Share

Bab 3

Bab 3

Nisrina menyandarkan punggungnya di dinding depan kamar. Sekuat apapun ia berusaha menutupi rasa kecewanya di depan sepasang kekasih itu, ia tetap wanita lemah yang membutuhkan sandaran ketika hatinya terluka.

"Rin?" panggil seseorang yang seketika membuat Nisrina mengusap air mata di wajahnya.

Ferdy mendekat dan memicingkan matanya menatap istri sepupunya yang baru saja menikah sedang memejamkan mata sambil kepayahan mengatur napas.

"Kenapa? Kamu lihat mereka tadi?" tanya Ferdy dengan tatapan masih memindai wajah ayu yang tengah basah di depannya.

"Apa kamu habis berantem sama mereka?" Lagi, Ferdy tak puas dengan Nisrina yang hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya. Tangannya menunjuk arah di mana Abi dan Rania berjalan.

Nisrina menghela napas berat. Ia tak mau membuka masalah rumah tangganya di depan orang lain, tapi Ferdy melihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Mas lihat mereka?" tanya Nisrina sebelum ia menjawab pertanyaan sepupunya.

Ferdy mengangguk. "Makanya aku ke sini. Tadi aku lihat kamu sudah jalan ke kamar, tapi tak lama mereka lewat. Pasti ada yang ngga beres."

"Aku harus bagaimana, Mas?" Nisrina menunduk. Ia masih syok dan kepalanya tak mampu berpikir dengan jernih.

Ferdy celingukan. Ia memanggil salah satu petugas hotel yang sedang melintas untuk meminta air putih.

"Minum dulu," ujar Ferdy seraya menyodorkan sebotol air mineral di hadapannya.

Nisrina menerima botol air itu, lalu meneguknya sedikit.

"Jika saja aku tahu Mas Abi sudah memiliki kekasih, aku tidak akan menerima perjodohan ini," ujar Rina setelah menutup kembali botol minumnya.

"Tidak, Rin. Kamu salah. Saat perjodohan itu memang Abi sedang tidak punya kekasih." Bukan membela, Ferdy hanya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Lalu, Rania?" sela Nisrina sedikit keras. Ia tak lagi mampu menyembunyikan perasaan kecewanya.

Ferdy mendekat. Ia bersandar di dinding dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Kepala Ferdy mendongak, menatap langit-langit hotel sebelum bibirnya mulai bercerita.

.

Usai perbincangan itu, Nisrina masuk ke dalam kamar. Hatinya harus dipaksa kuat untuk bisa menerima ujian hidup

Nisrina duduk di bibir ranjang dengan gelisah. Ia sedang menata hati untuk bisa tegas berbicara dengan sang suami yang sedang dimabuk asmara, tapi sayang bukan dengan dirinya.

Beberapa saat Nisrina terdiam, pintu kamar pun terbuka dan menampakkan sosok yang membuat dirinya kelimpungan berada dalam situasi tak mengenakkan.

"Aku kembali," ujar Abi, seolah sedang menunjukkan keberadaannya pada Nisrina yang tak menoleh sejak ia masuk ke dalam kamar.

Nisrina tak menjawab. Ia hanya duduk menunduk tanpa menoleh sedikitpun. Bibirnya sibuk mengatur napas sebab sesak yang menghimpit dada.

"Aku harap kamu tidak mengadukan perjumpaanku dengannya pada kedua orang tuaku. Kekasihku sudah kembali dan aku tak mau menyia-nyiakan waktu untuk bersamanya lagi setelah kami terpisah cukup lama." Abi berbicara tanpa mendekat. Ia melepas kemeja yang sejak siang membungkus badannya yang kekar.

Nisrina mengangkat dagunya. Matanya beradu dengan sepasang manik hitam milik laki-laki yang baru saja menyandang gelar sebagai suami.

"Lalu, bagaimana denganku?" ujar Nisrina penuh penekanan, seakan ia tidak setuju dengan ucapan laki-laki yang baru saja melepas kemeja itu.

"Kita tetap menikah, aku tidak akan menceraikanmu," jawabnya santai. Ia duduk di sofa tak jauh dari ranjang tempat Nisrina duduk.

"Istri macam apa yang membiarkan suaminya berjumpa dengan perempuan lain setelah hari pernikahannya?"

"Kita menikah hanya karena perjodohan. Entah ada apa dengan masa lalu Papa sampai bisa memaksaku menikahimu yang tidak pernah kukenal sebelumnya."

"Mas pikir aku tahu? Sama saja. Aku tidak tahu apapun soal mereka. Aku hanya menerima permintaan Bapak untuk menjadi bagian dari keluarga yang sudah lama terpisah. Kupikir bukan hal yang buruk ketika aku menerima perjodohan ini sebab aku sudah lama hidup sebatang kara."

"Kalau begitu, terimalah pernikahan ini hanya sebagai ikatan status antara kita. Soal hati kamu jangan terlalu bermain dengannya. Anggap pernikahan ini hanya sebagai ikatan di atas kertas saja."

Nisrina mengerutkan dahinya. "Pernikahan di atas kertas?"

"Iya. Ancaman Papa membuatku tidak bisa melepasmu begitu saja. Tidak ada pilihan lain selain menerima pernikahan ini, sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan."

"Tidak. Aku tidak bisa begitu. Lebih baik aku bicara pada Pak Gunawan." Nisrina bangkit dari duduknya. Ia bersiap melangkah menuju pintu.

"Jangan macam-macam kamu!" sentak Abi keras.

Urung melangkah, Nisrina memaku pandangan pada lelaki yang baru saja bangkit dari duduknya itu.

"Lalu? Mas tidak bisa seenaknya saja membuat keputusan seperti itu. Aku wanita, punya perasaan. Kalau Mas tidak menghendaki pernikahan ini ya lebih baik putuskan saja, jangan mengikatku dengan perjanjian tak jelas begitu."

"Jangan asal! Aku sudah terlanjur berjanji sama Papa untuk menikahi anak sahabatnya!"

"Sudah tahu janji, kan? Mengapa harus diingkari?" sergah Nisrina cepat. Ia merasa memiliki kesempatan untuk menyela.

"Janji itu sebelum Raniaku kembali. Sekarang aku minta kesediaan kamu untuk bisa mengizinkanku menjalin hubungan lagi dengan Rania, tentunya tanpa kedua orang tuaku tahu."

Nisrina menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia berharap bisa mendapatkan keluarga utuh dari keluarga rekan ayahnya. Tapi ternyata ia salah. Hatinya terlalu besar menaruh harapan, yang kini berbalik menjadi bumeramg untuknya.

"Tidak bisa," balas Nisrina cepat. Ia mengingat senyum licik yang terbit dari bibir Rania sebelum beranjak dari hadapannya. Sebagai istri sah, Nisrina berhak mendapatkan hak lebih dari Rania yang cuma wanita dimasa lalu sang suami.

"Lalu? Aku harus apa agar kamu mengizinkanku untuk bisa menjalin cinta dengan Rania?"

"Beri aku waktu satu bulan untuk menjadi istrimu yang sesungguhnya di depan keluargamu, sambil aku mencari alasan untuk bisa mengatakan pada kedua orang tuamu agar kita berpisah," ujar Nisrina tegas. Ia berpikir waktu satu bulan bisa digunakan untuk banyak hal, termasuk mendapatkan hati Abisatya dan merasakan kasih sayang kedua orang tua yang selama ini tidak ia dapatkan.

Abi tersenyum miring. "Baiklah, waktu satu bulan tidaklah lama."

"Dalam waktu satu bulan itu, izinkan aku melayanimu dan memperlakukanmu layaknya pasangan yang saling mencintai, terlebih di depan kedua orang tuamu."

Abisatya tersenyum miring. "Baiklah, bukan hal sulit kalau hanya berpura-pura. Tapi kamu janji setelah itu kamu yang bicara dengan kedua orang tuaku untuk berpisah. Kalau kamu bersedia dimadu, aku akan sangat senang sekali."

"Jangan harap. Juga jangan pernah menyentuhku meskipun kita berada di kamar yang sama," sahut Nisrina dengan sorot mata tajam yang penuh luka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status