Bab 5
"Lepas, Mas!" ucap Nisrina saat tangan kekar itu merengkuhnya dalam dekapan. "Tidak, Sayang! Aku tidak akan melepaskanmu! Kamu kemana saja? Mas cari kamu tapi kamu tidak ada!" Abian meracau. Ia mendekap erat badan langsing yang ada di depannya, tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikan. "Apa-apaan ini!" teriak seorang wanita paruh baya. Ia berjalan dengan cepat dan mengurai pelukan sepasang anak manusia itu. Tangan yang tak lagi mulus itu dengan kerasnya menyingkirkan badan anak laki-lakinya. Lalu dengan penuh semangat, tangan itu terangkat dan mendarat dengan kerasnya di pipi mulus milik Nisrina. Rasa panas seketika menjalari wajah ayu Nisrina. Tak hanya di wajah, rasa panas itu menjalari sekujur tubuh wanita yang baru saja melepas masa lajangnya. "Bu!" sentak Abian keras. "Diam kamu! Sudah Ibu bilang jangan dekati wanita tidak jelas ini!" hardik wanita berkerudung pasmina itu. Ia menatap wajah anak laki-lakinya dengan tajam bak Elang yang menemukan mangsanya. Bibir wanita paruh baya itu mengatup rapat, seiring dengan degup jantungnya yang kian bertalu karena emosi yang merasuk ke dalam jiwanya. "Buat kamu, wanita tidak tahu diri! Sudah kubilang jangan dekati anakku! Anakku sudah punya calon istri, kenapa kamu masih saja mengganggu anakku? Masih mengharapkan jadi istri Abian? Ngga ada laki-laki lain yang mau denganmu?" teriak wanita itu lantang. Napasnya memburu hingga membuat dadanya naik turun tak beraturan. Kejadian itu menjadi perhatian banyak orang, termasuk Abisatya yang masih berada dalam mobil. Matanya tak lepas dari pertikaian yang melibatkan istrinya. Air mata Nisrina mengalir dengan derasnya. Luka yang dengan susah payah ia kubur dalam-dalam dengan mudahnya dibuka di tempat umum seperti ini. Abisatya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia harus turun dari mobil untuk membela wanita yang telah sah menjadi istrinya. Meskipun tak cinta, Nisrina telah menjadi bagian dari keluarganya dan wajib ia bela disaat yang genting seperti ini. "Ada apa ini? Maaf Ibu siapa?" Suara Abi membuyarkan lamunan Nisrina. "Kamu siapa? Kenal dengan wanita ini?" Wanita paruh baya itu menjawab dengan lantangnya. "Dia istri saya." Tak mau kalah, Abi pun melakukan hal yang sama. "Istri? Benar, Rin?" tanya Bian tak percaya. "Benar, Mas. Aku pergi untuk menikah." Bian menganga tak percaya. Wanita yang ia kira akan bertahan dengan dirinya ditengah penolakan kedua orang tuanya ternyata lebih dulu mundur. Mengakhiri hubungan yang tak lagi sehat. "Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa menjadi bagian dari keluarga yang tidak menerimaku," ucap Rina dengan tegas. Meskipun terisak, suara Rina cukup jelas terdengar di telinga tiga orang yang ada di sekelilingnya. "Kenapa kamu tidak bilang padaku? Aku seperti orang gila mencarimu," ujar Bian tak terima. Ia menuntut penjelasan dari wanita yang sangat ia cintai. "Aku tahu Mas tidak akan bisa melepaskanku jika kukatakan yang sebenarnya. Lebih baik aku mundur dari pada hidup dalam keluarga yang tidak menerimaku." "Baguslah kalau begitu! Kamu memang harus tahu diri!" sengit wanita paruh baya itu. Ia merasa mendapatkan kesempatan. Bibirnya yang merah itu menyeringai dengan puasnya. "Bu! Ini pasti ulah Ibu! Aku tidak akan mau menikah dengan wanita pilihan Ibu! Aku mau Nisrina!" sentak Bian tak terima. "Sudah cukup, Mas!" teriak Nisirna kencang. Hatinya terluka melihat kesedihan yang terpancar di wajah lelaki yang masih dicintainya tapi tidak demikian di wajah wanita yang melahirkan lelaki itu. "Aku tidak akan bisa hidup diantara mereka yang tidak menginginkanku. Sebaiknya Mas terima semua ini. Aku sudah menikah, insya Allah aku bahagia. Jadi Mas juga harus bisa menerima ini semua," ucap Nisrina sambil mendekatkan diri ke tubuh Abisatya, suaminya. Tanpa diduga, Abisatya merengkuh bahu Nisrina dengan tangan kekarnya. "Sebaiknya kamu terima kenyataan ini. Masih banyak wanita yang lain yang bisa kamu nikahi. Nisrina sudah menjadi istri saya." "Siapa kamu? Sejak kapan kamu kenal Nisrina? Selama ini saya tidak pernah tahu kamu. Jangan bohongi Mas, Rin!" Bian berusaha menarik tangan Nisrina agar menjauhi Abi. "Tidak, Mas. Dia anak dari sahabat Papa. Keluarga kami kenal baik. Memang Mas tidak kenal dia, tapi aku tahu dan kenal dengan baik," balas Nisrina berbohong. Demi kebaikan bersama dan pertikaian itu segera berakhir. "Jelas kan? Kami baru saja menikah. Jadi sebaiknya kamu terima saja kenyataan ini. Mari masuk ke dalam mobil," ajak Abi kemudian. "Baguslah kalau begitu. Jangan lagi muncul di hadapan kami karena aku tidak akan mau memiliki menantu seperti dirimu!" hardik wanita paruh baya itu dengan kerasnya. Nisrina menunduk kian dalam. Hati yang sudah patah, makin remuk tak karuan mendengar teriakan yang menyakitkan itu. Abi menatap wajah anak dan Ibu yang masih mematung di dekat mobilnya. Tanpa banyak, Abi meninggalkan tatapan tajam sebelum dirinya masuk ke dalam mobil agar mereka tahu bahwa wanita yang ia rendahkan sudah bergelar istri dan tak layak untuk dihina sedemikian rupa. Nisrina menangis tersedu. Ia merasa sendiri. Tak ada lagi laki-laki tulus yang bisa membuatnya merasa nyaman dan tenang, seperti ketika ia menjalin hubungan dengan Bian beberapa waktu lalu. "Siapa dia?" tanya Abi saat mobil mulai melaju. Dering ponsel Abi kembali terdengar. Ia menatap layar ponsel itu dan wajah yang sedang basah bergantian. Hati Abi iba melihat Nisrina yang bersedih, hingga ia memilih untuk mengabaikan panggilan dari Rania yang sepertinya akan kembali merengek seperti sebelumnya. "Angkat saja panggilannya," ucap Nisrina dengan suara serak. Ia tahu bahwa lelaki di sebelahnya berada dalam posisi yang serba salah. "Tidak. Sepertinya kondisimu lebih penting. Apa dia lelaki yang semalam menghubungimu?" tanya Abi dengan tatapan menelisik. Ia meletakan ponselnya di atas dasbor setelah mematikan nada deringnya. Nisrina mengangguk. Tangannya sibuk menyusut air mata yang terus saja mengalir meskipun tanpa diminta. "Apa dia juga yang jadi alasan kamu menerima perjodohan Papa?" "Kukira menjadi menantu Pak Gunawan akan membuatku terbebas dari dia dan mendapatkan keluarga yang utuh dan sempurna. Aku bisa hidup bahagia meski dijodohkan dengan lelaki yang tak kukenal yang notabene aku tahu dari mana dia berasal. Tapi ternyata aku salah," ucap Nisrina lirih. Ucapan itu bak tamparan keras untuk Abisatya yang sedang menduakannya dengan Rania. Luka di wajah Nisrina, berhasil membuat Abi bungkam dan tak mampu bersuara.Bab 6Sebuah paperbag berisi baju sudah berada di tangan Nisrina, sesuai dengan perintah sang mertua. Ia membawa benda itu masuk ke dalam mobil, di mana Abisatya sedang berbincang dengan seseorang di ujung telepon."Aku balik dulu ya, Sayang? Setelah itu aku ke sana," ujar Abi sebelum mengakhiri panggilannya."Beneran ya? Jangan lama-lama." Suara diujung panggilan samar terdengar di telinga wanita yang duduk di samping Abisatya itu."Iya. Setelah sampai rumah Mama, aku langsung pergi ke tempat kamu."Nisrina hanya diam dan duduk sambil meremas tali paperbag yang berisi baju pesanan mertuanya. Hatinya yang terluka, makin terluka dengan apa yang baru saja ia dengar. Panggilan sayang yang seharusnya menjadi miliknya, dengan mudahnya dilontarkan oleh lelaki bergelar suami untuk wanita lain.Nisrina menghela napas dalam. Betapa pernikahannya dimulai dengan ujian berat yang rasanya ia tak sanggup untuk memikulnya."Kita ke rumah Mama dulu ya?" ucap Abisatya setelah meletakan ponselnya di at
Bab 7Abisatya lebih dulu meninggalkan mertua dan menantu itu di dalam ruang tamu. Bibirnya mengatup rapat. Hatinya menahan kesal sebab acaranya berantakan gara-gara mamanya.Dering ponselnya kembali terdengar. Nama Rania kembali muncul dalam layar panggilan tersebut.Dengan segera Abi menggeser tombol gagang telepon warna hijau agar segera terhubung dengan wanita di ujung panggilan sana."Sayang, kenapa ngga diangkat? Lama sekali kamu, kemana aja sih! Aku sudah ngga sabar pengen ketemu," gerutu Rania. Ia sudah menunggu lebih dari setengah jam tapi Abi tak kunjung datang."Iya. Sebentar ya. Aku pasti ke sana. Kamu tenang saja." Abi makin menahan kesal karena suara rengekan Rania."Cepetan ya? Aku sudah kangen sama kamu. Aku ingin cerita banyak, juga pengen disayang-sayang sama kamu."Abi terkekeh. Rengekan Rania itu sedikit mengurangi rasa kesalnya akibat ulah mamanya."Iya. Sabar. Tunggu ya?" jawab Abi kemudian.Saat Nisrina masuk ke dalam mobil, Abi segera mematikan panggilannya. Ia
Bab 8Abi memandangi tubuh langsing yang sedang terbaring di atas ranjang dengan pakaian tipis yang membungkus badan itu, menampakkan sedikit gumpalan daging di dadanya. Wajah yang cantik dengan rambut tak beraturan menutupi wajah membuat kecantikan alami dari perempuan itu terpancar sempurna.Ada orang yang bilang bahwa kecantikan alami seorang wanita itu terpancar ketika ia sedang terlelap. Benar saja. Abi melihat itu di wajah Nisrina, wanita yang sedang terlelap dengan lingerie melekat di tubuhnya. Wajah polos tanpa mekap dan tetap terlihat bersih dan putih. Kecantikan alami dari seorang wanita.Abisatya tersenyum melihat wajah ayu yang sedang terlelap itu tampak cantik. Berbeda dengan Rania yang selalu memakai mekap di wajahnya. Meskipun tidak tebal, Rania tidak pernah lepas dari bedak dan lipstik. Namun meskipun begitu, Abi tetap cinta kepada Ranianya."Rin," panggil Abi. Ia merasa risih melihat Nisrina dengan pakaian seperti itu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya
Bab 9Sepasang laki-laki dan perempuan itu terperanjat mendapati sosok yang sedang berdiri di depannya. Tautan tangan yang semula menyatukan kedua badan mereka seketika terlepas. Senyum yang awalnya terbit di wajah dua insan itu tiba-tiba lenyap saat mendapati sosok yang tengah berdiri di depan mereka."Ratih?" gumam Nisrina. Matanya menatap sosok yang selalu berada di sisinya saat suka dan duka sebelum pernikahan itu terjadi. Dadanya berdegup kencang mendapati wanita yang sudah ia anggap layaknya saudara bisa sebegitu bahagianya dengan lelaki yang baru saja ia putuskan cintanya.Nisrina lupa bahwa orang yang paling dekat dengannya berpeluang besar menjadi orang yang paling melukai. Layaknya apa yang dilakukan oleh Abisatya padanya."Rin," lirih Ratih. Paperbag yang ada di tangan Ratih seketika terjatuh. Ia menutup mulutnya tak percaya bisa berjumpa dengan sahabatnya saat sedang jalan dengan Abian. Ratih tertangkap basah."Jelaskan padaku apa ini, Mas? Sejak kapan kalian menjalin hubu
Bab 10"Apa maksudmu?" tanya Nisrina dengan tatapan menelisik. "Aku memang punya rumah. Tapi itu akan kutempati dengan Raniaku nanti." Abi berujar dengan santainya. Tak peduli jika kalimat itu akan menyakiti istrinya.Nisrina mencebikkan bibirnya. "Lalu, kita akan tinggal di rumah Mama? Dan di kamar yang sama? Mas yakin?" tanya Nisrina dengan tatapan tak yakin."Hanya sebulan, kan? Itu bukan waktu yang lama untuk kita hidup bersama dalam satu kamar.""Satu atap oke lah, tapi kalau satu kamar selama sebulan? Kamu sehat?" Nisrina mencoba mengutarakan ketidaksetujuannya.Laki-laki di depan Nisrina itu tercengang. Ia tidak berpikir sejauh itu.Tiba-tiba saja apa yang terjadi di kamar hotel tadi terlintas di kepala Abi. Badan Nisrina yang terbalut pakaian minim bahan kembali muncul dalam ingatannya. Bukankah jika tinggal dalam satu kamar hal serupa bisa saja terulang kembali?Abisatya menghela napas kasar. Rumah itu telah lama disiapkannya dengan Rania, lebih tepatnya sebelum Rania pergi
Bab 11"Jangan memulai pertikaian lagi," desis Nisrina. Ia tak mau terpancing dengan ucapan Abi."Enggak. Siapa yang mancing. Aku cuma ngasih tahu kamu saja." Abi melengos.Embusan kasar keluar dari bibir Nisrina. Meskipun Abi tak berniat menyinggung, ia tetap merasa tersinggung sebab pernikahannya yang tanpa cinta."Apa nasimu itu akan kau biarkan begitu?" tanya Abi setelah nasi dalam piringnya habis tak bersisa. Ia melihat nasi di piring Nisrina masih utuh tak berkurang sedikitpun.Nisrina tak menjawab. Ia kembali murung setelah mendengar ucapan Abi barusan.Tanpa aba-aba, Abi meraih piring yang ada di depan Nisrina hingga nasi yang ada di dalamnya sedikit tumpah."Mas!" pekik Nisrina kaget. Matanya membelalak menatap wajah tanpa rasa bersalah di depannya. Tangannya menggenggam sendok dengan erat. Ingin rasanya melempar sendok itu ke arah Abi, akan tetapi Nisrina sadar itu tempat umum."Nasi ini enak, sayang kalau cuma kamu buat mainan. Mending kumakan saja." Abi tak lagi peduli de
Bab 12"Aku janji, ngga akan menyentuh dia meskipun dalam satu rumah. Kamu harus percaya padaku sebab cintaku hanya untukmu." Abi memeluk Rania sambil meracau. Sedangkan yang dipeluk hanya terisak."Kamu jangan begini, ini malah bikin aku makin berat jalaninnya," ucap Abi lemah. Tangan yang kekar itu bergerak beraturan di punggung ramping milik Rania."Aku hanya takut kalau kamu serumah dengan dia. Aku takut kamu jatuh cinta.""Tidak. Aku jamin tidak. Kamu harus percaya padaku. Aku setia padamu. Bukankah sekian lama kamu pergi tapi aku masih saja menerimamu seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan kita?" ujar Abi tegas. Ia mengurai pelukannya dan menatap wajah Rania dengan seksama.Rania tertunduk. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. "Kita masuk mobil ya? Kita lanjut jalan. Jangan begini terus, malu dilihat orang banyak."Rania menunduk. Meskipun bibirnya masih terisak, ia menurut pada Abi yang tengah menggandeng tangannya untuk kembali ke mobil.Seulas senyum terbit di bibir Abisa
Bab 13Nisrina berjalan menuju sumber suara. Ada sedikit rasa khawatir bercampur rasa penasaran yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. "Mas!" pekik Nisrina kaget saat melihat Abi sedang muntah di ruang tamu. Badannya pucat, disertai dengan napas yang sedikit kesusahan.Nisrina berlari menghampiri sang suami. Ia memapah lelakinya itu menuju ruang tengah. "Mas kenapa?" tanya Nisrina cemas."Perutku sakit banget," ujar Abi saat Nisirina memapahnya menuju kursi. Meskipun kepayahan, tak menyurutkan langkahnya untuk menuntun sang suami hingga badannya tergeletak sempurna di atas karpet.Dengan cekatan istri Abi itu mengambil air hangat dari dispenser untuk diberikan pada sang suami. "Minum dulu," titahnya.Abi menurut saja. Ia meneguk sedikit air dalam gelas tersebut. Akan tetapi, belum juga gelas diletakkan Abi kembali mual. Kali ini Abi segera berjalan dengan tertatih menuju wastafel yang ada di dapur.Nisrina menghampiri sang suami. Ia tak tahu harus berbuat apa. Selain baru kenal, Nisrin
Bab 87Abi benar-benar mengantar Nisirina pulang. Ia merasa tak mampu menahan wanita itu untuk menuruti keinginannya setelah permintaan maaf yang dia ucapkan.Sebagai seorang suami, Abi merasa gagal. Semakin merasa gagal lagi setelah melihat respon Nisrina usai ia meminta maaf.Sebuah pesan dikirim Nisirina untuk seseorang. Ia pun menahan bibirnya untuk tidak banyak bicara di dalam mobil. Rencananya berhasil membuat Abi merasa menjadi orang yang telah abai pada tanggung jawab.Sebagai lelaki, Nisrina mau Abi gentleman. Sebentar lagi ia akan memasuki babak baru dalam hidupnya. Apa jadinya seperti kepala keluarga jika selalu mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah. Nisrina wanita yang mandiri dan tegas. Ia mau lelaki yang menjadi suaminya adalah lelaki yang tegas, berwibawa dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sayangnya, suami yang ia dapatkan jauh berbeda dari apa yang ia inginkan.Setibanya di rumah Nisrina, tampak banyak orang yang berada di rumah itu."Kok rumah
Bab 86Bu Rumaisha seketika menoleh setelah mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Senyum sumringah seketika terkembang di wajahnya yang masih tampak cantik meski termakan usia."Duduk sini, Nak. Mama sudah pesan makanan buat kamu," titah Bu Rumaisha sambil menepuk kursi yang ada di sisi meja sebelahnya.Wajah milik Abisatya itu seketika berubah canggung. Ia kepayahan mengatur napas yang memburu bercampur kaget karena pemandangan di depannya."Iya, Ma," ucap Abi salah tingkah. Ia canggung duduk di sisi Nisrina yang langsung menunduk setelah pandangan mereka bersitatap."Kapan jadwal kamu periksa, Sayang?" tanya Bu Rumaisha pada Nisrina yang tak kalah salah tingkahnya."Sebelum balik kemarin udah periksa, Ma. Tapi kayaknya harus cari dokter lagi di sini buat persiapan lahiran beberapa bulan lagi.""Waah nanti kabari Mama ya? Mama pengen antar kamu. Mama pengen tahu gimana wajah cucu Mama itu. Ganteng apa cantik.""Selama periksa Nisrina ngga pernah tanya, Ma. Biar jadi s
Bab 85"Masya Allah anakku," teriak Bu Rumaisha saat melihat wanita hamil yang ada di depannya. Ia merentangkan tangannya untuk memeluk menantunya itu.Tangis Nisrina pecah seketika. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya kesepian dan merasa butuh pelukan keluarga. Bu Rahmi sudah melakukannya, tapi tentu beda dengan mereka yang sudah kenal lebih lama dan terikat tali pernikahan seperti Abi dan keluarganya."Mama, maafkan Rina," ucap Rina dalam pelukan Bu Rumaisha."Enggak, Nak. Kamu ngga salah. Abi yang salah. Tapi tenang, Mama sudah marahi dia. Sudah Mama hajar dia sampai kapok," balas Bu Rumaisha dengan tegas dan mantap."Mama hajar Mas Abi?" tanya Rina mengulang ucapan mertuanya. Kepalanya mendongak, menatap wajah yang sedang berbicara itu untuk mendapatkan kejelasan.Ekor mata Bu Rumaisha melirik ke arah laki-laki paruh baya di sampingnya. "Itu, dia yang hajar sampai berdarah wajahnya.""Papa hajar Mas Abi?" tanya Rina setelah pandangannya mengikuti arah mata Bu Ru
Bab 84Nisrina sedang bersiap untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan rumah itu tanpa penghuni. Ia tak lagi mendapatkan alasan untuk menghindar dari orang-orang di masa lalunya. Akan tetapi, untuk kembali ke rumah Abisatya itu tak mungkin dilakukan sebab hubungan keduanya masih terbilang panas."Kamu jadi pergi, Nak?" Bu Rahmi menghampiri Nisrina di ruang tengah. Nisrina yang sedang duduk sambil memegang ponsel seketika mendongak, melihat sosok yang baru saja datang ke rumahnya."Jadi, Bu. Rina harus kembali. Tidak mungkin Nisrina selamanya ada di sini, toh badan Rina sudah sehat. Mbak Nur saya ajak ikut pulang tapi beliau tidak bisa.""Nur masih ada keluarga di sini. Ngga bisa pergi begitu saja.""Iya, Bu. Rina paham.""Ibu pasti akan merindukanmu, Nak," sahut Bu Rahmi dengan tatapan sendu. Ia lantas duduk di samping Nisrina yang sudah lebih dulu menggeser badannya."Ibu ngga ikut antar Rina?" tanya Nisrina saat perempuan paruh baya itu sudah du
Bab 83Bu Rumaisha tak sengaja menemukan story Nisrina yang baru saja di posting itu. Dengan penuh semangat, beliau membukanya untuk melihat apa yang dibagi menantunya setelah sekian lama tak sapat dihubungi.Sebuah video yang menampakkan perut besar Nisrina yang sedang bergerak-gerak membuat Bu Rumaisha tersenyum penuh rasa haru."Pa, bangun, Pa!" bisik Bu Rumaisha tak sabaran. Ia menepuk-nepuk pundak suaminya untuk menunjukkan video tersebut."Apaan sih, Ma! Papa ngantuk!" elak Pak Gunawan menepis tangan Bu Rumaisha agar tak mengganggu tidurnya."Pa, lihatlah. Kita akan punya cucu, Pa!" Bu Rumaisha tak putus asa untuk membangunkan sang suami."Abi juga sudah bilang kemarin. Menantumu saja pergi dan menghilang, bagaimana kita bisa ketemu sama dia." Pak Gunawan kembali memejamkan matanya."Tapi ini story di nomor yang lama, Pa. Kayaknya sudah aktif lagi. Coba lihat dulu," ucap Bu Rumaisha makin memaksa.Tak punya pilihan lain, Pak Gunawan pun mengubah posisi tidurnya. Ia melihat layar
Bab 82Nisrina menatap geram wajah yang sedang ada di depannya. Ia tak menyangka jika kebaikannya dianggap seolah membuka celah untuknya bisa kembali dekat."Rin!" panggil Bian saat Nisrina berlari menjauh dari hadapan laki-laki itu.Tak peduli suara teriakan Bian, Nisrina berlari menuju sebuah angkutan umum yang tak sengaja berhenti tak jauh dari rumahnya."Cepat berangkat, Pak!" titah Nisrina setelah ia duduk di atas kendaraan roda empat itu.Nisrina kepayahan mengatur napas. Bahunya naik turun sebab ritme jantungnya tak tak beraturan. Dalam hati Nisrina merasa kesal pada Bian. Ia merasa telah kecolongan terhadap lelaki yang ia kira bisa dijadikan teman baik.Beberapa saat setelah duduk, perut Nisrina terasa nyeri. Tak biasanya ia merasakan nyeri yang hebat seperti itu.Sekuat tenaga Nisrina berusaha menahan rasa nyeri di perutnya itu hingga suara teriakan orang yang duduk di depannya membuat Nisrina terkaget."Mbak, di kakinya ada darah," ucap seorang wanita berhijab.Nisrina refle
Bab 81Hati Nisrina bak diiris sembilu membaca pesan yang dikirim oleh Abisatya. Tak mau membalas pesan itu, Nisrina lebih memilih diam dan menangis dalam diam. Bagaimana pun dia salah karena terlalu keras pada Abi."Maafkan aku, Mas. Aku terlalu keras padamu," gumam Nisrina sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi wajah.Nisrina tenggelam dalam tangisnya hingga matanya terlelap. Badan yang letih itu tak lagi sanggup menopang bobot tubuhnya yang sekarang mudah sekali terasa letih.Keesokan harinya, Nisrina bersiap hendak memeriksakan diri. Janin dalam rahimnya sudah diajak bepergian dan menghabiskan waktu banyak di perjalanan beberapa hari lalu. Ia harus memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Terlebih sebentar lagi, ia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya dan membutuhkan tenaga yang fit untuk membawa beberapa baju dan barang bawaan."Pagi sekali sudah rapi, Nak? Mau kemana?" tanya Bu Rahmi ketika sedang menyapu halaman. Ia meletakkan sapunya d
Bab 80Nisrina tersedu dalam pelukan Bu Rahmi. Ia tak kuasa menahan rasa sesal yang kian menambah dalam luka di hatinya. Selama ini, perempuan yang sedang hamil muda itu terlalu menuruti egonya hingga kini ia terjerembab dalam penyesalan yang membuatnya tak henti menitikkan air mata."Tidak apa-apa kamu merasa bersalah. Yang penting setelah ini kamu mau berubah menjadi lebih baik. Bagaimana pun dia bapak dari anakmu, yang masih memiliki hak atas dirimu dan bayi dalam kandunganmu.""Tapi Rina takut, Bu. Rina sudah terlalu kasar padanya kemarin. Wajah Mas Abi yang semula mengiba, saat kami berpisah berubah menjadi penuh emosi." Nisrina memejamkan matanya, mengingat kembali urat-urat yang makin tercetak tebal di leher Abisatya."Kalau begitu datangi dia, minta maaf padanya," sambung Bu Rahmi lagi.Rina seketika mendongakkan kepalanya, lalu mengurai pelukan dari wanita paruh baya yang sedang menasehatinya itu. "Rina takut, Bu. Rina takut."Air mata Nisrina makin deras membanjiri wajahnya.
Bab 79Abi kembali ke rumah dengan kondisi hati dan pikiran yang tak baik. Harapannya bisa kembali bersama sang istri seketika lenyap setelah mendengar penolakan Nisrina yang keras itu.Ucapan Nisrina itu, bak tombak yang menancap tepat sasaran. Nyeri, perih dan terasa tak berarti sebagai seorang lelaki.Mobil yang ditumpangi Abi itu melaju dengan kencangnya. Tak peduli dengan kendaraan lainnya, Abi terus memacu mobilnya dengan kecepatan yang tak biasanya.Setibanya di rumah yang lama tak ditempati, Abi membawa masuk beberapa botol minuman yang sudah dibelinya di luar. Ia tak mau mengambil resiko seperti yang kemarin. Lelaki yang sedang hancur itu butuh sesuatu untuk melampiaskan amarahnya.Abi memilih melampiaskan emosinya dengan menenggak minuman kerasnya di rumah. Tak peduli soal halal dan haramnya, Abi terus menikmati minuman yang melenakan itu dengan hati yang penuh emosi. Padahal tak ada manfaat dari minuman itu sekalipun hanya sedikit.Kadang bibir Abi itu berteriak sambil mena