Share

Bab 5

Bab 5

"Lepas, Mas!" ucap Nisrina saat tangan kekar itu merengkuhnya dalam dekapan.

"Tidak, Sayang! Aku tidak akan melepaskanmu! Kamu kemana saja? Mas cari kamu tapi kamu tidak ada!" Abian meracau. Ia mendekap erat badan langsing yang ada di depannya, tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikan.

"Apa-apaan ini!" teriak seorang wanita paruh baya. Ia berjalan dengan cepat dan mengurai pelukan sepasang anak manusia itu.

Tangan yang tak lagi mulus itu dengan kerasnya menyingkirkan badan anak laki-lakinya. Lalu dengan penuh semangat, tangan itu terangkat dan mendarat dengan kerasnya di pipi mulus milik Nisrina.

Rasa panas seketika menjalari wajah ayu Nisrina. Tak hanya di wajah, rasa panas itu menjalari sekujur tubuh wanita yang baru saja melepas masa lajangnya.

"Bu!" sentak Abian keras.

"Diam kamu! Sudah Ibu bilang jangan dekati wanita tidak jelas ini!" hardik wanita berkerudung pasmina itu. Ia menatap wajah anak laki-lakinya dengan tajam bak Elang yang menemukan mangsanya.

Bibir wanita paruh baya itu mengatup rapat, seiring dengan degup jantungnya yang kian bertalu karena emosi yang merasuk ke dalam jiwanya.

"Buat kamu, wanita tidak tahu diri! Sudah kubilang jangan dekati anakku! Anakku sudah punya calon istri, kenapa kamu masih saja mengganggu anakku? Masih mengharapkan jadi istri Abian? Ngga ada laki-laki lain yang mau denganmu?" teriak wanita itu lantang. Napasnya memburu hingga membuat dadanya naik turun tak beraturan.

Kejadian itu menjadi perhatian banyak orang, termasuk Abisatya yang masih berada dalam mobil. Matanya tak lepas dari pertikaian yang melibatkan istrinya.

Air mata Nisrina mengalir dengan derasnya. Luka yang dengan susah payah ia kubur dalam-dalam dengan mudahnya dibuka di tempat umum seperti ini.

Abisatya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia harus turun dari mobil untuk membela wanita yang telah sah menjadi istrinya. Meskipun tak cinta, Nisrina telah menjadi bagian dari keluarganya dan wajib ia bela disaat yang genting seperti ini.

"Ada apa ini? Maaf Ibu siapa?" Suara Abi membuyarkan lamunan Nisrina.

"Kamu siapa? Kenal dengan wanita ini?" Wanita paruh baya itu menjawab dengan lantangnya.

"Dia istri saya." Tak mau kalah, Abi pun melakukan hal yang sama.

"Istri? Benar, Rin?" tanya Bian tak percaya.

"Benar, Mas. Aku pergi untuk menikah."

Bian menganga tak percaya. Wanita yang ia kira akan bertahan dengan dirinya ditengah penolakan kedua orang tuanya ternyata lebih dulu mundur. Mengakhiri hubungan yang tak lagi sehat.

"Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa menjadi bagian dari keluarga yang tidak menerimaku," ucap Rina dengan tegas. Meskipun terisak, suara Rina cukup jelas terdengar di telinga tiga orang yang ada di sekelilingnya.

"Kenapa kamu tidak bilang padaku? Aku seperti orang gila mencarimu," ujar Bian tak terima. Ia menuntut penjelasan dari wanita yang sangat ia cintai.

"Aku tahu Mas tidak akan bisa melepaskanku jika kukatakan yang sebenarnya. Lebih baik aku mundur dari pada hidup dalam keluarga yang tidak menerimaku."

"Baguslah kalau begitu! Kamu memang harus tahu diri!" sengit wanita paruh baya itu. Ia merasa mendapatkan kesempatan. Bibirnya yang merah itu menyeringai dengan puasnya.

"Bu! Ini pasti ulah Ibu! Aku tidak akan mau menikah dengan wanita pilihan Ibu! Aku mau Nisrina!" sentak Bian tak terima.

"Sudah cukup, Mas!" teriak Nisirna kencang. Hatinya terluka melihat kesedihan yang terpancar di wajah lelaki yang masih dicintainya tapi tidak demikian di wajah wanita yang melahirkan lelaki itu.

"Aku tidak akan bisa hidup diantara mereka yang tidak menginginkanku. Sebaiknya Mas terima semua ini. Aku sudah menikah, insya Allah aku bahagia. Jadi Mas juga harus bisa menerima ini semua," ucap Nisrina sambil mendekatkan diri ke tubuh Abisatya, suaminya.

Tanpa diduga, Abisatya merengkuh bahu Nisrina dengan tangan kekarnya. "Sebaiknya kamu terima kenyataan ini. Masih banyak wanita yang lain yang bisa kamu nikahi. Nisrina sudah menjadi istri saya."

"Siapa kamu? Sejak kapan kamu kenal Nisrina? Selama ini saya tidak pernah tahu kamu. Jangan bohongi Mas, Rin!" Bian berusaha menarik tangan Nisrina agar menjauhi Abi.

"Tidak, Mas. Dia anak dari sahabat Papa. Keluarga kami kenal baik. Memang Mas tidak kenal dia, tapi aku tahu dan kenal dengan baik," balas Nisrina berbohong. Demi kebaikan bersama dan pertikaian itu segera berakhir.

"Jelas kan? Kami baru saja menikah. Jadi sebaiknya kamu terima saja kenyataan ini. Mari masuk ke dalam mobil," ajak Abi kemudian.

"Baguslah kalau begitu. Jangan lagi muncul di hadapan kami karena aku tidak akan mau memiliki menantu seperti dirimu!" hardik wanita paruh baya itu dengan kerasnya.

Nisrina menunduk kian dalam. Hati yang sudah patah, makin remuk tak karuan mendengar teriakan yang menyakitkan itu.

Abi menatap wajah anak dan Ibu yang masih mematung di dekat mobilnya. Tanpa banyak, Abi meninggalkan tatapan tajam sebelum dirinya masuk ke dalam mobil agar mereka tahu bahwa wanita yang ia rendahkan sudah bergelar istri dan tak layak untuk dihina sedemikian rupa.

Nisrina menangis tersedu. Ia merasa sendiri. Tak ada lagi laki-laki tulus yang bisa membuatnya merasa nyaman dan tenang, seperti ketika ia menjalin hubungan dengan Bian beberapa waktu lalu.

"Siapa dia?" tanya Abi saat mobil mulai melaju.

Dering ponsel Abi kembali terdengar. Ia menatap layar ponsel itu dan wajah yang sedang basah bergantian.

Hati Abi iba melihat Nisrina yang bersedih, hingga ia memilih untuk mengabaikan panggilan dari Rania yang sepertinya akan kembali merengek seperti sebelumnya.

"Angkat saja panggilannya," ucap Nisrina dengan suara serak. Ia tahu bahwa lelaki di sebelahnya berada dalam posisi yang serba salah.

"Tidak. Sepertinya kondisimu lebih penting. Apa dia lelaki yang semalam menghubungimu?" tanya Abi dengan tatapan menelisik. Ia meletakan ponselnya di atas dasbor setelah mematikan nada deringnya.

Nisrina mengangguk. Tangannya sibuk menyusut air mata yang terus saja mengalir meskipun tanpa diminta.

"Apa dia juga yang jadi alasan kamu menerima perjodohan Papa?"

"Kukira menjadi menantu Pak Gunawan akan membuatku terbebas dari dia dan mendapatkan keluarga yang utuh dan sempurna. Aku bisa hidup bahagia meski dijodohkan dengan lelaki yang tak kukenal yang notabene aku tahu dari mana dia berasal. Tapi ternyata aku salah," ucap Nisrina lirih.

Ucapan itu bak tamparan keras untuk Abisatya yang sedang menduakannya dengan Rania. Luka di wajah Nisrina, berhasil membuat Abi bungkam dan tak mampu bersuara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status