Bab 13Nisrina berjalan menuju sumber suara. Ada sedikit rasa khawatir bercampur rasa penasaran yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. "Mas!" pekik Nisrina kaget saat melihat Abi sedang muntah di ruang tamu. Badannya pucat, disertai dengan napas yang sedikit kesusahan.Nisrina berlari menghampiri sang suami. Ia memapah lelakinya itu menuju ruang tengah. "Mas kenapa?" tanya Nisrina cemas."Perutku sakit banget," ujar Abi saat Nisirina memapahnya menuju kursi. Meskipun kepayahan, tak menyurutkan langkahnya untuk menuntun sang suami hingga badannya tergeletak sempurna di atas karpet.Dengan cekatan istri Abi itu mengambil air hangat dari dispenser untuk diberikan pada sang suami. "Minum dulu," titahnya.Abi menurut saja. Ia meneguk sedikit air dalam gelas tersebut. Akan tetapi, belum juga gelas diletakkan Abi kembali mual. Kali ini Abi segera berjalan dengan tertatih menuju wastafel yang ada di dapur.Nisrina menghampiri sang suami. Ia tak tahu harus berbuat apa. Selain baru kenal, Nisrin
Bab 14"Sayang, aku pengen banget makan seafood. Kita beli ya?" ajak Rania setelah beberapa lama berada di dalam apartemen. Ia merasa lapar dan bosan sebab sejak tadi hanya di rumah bermesraan dengan sang kekasih. Perutnya sudah meronta untuk minta diisi."Seafood? Apa ngga ada yang lainnya? Aku ngga bisa makan seafood." Abi mengelak. Ia tak mau kejadian yang sama terulang lagi."Kenapa ngga mau? Aku lagi pengen banget.""Pengen banget macam orang ngidam saja kamu." Abi tersenyum miring. Tumben sang kekasih pilih-pilih makanan. Tidak biasanya.Rania tersentak untuk sepersekian detik. Akan tetapi ia segera menguasai diri agar Abi tak banyak bicara soal ngidam. "Apaan sih. Namanya juga pengen. Ini tuh gara-gara kemarin aku lihat video diaplikasi berlogo not balok. Dia lagi makan lobster, dari tampilannya menggoda banget." Mata Rania berbinar, seolah ia sedang merekaulang gaya konten kreator tersebut.Abi terkekeh. Ia merasa lucu dengan ekspresi Rania. "Ya sudah kita beli. Tapi kamu saj
Bab 15Pagi hari yang segar, Nisrina sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami juga untuk dirinya. Pagi ini ia harus segera pergi ke kantor untuk mengurus kepindahannya agar tak perlu lagi berjumpa dengan sahabat dan mantan kekasihnya itu.Seharusnya Abi menemani Nisrina, tapi kondisinya yang masih kurang enak badan membuat Nisrina terpaksa pergi sendirian. Sekesal apapun pada sang suami, Nisrina tak tega jika harus memaksa orang yang sedang tidak enak badan untuk sekedar mengantarnya yang sebenarnya dia bisa pergi sendiri.Semalam sebelum tidur, Nisrina menyempatkan diri untuk melihat kondisi sang suami. Diam-diam Abi meminum obat tersebut dan itu membuat Nisrina merasa lega."Mas, obat dan sarapannya sudah kusiapkan di meja makan. Mas nanti makan sendirian sebab aku harus segera ke kantor. Aku udah bikin janji sama admin pagi ini," ucap Nisirina yang tidak dijawab sedikitpun oleh Abisatya.Suami Nisrina itu masih asyik memejamkan matanya, mengabaikan sang istri yang sedang b
Bab 16Nisrina berjalan dengan langkah gontai. Meskipun sadar bahwa cintanya tak direstui dan sudah ada Abisatya di dalam hidupnya, tidak mudah baginya untuk melupakan Bian begitu saja. Banyak kenangan yang sudah terukir antara keduanya yang sudah melekat di dalam ingatan.Bukan tidak bisa melupakan, hanya saja Nisrina butuh waktu untuk terbiasa dengan keadaan yang dijalani sekarang ini. Pindah kerjaan adalah salah satu support system agar pikiran dan hatinya tidak lagi dipenuhi oleh kisahnya dengan Bian. Juga untuk menghindari Ratih yang makin tak karuan.Nisrina membuang napas kasar sebelum tangannya membuka pintu masuk kantor. Raut sedih harus dihilangkan dari wajahnya sebab ia tak mau rekan-rekannya menaruh iba pada dirinya. Meskipun bukan dari mulutnya sendiri, kabar kandasnya hubungannya dengan Abian jelas sudah menyebar di seluruh kantor dan seisinya. Di kantornya, tembok saja bisa bicara. Kabar apapun akan mudah sekali menyebar."Pagi, Bu," sapa satpam penjaga pintu masuk. Sen
Bab 17Nisrina tercenung menatap laki-laki di depannya. Pertanyaan yang tak pernah terpikirkan akan keluar dari mulut mantan kekasihnya."Apa kamu menikahi laki-laki yang benar mencintaimu? Kenapa bisa dia melakukan itu di tempat umum?" Bian menatap Rina dengan tatapan menelisik."Apa ini yang hendak Mas tanyakan padaku hingga harus mencari tempat lain untuk bicara selain di kantor?" tanya Nisrina. Ia enggan menanggapi pertanyaan Bian. Akan tetapi matanya tertancap dalam pada bola mata hitam legam di depannya. Bola mata yang dulu menjadi candu baginya, tapi kini Nisrina harus bisa menenggelamkan semuanya."Iya. Aku masih berharap punya kesempatan untuk bisa bersamamu bagaimana pun kondisinya." Bian membalas tatapan Nisrina, tatapan yang sarat akan sebuah harapan.Sayangnya, sebesar apapun cinta di dalam hati Bian untuknya jika restu orang tua tak tergapai maka Nisrina terpaksa menelan cinta itu tanpa berharap mendapat balasan."Aku tak bisa hidup tanpamu. Jika memang pernikahanmu tida
Bab 18"Ngapain kamu?" tanya Abi saat Nisrina sedang berada di dapur. Suara alat penggorengan yang saling beradu membuat Abi terusik. Beberapa saat menangis daat di perjalanan membuat hati Nisrina membaik. Perasaannya lebih plong dan sesak yang semula kerap menghimpit dada sudah hilang. Meskipun keadaannya masih sama, hati istri Abisatya itu merasa lebih legowo menerima takdir."Masak lah. Mas ngga butuh makan?" balas Nisrina tanpa menoleh. Matanya sibuk menatap sayur yang sedang ia aduk di dalam wajan."Makan sendiri aja. Aku masih kenyang." "Oke. Yang bisa rasain lapar atau enggak kan Mas sendiri. Aku cuma sedang menjalankan kewajibanku aja. Soal dimakan atau enggak, itu urusan Mas." Nisrina menjawab dengan santainya. Mata dan tangannya masih sibuk dengan alat yang ada di depannya.Setelah beberapa hal dilaluinya, Nisrina hanya ingin hidup tenang. Tak lagi mau terbebani dengan masa lalu atau orang ketiga dalam pernikahannya. Ia sudah memutuskan untuk berdamai dengan keadaan, yaitu
Bab 19Rania membaca pesan balasan dari Abisatya dengan dada bergemuruh. Ia mulai kehabisan rasa sabar saat sang kekasih kerap menolak ajakannya untuk menghabiskan waktu bersama.Perlahan rasa khawatir menelusup dalam dadanya. Bagaimana jika Abi menaruh rasa pada perempuan itu? Bagaimana jika hubungan mereka berakhir karena Abi yang tinggal serumah dengan istrinya dan melakukan hubungan suami istri?"Sialan!" umpat Rania kesal. Ia membanting ponsel ke atas sofa empuk yang ada di depan televisi. Tak hanya ponsel, ia juga membanting badannya di samping benda pintar tersebut."Susah banget buat bisa berlama-lama berduaan. Adaa aja acaranya," sungut Rania. Ia memejamkan matanya untuk meredam gemuruh dalam dada.Bel yang berbunyi membuat Rania membuka mata. Suara yang terus saja bersahutan tanpa henti membuat kekasih Abi itu memutar bola matanya malas. "Siapa sih!" kesalnya seraya beranjak dari tempatnya merebahkan diri.Dengan kasar Rania memutar anakan kunci dan membuka pintunya segera.
Bab 20Abi menoleh ke belakang, di mana sang mama berada. Ia menatap wajah ayu wanita paruh baya tersebut dengan tatapan tak setuju."Kenapa lama sekali, Ma? Seminggu saja cukup," protes Abi setelah mendengarkan berita tersebut."Kalian menikah karena perjodohan, butuh waktu lebih lama untuk kalian saling mengenal dan pendekatan. Mama akan sangat senang sekali kalau setelah pulang dari honeymoon itu kalian lebih dekat dan sudah tumbuh benih cinta. Apalagi kalau sudah tumbuh janin, waaah Mama akan sangat bahagia sekali. Kamu juga ingin cepat punya anak kan, Sayang?" ucap Bu Rumaisha pada Nisrina yang sejak tadi hanya diam sambil sesekali meremas jemarinya.Nisrina mengangguk. "Rina ikut apa kata Mama saja."Anak? Wanita mana yang tak berharap bisa punya anak, begitu pula dengan Nisrina. Sayangnya, ia sudah mengubur keinginan itu dalam-dalam sejak hari pertama mereka menikah. Kehadiran Rania membuat Nisrina harus rela menghilangkan keinginan itu.Abisatya seketika mengerutkan dahi mende
Bab 87Abi benar-benar mengantar Nisirina pulang. Ia merasa tak mampu menahan wanita itu untuk menuruti keinginannya setelah permintaan maaf yang dia ucapkan.Sebagai seorang suami, Abi merasa gagal. Semakin merasa gagal lagi setelah melihat respon Nisrina usai ia meminta maaf.Sebuah pesan dikirim Nisirina untuk seseorang. Ia pun menahan bibirnya untuk tidak banyak bicara di dalam mobil. Rencananya berhasil membuat Abi merasa menjadi orang yang telah abai pada tanggung jawab.Sebagai lelaki, Nisrina mau Abi gentleman. Sebentar lagi ia akan memasuki babak baru dalam hidupnya. Apa jadinya seperti kepala keluarga jika selalu mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah. Nisrina wanita yang mandiri dan tegas. Ia mau lelaki yang menjadi suaminya adalah lelaki yang tegas, berwibawa dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sayangnya, suami yang ia dapatkan jauh berbeda dari apa yang ia inginkan.Setibanya di rumah Nisrina, tampak banyak orang yang berada di rumah itu."Kok rumah
Bab 86Bu Rumaisha seketika menoleh setelah mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Senyum sumringah seketika terkembang di wajahnya yang masih tampak cantik meski termakan usia."Duduk sini, Nak. Mama sudah pesan makanan buat kamu," titah Bu Rumaisha sambil menepuk kursi yang ada di sisi meja sebelahnya.Wajah milik Abisatya itu seketika berubah canggung. Ia kepayahan mengatur napas yang memburu bercampur kaget karena pemandangan di depannya."Iya, Ma," ucap Abi salah tingkah. Ia canggung duduk di sisi Nisrina yang langsung menunduk setelah pandangan mereka bersitatap."Kapan jadwal kamu periksa, Sayang?" tanya Bu Rumaisha pada Nisrina yang tak kalah salah tingkahnya."Sebelum balik kemarin udah periksa, Ma. Tapi kayaknya harus cari dokter lagi di sini buat persiapan lahiran beberapa bulan lagi.""Waah nanti kabari Mama ya? Mama pengen antar kamu. Mama pengen tahu gimana wajah cucu Mama itu. Ganteng apa cantik.""Selama periksa Nisrina ngga pernah tanya, Ma. Biar jadi s
Bab 85"Masya Allah anakku," teriak Bu Rumaisha saat melihat wanita hamil yang ada di depannya. Ia merentangkan tangannya untuk memeluk menantunya itu.Tangis Nisrina pecah seketika. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya kesepian dan merasa butuh pelukan keluarga. Bu Rahmi sudah melakukannya, tapi tentu beda dengan mereka yang sudah kenal lebih lama dan terikat tali pernikahan seperti Abi dan keluarganya."Mama, maafkan Rina," ucap Rina dalam pelukan Bu Rumaisha."Enggak, Nak. Kamu ngga salah. Abi yang salah. Tapi tenang, Mama sudah marahi dia. Sudah Mama hajar dia sampai kapok," balas Bu Rumaisha dengan tegas dan mantap."Mama hajar Mas Abi?" tanya Rina mengulang ucapan mertuanya. Kepalanya mendongak, menatap wajah yang sedang berbicara itu untuk mendapatkan kejelasan.Ekor mata Bu Rumaisha melirik ke arah laki-laki paruh baya di sampingnya. "Itu, dia yang hajar sampai berdarah wajahnya.""Papa hajar Mas Abi?" tanya Rina setelah pandangannya mengikuti arah mata Bu Ru
Bab 84Nisrina sedang bersiap untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan rumah itu tanpa penghuni. Ia tak lagi mendapatkan alasan untuk menghindar dari orang-orang di masa lalunya. Akan tetapi, untuk kembali ke rumah Abisatya itu tak mungkin dilakukan sebab hubungan keduanya masih terbilang panas."Kamu jadi pergi, Nak?" Bu Rahmi menghampiri Nisrina di ruang tengah. Nisrina yang sedang duduk sambil memegang ponsel seketika mendongak, melihat sosok yang baru saja datang ke rumahnya."Jadi, Bu. Rina harus kembali. Tidak mungkin Nisrina selamanya ada di sini, toh badan Rina sudah sehat. Mbak Nur saya ajak ikut pulang tapi beliau tidak bisa.""Nur masih ada keluarga di sini. Ngga bisa pergi begitu saja.""Iya, Bu. Rina paham.""Ibu pasti akan merindukanmu, Nak," sahut Bu Rahmi dengan tatapan sendu. Ia lantas duduk di samping Nisrina yang sudah lebih dulu menggeser badannya."Ibu ngga ikut antar Rina?" tanya Nisrina saat perempuan paruh baya itu sudah du
Bab 83Bu Rumaisha tak sengaja menemukan story Nisrina yang baru saja di posting itu. Dengan penuh semangat, beliau membukanya untuk melihat apa yang dibagi menantunya setelah sekian lama tak sapat dihubungi.Sebuah video yang menampakkan perut besar Nisrina yang sedang bergerak-gerak membuat Bu Rumaisha tersenyum penuh rasa haru."Pa, bangun, Pa!" bisik Bu Rumaisha tak sabaran. Ia menepuk-nepuk pundak suaminya untuk menunjukkan video tersebut."Apaan sih, Ma! Papa ngantuk!" elak Pak Gunawan menepis tangan Bu Rumaisha agar tak mengganggu tidurnya."Pa, lihatlah. Kita akan punya cucu, Pa!" Bu Rumaisha tak putus asa untuk membangunkan sang suami."Abi juga sudah bilang kemarin. Menantumu saja pergi dan menghilang, bagaimana kita bisa ketemu sama dia." Pak Gunawan kembali memejamkan matanya."Tapi ini story di nomor yang lama, Pa. Kayaknya sudah aktif lagi. Coba lihat dulu," ucap Bu Rumaisha makin memaksa.Tak punya pilihan lain, Pak Gunawan pun mengubah posisi tidurnya. Ia melihat layar
Bab 82Nisrina menatap geram wajah yang sedang ada di depannya. Ia tak menyangka jika kebaikannya dianggap seolah membuka celah untuknya bisa kembali dekat."Rin!" panggil Bian saat Nisrina berlari menjauh dari hadapan laki-laki itu.Tak peduli suara teriakan Bian, Nisrina berlari menuju sebuah angkutan umum yang tak sengaja berhenti tak jauh dari rumahnya."Cepat berangkat, Pak!" titah Nisrina setelah ia duduk di atas kendaraan roda empat itu.Nisrina kepayahan mengatur napas. Bahunya naik turun sebab ritme jantungnya tak tak beraturan. Dalam hati Nisrina merasa kesal pada Bian. Ia merasa telah kecolongan terhadap lelaki yang ia kira bisa dijadikan teman baik.Beberapa saat setelah duduk, perut Nisrina terasa nyeri. Tak biasanya ia merasakan nyeri yang hebat seperti itu.Sekuat tenaga Nisrina berusaha menahan rasa nyeri di perutnya itu hingga suara teriakan orang yang duduk di depannya membuat Nisrina terkaget."Mbak, di kakinya ada darah," ucap seorang wanita berhijab.Nisrina refle
Bab 81Hati Nisrina bak diiris sembilu membaca pesan yang dikirim oleh Abisatya. Tak mau membalas pesan itu, Nisrina lebih memilih diam dan menangis dalam diam. Bagaimana pun dia salah karena terlalu keras pada Abi."Maafkan aku, Mas. Aku terlalu keras padamu," gumam Nisrina sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi wajah.Nisrina tenggelam dalam tangisnya hingga matanya terlelap. Badan yang letih itu tak lagi sanggup menopang bobot tubuhnya yang sekarang mudah sekali terasa letih.Keesokan harinya, Nisrina bersiap hendak memeriksakan diri. Janin dalam rahimnya sudah diajak bepergian dan menghabiskan waktu banyak di perjalanan beberapa hari lalu. Ia harus memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Terlebih sebentar lagi, ia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya dan membutuhkan tenaga yang fit untuk membawa beberapa baju dan barang bawaan."Pagi sekali sudah rapi, Nak? Mau kemana?" tanya Bu Rahmi ketika sedang menyapu halaman. Ia meletakkan sapunya d
Bab 80Nisrina tersedu dalam pelukan Bu Rahmi. Ia tak kuasa menahan rasa sesal yang kian menambah dalam luka di hatinya. Selama ini, perempuan yang sedang hamil muda itu terlalu menuruti egonya hingga kini ia terjerembab dalam penyesalan yang membuatnya tak henti menitikkan air mata."Tidak apa-apa kamu merasa bersalah. Yang penting setelah ini kamu mau berubah menjadi lebih baik. Bagaimana pun dia bapak dari anakmu, yang masih memiliki hak atas dirimu dan bayi dalam kandunganmu.""Tapi Rina takut, Bu. Rina sudah terlalu kasar padanya kemarin. Wajah Mas Abi yang semula mengiba, saat kami berpisah berubah menjadi penuh emosi." Nisrina memejamkan matanya, mengingat kembali urat-urat yang makin tercetak tebal di leher Abisatya."Kalau begitu datangi dia, minta maaf padanya," sambung Bu Rahmi lagi.Rina seketika mendongakkan kepalanya, lalu mengurai pelukan dari wanita paruh baya yang sedang menasehatinya itu. "Rina takut, Bu. Rina takut."Air mata Nisrina makin deras membanjiri wajahnya.
Bab 79Abi kembali ke rumah dengan kondisi hati dan pikiran yang tak baik. Harapannya bisa kembali bersama sang istri seketika lenyap setelah mendengar penolakan Nisrina yang keras itu.Ucapan Nisrina itu, bak tombak yang menancap tepat sasaran. Nyeri, perih dan terasa tak berarti sebagai seorang lelaki.Mobil yang ditumpangi Abi itu melaju dengan kencangnya. Tak peduli dengan kendaraan lainnya, Abi terus memacu mobilnya dengan kecepatan yang tak biasanya.Setibanya di rumah yang lama tak ditempati, Abi membawa masuk beberapa botol minuman yang sudah dibelinya di luar. Ia tak mau mengambil resiko seperti yang kemarin. Lelaki yang sedang hancur itu butuh sesuatu untuk melampiaskan amarahnya.Abi memilih melampiaskan emosinya dengan menenggak minuman kerasnya di rumah. Tak peduli soal halal dan haramnya, Abi terus menikmati minuman yang melenakan itu dengan hati yang penuh emosi. Padahal tak ada manfaat dari minuman itu sekalipun hanya sedikit.Kadang bibir Abi itu berteriak sambil mena