Bab 6
Sebuah paperbag berisi baju sudah berada di tangan Nisrina, sesuai dengan perintah sang mertua. Ia membawa benda itu masuk ke dalam mobil, di mana Abisatya sedang berbincang dengan seseorang di ujung telepon. "Aku balik dulu ya, Sayang? Setelah itu aku ke sana," ujar Abi sebelum mengakhiri panggilannya. "Beneran ya? Jangan lama-lama." Suara diujung panggilan samar terdengar di telinga wanita yang duduk di samping Abisatya itu. "Iya. Setelah sampai rumah Mama, aku langsung pergi ke tempat kamu." Nisrina hanya diam dan duduk sambil meremas tali paperbag yang berisi baju pesanan mertuanya. Hatinya yang terluka, makin terluka dengan apa yang baru saja ia dengar. Panggilan sayang yang seharusnya menjadi miliknya, dengan mudahnya dilontarkan oleh lelaki bergelar suami untuk wanita lain. Nisrina menghela napas dalam. Betapa pernikahannya dimulai dengan ujian berat yang rasanya ia tak sanggup untuk memikulnya. "Kita ke rumah Mama dulu ya?" ucap Abisatya setelah meletakan ponselnya di atas dasboard. Nisrina hanya mengangguk tanpa bersuara. Ia makin tak enak hati dengan situasi yang lagi-lagi tidak berpihak padanya. Ekor mata Abi mendapati wajah sedih Nisrina sedang menatap pemandangan di luar jendela. Melihat apa yang tadi menimpa istrinya, hati Abi pun penasaran dengan apa yang sudah terjadi padanya. "Emm ... ngomong-ngomong gimana ibunya pacarmu sampai sedemikian kasarnya padamu? Memang apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Abi membuka obrolan. Nisrina membuang napas kasar. Ia memejamkan mata, mencari celah mana yang ada dalam dirinya hingga membuat orang tua Bian sebegitu benci terhadap dirinya. Nihil. Nisrina tidak menemukan satu kejadian pun yang terjadi padanya, yang bisa membuat seseorang sebegitu membenci dirinya. "Aku tidak tahu mengapa bisa ibunya Mas Bian sebegitu bencinya terhadapku. Kami hanya bertemu sekali, dan langsung disambut dengan kebencian yang begitu besarnya." Tangan Nisrina mengusap pipinya yang masih merah. Rasa perih masih membekas di wajahnya yang mulus tanpa jerawat itu. "Pipimu masih sakit? Apa kita apotek dulu untuk membeli sesuatu?" tanya Abi. Ia turut membayangkan betapa perih dan panasnya pipi Nisrina setelah tangan wanita paruh baya itu membekas di wajah wanita di sebelahnya. "Untuk apa?" Dahi Nisrina mengerut. "Barangkali kamu butuh sesuatu untuk meredakan nyeri di wajahmu?" Nisrina tersenyum sumbang. "Tidak perlu. Sepertinya aku harus terbiasa dengan perih dan luka. Ini baru awal, setelah ini aku tidak tahu apa lagi yang akan menimpaku. Bisa jadi lebih parah dari ini, kan?" Bibir Nisrina tersungging miring. Ia menatap wajah laki-laki yang sedang duduk tak nyaman di sampingnya. "Aku pun terluka, tidak hanya kamu. Raniaku pergi sekian lama dan baru kembali setelah sekian lama aku menanti." Abi membela dirinya. "Seharusnya jika Mas menunggu Rania, Mas tidak perlu menerima perjodohan itu." "Jika saja aku tahu Rania akan kembali, aku tidak akan mau dijodohkan dengan siapapun. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Papa dan Mama terlihat sangat menyayangimu. Aku tak punya celah untuk menolak." "Alhamdulillah. Aku tidak dapat kasih sayang suami, tapi aku dapat kasih sayang kedua orang tua yang sudah lama kuinginkan." Lagi, Nisrina tersenyum miring sambil menyapukan pandangan pada laki-laki yang sedang fokus dengan jalan raya. "Kamu selalu menyudutkanku." Abi mulai tak nyaman. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Nisrina bak busur panah yang melesat tepat sasaran. "Bukan menyudutkan. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Pahit bukan?" "Kita sama-sama merasakan pahit, jadi kamu tidak perlu berkata seperti itu." Abi menjawab dengan ketusnya. "Sepahit luka yang Mas rasakan, kalian masih bisa bersama. Masih banyak hal yang bisa membuat Mas bahagia bersama dirinya. Sementara aku?" Nisrina menggelengkan kepalanya tak percaya. Miris sekali nasibnya. "Sebulan bukan waktu yang lama. Setelah sebulan berlalu, kamu bisa mencari kebahagiaanmu sendiri." "Semoga saja," balas Nisrina dengan seulas senyum miring yang lagi-lagi terkembang di wajahnya. Setelah setengah jam perjalanan, mobil Abi berhenti di halaman rumah besar milik keluarga Gunawan. Ia turun dan langsung berjalan menuju pintu yang sedang terbuka itu. Nisrina mengikuti langkah suaminya. Ia melangkah perlahan sambil melihat sekeliling. Rumah besar dengan dua pilar yang menyangga teras rumahnya. Di samping halaman itu ada sebuah taman yang ditengahnya terdapat kolam ikan serta air mancur buatan. Gemericik air yang khas membuat suasana rumah itu terasa asri dan menyenangkan. Bibir Nisrina tersungging melihat ikan dalam kolam itu. Gerak ikan yang gesit dan lincah serta warna warni kulitnya menambah keindahan kolam ikan yang dindingnya terdapat bebatuan buatan. "Rin," panggil Bu Rumaisha. "Masuk yukk, Abi itu masak istrinya ditinggal di luar begini," sambungnya. "Ngga apa-apa, Bu. Tadi pas mau masuk ngga sengaja lihat kolam ini. Bagus banget. Rina suka." Mata Nisrina berbinar. Ia menyukai ikan. Di rumah kedua orang tuanya juga terdapat kolam ikan tapi tidak sebesar milik keluarga Gunawan. "Iya kah? Itu yang minta Abi waktu kecil dulu. Sengaja Mama yang rawat. Wah kayaknya kalian cocok nih, sama-sama suka ikan," jawab Bu Rumaisha senang. Nisrina terdiam. Bagaimana bisa cocok kalau belum apa-apa sudah banyak drama diantara mereka. Sayangnya Nisrina hanya mampu terdiam sambil mengulum senyumnya tanpa berani mengatakan yang sebenarnya. "Masuk yuk, Mama pengen lihat kamu pakai bajunya. Besok mau ada acara di rumah, baju itu kamu pakai ya? Itu sama kayak punya Mama. Kita nanti seragaman," papat wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah menginjak kepala lima. Nisrina mengangguk. Ia mengekor langkah mertuanya menuju rumah besar keluarga Gunawan. Namun saat Nisrina baru saja sampai di ruang tamu, Abi keluar sambil membawa kunci mobil di tangannya. "Mau kemana, Bi?" tanya Bu Rumaisha yang seketika menghentikan langkah sang putra. "Mau keluar bentar, Ma." "Kemana? Masak baru sampai sudah keluar lagi? Harusnya kalian keluar sama-sama, biar makin kenal dan dekat. Ya sudah, sana kamu ikut Abi. Kalian keluar berdua saja!" Nisrina dan Abi saling beradu pandangan. "Ngga bisa, Ma! Masak kemana-mana harus ajak dia!" "Heii, dia kan istrimu. Wajar kalau kemana-mana ikutan. Namanya juga pengantin baru, masih hangat-hangatnya." "Ngga bisa, Ma!" "Kalau gitu kamu ngga usah keluar! Di rumah aja." Bu Rumaisha meraih kunci mobil yang dipegang Abi dengan cepat. "Maa!" sentak Abi tak terima. "Pergi sama Rina atau tetap di rumah!" Bu Rumaisha berujar dengan tegas. Ia tak mau membiarkan anaknya pergi sendiri tanpa istri yang membersamainya. Dalam hati Nisrina bersorak. Tak perlu melarang atau melapor, mertuanya sudah lebih dulu melakukannya. "Mama apa-apaan sih!" protes Abi keras. "Kamu yang apa-apaan! Jangan begitu sama istrimu. Dia baru di sini, harusnya kamu perlakuan dengan baik, bukannya kamu tinggal-tinggal begini. Kalau kamu pergi sendiri, apa gunanya cuti yang kamu ambil kalau kamu kelayapan sendiri." Bersamaan dengan itu, ponsel Abi berbunyi. Ia merogoh benda itu dari dalam sakunya dan melihat nama pemanggil yang tertera dalam layar. Rania. "Ya sudah, Ma. Biar Rina pergi sama Mas Abi dulu," ujar Rina menengahi. Ia tak mau memperkeruh keadaan dengan tetap berdiam diri. "Iya, hati-hati ya, Sayang. Besok aja kita coba bajunya setelah kamu pulang dari hotel." Senyum sumringah terkembang di wajah Bu Rumaisha. Ia menyerahkan kunci mobil Abi pada Nisrina. "Di dalam lemari hotel, mama sudah siapkan lingerie yang bagus untukmu. Semoga malam pertamanya berhasil," bisik Bu Rumaisha yang seketika membuat Nisirna membelalakkan matanya.Bab 7Abisatya lebih dulu meninggalkan mertua dan menantu itu di dalam ruang tamu. Bibirnya mengatup rapat. Hatinya menahan kesal sebab acaranya berantakan gara-gara mamanya.Dering ponselnya kembali terdengar. Nama Rania kembali muncul dalam layar panggilan tersebut.Dengan segera Abi menggeser tombol gagang telepon warna hijau agar segera terhubung dengan wanita di ujung panggilan sana."Sayang, kenapa ngga diangkat? Lama sekali kamu, kemana aja sih! Aku sudah ngga sabar pengen ketemu," gerutu Rania. Ia sudah menunggu lebih dari setengah jam tapi Abi tak kunjung datang."Iya. Sebentar ya. Aku pasti ke sana. Kamu tenang saja." Abi makin menahan kesal karena suara rengekan Rania."Cepetan ya? Aku sudah kangen sama kamu. Aku ingin cerita banyak, juga pengen disayang-sayang sama kamu."Abi terkekeh. Rengekan Rania itu sedikit mengurangi rasa kesalnya akibat ulah mamanya."Iya. Sabar. Tunggu ya?" jawab Abi kemudian.Saat Nisrina masuk ke dalam mobil, Abi segera mematikan panggilannya. Ia
Bab 8Abi memandangi tubuh langsing yang sedang terbaring di atas ranjang dengan pakaian tipis yang membungkus badan itu, menampakkan sedikit gumpalan daging di dadanya. Wajah yang cantik dengan rambut tak beraturan menutupi wajah membuat kecantikan alami dari perempuan itu terpancar sempurna.Ada orang yang bilang bahwa kecantikan alami seorang wanita itu terpancar ketika ia sedang terlelap. Benar saja. Abi melihat itu di wajah Nisrina, wanita yang sedang terlelap dengan lingerie melekat di tubuhnya. Wajah polos tanpa mekap dan tetap terlihat bersih dan putih. Kecantikan alami dari seorang wanita.Abisatya tersenyum melihat wajah ayu yang sedang terlelap itu tampak cantik. Berbeda dengan Rania yang selalu memakai mekap di wajahnya. Meskipun tidak tebal, Rania tidak pernah lepas dari bedak dan lipstik. Namun meskipun begitu, Abi tetap cinta kepada Ranianya."Rin," panggil Abi. Ia merasa risih melihat Nisrina dengan pakaian seperti itu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya
Bab 9Sepasang laki-laki dan perempuan itu terperanjat mendapati sosok yang sedang berdiri di depannya. Tautan tangan yang semula menyatukan kedua badan mereka seketika terlepas. Senyum yang awalnya terbit di wajah dua insan itu tiba-tiba lenyap saat mendapati sosok yang tengah berdiri di depan mereka."Ratih?" gumam Nisrina. Matanya menatap sosok yang selalu berada di sisinya saat suka dan duka sebelum pernikahan itu terjadi. Dadanya berdegup kencang mendapati wanita yang sudah ia anggap layaknya saudara bisa sebegitu bahagianya dengan lelaki yang baru saja ia putuskan cintanya.Nisrina lupa bahwa orang yang paling dekat dengannya berpeluang besar menjadi orang yang paling melukai. Layaknya apa yang dilakukan oleh Abisatya padanya."Rin," lirih Ratih. Paperbag yang ada di tangan Ratih seketika terjatuh. Ia menutup mulutnya tak percaya bisa berjumpa dengan sahabatnya saat sedang jalan dengan Abian. Ratih tertangkap basah."Jelaskan padaku apa ini, Mas? Sejak kapan kalian menjalin hubu
Bab 10"Apa maksudmu?" tanya Nisrina dengan tatapan menelisik. "Aku memang punya rumah. Tapi itu akan kutempati dengan Raniaku nanti." Abi berujar dengan santainya. Tak peduli jika kalimat itu akan menyakiti istrinya.Nisrina mencebikkan bibirnya. "Lalu, kita akan tinggal di rumah Mama? Dan di kamar yang sama? Mas yakin?" tanya Nisrina dengan tatapan tak yakin."Hanya sebulan, kan? Itu bukan waktu yang lama untuk kita hidup bersama dalam satu kamar.""Satu atap oke lah, tapi kalau satu kamar selama sebulan? Kamu sehat?" Nisrina mencoba mengutarakan ketidaksetujuannya.Laki-laki di depan Nisrina itu tercengang. Ia tidak berpikir sejauh itu.Tiba-tiba saja apa yang terjadi di kamar hotel tadi terlintas di kepala Abi. Badan Nisrina yang terbalut pakaian minim bahan kembali muncul dalam ingatannya. Bukankah jika tinggal dalam satu kamar hal serupa bisa saja terulang kembali?Abisatya menghela napas kasar. Rumah itu telah lama disiapkannya dengan Rania, lebih tepatnya sebelum Rania pergi
Bab 11"Jangan memulai pertikaian lagi," desis Nisrina. Ia tak mau terpancing dengan ucapan Abi."Enggak. Siapa yang mancing. Aku cuma ngasih tahu kamu saja." Abi melengos.Embusan kasar keluar dari bibir Nisrina. Meskipun Abi tak berniat menyinggung, ia tetap merasa tersinggung sebab pernikahannya yang tanpa cinta."Apa nasimu itu akan kau biarkan begitu?" tanya Abi setelah nasi dalam piringnya habis tak bersisa. Ia melihat nasi di piring Nisrina masih utuh tak berkurang sedikitpun.Nisrina tak menjawab. Ia kembali murung setelah mendengar ucapan Abi barusan.Tanpa aba-aba, Abi meraih piring yang ada di depan Nisrina hingga nasi yang ada di dalamnya sedikit tumpah."Mas!" pekik Nisrina kaget. Matanya membelalak menatap wajah tanpa rasa bersalah di depannya. Tangannya menggenggam sendok dengan erat. Ingin rasanya melempar sendok itu ke arah Abi, akan tetapi Nisrina sadar itu tempat umum."Nasi ini enak, sayang kalau cuma kamu buat mainan. Mending kumakan saja." Abi tak lagi peduli de
Bab 12"Aku janji, ngga akan menyentuh dia meskipun dalam satu rumah. Kamu harus percaya padaku sebab cintaku hanya untukmu." Abi memeluk Rania sambil meracau. Sedangkan yang dipeluk hanya terisak."Kamu jangan begini, ini malah bikin aku makin berat jalaninnya," ucap Abi lemah. Tangan yang kekar itu bergerak beraturan di punggung ramping milik Rania."Aku hanya takut kalau kamu serumah dengan dia. Aku takut kamu jatuh cinta.""Tidak. Aku jamin tidak. Kamu harus percaya padaku. Aku setia padamu. Bukankah sekian lama kamu pergi tapi aku masih saja menerimamu seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan kita?" ujar Abi tegas. Ia mengurai pelukannya dan menatap wajah Rania dengan seksama.Rania tertunduk. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. "Kita masuk mobil ya? Kita lanjut jalan. Jangan begini terus, malu dilihat orang banyak."Rania menunduk. Meskipun bibirnya masih terisak, ia menurut pada Abi yang tengah menggandeng tangannya untuk kembali ke mobil.Seulas senyum terbit di bibir Abisa
Bab 13Nisrina berjalan menuju sumber suara. Ada sedikit rasa khawatir bercampur rasa penasaran yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. "Mas!" pekik Nisrina kaget saat melihat Abi sedang muntah di ruang tamu. Badannya pucat, disertai dengan napas yang sedikit kesusahan.Nisrina berlari menghampiri sang suami. Ia memapah lelakinya itu menuju ruang tengah. "Mas kenapa?" tanya Nisrina cemas."Perutku sakit banget," ujar Abi saat Nisirina memapahnya menuju kursi. Meskipun kepayahan, tak menyurutkan langkahnya untuk menuntun sang suami hingga badannya tergeletak sempurna di atas karpet.Dengan cekatan istri Abi itu mengambil air hangat dari dispenser untuk diberikan pada sang suami. "Minum dulu," titahnya.Abi menurut saja. Ia meneguk sedikit air dalam gelas tersebut. Akan tetapi, belum juga gelas diletakkan Abi kembali mual. Kali ini Abi segera berjalan dengan tertatih menuju wastafel yang ada di dapur.Nisrina menghampiri sang suami. Ia tak tahu harus berbuat apa. Selain baru kenal, Nisrin
Bab 14"Sayang, aku pengen banget makan seafood. Kita beli ya?" ajak Rania setelah beberapa lama berada di dalam apartemen. Ia merasa lapar dan bosan sebab sejak tadi hanya di rumah bermesraan dengan sang kekasih. Perutnya sudah meronta untuk minta diisi."Seafood? Apa ngga ada yang lainnya? Aku ngga bisa makan seafood." Abi mengelak. Ia tak mau kejadian yang sama terulang lagi."Kenapa ngga mau? Aku lagi pengen banget.""Pengen banget macam orang ngidam saja kamu." Abi tersenyum miring. Tumben sang kekasih pilih-pilih makanan. Tidak biasanya.Rania tersentak untuk sepersekian detik. Akan tetapi ia segera menguasai diri agar Abi tak banyak bicara soal ngidam. "Apaan sih. Namanya juga pengen. Ini tuh gara-gara kemarin aku lihat video diaplikasi berlogo not balok. Dia lagi makan lobster, dari tampilannya menggoda banget." Mata Rania berbinar, seolah ia sedang merekaulang gaya konten kreator tersebut.Abi terkekeh. Ia merasa lucu dengan ekspresi Rania. "Ya sudah kita beli. Tapi kamu saj