Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah.
Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor. Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan. Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag. "Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban. "Assalamu'alaikum, Mbah….Mbah," panggil Dina sambil membuka pintu rumah mbahnya. "Waalaikumsalam, eh Dina, sini. Mbah sedang menggoreng pisang," kata Bu Murni, ibunya Novi yang muncul dari dapur. Novi dan Dina mengikuti Bu Murni menuju ke dapur. "Ini pisang gorengnya," kata Bu Murni sambil meletakkan pisang goreng ke meja. "Pelan-pelan makannya, masih panas," kata Novi mengingatkan Dina. "Iya, Bu." Bu Murni mengambil piring kecil dan meletakkan pisang goreng pada piring itu. Kemudian memotong pisang goreng menjadi beberapa bagian dengan menggunakan sendok. "Nah, ini pisangnya. Kalau dipotong kayak gini cepat dingin." Bu Murni memberikan piring kecil yang berisi pisang goreng pada Dina. "Terima kasih, Mbah," ucap Dina. "Sama-sama," jawab Bu Murni sambil tersenyum. "Bapak kemana, Bu?" tanya Novi. "Tadi ke sawah. Karena sudah mau panen." Menjelang panen biasanya para petani ke sawah pada sore hari, untuk mengusir burung-burung yang memakan padi. Suasana di sawah pun ramai. Terkadang juga membuat orang-orangan sawah yang diberi tali panjang, yang selalu ditarik-tarik, untuk menakuti burung. Begitu hari mulai gelap, petani pulang ke rumah. Bapaknya Novi merupakan seorang petani dengan memiliki beberapa petak sawah. Ia juga sering mengerjakan sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Bu Murni sering membantu suaminya bekerja di sawah, atau sekedar menemani. Bahkan sering menanam sayuran di galengan sawah, misalnya saja tanaman kacang panjang. "Kamu dari mana? Kok hanya berdua saja?" tanya Bu Murni. "Dari kontrol ke bidan, Bu." "Gimana kondisi kandunganmu? Kok Ahmad tidak mengantarmu?" "Posisi kepala bayi sudah mulai di bawah, Bu. Tapi bayinya bergerak sangat aktif. Mudah-mudahan tidak berubah lagi posisinya. Mas Ahmad belum pulang kerja." "Syukurlah, semoga sehat sampai lahir nanti, ya?" "Amin, Bu." "Ini nanti pisang gorengnya dibawa pulang, ya? Untuk Ahmad." Bu Murni memberikan bungkusan pada Novi. "Ya, Bu. Terima kasih." *** Warung merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli. Dari warung inilah berbagai informasi Novi dapatkan. Tak perlu bercerita, cukup hanya mendengarkan saja. "Mbak hati-hati lho dengan Bu Wanto, dia itu hobinya meminjam uang. Waktu meminjam, janjinya manis sekali, ketika ditagih, selalu berkelit. Banyak alasan," kata Asih pada Surti. "Masa sih, Mbak? Kayaknya Bu Wanto itu uangnya banyak." Surti berkata dengan heran. "Iya, katanya banyak. Tapi kok suka berhutang. Saya sampai capek menagihnya." "Memangnya berapa ia meminjam uang?" "Lima ratus ribu. Janjinya satu bulan. Ini sudah hampir dua bulan nggak dibayar-bayar. Giliran ditagih katanya besok. Besok ditagih lagi jawabannya tetap besok. Entah besok kapan," keluh Asih. "Kalau disini gimana Mbak Novi? Apakah suka ngebon?" tanya Surti. "Kadang-kadang, Mbak." Novi menjawab apa adanya. Perbincangan pun dilanjutkan dengan membicarakan orang lain. Apalagi kemudian ada Bu Hardi yang hobi dengan kegiatan seperti ini. Novi hanya ikut mendengarkan saja, tanpa mau menambahi cerita walaupun terkadang ia tahu informasi. "Wah pada ngumpul disini ya?" Tiba-tiba Erni datang membawa kantong plastik besar. Semua yang sedang bergosip ria kaget mendengar suara Erni. Untung mereka tidak sedang menggosipkan Erni. "Eh, Mbak Erni. Bawa apa tuh?" tanya Asih. "Ini lho saya bawa baju. Ada daster, celana pendek untuk bapak-bapak dan anak-anak." Erni segera membuka dagangannya. Semua sibuk membuka-buka pakaian yang dibawa Erni. "Ini lho, ada celana untuk suaminya. Di rumah kan enak pakai celana pendek. Kalau di kamar nggak bercelana nggak apa-apa," kata Erni mengundang tawa para perempuan yang ada disini. "Kalau di luar nggak pake celana, bahaya Mbak. Nanti burungnya terbang mencari sangkar baru, hihi," sahut Bu Hardi sambil cekikikan. "Ih, Bu Hardi ini bisa saja." Surti menimpali. "Ngomong-ngomong tentang burung, kabarnya di desa sebelah ada laki-laki yang didenda, gara-gara ketahuan melakukan "itu" dengan istri orang," kata Erni. Semuanya langsung menghentikan kegiatan memilih pakaian, mata dan telinga tertuju pada Erni. Berita seperti ini yang membuat mereka sangat tertarik. "Itu lho, suaminya biduan yang mendenda Pak Tejo, bos ikan, karena ketahuan sedang "wik-wik" dengan istrinya," lanjut Erni. "Oh biduan yang bernama Asri itu ya? Itu sih sudah biasa, suaminya suka mendenda orang. Sepertinya Asri memang sengaja di umpan untuk menggoda laki-laki. Kemudian pura-pura suaminya menangkap basah istrinya sedang begituan dengan laki-laki." Surti buka suara. "Kok begitu? Kata siapa, Mbak?" tanya Asih. "Biasanya kalau ketahuan sedang selingkuh, si perempuan akan ketakutan kemudian menangis dan minta ampun atau berusaha menjelaskan sesuatu. Kalau Asri, begitu ketahuan, wajahnya biasa saja," lanjut Surti. "Ckckck. Luar biasa." Bu Hardi berdecak heran. "Memangnya didenda berapa?" tanya Asih. "Katanya sih lima belas juta." Erni menjawab. "Wow, banyak sekali? Kalau sering mendenda orang, pasti uangnya banyak, tapi kok kehidupan mereka biasa-biasa saja," celetuk Bu Hardi. "Edi suaminya Asri itu kan suka judi, ya uangnya habis untuk judi." Erni berkata lagi. Deg! Jantung Novi terasa berhenti berdetak. Memang yang namanya judi itu tidak pernah bisa kaya. Sama dengan Ahmad suaminya yang hobinya berjudi. "Betul itu, untung suamiku nggak pernah berjudi," sahut Asih. Bu Hardi langsung menyenggol Asih. Novi jadi tidak enak hati, ia pun pura-pura tidak mendengar."Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma
"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti
"Mas pikir tamu laki-laki itu selingkuhanku, begitu ya? Jadi Mas mencurigaiku?" Novi berkata dengan penuh emosi.Ahmad pura-pura tidak mendengar, malah sibuk dengan ponselnya. "Dina!" Novi pun memanggil Dina."Iya, Bu. Ada apa?" Dina mendekati Novi."Yang tadi datang kesini siapa ya? Yang ngasih uang dua puluh ribu untuk Dina?" tanya Novi. Memang Alif tadi memberi uang dua puluh ribu untuk Dina. Tapi uang yang diberikan pada Novi, tentu saja tidak disebutkan di depan Ahmad. Bisa berbahaya, nanti pasti Ahmad akan meminjamnya. Dengan berbagai alasan, padahal hanya untuk berjudi."Oh, Pakde Alif tadi kesini lho, Yah. Ngasih Dina uang untuk ditabung di sekolah," kata Dina bersemangat bercerita pada ayahnya."O ya?""Iya, terus motor Pakde Alif juga baru, tadi Dina diajak jalan-jalan sebentar." Dina sibuk berceloteh. Novi hanya terdiam, ia sangat kesal dengan Ahmad yang seolah-olah menyudutkannya. "Benar yang Dina katakan itu?" tanya Ahmad."Benar, Ayah. Dina tidak berbohong, kata Bu gu
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti