"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali.
"Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli. "Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku. "Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana. "Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi. "Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada. "Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini. "Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti. Dan akhirnya para pembeli di warung Novi mulai ngerumpi. Tentu saja Novi hanya menjadi pendengar saja. Ingin rasanya Novi mengusir ibu-ibu yang sedang ngerumpi. Memang terkadang ia cukup terhibur dengan kedatangan ibu-ibu yang bercerita. Tapi kalau sudah menjelek-jelekkan orang, ia pun jadi jengah. Jika ia mengusir mereka, malah nanti ia yang dijadikan objek pembicaraan. Serba salah, yang penting ia diam, tidak menimpali pembicaraan sedikitpun. *** "Assalamualaikum." Terdengar suara orang mengucapkan salam. "Waalaikumsalam." Novi segera keluar bersama dengan Dina, untuk mencari tahu siapa yang datang. "Pakde," sapa Dina sambil mengulurkan tangan untuk Salim. Ternyata yang datang itu Alif kakaknya Ahmad. "Masuk, Mas," tawar Novi pada Alif. Dina pun menggandeng tangan Alif mengajaknya masuk. Akhirnya Alif dan Dina masuk ke ruang tamu. "Mbak Novi, beli." Seseorang memanggil nama Novi. "Sebentar ya Mas, aku melayani pembeli dulu." Novi beranjak dari duduknya. "Iya," kata Alif sambil asyik memperhatikan celotehan Dina. "Mbak, beli mie instan sepuluh ribu dapat berapa?" tanya pembeli. "Dapat tiga," jawab Novi. "Ya udah beli mie sepuluh ribu," kata anak tersebut sambil menyerahkan uangnya. Setelah menerima uang, Novi pun kembali menemui Alif yang sedang bercanda dengan Dina. "Kopi, Mas?" tawar Novi. "Nggak usah, Mas sudah ngopi tadi," jawab Alif. "O gitu. Dari mana Mas?" tanya Novi "Tadi ada keperluan di daerah sini, makanya mampir sekalian, pengen ketemu dengan Dina." "Oh." "Pakde, Dina sudah bisa membaca," kata Dina sambil menunjukkan buku sekolahnya. "Pintar, sekolah yang rajin biar semakin pintar." "Iya Pakde." Kemudian Dina mewarnai bukunya. "Sudah berapa bulan itu, Nov? Kapan lahiran?" tanya Alif. "Delapan bulan setengah, Mas. Insyaallah pertengahan bulan depan." "Jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Apa Ahmad masih suka main?" tanya Alif. "Kadang-kadang, Mas." "Anak itu memang nggak pernah berubah, padahal sudah mau punya anak dua. Gaji dari Bapak selalu diberikan sama kamu, kan?" "Kadang-kadang." "Pasti habis untuk berjudi." Novi hanya terdiam. "Kamu harus pandai menyisihkan uang, setidaknya untuk keperluanmu dan anak-anak. Jangan mengandalkan Ahmad. Jangan juga menyimpan barang berharga di rumah. Takutnya nanti Ahmad khilaf." "Iya, Mas." "Ini ada uang untuk anakmu. Simpanlah, jangan kasih tahu Ahmad, nanti malah diminta, dan dipakai untuk berjudi." "Nggak usah repot-repot, Mas," tolak Novi. "Simpanlah, ini kan untuk keponakan, Mas, juga. Siapa tahu suatu saat butuh uang." "Iya, Mas, terima kasih." Akhirnya Alif pamit pulang, Novi pun berjalan menuju ke warungnya. "Siapa tadi tamunya, Nov?" tanya Lastri yang baru datang. Lastri merupakan tetangga sebelah rumah Novi. Lastri dan Novi cukup dekat. Lastri duduk di dekat Novi. "Mas Alif, Mbak. Kebetulan sedang ada urusan di sekitar sini, jadi mampir sekalian, mau ketemu dengan Dina." "Alif dan Ahmad kok sifatnya bisa jauh berbeda ya? Padahal mereka kakak beradik." Novi hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Lastri. Ia kadang-kadang berandai-andai. Jika sifat Ahmad seperti Alif, pasti tidak hobi berjudi dan mungkin mereka sekarang bisa memiliki banyak tabungan. Sekarang yang bisa Novi lakukan, hanya menjelang ya saja. Tidak boleh mengeluh. Novi memang sering curhat dengan Lastri, karena Lastri mulutnya tidak ember. Apa yang diceritakan Novi tidak pernah diceritakan pada orang lain. "Kemarin waktu aku ke mall sama Evi, aku lihat, istrinya Alif sedang jalan-jalan di mall sama teman-temannya. Kayaknya rombongan sosialita, gitu. Dandanannya menunjukkan orang kaya semua. Sepertinya enak sekali ya hidupnya Alif dan keluarganya." "Namanya hidup, itu sawang sinawang, Mbak. Apa yang kita lihat baik dan menyenangkan, belum tentu seperti itu. Malah terkadang orang ingin hidup seperti apa yang kita jalani." "Betul, ya Nov. Intinya bersyukur." Novi hanya menganggukkan kepala. *** "Dek, siapa tamu yang datang tadi?" tanya Ahmad pada Novi. Ahmad baru pulang kerja bukannya menanyakan kabar anak dan istrinya, tapi malah bertanya tentang sesuatu yang diluar perkiraan Novi. Biasanya kalau pulang kerja, Ahmad selalu menanyakan tentang Dina. Tapi hari ini sangat berbeda. "Tamu?" Novi mengernyitkan dahinya, dan berusaha mengingat-ingat siapa yang datang. "Laki-laki kan?" tanya Ahmad lagi. Tadi ada seseorang yang ia kenal mengirimkan foto seorang laki-laki masuk ke rumahnya. Wajah laki-laki itu memang tidak terlihat dengan jelas karena di foto dari jauh. Ketika diperbesar malah pecah-pecah fotonya. "Oh, Mas Alif yang datang kesini. Kebetulan ada keperluan di sekitar sini. Makanya mampir." "Benar? Kok naik motor Nmax? Mas Alif kan motornya Vario?" selidik Ahmad. "Wah, aku nggak merhatiin motor apa. Soalnya tadi pas Mas Alif pulang aku sibuk melayani pembeli." Selesai berbicara Novi sadar kalau Ahmad bertanya seperti mengintrogasinya. "Mas pikir tamu laki-laki itu selingkuhanku, begitu ya? Jadi Mas mencurigaiku?" Novi berkata dengan penuh emosi."Mas pikir tamu laki-laki itu selingkuhanku, begitu ya? Jadi Mas mencurigaiku?" Novi berkata dengan penuh emosi.Ahmad pura-pura tidak mendengar, malah sibuk dengan ponselnya. "Dina!" Novi pun memanggil Dina."Iya, Bu. Ada apa?" Dina mendekati Novi."Yang tadi datang kesini siapa ya? Yang ngasih uang dua puluh ribu untuk Dina?" tanya Novi. Memang Alif tadi memberi uang dua puluh ribu untuk Dina. Tapi uang yang diberikan pada Novi, tentu saja tidak disebutkan di depan Ahmad. Bisa berbahaya, nanti pasti Ahmad akan meminjamnya. Dengan berbagai alasan, padahal hanya untuk berjudi."Oh, Pakde Alif tadi kesini lho, Yah. Ngasih Dina uang untuk ditabung di sekolah," kata Dina bersemangat bercerita pada ayahnya."O ya?""Iya, terus motor Pakde Alif juga baru, tadi Dina diajak jalan-jalan sebentar." Dina sibuk berceloteh. Novi hanya terdiam, ia sangat kesal dengan Ahmad yang seolah-olah menyudutkannya. "Benar yang Dina katakan itu?" tanya Ahmad."Benar, Ayah. Dina tidak berbohong, kata Bu gu
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma
"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.