"Mas pikir tamu laki-laki itu selingkuhanku, begitu ya? Jadi Mas mencurigaiku?" Novi berkata dengan penuh emosi.
Ahmad pura-pura tidak mendengar, malah sibuk dengan ponselnya. "Dina!" Novi pun memanggil Dina. "Iya, Bu. Ada apa?" Dina mendekati Novi. "Yang tadi datang kesini siapa ya? Yang ngasih uang dua puluh ribu untuk Dina?" tanya Novi. Memang Alif tadi memberi uang dua puluh ribu untuk Dina. Tapi uang yang diberikan pada Novi, tentu saja tidak disebutkan di depan Ahmad. Bisa berbahaya, nanti pasti Ahmad akan meminjamnya. Dengan berbagai alasan, padahal hanya untuk berjudi. "Oh, Pakde Alif tadi kesini lho, Yah. Ngasih Dina uang untuk ditabung di sekolah," kata Dina bersemangat bercerita pada ayahnya. "O ya?" "Iya, terus motor Pakde Alif juga baru, tadi Dina diajak jalan-jalan sebentar." Dina sibuk berceloteh. Novi hanya terdiam, ia sangat kesal dengan Ahmad yang seolah-olah menyudutkannya. "Benar yang Dina katakan itu?" tanya Ahmad. "Benar, Ayah. Dina tidak berbohong, kata Bu guru berbohong itu dosa." "Terus siapa lagi yang kesini?" "Eh, siapa ya? Oh, Bude Lastri, terus banyak yang beli di warung tadi. Dina nggak hafal namanya. Ayah, Dina ke kamar lagi ya? Masih mewarnai tadi." Ahmad hanya mengangguk. "Mas, besok pasang saja CCTV di semua ruangan yang langsung terpantau di ponsel. Jadi Mas tahu apa saja kegiatanku di rumah," kata Novi dengan marah dan kemudian berjalan menuju ke warung. Malas ia bertatap muka dengan Ahmad. Ahmad yang masih berada di ruang keluarga, sibuk dengan ponselnya. Kemudian membalas pesan pada seseorang. [Ternyata yang datang tadi Mas Alif, kakakku sendiri.] [Jangan-jangan ada sesuatu antara Novi dan Alif.] Balasan dari seseorang itu. [Nggak mungkin Mas Alif selingkuh dengan Novi. Novi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mbak Vera.] Ahmad masih membela istrinya. [Mungkin Alif sudah bosan dengan Vera, pengen cari yang polos kayak Novi.] Balasan dari orang yang mencoba mengompori Ahmad. [Sudahlah aku tidak mau membahasnya. Novi marah padaku.] [Kasih saja uang, pasti bilang marahnya.] Ahmad pun membalas dengan emoticon. Selesai salat magrib, Novi menyiapkan makan malam untuk Ahmad. Walaupun ia masih marah dengan sikap Ahmad tadi, ia tidak melupakan kewajibannya sebagai istri yaitu melayani suami. Novi tetap diam, kebetulan ada yang mau berbelanja di warung. Jadi ada alasan untuk tidak menunggui Ahmad makan. Novi pun melayani pembeli itu, tak lupa ia segera menghitung uang yang ada di laci. Untuk disimpan, yang nantinya akan digunakan untuk belanja lagi. Kalau tidak disimpan, bisa dipastikan akan diambil oleh Ahmad. "Ya Allah, apakah aku salah kalau selalu mencurigai suamiku sendiri? Aku sulit untuk percaya padanya tentang keuangan. Takutnya nanti akan dipakai untuk berjudi," kata Novi dalam hati. Jam setengah sembilan malam, Novi sudah merasa lelah dan mengantuk. Akhirnya ia menutup warungnya sendiri. Entah kemana Ahmad, dari tadi tidak terlihat di warung. Novi ingin beristirahat, untung tadi sudah selesai mencuci piring, jadi bisa langsung istirahat. Dilihatnya Ahmad yang asyik merokok dan sibuk dengan ponselnya. Ia asyik berbalas pesan dengan teman sefrekuensi. [Bro, ditunggu anak-anak di markas.] Pesan dari Fadly. [Maaf, malam ini aku libur dulu. Sedang nggak enak badan.] [Minum tuak nanti bisa cepat sehat.] Balasan dari Fadly. [Absen dulu, Bro.] Ahmad masuk ke dalam kamar, dilihatnya Novi sedang berganti pakaian. Tiba-tiba saja ia bernafsu melihat istrinya, padahal ia tahu kalau istrinya sedang marah padanya. "Dek, maafkan aku ya? Bukan maksudku mencurigaimu, tapi aku cemburu kalau ada laki-laki yang bertamu selama aku tidak ada dirumah." Novi masih terdiam. "Masih marah ya? Aku benar-benar minta maaf." "Siapa yang memberitahu Mas kalau ada tamu di rumah?" tanya Novi. Ahmad tidak berkutik, lebih baik ia diam saja daripada Novi semakin marah. Sebenarnya ia juga takut kalau Novi sudah marah besar. Karena kalau sampai Novi bercerita pada Bu Wulan, bisa-bisa Ahmad dimarah habis-habisan oleh ibunya sendiri. "Apakah Mas menyuruh orang untuk memata-matai? Itu tandanya Mas nggak percaya sama istri sendiri." "Aku minta maaf, Dek. Aku sangat percaya denganmu. Aku janji, nggak akan terulang lagi." Melihat Novi diam, Ahmad pun mendekat dan mengelus-elus perut Novi yang semakin membesar. Novi pun luluh mendapat perhatian dari Ahmad. Kemudian Ahmad mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. "Ini ada uang, simpanlah." "Oh, Mas mau menyogok dengan uang ini ya? Biar aku nggak marah lagi?" "Bukan begitu, Dek. Tadi memang sudah mau aku kasihkan, tapi keburu kamu marah," kilah Ahmad. "Uang dari mana ini?" "Bonus dari Bapak, simpanlah untuk persiapan melahirkan." Padahal uang itu tadinya mau dipakai untuk berjudi. Tapi berhubung situasi dan kondisi tidak memungkinkan, akhirnya diserahkan pada Novi. Novi pun mengambil uang tersebut dan menyimpannya. Novi berbaring dengan posisi miring, ia sudah sangat lelah ingin tidur. Ahmad yang nafsunya sudah diubun-ubun, memeluk Novi dari belakang dan mengelus-elus perut Novi. "Halo anak Ayah, boleh nggak Ayah menjengukmu? Ayah sudah kangen," bisik Ahmad. "Bilang sama ibumu, Nak. Ayah ingin menjengukmu," bisik Ahmad lagi. "Boleh, Yah. Tapi pelan-pelan ya?" jawab Novi. Sebenarnya ia sedang malas, tapi karena ini kewajiban seorang istri, ia pun menyanggupinya. Mendengar Novi memperbolehkannya, Ahmad pun langsung langsung tancap gas. Walaupun Novi merasa capek, tapi ia juga sangat menikmatinya. Di tengah desahan, Ahmad menyebut nama seseorang. Tentu saja nama perempuan. Mood Novi langsung hilang, tanpa sadar ia meneteskan air mata. Hatinya terasa sangat sakit. Disaat Ahmad bercumbu dengannya malah menyebut nama perempuan lain. Akhirnya selesai juga pergulatan panas mereka, tepatnya Ahmad yang merasa puas. Sedangkan Novi masih meneteskan air mata. Menangis dalam diam, semakin ditahan, malah semakin sesak di dadanya "Kenapa? Sakit?" tanya Ahmad ketika melihat Novi meneteskan air mata. "Padahal aku tadi sudah pelan melakukannya," gumam Ahmad. Novi hanya diam dan kemudian beranjak dari tempat tidur. Ia merasa ingin buang air kecil. Di kamar mandi ia menangis sepuasnya. Kemudian ia langsung mandi wajib. “Apakah Mas Ahmad selingkuh?” kata Novi dalam hati, di sela tangisannya."Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma
"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti