Bab 4
"Berusahalah menjadi yang terbaik sekalipun kamu harus berperang dengan egomu sendiri karena penyesalan selalu datang diakhir." Nisrina teringat ucapan Ferdy sesaat setelah sepasang kekasih itu pergi dari hadapannya. Namun, tatapan mata Abisatya untuk Rania cukup membuat hati Nisrina kebat kebit. Sebagai seorang istri baru, mendapati sang suami menatap mantan kekasihnya sedemikian dalam dan hangat membuat segumpal daging dalam dadanya terasa sakit. "Jangan lupa, ada Om dan Tante yang ada dipihakmu. Kamu istri sah, kamu menang meskipun hatinya belum jadi milikmu." Lagi, Ferdy memberikan semangat. Nisrina merasa mendapatkan angin segar. Meskipun sakit, ia harus berusaha untuk menjadi istri yang berkesan untuk suaminya setelah penolakan itu terus diberikan oleh sang suami. Dering ponsel yang menggema membuyarkan lamunan Rania dari ingatannya tentang kejadian beberapa waktu lalu bersama Ferdy. Ia segera meraihnya dan melihat layar yang sedang menyala itu. "Mas Bian?" Dahi Nisrina mengerut. Akan tetapi saat ia hendak menerima panggilan tersebut, pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan sosok yang kini telah menjadi pendamping hidupnya. Badan kekar itu berdiri diambang pintu sebab dering ponsel yang dibiarkan menyala oleh Nisrina. Otak Abi pun langsung menangkap sebuah kemungkinan yang mungkin saja sedang terjadi antara Nisrina dengan seseorang diujung panggilan itu. Nisrina ragu hendak menerima panggilan itu. Ia terpaksa membiarkan ponselnya menyala tanpa jawaban dalam genggamannya. Abisatya melirik ponsel yang sedang menyala itu. Ia abai dan segera meraih baju ganti yang sudah disiapkan Nisrina di atas ranjang dengan senyum menyeringai. "Jangan sungkan padaku. Kalau itu telepon penting, terimalah. Bahkan jika itu dari kekasihmu sekalipun." Abi tersenyum miring. Ia merasa berhasil membuat Nisrina merasa tak nyaman dengan pernikahan ini. Nisrina mengangkat dagunya seketika. Ia menatap Abi dengan sorot mata tak terima. "Sebagai seorang istri tentu aku harus menghargai suamiku. Tidak sopan jika menerima panggilan dari laki-laki lain di dalam kamar. Apalagi kamar ini masih dihias khas kamar pengantin baru." Tidak lagi menggubris ucapan Abi, Nisrina bangkit dari duduknya. Ia meraih baju yang ada di dalam koper dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Ponsel yang menyala itu pun dibiarkannya tergeletak di atas sofa di dalam kamar. Tidak ada sedikitpun niatan dalam hati Nisrina untuk membalas atau menerima panggilan dari laki-laki lain setelah ia menyandang gelar seorang istri. Apalagi panggilan itu dari lelaki yang telah mencampakkannya. "Untuk apa kamu menghubungiku lagi, Mas? Bukankah kedua orang tuamu lebih penting dari pada aku, yang hanya sebagai orang baru dalam hidupmu?" gumam Nisrina lirih. Ia menyandarkan badannya di balik pintu yang baru saja ia tutup. Mata Nisrina memejam, merasai perihnya luka yang dengan sengaja ditorehkan oleh lelaki bergelar kekasih. Sekuat apapun ia mempertahankan hubungan, jika pasangannya tidak mau sama-sama berjuang, maka ia akan lelah sendiri. Nisrina membiarkan tubuhnya luruh ke lantai. Betapa takdir tidak ada yang berpihak padanya. Betapa ujian hidup terus saja datang silih berganti. Pasangan yang ia kira bisa menjadi sandaran dan tempat berlabuh, nyatanya juga tak jauh beda dari sikap Bian padanya. Berulang kali Nisrina mengembuskan napas kasar, sakit di hatinya tak juga hilang. Yang ada, dadanya kian sesak sebab rasa sakit yang datang bertubi-tubi. "Dasar aneh!" umpat Abi setelah melihat sang istri masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah cepat. Bahkan mengabaikannya yang sedang berbicara. Dering ponsel Abi mengalihkan emosinya pada sang istri. Dahinya mengerut membaca nama yang tertera dalam layar. "Ada apa, Ma?" ujar Abi setelah panggilan tersambung. "Eemm ... anu, Mama bisa minta tolong ngga?" Abi melihat jam yang bertengger di atas ranjang. "Tolong apa, Ma?" "Bisa cek kan dompet Mama tadi di kamar tempat kita dirias ngga? Dompet Mama ngga ada di tas. Takutnya ketinggalan. Kalai ada, besok aja kamu antarkan sekalian antar Nisrina ke butik langganan Mama." "Butik?" "Iya, ada satu gaun yang Mama pesan buat dia untuk acara keluarga nanti." "Baiklah. Aku cari dulu dompetnya sekarang." Setelah panggilan terputus, terdengar seseorang mengetuk pintu kamar. Abi bergegas membukanya sebelum ia turun ke lantai bawah untuk mencari dompet mamanya. "Permisi, Pak. Ini kayaknya ada barang keluarganya yang tertinggal," ujar seorang petugas kebersihan. "Oh iya. Baru saja saya mau cari kesana. Makasih ya?" ucap Abi. Ia membuka dompet mamanya dan mengambil selembar uang berwarna biru sebagai ucapan terima kasih. "Makasih, Pak." Petugas itu berujar sebelum pergi dari hadapan Abisatya. Petugas itu pergi bersamaan dengan Nisrina yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia melihat Abi dengan tatapan penasaran. "Siapa, Mas?" "Petugas kebersihan. Dompet Mama ketinggalan, dia antar ke sini," ucap Abi sambil menutup pintu kamar. "Oh iya, Mama minta aku buat antar kamu ambil baju di butik langganannya besok." "Baju?" "Iya." Tak lagi menjawab ucapan Nisrina, Abi merebahkan dirinya di atas ranjang. Ia tak peduli pada wanita yang baru saja menyandang gelar sebagai seorang istri itu. Keesokan harinya, Abi mengantar Nisrina sesuai permintaan mamanya. Akan tetapi baru saja mobil melaju, ponselnya berdering. Nama Rania muncul dalam layar. Abi segera menerima panggilan tersebut. Tak peduli ada Nisrina yang duduk di sebelahnya. "Iya, Sayang?" jawab Abi setelah panggilan terhubung. "Sayang, kamu semalam ngga ngapa-ngapain kan?" "Enggak, Sayang. Ngga terjadi apa-apa semalam." Nisrina mencebikkan bibirnya. Telinganya panas mendengar kalimat sayang yang terlontar daro bibir dua sejoli itu. Namun, Abi tak peduli. "Aku lagi jalan, setelah ini aku jemput kamu." "Berapa lama? Aku udah kangen," rengek Rania manja. "Sebentar. Cuma ke butik aja," ucap Abi sambil melirik Nisrina kesal. Ia merasa wanita di sebelahnya itu merepotkan dan membuat waktu untuk kekasihnya jadi terganggu. "Beneran ya? Habis itu langsung jemput aku." "Iya, Sayang. Kamu jangan khawatir." Abi segera menutup panggilannya. Ia tak mau mendengar rengekan Rania ketika dirinya tak bisa berbuat apapun. Melihat wajah Abi yang kesal itu, Nisrina tak mau diam saja. "Turunkan aku saja, biar aku cari taksi." Nisrina berujar dengan ragu. Ia menggigit bibir bagian bawahnya karena cemas dengan jawaban yang akan keluar dari bibir sang suami. "Kamu yakin?" "Mengapa tidak!?" balas Nisrina setengah hati. Meskipun hatinya berat mengatakan hal itu, ia ingin membuktikan ucapan Ferdy bahwa dirinya memang mendapatkan tempat di hati suaminya. Tanpa disangka, Abi benar-benar menghentikan laju mobilnya. "Seharusnya memang begitu. Biar aku bisa segera berjumpa dengan Raniaku." Hati Nisrina makin kesal mendengar ucapan Abi. Tanpa permisi, ia keluar dari dalam mobil. Namun baru saja Nisrina menutup pintu mobil, seseorang menghampirinya dengan semangat. "Sayang!" panggilnya yang seketika membuat Nisrina menoleh.Bab 5 "Lepas, Mas!" ucap Nisrina saat tangan kekar itu merengkuhnya dalam dekapan."Tidak, Sayang! Aku tidak akan melepaskanmu! Kamu kemana saja? Mas cari kamu tapi kamu tidak ada!" Abian meracau. Ia mendekap erat badan langsing yang ada di depannya, tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikan. "Apa-apaan ini!" teriak seorang wanita paruh baya. Ia berjalan dengan cepat dan mengurai pelukan sepasang anak manusia itu.Tangan yang tak lagi mulus itu dengan kerasnya menyingkirkan badan anak laki-lakinya. Lalu dengan penuh semangat, tangan itu terangkat dan mendarat dengan kerasnya di pipi mulus milik Nisrina.Rasa panas seketika menjalari wajah ayu Nisrina. Tak hanya di wajah, rasa panas itu menjalari sekujur tubuh wanita yang baru saja melepas masa lajangnya."Bu!" sentak Abian keras. "Diam kamu! Sudah Ibu bilang jangan dekati wanita tidak jelas ini!" hardik wanita berkerudung pasmina itu. Ia menatap wajah anak laki-lakinya dengan tajam bak Elang yang menemukan mangsanya.Bibir w
Bab 6Sebuah paperbag berisi baju sudah berada di tangan Nisrina, sesuai dengan perintah sang mertua. Ia membawa benda itu masuk ke dalam mobil, di mana Abisatya sedang berbincang dengan seseorang di ujung telepon."Aku balik dulu ya, Sayang? Setelah itu aku ke sana," ujar Abi sebelum mengakhiri panggilannya."Beneran ya? Jangan lama-lama." Suara diujung panggilan samar terdengar di telinga wanita yang duduk di samping Abisatya itu."Iya. Setelah sampai rumah Mama, aku langsung pergi ke tempat kamu."Nisrina hanya diam dan duduk sambil meremas tali paperbag yang berisi baju pesanan mertuanya. Hatinya yang terluka, makin terluka dengan apa yang baru saja ia dengar. Panggilan sayang yang seharusnya menjadi miliknya, dengan mudahnya dilontarkan oleh lelaki bergelar suami untuk wanita lain.Nisrina menghela napas dalam. Betapa pernikahannya dimulai dengan ujian berat yang rasanya ia tak sanggup untuk memikulnya."Kita ke rumah Mama dulu ya?" ucap Abisatya setelah meletakan ponselnya di at
Bab 7Abisatya lebih dulu meninggalkan mertua dan menantu itu di dalam ruang tamu. Bibirnya mengatup rapat. Hatinya menahan kesal sebab acaranya berantakan gara-gara mamanya.Dering ponselnya kembali terdengar. Nama Rania kembali muncul dalam layar panggilan tersebut.Dengan segera Abi menggeser tombol gagang telepon warna hijau agar segera terhubung dengan wanita di ujung panggilan sana."Sayang, kenapa ngga diangkat? Lama sekali kamu, kemana aja sih! Aku sudah ngga sabar pengen ketemu," gerutu Rania. Ia sudah menunggu lebih dari setengah jam tapi Abi tak kunjung datang."Iya. Sebentar ya. Aku pasti ke sana. Kamu tenang saja." Abi makin menahan kesal karena suara rengekan Rania."Cepetan ya? Aku sudah kangen sama kamu. Aku ingin cerita banyak, juga pengen disayang-sayang sama kamu."Abi terkekeh. Rengekan Rania itu sedikit mengurangi rasa kesalnya akibat ulah mamanya."Iya. Sabar. Tunggu ya?" jawab Abi kemudian.Saat Nisrina masuk ke dalam mobil, Abi segera mematikan panggilannya. Ia
Bab 8Abi memandangi tubuh langsing yang sedang terbaring di atas ranjang dengan pakaian tipis yang membungkus badan itu, menampakkan sedikit gumpalan daging di dadanya. Wajah yang cantik dengan rambut tak beraturan menutupi wajah membuat kecantikan alami dari perempuan itu terpancar sempurna.Ada orang yang bilang bahwa kecantikan alami seorang wanita itu terpancar ketika ia sedang terlelap. Benar saja. Abi melihat itu di wajah Nisrina, wanita yang sedang terlelap dengan lingerie melekat di tubuhnya. Wajah polos tanpa mekap dan tetap terlihat bersih dan putih. Kecantikan alami dari seorang wanita.Abisatya tersenyum melihat wajah ayu yang sedang terlelap itu tampak cantik. Berbeda dengan Rania yang selalu memakai mekap di wajahnya. Meskipun tidak tebal, Rania tidak pernah lepas dari bedak dan lipstik. Namun meskipun begitu, Abi tetap cinta kepada Ranianya."Rin," panggil Abi. Ia merasa risih melihat Nisrina dengan pakaian seperti itu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya
Bab 9Sepasang laki-laki dan perempuan itu terperanjat mendapati sosok yang sedang berdiri di depannya. Tautan tangan yang semula menyatukan kedua badan mereka seketika terlepas. Senyum yang awalnya terbit di wajah dua insan itu tiba-tiba lenyap saat mendapati sosok yang tengah berdiri di depan mereka."Ratih?" gumam Nisrina. Matanya menatap sosok yang selalu berada di sisinya saat suka dan duka sebelum pernikahan itu terjadi. Dadanya berdegup kencang mendapati wanita yang sudah ia anggap layaknya saudara bisa sebegitu bahagianya dengan lelaki yang baru saja ia putuskan cintanya.Nisrina lupa bahwa orang yang paling dekat dengannya berpeluang besar menjadi orang yang paling melukai. Layaknya apa yang dilakukan oleh Abisatya padanya."Rin," lirih Ratih. Paperbag yang ada di tangan Ratih seketika terjatuh. Ia menutup mulutnya tak percaya bisa berjumpa dengan sahabatnya saat sedang jalan dengan Abian. Ratih tertangkap basah."Jelaskan padaku apa ini, Mas? Sejak kapan kalian menjalin hubu
Bab 10"Apa maksudmu?" tanya Nisrina dengan tatapan menelisik. "Aku memang punya rumah. Tapi itu akan kutempati dengan Raniaku nanti." Abi berujar dengan santainya. Tak peduli jika kalimat itu akan menyakiti istrinya.Nisrina mencebikkan bibirnya. "Lalu, kita akan tinggal di rumah Mama? Dan di kamar yang sama? Mas yakin?" tanya Nisrina dengan tatapan tak yakin."Hanya sebulan, kan? Itu bukan waktu yang lama untuk kita hidup bersama dalam satu kamar.""Satu atap oke lah, tapi kalau satu kamar selama sebulan? Kamu sehat?" Nisrina mencoba mengutarakan ketidaksetujuannya.Laki-laki di depan Nisrina itu tercengang. Ia tidak berpikir sejauh itu.Tiba-tiba saja apa yang terjadi di kamar hotel tadi terlintas di kepala Abi. Badan Nisrina yang terbalut pakaian minim bahan kembali muncul dalam ingatannya. Bukankah jika tinggal dalam satu kamar hal serupa bisa saja terulang kembali?Abisatya menghela napas kasar. Rumah itu telah lama disiapkannya dengan Rania, lebih tepatnya sebelum Rania pergi
Bab 11"Jangan memulai pertikaian lagi," desis Nisrina. Ia tak mau terpancing dengan ucapan Abi."Enggak. Siapa yang mancing. Aku cuma ngasih tahu kamu saja." Abi melengos.Embusan kasar keluar dari bibir Nisrina. Meskipun Abi tak berniat menyinggung, ia tetap merasa tersinggung sebab pernikahannya yang tanpa cinta."Apa nasimu itu akan kau biarkan begitu?" tanya Abi setelah nasi dalam piringnya habis tak bersisa. Ia melihat nasi di piring Nisrina masih utuh tak berkurang sedikitpun.Nisrina tak menjawab. Ia kembali murung setelah mendengar ucapan Abi barusan.Tanpa aba-aba, Abi meraih piring yang ada di depan Nisrina hingga nasi yang ada di dalamnya sedikit tumpah."Mas!" pekik Nisrina kaget. Matanya membelalak menatap wajah tanpa rasa bersalah di depannya. Tangannya menggenggam sendok dengan erat. Ingin rasanya melempar sendok itu ke arah Abi, akan tetapi Nisrina sadar itu tempat umum."Nasi ini enak, sayang kalau cuma kamu buat mainan. Mending kumakan saja." Abi tak lagi peduli de
Bab 12"Aku janji, ngga akan menyentuh dia meskipun dalam satu rumah. Kamu harus percaya padaku sebab cintaku hanya untukmu." Abi memeluk Rania sambil meracau. Sedangkan yang dipeluk hanya terisak."Kamu jangan begini, ini malah bikin aku makin berat jalaninnya," ucap Abi lemah. Tangan yang kekar itu bergerak beraturan di punggung ramping milik Rania."Aku hanya takut kalau kamu serumah dengan dia. Aku takut kamu jatuh cinta.""Tidak. Aku jamin tidak. Kamu harus percaya padaku. Aku setia padamu. Bukankah sekian lama kamu pergi tapi aku masih saja menerimamu seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan kita?" ujar Abi tegas. Ia mengurai pelukannya dan menatap wajah Rania dengan seksama.Rania tertunduk. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. "Kita masuk mobil ya? Kita lanjut jalan. Jangan begini terus, malu dilihat orang banyak."Rania menunduk. Meskipun bibirnya masih terisak, ia menurut pada Abi yang tengah menggandeng tangannya untuk kembali ke mobil.Seulas senyum terbit di bibir Abisa