lama untuk kita hidup bersama dalam satu kamar.""Satu atap oke lah, tapi kalau satu kamar selama sebulan? Kamu sehat?" Nisrina mencoba mengutarakan ketidaksetujuannya.Laki-laki di depan Nisrina itu tercengang. Ia tidak berpikir sejauh itu.Tiba-tiba saja apa yang terjadi di kamar hotel tadi terlintas di kepala Abi. Badan Nisrina yang terbalut pakaian minim bahan kembali muncul dalam ingatannya. Bukankah jika tinggal dalam satu kamar hal serupa bisa saja terulang kembali?Abisatya menghela napas kasar. Rumah itu telah lama disiapkannya dengan Rania, lebih tepatnya sebelum Rania pergi
Bab 11"Jangan memulai pertikaian lagi," desis Nisrina. Ia tak mau terpancing dengan ucapan Abi."Enggak. Siapa yang mancing. Aku cuma ngasih tahu kamu saja." Abi melengos.Embusan kasar keluar dari bibir Nisrina. Meskipun Abi tak berniat menyinggung, ia tetap merasa tersinggung sebab pernikahannya yang tanpa cinta."Apa nasimu itu akan kau biarkan begitu?" tanya Abi setelah nasi dalam piringnya habis tak bersisa. Ia melihat nasi di piring Nisrina masih utuh tak berkurang sedikitpun.Nisrina tak menjawab. Ia kembali murung setelah mendengar ucapan Abi barusan.Tanpa aba-aba, Abi meraih piring yang ada di depan Nisrina hingga nasi yang ada di dalamnya sedikit tumpah."Mas!" pekik Nisrina kaget. Matanya membelalak menatap wajah tanpa rasa bersalah di depannya. Tangannya menggenggam sendok dengan erat. Ingin rasanya melempar sendok itu ke arah Abi, akan tetapi Nisrina sadar itu tempat umum."Nasi ini enak, sayang kalau cuma kamu buat mainan. Mending kumakan saja." Abi tak lagi peduli de
Bab 12"Aku janji, ngga akan menyentuh dia meskipun dalam satu rumah. Kamu harus percaya padaku sebab cintaku hanya untukmu." Abi memeluk Rania sambil meracau. Sedangkan yang dipeluk hanya terisak."Kamu jangan begini, ini malah bikin aku makin berat jalaninnya," ucap Abi lemah. Tangan yang kekar itu bergerak beraturan di punggung ramping milik Rania."Aku hanya takut kalau kamu serumah dengan dia. Aku takut kamu jatuh cinta.""Tidak. Aku jamin tidak. Kamu harus percaya padaku. Aku setia padamu. Bukankah sekian lama kamu pergi tapi aku masih saja menerimamu seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan kita?" ujar Abi tegas. Ia mengurai pelukannya dan menatap wajah Rania dengan seksama.Rania tertunduk. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. "Kita masuk mobil ya? Kita lanjut jalan. Jangan begini terus, malu dilihat orang banyak."Rania menunduk. Meskipun bibirnya masih terisak, ia menurut pada Abi yang tengah menggandeng tangannya untuk kembali ke mobil.Seulas senyum terbit di bibir Abisa
Bab 13Nisrina berjalan menuju sumber suara. Ada sedikit rasa khawatir bercampur rasa penasaran yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. "Mas!" pekik Nisrina kaget saat melihat Abi sedang muntah di ruang tamu. Badannya pucat, disertai dengan napas yang sedikit kesusahan.Nisrina berlari menghampiri sang suami. Ia memapah lelakinya itu menuju ruang tengah. "Mas kenapa?" tanya Nisrina cemas."Perutku sakit banget," ujar Abi saat Nisirina memapahnya menuju kursi. Meskipun kepayahan, tak menyurutkan langkahnya untuk menuntun sang suami hingga badannya tergeletak sempurna di atas karpet.Dengan cekatan istri Abi itu mengambil air hangat dari dispenser untuk diberikan pada sang suami. "Minum dulu," titahnya.Abi menurut saja. Ia meneguk sedikit air dalam gelas tersebut. Akan tetapi, belum juga gelas diletakkan Abi kembali mual. Kali ini Abi segera berjalan dengan tertatih menuju wastafel yang ada di dapur.Nisrina menghampiri sang suami. Ia tak tahu harus berbuat apa. Selain baru kenal, Nisrin
Bab 14"Sayang, aku pengen banget makan seafood. Kita beli ya?" ajak Rania setelah beberapa lama berada di dalam apartemen. Ia merasa lapar dan bosan sebab sejak tadi hanya di rumah bermesraan dengan sang kekasih. Perutnya sudah meronta untuk minta diisi."Seafood? Apa ngga ada yang lainnya? Aku ngga bisa makan seafood." Abi mengelak. Ia tak mau kejadian yang sama terulang lagi."Kenapa ngga mau? Aku lagi pengen banget.""Pengen banget macam orang ngidam saja kamu." Abi tersenyum miring. Tumben sang kekasih pilih-pilih makanan. Tidak biasanya.Rania tersentak untuk sepersekian detik. Akan tetapi ia segera menguasai diri agar Abi tak banyak bicara soal ngidam. "Apaan sih. Namanya juga pengen. Ini tuh gara-gara kemarin aku lihat video diaplikasi berlogo not balok. Dia lagi makan lobster, dari tampilannya menggoda banget." Mata Rania berbinar, seolah ia sedang merekaulang gaya konten kreator tersebut.Abi terkekeh. Ia merasa lucu dengan ekspresi Rania. "Ya sudah kita beli. Tapi kamu saj
Bab 87Abi benar-benar mengantar Nisirina pulang. Ia merasa tak mampu menahan wanita itu untuk menuruti keinginannya setelah permintaan maaf yang dia ucapkan.Sebagai seorang suami, Abi merasa gagal. Semakin merasa gagal lagi setelah melihat respon Nisrina usai ia meminta maaf.Sebuah pesan dikirim Nisirina untuk seseorang. Ia pun menahan bibirnya untuk tidak banyak bicara di dalam mobil. Rencananya berhasil membuat Abi merasa menjadi orang yang telah abai pada tanggung jawab.Sebagai lelaki, Nisrina mau Abi gentleman. Sebentar lagi ia akan memasuki babak baru dalam hidupnya. Apa jadinya seperti kepala keluarga jika selalu mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah. Nisrina wanita yang mandiri dan tegas. Ia mau lelaki yang menjadi suaminya adalah lelaki yang tegas, berwibawa dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sayangnya, suami yang ia dapatkan jauh berbeda dari apa yang ia inginkan.Setibanya di rumah Nisrina, tampak banyak orang yang berada di rumah itu."Kok rumah
Bab 86Bu Rumaisha seketika menoleh setelah mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Senyum sumringah seketika terkembang di wajahnya yang masih tampak cantik meski termakan usia."Duduk sini, Nak. Mama sudah pesan makanan buat kamu," titah Bu Rumaisha sambil menepuk kursi yang ada di sisi meja sebelahnya.Wajah milik Abisatya itu seketika berubah canggung. Ia kepayahan mengatur napas yang memburu bercampur kaget karena pemandangan di depannya."Iya, Ma," ucap Abi salah tingkah. Ia canggung duduk di sisi Nisrina yang langsung menunduk setelah pandangan mereka bersitatap."Kapan jadwal kamu periksa, Sayang?" tanya Bu Rumaisha pada Nisrina yang tak kalah salah tingkahnya."Sebelum balik kemarin udah periksa, Ma. Tapi kayaknya harus cari dokter lagi di sini buat persiapan lahiran beberapa bulan lagi.""Waah nanti kabari Mama ya? Mama pengen antar kamu. Mama pengen tahu gimana wajah cucu Mama itu. Ganteng apa cantik.""Selama periksa Nisrina ngga pernah tanya, Ma. Biar jadi s
Bab 85"Masya Allah anakku," teriak Bu Rumaisha saat melihat wanita hamil yang ada di depannya. Ia merentangkan tangannya untuk memeluk menantunya itu.Tangis Nisrina pecah seketika. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya kesepian dan merasa butuh pelukan keluarga. Bu Rahmi sudah melakukannya, tapi tentu beda dengan mereka yang sudah kenal lebih lama dan terikat tali pernikahan seperti Abi dan keluarganya."Mama, maafkan Rina," ucap Rina dalam pelukan Bu Rumaisha."Enggak, Nak. Kamu ngga salah. Abi yang salah. Tapi tenang, Mama sudah marahi dia. Sudah Mama hajar dia sampai kapok," balas Bu Rumaisha dengan tegas dan mantap."Mama hajar Mas Abi?" tanya Rina mengulang ucapan mertuanya. Kepalanya mendongak, menatap wajah yang sedang berbicara itu untuk mendapatkan kejelasan.Ekor mata Bu Rumaisha melirik ke arah laki-laki paruh baya di sampingnya. "Itu, dia yang hajar sampai berdarah wajahnya.""Papa hajar Mas Abi?" tanya Rina setelah pandangannya mengikuti arah mata Bu Ru
Bab 84Nisrina sedang bersiap untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan rumah itu tanpa penghuni. Ia tak lagi mendapatkan alasan untuk menghindar dari orang-orang di masa lalunya. Akan tetapi, untuk kembali ke rumah Abisatya itu tak mungkin dilakukan sebab hubungan keduanya masih terbilang panas."Kamu jadi pergi, Nak?" Bu Rahmi menghampiri Nisrina di ruang tengah. Nisrina yang sedang duduk sambil memegang ponsel seketika mendongak, melihat sosok yang baru saja datang ke rumahnya."Jadi, Bu. Rina harus kembali. Tidak mungkin Nisrina selamanya ada di sini, toh badan Rina sudah sehat. Mbak Nur saya ajak ikut pulang tapi beliau tidak bisa.""Nur masih ada keluarga di sini. Ngga bisa pergi begitu saja.""Iya, Bu. Rina paham.""Ibu pasti akan merindukanmu, Nak," sahut Bu Rahmi dengan tatapan sendu. Ia lantas duduk di samping Nisrina yang sudah lebih dulu menggeser badannya."Ibu ngga ikut antar Rina?" tanya Nisrina saat perempuan paruh baya itu sudah du
Bab 83Bu Rumaisha tak sengaja menemukan story Nisrina yang baru saja di posting itu. Dengan penuh semangat, beliau membukanya untuk melihat apa yang dibagi menantunya setelah sekian lama tak sapat dihubungi.Sebuah video yang menampakkan perut besar Nisrina yang sedang bergerak-gerak membuat Bu Rumaisha tersenyum penuh rasa haru."Pa, bangun, Pa!" bisik Bu Rumaisha tak sabaran. Ia menepuk-nepuk pundak suaminya untuk menunjukkan video tersebut."Apaan sih, Ma! Papa ngantuk!" elak Pak Gunawan menepis tangan Bu Rumaisha agar tak mengganggu tidurnya."Pa, lihatlah. Kita akan punya cucu, Pa!" Bu Rumaisha tak putus asa untuk membangunkan sang suami."Abi juga sudah bilang kemarin. Menantumu saja pergi dan menghilang, bagaimana kita bisa ketemu sama dia." Pak Gunawan kembali memejamkan matanya."Tapi ini story di nomor yang lama, Pa. Kayaknya sudah aktif lagi. Coba lihat dulu," ucap Bu Rumaisha makin memaksa.Tak punya pilihan lain, Pak Gunawan pun mengubah posisi tidurnya. Ia melihat layar
Bab 82Nisrina menatap geram wajah yang sedang ada di depannya. Ia tak menyangka jika kebaikannya dianggap seolah membuka celah untuknya bisa kembali dekat."Rin!" panggil Bian saat Nisrina berlari menjauh dari hadapan laki-laki itu.Tak peduli suara teriakan Bian, Nisrina berlari menuju sebuah angkutan umum yang tak sengaja berhenti tak jauh dari rumahnya."Cepat berangkat, Pak!" titah Nisrina setelah ia duduk di atas kendaraan roda empat itu.Nisrina kepayahan mengatur napas. Bahunya naik turun sebab ritme jantungnya tak tak beraturan. Dalam hati Nisrina merasa kesal pada Bian. Ia merasa telah kecolongan terhadap lelaki yang ia kira bisa dijadikan teman baik.Beberapa saat setelah duduk, perut Nisrina terasa nyeri. Tak biasanya ia merasakan nyeri yang hebat seperti itu.Sekuat tenaga Nisrina berusaha menahan rasa nyeri di perutnya itu hingga suara teriakan orang yang duduk di depannya membuat Nisrina terkaget."Mbak, di kakinya ada darah," ucap seorang wanita berhijab.Nisrina refle
Bab 81Hati Nisrina bak diiris sembilu membaca pesan yang dikirim oleh Abisatya. Tak mau membalas pesan itu, Nisrina lebih memilih diam dan menangis dalam diam. Bagaimana pun dia salah karena terlalu keras pada Abi."Maafkan aku, Mas. Aku terlalu keras padamu," gumam Nisrina sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi wajah.Nisrina tenggelam dalam tangisnya hingga matanya terlelap. Badan yang letih itu tak lagi sanggup menopang bobot tubuhnya yang sekarang mudah sekali terasa letih.Keesokan harinya, Nisrina bersiap hendak memeriksakan diri. Janin dalam rahimnya sudah diajak bepergian dan menghabiskan waktu banyak di perjalanan beberapa hari lalu. Ia harus memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Terlebih sebentar lagi, ia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya dan membutuhkan tenaga yang fit untuk membawa beberapa baju dan barang bawaan."Pagi sekali sudah rapi, Nak? Mau kemana?" tanya Bu Rahmi ketika sedang menyapu halaman. Ia meletakkan sapunya d
Bab 80Nisrina tersedu dalam pelukan Bu Rahmi. Ia tak kuasa menahan rasa sesal yang kian menambah dalam luka di hatinya. Selama ini, perempuan yang sedang hamil muda itu terlalu menuruti egonya hingga kini ia terjerembab dalam penyesalan yang membuatnya tak henti menitikkan air mata."Tidak apa-apa kamu merasa bersalah. Yang penting setelah ini kamu mau berubah menjadi lebih baik. Bagaimana pun dia bapak dari anakmu, yang masih memiliki hak atas dirimu dan bayi dalam kandunganmu.""Tapi Rina takut, Bu. Rina sudah terlalu kasar padanya kemarin. Wajah Mas Abi yang semula mengiba, saat kami berpisah berubah menjadi penuh emosi." Nisrina memejamkan matanya, mengingat kembali urat-urat yang makin tercetak tebal di leher Abisatya."Kalau begitu datangi dia, minta maaf padanya," sambung Bu Rahmi lagi.Rina seketika mendongakkan kepalanya, lalu mengurai pelukan dari wanita paruh baya yang sedang menasehatinya itu. "Rina takut, Bu. Rina takut."Air mata Nisrina makin deras membanjiri wajahnya.
Bab 79Abi kembali ke rumah dengan kondisi hati dan pikiran yang tak baik. Harapannya bisa kembali bersama sang istri seketika lenyap setelah mendengar penolakan Nisrina yang keras itu.Ucapan Nisrina itu, bak tombak yang menancap tepat sasaran. Nyeri, perih dan terasa tak berarti sebagai seorang lelaki.Mobil yang ditumpangi Abi itu melaju dengan kencangnya. Tak peduli dengan kendaraan lainnya, Abi terus memacu mobilnya dengan kecepatan yang tak biasanya.Setibanya di rumah yang lama tak ditempati, Abi membawa masuk beberapa botol minuman yang sudah dibelinya di luar. Ia tak mau mengambil resiko seperti yang kemarin. Lelaki yang sedang hancur itu butuh sesuatu untuk melampiaskan amarahnya.Abi memilih melampiaskan emosinya dengan menenggak minuman kerasnya di rumah. Tak peduli soal halal dan haramnya, Abi terus menikmati minuman yang melenakan itu dengan hati yang penuh emosi. Padahal tak ada manfaat dari minuman itu sekalipun hanya sedikit.Kadang bibir Abi itu berteriak sambil mena