Bab 19Rania membaca pesan balasan dari Abisatya dengan dada bergemuruh. Ia mulai kehabisan rasa sabar saat sang kekasih kerap menolak ajakannya untuk menghabiskan waktu bersama.Perlahan rasa khawatir menelusup dalam dadanya. Bagaimana jika Abi menaruh rasa pada perempuan itu? Bagaimana jika hubungan mereka berakhir karena Abi yang tinggal serumah dengan istrinya dan melakukan hubungan suami istri?"Sialan!" umpat Rania kesal. Ia membanting ponsel ke atas sofa empuk yang ada di depan televisi. Tak hanya ponsel, ia juga membanting badannya di samping benda pintar tersebut."Susah banget buat bisa berlama-lama berduaan. Adaa aja acaranya," sungut Rania. Ia memejamkan matanya untuk meredam gemuruh dalam dada.Bel yang berbunyi membuat Rania membuka mata. Suara yang terus saja bersahutan tanpa henti membuat kekasih Abi itu memutar bola matanya malas. "Siapa sih!" kesalnya seraya beranjak dari tempatnya merebahkan diri.Dengan kasar Rania memutar anakan kunci dan membuka pintunya segera.
Bab 20Abi menoleh ke belakang, di mana sang mama berada. Ia menatap wajah ayu wanita paruh baya tersebut dengan tatapan tak setuju."Kenapa lama sekali, Ma? Seminggu saja cukup," protes Abi setelah mendengarkan berita tersebut."Kalian menikah karena perjodohan, butuh waktu lebih lama untuk kalian saling mengenal dan pendekatan. Mama akan sangat senang sekali kalau setelah pulang dari honeymoon itu kalian lebih dekat dan sudah tumbuh benih cinta. Apalagi kalau sudah tumbuh janin, waaah Mama akan sangat bahagia sekali. Kamu juga ingin cepat punya anak kan, Sayang?" ucap Bu Rumaisha pada Nisrina yang sejak tadi hanya diam sambil sesekali meremas jemarinya.Nisrina mengangguk. "Rina ikut apa kata Mama saja."Anak? Wanita mana yang tak berharap bisa punya anak, begitu pula dengan Nisrina. Sayangnya, ia sudah mengubur keinginan itu dalam-dalam sejak hari pertama mereka menikah. Kehadiran Rania membuat Nisrina harus rela menghilangkan keinginan itu.Abisatya seketika mengerutkan dahi mende
Bab 21Dahi Nisrina mengerut. Ia tak mengerti mengapa ada perempuan itu di dalam mobil sang suami setelah sama-sama saling menyetujui sebuah perjanjian pasca nikah.Rania. Ya, Rania yang ada di sana. Ia duduk dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Bibirnya mengulum senyum, seolah apa yang ia lakukan adalah hal biasa.Sesama wanita Rania bahkan tak peduli jika hati Nisrina tersakiti sebab tingkahnya yang sudah keterlaluan. Ia hanya mau Abi, tak peduli ada hati lain yang terluka."Kamu? Tidak bisa kah kamu tidak mengganggu kami selama sebulan ini?" ujar Nisrina yang sudah mulai kehilangan kesabarannya. Akan tetapi yang bersangkutan tidak bersuara. Perempuan yang ada di dalam mobil itu lebih memilih diam. Ia tahu berbagai pertanyaan bernada tidak setuju pasti didapatkan dari mulut istri kekasihnya. Akan tetapi ia tidak mau tahu."Bi, kamu gila?" Ferdy tak mau kalah. Ia menatap laki-laki yang baru saja tiba di hadapannya dengan sorot mata tak setuju. Reaksi yang sama dengan Nisrina."Su
Bab 22Nisrina melangkah dengan ragu. Tidak ia dapati sang suami di dalam kamar ini. Akan tetapi terdengar suara di dalam kamar mandi yang ada di sudut ruangan. Sambil menunggu Abi keluar, Nisrina mengambil baju di dalam koper. Baju yang sopan untuk tidur, bukan baju minim bahan seperti pemberian mertuanya.Nisrina terperanjat kaget saat mendapati pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan laki-laki yang tengah bertelanjang dada. Ia meremas baju yang ada di dalam genggamannya. Berada dalam satu ruangan dengan lelaki yang berstatus suami dengan benteng besar diantara mereka membuat Nisrina kikuk. Ia tak tahu harus bagaimana bersikap."Aku ... emm ... aku disuruh Mama masuk," ujar Nisrina terbata. Ia tak tahu harus bilang apa. "Biar aku nanti tidur di sofa itu saja," sambungnya lagi masih dengan perasaan salah tingkah."Terserah kamu." Abi mengabaikan istrinya itu. Ia berjalan tanpa rasa bersalah menuju lemari untuk mengambil pakaian.Dengan langkah cepat, Nisrina melangkah menuju kama
Bab 23"Kamu berharap untuk bisa menghabiskan waktu denganku di Bali?" tanya Abisatya dengan nada sinis. "Jangan harap. Karena aku tidak mungkin menyakiti hati Raniaku. Cukup sudah dia banyak mengalah dengan kita, aku tidak mau membuat dia makin terluka." Wajah Abi mengeras. Ia bahkan tak sedikitpun menatap lawan bicaranya. Pandangan Nisrina yang sebenarnya tengah dirasakannya pun tak dihiraukan. Abi tenggelam dalam lautan amarah.Emosi Rania semalam dalam pesan telah berhasil menghilangkan kewarasan Abisatya. Nisrina berusaha mengendalikan rasa terkejutnya. Meskipun di dalam hati ia berharap untuk bisa menghabiskan waktu sekedar saling mengenal dengan sang suami di momen honeymoon itu, tapi sekarang ia harus mengalah dengan keputusan sepihak yang dibuat Abi. Akan ada banyak kesempatan hingga tiga puluh hari ke depan."Tidak masalah. Meskipun tidak di Bali, kita bisa menghabiskan waktu di rumah berdua. Tidak mungkin kan dalam waktu sebulan itu, Mas bersama Rania setiap saat? Kalau M
Bab 24Ferdy pun mengajak Nisrina menuju rumahnya, dari pada harus menunggu di rumah tanpa jelas kapan Abisatya akan datang. "Kamu ngga izin Abi dulu?" tanya Ferdy ragu. Ia khawatir jika apa yang ia lakukan ini membuat masalah baru bagi Nisrina dan suaminya."Nanti aku izin lewat chat, Mas. Toh dia lagi mesra-mesraan sama pacarnya."Dahi Ferdy mengerut. "Kamu santai banget? Ngga cemburu?"Nisrina terkekeh. "Seharusnya, tapi aku sadar diri. Kedatanganku yang baru ini kalah dengan hubungan mereka yang sudah lama itu. Mereka saling mencintai, sementara aku? Jangankan cinta, kenalan saja baru beberapa hari sebelum akad.""Tapi pernikahan kalian ini harusnya cukup jadi bukti bahwa kamu lebih unggul dari dia. Tanpa pacaran kalian menikah, sedangkan dia sudah lama tapi tak kunjung dinikahi.""Itu berlaku bagi yang mau mikir, kalau dia ngga bisa mikir begitu ya sama saja.""Kamu benar. Menasehati orang yang sedang jatuh cinta itu buang-buang waktu saja. Bagi mereka yang bener cuma mereka sen
Bab 25"Kenapa sih dengan perempuan itu? Adaaaa saja maunya," gerutu Rania. Ia kesal dengan istri Abisatya sebab selalu menjadi penghalang kebersamaannya dengan sang kekasih. "Ngga bisa ya, lihat orang seneng dikit?" sambung Rania lagi. Hatinya bergemuruh mendapati sikap sang kekasih yang lagi-lagi berubah karena ulah istrinya."Sabar ya, Sayang? Untuk satu bulan ini kamu memang harus banyak mengalah. Setelah itu, baru kita akan bebas menikmati kebersamaan kita ini. Kamu percaya kan sama aku? Aku cinta sama kamu. Aku ngga akan lagi mau jauh-jauh darimu," rayu Abi. Ia berusaha menyentuh pipi Rania, akan tetapi Rania lebih dulu bangkit dari duduknya.Dengan kasar Rania meraih tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja. Emosi yang masih menggebu itu sengaja dilampiaskan pada koper yang ada di dekat pintu. Ia menendang koper milik Nisrina yang baru saja diletakkan oleh Abi.Abisatya tercengang melihat sikap Rania, akan tetapi ia mencoba bersabar."Sayang, jangan marah dong. Selama seb
Bab 26"Ehhmm." Deheman Abi membuat seluruh isi ruangan menatapnya seketika. "Jangan kayak Tante Rina, tuh Om ngga setuju. Tante Rina cuma punya Om Abi. Nanti Papa carikan Mama yang lebih cantik, oke?" jawab Ferdy sambil menahan tawa.Demikian juga dengan Nisrina. Ia segera menguasai dirinya dan bergegas menyusul sang suami yang sudah lebih dulu berada di luar rumah."Tante pulang dulu ya, Sayang? Lain waktu kita main lagi?" ucap Nisrina sambil mengusap rambut Caca yang ikal."Iya, Tante. Aku nanti main sama Papa."Nisrina mengangkat jari jempolnya sebelum meninggalkan ruang tengah tempat mereka berbincang.Ferdy mengantar kepergian sepupunya. Seharusnya ia sudah ada di kantor pagi ini, tapi terpaksa izin telat sebab menunggu Nisrina yang sedang bermain dengan Caca. "Hati-hati ya? Lain kali istrinya jangan diturunin pinggir jalan lagi. Untung aku yang nemu, kalau ditemu sama orang lain gimana? Apalagi yang lebih kece darimu, bisa langsung ditinggalin kamu," ucap Ferdy saat mengantar
Bab 87Abi benar-benar mengantar Nisirina pulang. Ia merasa tak mampu menahan wanita itu untuk menuruti keinginannya setelah permintaan maaf yang dia ucapkan.Sebagai seorang suami, Abi merasa gagal. Semakin merasa gagal lagi setelah melihat respon Nisrina usai ia meminta maaf.Sebuah pesan dikirim Nisirina untuk seseorang. Ia pun menahan bibirnya untuk tidak banyak bicara di dalam mobil. Rencananya berhasil membuat Abi merasa menjadi orang yang telah abai pada tanggung jawab.Sebagai lelaki, Nisrina mau Abi gentleman. Sebentar lagi ia akan memasuki babak baru dalam hidupnya. Apa jadinya seperti kepala keluarga jika selalu mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah. Nisrina wanita yang mandiri dan tegas. Ia mau lelaki yang menjadi suaminya adalah lelaki yang tegas, berwibawa dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sayangnya, suami yang ia dapatkan jauh berbeda dari apa yang ia inginkan.Setibanya di rumah Nisrina, tampak banyak orang yang berada di rumah itu."Kok rumah
Bab 86Bu Rumaisha seketika menoleh setelah mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Senyum sumringah seketika terkembang di wajahnya yang masih tampak cantik meski termakan usia."Duduk sini, Nak. Mama sudah pesan makanan buat kamu," titah Bu Rumaisha sambil menepuk kursi yang ada di sisi meja sebelahnya.Wajah milik Abisatya itu seketika berubah canggung. Ia kepayahan mengatur napas yang memburu bercampur kaget karena pemandangan di depannya."Iya, Ma," ucap Abi salah tingkah. Ia canggung duduk di sisi Nisrina yang langsung menunduk setelah pandangan mereka bersitatap."Kapan jadwal kamu periksa, Sayang?" tanya Bu Rumaisha pada Nisrina yang tak kalah salah tingkahnya."Sebelum balik kemarin udah periksa, Ma. Tapi kayaknya harus cari dokter lagi di sini buat persiapan lahiran beberapa bulan lagi.""Waah nanti kabari Mama ya? Mama pengen antar kamu. Mama pengen tahu gimana wajah cucu Mama itu. Ganteng apa cantik.""Selama periksa Nisrina ngga pernah tanya, Ma. Biar jadi s
Bab 85"Masya Allah anakku," teriak Bu Rumaisha saat melihat wanita hamil yang ada di depannya. Ia merentangkan tangannya untuk memeluk menantunya itu.Tangis Nisrina pecah seketika. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya kesepian dan merasa butuh pelukan keluarga. Bu Rahmi sudah melakukannya, tapi tentu beda dengan mereka yang sudah kenal lebih lama dan terikat tali pernikahan seperti Abi dan keluarganya."Mama, maafkan Rina," ucap Rina dalam pelukan Bu Rumaisha."Enggak, Nak. Kamu ngga salah. Abi yang salah. Tapi tenang, Mama sudah marahi dia. Sudah Mama hajar dia sampai kapok," balas Bu Rumaisha dengan tegas dan mantap."Mama hajar Mas Abi?" tanya Rina mengulang ucapan mertuanya. Kepalanya mendongak, menatap wajah yang sedang berbicara itu untuk mendapatkan kejelasan.Ekor mata Bu Rumaisha melirik ke arah laki-laki paruh baya di sampingnya. "Itu, dia yang hajar sampai berdarah wajahnya.""Papa hajar Mas Abi?" tanya Rina setelah pandangannya mengikuti arah mata Bu Ru
Bab 84Nisrina sedang bersiap untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan rumah itu tanpa penghuni. Ia tak lagi mendapatkan alasan untuk menghindar dari orang-orang di masa lalunya. Akan tetapi, untuk kembali ke rumah Abisatya itu tak mungkin dilakukan sebab hubungan keduanya masih terbilang panas."Kamu jadi pergi, Nak?" Bu Rahmi menghampiri Nisrina di ruang tengah. Nisrina yang sedang duduk sambil memegang ponsel seketika mendongak, melihat sosok yang baru saja datang ke rumahnya."Jadi, Bu. Rina harus kembali. Tidak mungkin Nisrina selamanya ada di sini, toh badan Rina sudah sehat. Mbak Nur saya ajak ikut pulang tapi beliau tidak bisa.""Nur masih ada keluarga di sini. Ngga bisa pergi begitu saja.""Iya, Bu. Rina paham.""Ibu pasti akan merindukanmu, Nak," sahut Bu Rahmi dengan tatapan sendu. Ia lantas duduk di samping Nisrina yang sudah lebih dulu menggeser badannya."Ibu ngga ikut antar Rina?" tanya Nisrina saat perempuan paruh baya itu sudah du
Bab 83Bu Rumaisha tak sengaja menemukan story Nisrina yang baru saja di posting itu. Dengan penuh semangat, beliau membukanya untuk melihat apa yang dibagi menantunya setelah sekian lama tak sapat dihubungi.Sebuah video yang menampakkan perut besar Nisrina yang sedang bergerak-gerak membuat Bu Rumaisha tersenyum penuh rasa haru."Pa, bangun, Pa!" bisik Bu Rumaisha tak sabaran. Ia menepuk-nepuk pundak suaminya untuk menunjukkan video tersebut."Apaan sih, Ma! Papa ngantuk!" elak Pak Gunawan menepis tangan Bu Rumaisha agar tak mengganggu tidurnya."Pa, lihatlah. Kita akan punya cucu, Pa!" Bu Rumaisha tak putus asa untuk membangunkan sang suami."Abi juga sudah bilang kemarin. Menantumu saja pergi dan menghilang, bagaimana kita bisa ketemu sama dia." Pak Gunawan kembali memejamkan matanya."Tapi ini story di nomor yang lama, Pa. Kayaknya sudah aktif lagi. Coba lihat dulu," ucap Bu Rumaisha makin memaksa.Tak punya pilihan lain, Pak Gunawan pun mengubah posisi tidurnya. Ia melihat layar
Bab 82Nisrina menatap geram wajah yang sedang ada di depannya. Ia tak menyangka jika kebaikannya dianggap seolah membuka celah untuknya bisa kembali dekat."Rin!" panggil Bian saat Nisrina berlari menjauh dari hadapan laki-laki itu.Tak peduli suara teriakan Bian, Nisrina berlari menuju sebuah angkutan umum yang tak sengaja berhenti tak jauh dari rumahnya."Cepat berangkat, Pak!" titah Nisrina setelah ia duduk di atas kendaraan roda empat itu.Nisrina kepayahan mengatur napas. Bahunya naik turun sebab ritme jantungnya tak tak beraturan. Dalam hati Nisrina merasa kesal pada Bian. Ia merasa telah kecolongan terhadap lelaki yang ia kira bisa dijadikan teman baik.Beberapa saat setelah duduk, perut Nisrina terasa nyeri. Tak biasanya ia merasakan nyeri yang hebat seperti itu.Sekuat tenaga Nisrina berusaha menahan rasa nyeri di perutnya itu hingga suara teriakan orang yang duduk di depannya membuat Nisrina terkaget."Mbak, di kakinya ada darah," ucap seorang wanita berhijab.Nisrina refle
Bab 81Hati Nisrina bak diiris sembilu membaca pesan yang dikirim oleh Abisatya. Tak mau membalas pesan itu, Nisrina lebih memilih diam dan menangis dalam diam. Bagaimana pun dia salah karena terlalu keras pada Abi."Maafkan aku, Mas. Aku terlalu keras padamu," gumam Nisrina sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi wajah.Nisrina tenggelam dalam tangisnya hingga matanya terlelap. Badan yang letih itu tak lagi sanggup menopang bobot tubuhnya yang sekarang mudah sekali terasa letih.Keesokan harinya, Nisrina bersiap hendak memeriksakan diri. Janin dalam rahimnya sudah diajak bepergian dan menghabiskan waktu banyak di perjalanan beberapa hari lalu. Ia harus memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Terlebih sebentar lagi, ia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya dan membutuhkan tenaga yang fit untuk membawa beberapa baju dan barang bawaan."Pagi sekali sudah rapi, Nak? Mau kemana?" tanya Bu Rahmi ketika sedang menyapu halaman. Ia meletakkan sapunya d
Bab 80Nisrina tersedu dalam pelukan Bu Rahmi. Ia tak kuasa menahan rasa sesal yang kian menambah dalam luka di hatinya. Selama ini, perempuan yang sedang hamil muda itu terlalu menuruti egonya hingga kini ia terjerembab dalam penyesalan yang membuatnya tak henti menitikkan air mata."Tidak apa-apa kamu merasa bersalah. Yang penting setelah ini kamu mau berubah menjadi lebih baik. Bagaimana pun dia bapak dari anakmu, yang masih memiliki hak atas dirimu dan bayi dalam kandunganmu.""Tapi Rina takut, Bu. Rina sudah terlalu kasar padanya kemarin. Wajah Mas Abi yang semula mengiba, saat kami berpisah berubah menjadi penuh emosi." Nisrina memejamkan matanya, mengingat kembali urat-urat yang makin tercetak tebal di leher Abisatya."Kalau begitu datangi dia, minta maaf padanya," sambung Bu Rahmi lagi.Rina seketika mendongakkan kepalanya, lalu mengurai pelukan dari wanita paruh baya yang sedang menasehatinya itu. "Rina takut, Bu. Rina takut."Air mata Nisrina makin deras membanjiri wajahnya.
Bab 79Abi kembali ke rumah dengan kondisi hati dan pikiran yang tak baik. Harapannya bisa kembali bersama sang istri seketika lenyap setelah mendengar penolakan Nisrina yang keras itu.Ucapan Nisrina itu, bak tombak yang menancap tepat sasaran. Nyeri, perih dan terasa tak berarti sebagai seorang lelaki.Mobil yang ditumpangi Abi itu melaju dengan kencangnya. Tak peduli dengan kendaraan lainnya, Abi terus memacu mobilnya dengan kecepatan yang tak biasanya.Setibanya di rumah yang lama tak ditempati, Abi membawa masuk beberapa botol minuman yang sudah dibelinya di luar. Ia tak mau mengambil resiko seperti yang kemarin. Lelaki yang sedang hancur itu butuh sesuatu untuk melampiaskan amarahnya.Abi memilih melampiaskan emosinya dengan menenggak minuman kerasnya di rumah. Tak peduli soal halal dan haramnya, Abi terus menikmati minuman yang melenakan itu dengan hati yang penuh emosi. Padahal tak ada manfaat dari minuman itu sekalipun hanya sedikit.Kadang bibir Abi itu berteriak sambil mena