"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan.
"Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam. Novi melihat Ekta menghapus air matanya. "Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar." "Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu. "Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu." Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi. "Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni. "Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya. "Apa saja yang diomongin Ekta tadi. Pasti dia ngomongin aku ya?" "Enggak. Cerita tentang kehamilan, nanya-nanya kehamilan saya." Novi berusaha menjelaskan. "Bener nggak ngomongin aku?" "Ngapain ngomongin kamu, Wen." "Dia kan nggak suka sama aku, makanya suka sewot sendiri kalau ada aku. Sering menjelek-jelekkan aku. Dasar perempuan nggak punya malu, sudah merebut pacar orang." "Siapa yang merebut pacar orang, Wen?" tanya Novi. "Ekta itu merebut Mas Ardi dari aku." "Kok bisa?" "Dia itu perempuan kegatelan, sudah tahu pacarnya orang, masih saja dideketin. Lihat saja nanti akan aku rebut Mas Ardi." "Jangan seperti itu, Wen. Jangan menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Nggak baik. Nanti kami bisa dicap pelakor." "Oh, Mbak Novi sekarang sudah terhasut dengan omongan Ekta ya? Lebih memihak Ekta yang pendatang daripada aku yang sudah lama kenal dengan Mbak." "Weni, saya nggak ada urusan apa-apa dengan kalian berdua dan tidak memihak siapapun. Yang terjadi di antara kalian berdua, saya tidak tahu dan tidak mau tahu." "Udah deh Mbak, nggak usah ikut-ikutan urusanku. Urus saja Mas Ahmad, jaga suami Mbak, biar nggak direbut orang lain atau aku." Weni berkata sambil ngeloyor pergi. "Apa maksud kamu, Wen?" teriak Novi. "Mbak Novi, Mbak kan sedang hamil besar, sebentar lagi melahirkan. Apa mbak nggak takut kalau Mas Ahmad mencari kepuasan diluar? Secara Mbak Novi kan sedang nifas, sedangkan laki-laki butuh pelepasan." Weni sudah pergi menjauh dari Novi. Novi heran, ia nggak ada urusan apa-apa dengan mereka berdua. Kok bisa-bisanya sampai menyebut-nyebut nama Ahmad. Atau jangan-jangan Weni juga mengincar Ahmad ya? Menjelang tidur, Novi masih terngiang-ngiang ucapan Weni. Apa benar nanti kalau ia nifas, Ahmad akan mencari perempuan lain? Untuk memuaskannya? Apa waktu ia melahirkan Dina dulu, Ahmad juga mencari perempuan lain? Kepala Novi terasa sangat pusing memikirkan semua ini. Atau Weni hanya menakutinya saja? Malam ini Ahmad ada di rumah, tidak berkumpul dengan teman-temannya. "Belum tidur, Dek?" tanya Ahmad yang baru masuk ke kamar. "Belum, Mas," sahut Novi yang sudah merebahkan diri di tempat tidur. Ahmad kemudian mendekati Novi dan mengelus-elus perut buncitnya, kemudian menciuminya. "Halo anak Ayah. Cepat keluar ya? Nanti bisa bermain-main dengan Ayah, Ibu juga Mbak Dina," kata Ahmad sambil menciumi perut Novi. Novi merasa terharu mendengar ucapan Ahmad. Sebenarnya Ahmad itu termasuk orang yang lumayan romantis, sering memanjakan Novi. Tapi terkadang juga temperamen. Tapi memang tidak pernah bermain tangan jika sedang marah. Novi ingin bertanya jika ia nifas nanti, tapi takut nanti Ahmad tersinggung. Merusak suasana yang sedang romantis ini. Memang Ahmad itu suka berjudi, tapi sepertinya tidak suka main perempuan, itu yang Novi pikirkan. "Boleh Mas menjenguk anak kita?" tanya Ahmad meminta izin pada Novi, sambil masih mengelus-elus perut Novi. Sebenarnya Novi capek tapi kalau keinginan Ahmad tidak dituruti, bisa marah besar. "Mas janji akan pelan-pelan," kata Ahmad meyakinkan Novi. Novi hanya menganggukkan kepala dengan pasrah. Ahmad pun memulai permainan mereka, Novi hanya pasrah saja, karena ia takut dengan kondisi bayi di perutnya. Ruangan kamar mereka dipenuhi dengan suara desahan dan erangan, suara khas suami istri sedang memadu kasih. *** Pagi hari seperti biasa, Novi sedang melayani pembeli di warung, Dina sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. "Bu, Dina berangkat sekolah ya?" pamit Dina. "Iya, Sayang. Hati-hati di jalan, ya?" kata Novi sambil melambaikan tangannya. "Iya, Bu." Dina sudah berjalan menuju ke sekolahnya. Ahmad masih sarapan sebelum berangkat kerja. Selesai sarapan ia pun bersiap-siap untuk berangkat. "Halo anak Ayah, Ayah berangkat kerja dulu, ya? Jangan nakal di perut Ibu," kata Ahmad sambil mengelus-elus perut Novi. Novi tersipu malu karena dilihat beberapa orang yang akan berbelanja ke warung. "Sudah, Mas. Malu dilihat orang," kata Novi. "Kenapa malu? Kan suami sendiri," kata Ahmad dengan suara yang agak keras. "Betul Mbak. Dielus suami sendiri nggak masalah. Yang bermasalah itu kalau dielus suami orang, hihi," sahut salah satu pembeli di warung. Diiringi anggukan yang lainnya. Ahmad hanya tertawa mendengar kata-kata Ibu tadi. Akhirnya Ahmad berangkat kerja. "Mbak Novi suaminya romantis sekali ya? Bikin ngiri," celetuk Wak Tini. Novi hanya tersenyum simpul. "Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali. Deg! Jantung Novi terasa berhenti berdetak."Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti
"Mas pikir tamu laki-laki itu selingkuhanku, begitu ya? Jadi Mas mencurigaiku?" Novi berkata dengan penuh emosi.Ahmad pura-pura tidak mendengar, malah sibuk dengan ponselnya. "Dina!" Novi pun memanggil Dina."Iya, Bu. Ada apa?" Dina mendekati Novi."Yang tadi datang kesini siapa ya? Yang ngasih uang dua puluh ribu untuk Dina?" tanya Novi. Memang Alif tadi memberi uang dua puluh ribu untuk Dina. Tapi uang yang diberikan pada Novi, tentu saja tidak disebutkan di depan Ahmad. Bisa berbahaya, nanti pasti Ahmad akan meminjamnya. Dengan berbagai alasan, padahal hanya untuk berjudi."Oh, Pakde Alif tadi kesini lho, Yah. Ngasih Dina uang untuk ditabung di sekolah," kata Dina bersemangat bercerita pada ayahnya."O ya?""Iya, terus motor Pakde Alif juga baru, tadi Dina diajak jalan-jalan sebentar." Dina sibuk berceloteh. Novi hanya terdiam, ia sangat kesal dengan Ahmad yang seolah-olah menyudutkannya. "Benar yang Dina katakan itu?" tanya Ahmad."Benar, Ayah. Dina tidak berbohong, kata Bu gu
"Mas, bangun. Sudah siang." Novi membangunkan Ahmad. Ahmad hanya menggeliat saja."Mas, bangun. Sudah jam delapan," panggil Novi.Ahmad langsung beranjak dari tempat tidur. Mungkin karena masih berada di alam mimpi atau mungkin kesadarannya belum seratus persen. Akhirnya ia menabrak pintu.Brakk!Novi kaget dan Ahmad lebih kaget lagi."Pintu sialan!" teriak Ahmad. Kemudian melanjutkan ke kamar mandi. Novi ingin tertawa melihat kejadian ini, tapi masih ditahan, takutnya Ahmad akan semakin marah."Kenapa jam segini baru bangunin aku? Apa saja kerjamu?" teriak Ahmad yang baru selesai mandi. Kemudian berganti pakaian. Novi yang menyiapkan sarapan pun hanya terdiam."Kamu dengar nggak yang aku katakan? Kenapa kamu telat bangunin aku?" teriak Ahmad."Maaf Mas, aku kesiangan.""Kok bisa kesiangan!" bentak Ahmad."Nggak bisa tidur, sakit," kata Novi dengan pelan. Ahmad langsung terdiam. Ia teringat akan kejadian tadi malam, Novi meneteskan air mata."Masih sakit?" tanya Ahmad. Tentu saja sak
Menjelang magrib, Ahmad baru pulang dari kerja. Bukan karena ia lembur, karena toko Pak Harno tutup jam lima sore. Tapi Ahmad mampir ke rumah temannya. Setelah cukup lama ngobrol-ngobrol, akhirnya ia pulang. Kemudian langsung mandi.Selesai mandi, dilihatnya makanan sudah tersaji di meja makan. Seperti inilah Novi, walaupun sedang marah dengan suaminya, ia selalu menyiapkan makan untuk Ahmad. Ahmad segera makan. Novi di warung sambil menunggui Dina mengerjakan PR."Bu, ini benar nggak?" tanya Dina.Novi pun memeriksa pekerjaan Dina."Sudah benar semua. Sekarang semua dibereskan ya?""Habis ini boleh nonton televisi, Bu?" tanya Dina."Boleh.""Terima kasih, Bu."Novi sibuk lagi dengan catatan nota dari sales. Sudah banyak hutang sales yang ia bayar. Hanya tinggal sedikit lagi. Perkembangan warung cukup meningkat, karena Novi memberi harga tidak terlalu tinggi. Yang penting sudah mendapatkan untung, dan modal bisa diputar lagi."Assalamualaikum, Mbak." Terdengar seseorang mengucapkan sa
"Siapa yang mulai? Aku juga sudah nggak mau ribut, capek." Novi berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ahmad, tapi tidak bisa."Kenapa? Mas marah padaku karena aku tidak membukakan pintu? Mas marah karena tadi malam tidur diluar?" tanya Novi.Ahmad diam."Salah sendiri. Sudah tahu pergi malam, nggak bawa kunci rumah. Aku kan nggak tahu kamu mau pulang jam berapa. Ya aku kunci saja. Takutnya nanti ada maling yang mau masuk dan mencelakai aku dan Dina. Mas nggak pernah mikir sampai segitu kan? Apa yang mungkin terjadi dengan aku dan Dina saat Mas asyik bermain, mikir nggak? Oh tentu saja tidak. Teman-teman Mas kan lebih penting daripada aku dan Dina." Novi berkata panjang lebar mengungkapkan perasaannya."Kamu kan tahu kalau aku tidak ada di rumah, seharusnya kamu menungguku pulang. Kamu nggak kasihan aku tidur diluar dari jam dua pagi." Ahmad berusaha membela diri."Kasihan? Sudah aku bilang, Mas. Salah sendiri. Memangnya aku satpam yang selalu siap membuka pintu untukmu? Maaf, a
Novi sangat kesal, karena ia belum selesai berurusan dengan Ahmad. Tapi Ahmad malah sudah kabur. Seperti biasa, mood Ahmad memang tidak bisa ditebak. Pagi ini mood Ahmad sedang tidak baik, jadi Novi sebagai tempat pelampiasan. Akhirnya Novi berusaha untuk meredam emosinya sendiri. Ia pun ke warung untuk berbenah dan merapikan barang-barang yang ada di warung.Tak berapa lama ada seseorang yang datang, laki-laki naik motor. Ternyata ia seorang sales yang biasa datang ke warung Novi. "Mbak, barangnya masih banyak nggak?" tanya laki-laki itu."O iya, Mas. Kebetulan banyak barang yang sudah habis. Saya mau order."Novi pun menyebutkan barang-barang apa saja yang mau di order."Itu ada yang mau saya retur, Mas. Sudah kadaluarsa.""Iya, Mbak. Kumpulkan saja barang yang mau di retur. Nanti pas kami antar barang, sekalian kami bawa."Laki-laki masih mencatat semua yang diorder Novi, ketika Lastri datang ke warung."Sudah selesai, Mbak. Dua hari lagi barang diantar mobil ya, Mbak." Laki-laki
"Kenapa? Kamu nggak mau mengurus anakku? Berarti kamu hanya mau denganku saja atau hartaku?""Nanti kita kan punya anak sendiri juga, Mas," protes Lia."Ternyata kamu sama dengan perempuan murahan yang lain ya, hanya mau dengan harta. Kamu tahu nggak, gara-gara kamu mengirim foto ini pada Novi, setiap hari aku selalu berantem dengan Novi. Kalau sampai Novi mengirimkan foto itu pada orang tuaku, habislah kita. Perlu kamu tahu, orang tuaku sangat menyayangi Novi. Makanya aku selalu memintamu untuk bersabar, biar aku pikirkan jalannya. Tapi kamu terburu-buru." Ahmad berkata dengan kesal. Lia menjadi ketakutan melihatnya."Maafkan aku, Mas. Soalnya aku selalu cemburu kalau kamu ada dirumah. Membayangkanmu bercumbu dengan istrimu, membuatku sakit hati. Aku sangat mencintaimu, Mas. Jangan tinggalkan aku, aku minta maaf," kata Lia dengan sesenggukan. Drtt…drtt..ponsel Ahmad berbunyi. Sebuah pesan dari bapaknya. Dengan gugup, Ahmad membuka pesan itu, ternyata berisi beberapa buah foto mereka
Drtt…drtt ponsel Ahmad berdering, ia membuka ponselnya dan melihat ada foto yang dikirim ke ponselnya. Sebuah foto, seorang laki-laki yang sedang duduk di teras rumah Ahmad. Ahmad menjadi sangat kesal dan tentu saja cemburu."Awas kamu, Nov. Berani berselingkuh di belakangku, kamu tahu akibatnya," kata Ahmad dalam hati.Pikirannya menjadi kacau karena masalah yang bertubi-tubi. Ia tidak menyadari kalau masalah itu datang akibat perbuatannya sendiri. Mulai bermain api dan sepertinya ia sudah mulai terbakar.***Brak!Ahmad membuka pintu rumah dan menutupnya dengan keras. Novi yang melihat kejadian itu hanya diam saja. Pasti Ahmad sedang marah gara-gara Novi mengirim foto itu.Novi masih asyik menghitung uang pemasukan warung, kemudian ia menyimpannya ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh Ahmad. Segera ia membereskan warungnya dan menyusun barang-barang yang tadi datang.Dina masih pergi mengaji ke musola, biasanya dilanjutkan salat magrib disana. Novi melangkah menuju ruang makan u
"Bingung mau menjawabnya, Mas. Kalau aku bilang tidak, eh tahu-tahu besok jodohku datang. Mau bilang iya tapi kok seperti sudah kebelet nikah, hihi. Yang jelas, aku mengikuti air yang mengalir saja. Kalau memang masih ada jodoh, ya akan aku jalani." Novi menjawab dengan diplomatis. Alif tersenyum mendengar jawaban Novi yang terkesan malu-malu."Kamu masih muda, hidupmu masih panjang. Kamu butuh pendamping untuk menemanimu membesarkan anak-anak, walaupun ada ayahnya. Setidaknya ada teman untuk berkeluh kesah." Alif berkata sambil memperhatikan Haikal yang asyik memainkan mainannya. Jantung Novi dari tadi terus bergemuruh, ia menjadi malu dan tersipu mendengar kata-kata Alif. "Kalau kamu mau mencari pendamping hidup, carilah yang mau menerima anak-anak. Terserah mau duda atau single. Jangan marah atau tersinggung kalau aku berkata seperti ini, aku sudah menganggapmu sebagai adik sendiri. Walaupun hubungan pernikahanmu dengan Ahmad sudah berakhir, tapi hubungan persaudaraan kita tidak
"Tapi dia itu seorang janda, kok kayak Farel sudah nggak laku aja. Dia kan bisa mencari perempuan lain, yang masih gadis dan sepadan dengan kita. Jangan-jangan waktu Alvaro menabrak perempuan itu sebenarnya disengaja oleh janda itu ya? Biar ia bisa dekat dengan Farel. Benar-benar cara murahan!" Irma berkata dengan nyerocos sambil mengomel."Satu lagi, Pa! Apa kata orang kalau sampai Farel menikah dengan janda itu? Mau ditaruh dimana muka Mama ini?" lanjut Irma dengan suara yang cukup tegas dengan emosi."Memangnya Mama mau menaruh muka Mama dimana? Oh kalau enggak, taruh saja di rumah. Jadi kalau Mama pergi ngemall, nggak usah bawa muka, kan nggak bakal malu." Pak Dewa berkata sambil tersenyum."Pa, Mama ini ngomong serius. Kok jawabnya kayak gitu." Irma tampak kesal mendengar jawaban suaminya yang menurutnya main-main dan tidak serius."Papa juga ngomong serius! Mama jangan suka menuduh orang sembarangan. Nggak mungkin Novi sengaja menabrakkan diri ke mobil Alvaro. Lagipula kenapa me
"Jadi selama ini aku mengidolakan ayam gepreknya Novi? Pantas saja waktu itu aku bertemu dengannya disana. Kok bisa-bisanya mereka menyembunyikan semuanya dariku. Awas saja kalau mereka masih menyebut-nyebut nama Novi di depanku. Aku akan membuat perhitungan." Indah hanya bisa berkata dalam hati, ia tidak berani lagi membantah kata-kata suami dan mertuanya.Setelah pertengkaran hebat waktu itu, Ahmad memang sudah berniat untuk berpisah dengan Indah. Tentu saja Indah tidak mau, karena kalau mereka berpisah, Indah pasti terusir dari rumah yang sudah beberapa bulan ini mereka tempati.Waktu itu Indah bersujud di kaki Ahmad untuk meminta maaf. Sebenarnya Ahmad sudah tidak mau lagi hidup bersama dengan Indah. Tapi Pak Harno dan Bu Wulan membujuk Ahmad, supaya memberinya kesempatan lagi. Akhirnya Ahmad pun mau memberinya kesempatan karena ia memikirkan nasib Salsa."Kenapa mesti nama Novi muncul lagi di dalam rumah tanggaku? Aku sudah sangat muak mendengar nama Novi. Tapi apa dayaku?" Indah
"Papa! Kok nggak bilang kalau mau kesini," kata Farel ketika melihat pintu ruangannya dibuka oleh sosok yang sudah beberapa hari tidak bertemu dengannya."Mau kasih kejutan," sahut Pak Dewa sambil berjalan mendekati Farel yang juga menghampiri papanya. Mereka pun berpelukan hangat."Maaf, Pa, Farel belum sempat menjenguk Papa," kata Farel sambil melonggarkan pelukannya. Pak Dewa mengangguk dan tersenyum. Farel pun mempersilahkan papanya untuk duduk di sofa yang ada."Bagaimana usahamu?" tanya Pak Dewa sambil melihat sekeliling ruangan Farel."Alhamdulillah, Pa. Ada proyek yang dikerjakan.""Syukurlah, Papa bahagia mendengarnya.""Bagaimana kabar Mama? Sehat kan?" Gantian Farel yang menanyakan kabar mamanya. Bagaimanapun juga, Farel sangat menyayangi mamanya. Hanya saja ia tidak menyukai rencana yang menjodohkannya dengan Nada."Alhamdulillah, Mama sehat. Tapi ya gitu deh, suka uring-uringan. Kalau bertemu dengan Alvaro selalu berdebat. Papa jadi pusing sendiri mendengar mereka selalu
"Tunggu saja, Minggu depan aku akan bertunangan dengan Farel. Jadi kubur impianmu untuk mendapatkan Farel," lanjut Nada."Semua itu nggak ada urusannya denganku. Kamu mau bertunangan dengan Farel atau menikah dengan Farel, tidak berpengaruh apa-apa denganku. Sekarang, silahkan kamu keluar dari sini, aku tidak mau berurusan denganmu." Novi berkata dengan tegas, ia sengaja mengusir Nada karena sudah muak dengan semua ucapan Nada."Nggak perlu kamu usir, aku juga akan pergi dari sini. Lama-lama disini membuatku terkontaminasi virus miskin kamu.""Haha, nggak ada yang menyuruhmu datang kesini." Novi tertawa walaupun hatinya menangis. Ia merasa sangat terhina dengan semua ucapan Nada."Ternyata jadi orang miskin itu tidak enak, selalu menjadi bahan ejekan orang lain," kata Novi dalam hati.Nada yang mendengar tawa mengejek dari Novi menjadi sangat kesal. Ia pun mendekati Novi dengan tangan diangkat keatas seperti mau menampar. Novi yang dari tadi bersikap waspada, segera mengelak. Nada ya
"Maaf Mbak, warungnya belum buka," kata Yanti pada seorang perempuan yang masuk ke warung geprek. Yanti sedang membersihkan warung ketika perempuan itu datang."Aku kesini bukan untuk membeli ayam geprek murahan. Aku mau ketemu dengan perempuan murahan itu," bentak perempuan yang terlihat dalam kondisi marah. Perempuan itu menatap tajam pada Yanti, Yanti berusaha bersikap tenang."Siapa yang Mbak maksud?" "Sudahlah, nggak usah basa-basi. Panggilkan pemilik warung ini," teriak perempuan itu.Novi yang sedang membuat sambal geprek kaget mendengar suara ribut di warungnya."Siapa sih yang datang sambil marah-marah? Pagi-pagi sudah bikin masalah di tempat orang," kata Novi dalam hati. Ia pun segera mencuci tangannya, dan kemudian berjalan menuju ke depan.Novi kaget ketika melihat siapa yang datang, apalagi perempuan itu langsung berteriak padanya."Hei kamu, aku dari tadi mencarimu. Tapi pembantumu ini menghalangiku," teriak seorang perempuan, yang ternyata adalah Nada.Novi menjadi san
"Tadi Mbak Novi kan mau membelikan es krim untuk anak-anak. Tapi sepertinya tidak jadi, makanya saya kesini membawa es krim untuk anak-anak.""Oh, memang saya sengaja. Biar cepat keluar dari minimarket itu. Maaf ya Mas, kalau gara-gara saya, Mas Farel sampai ribut dengan tunangan Mas Farel. Sekali lagi saya mohon maaf. Nanti jika diperlukan saya bisa mengklarifikasi pada tunangan Mas Farel." Novi berkata dengan perlahan. Entah kenapa sepertinya ia tidak rela kalau Farel bertunangan dengan perempuan tadi."Mbak Novi nggak perlu klarifikasi ke Nada. Ia memang suka kayak gitu, bertindak arogan dan sedikit bar-bar.""Yang sabar ya, Mas. Nanti kalau kalian sudah menikah, saya yakin Mas Farel dan istri akan saling melepaskan ego masing-masing. Karena setelah menikah itu bukan lagi aku atau kamu, tapi sudah menjadi kita." Novi menjelaskan pada Farel."Mbak Novi, Nada itu bukan tunangan saya. Memang Mama saya dan mamanya Nada mau menjodohkan kami. Tapi saya tidak mau, karena Nada bukan tipe p
"Oh, jadi perempuan ini ya yang membuatmu sekarang menghindariku? Padahal sebentar lagi kita akan bertunangan," kata Nada yang tiba-tiba muncul dihadapan Farel dan Novi. Nada tadi masuk ke minimarket untuk mencari sesuatu, malah bertemu dengan Farel. Nada pun mengamati Novi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Novi menjadi sangat risih, ia pun merasa kikuk sendiri."Sepertinya kita pernah bertemu ya? Tapi dimana?" kata Nada sambil mencoba untuk mengingat-ingat Novi. Novi hanya terdiam mendengar kata-kata Nada."Nada, semua ini nggak ada urusannya denganmu," kata Farel sambil mencoba mengajak Novi pergi."Oh, aku ingat. Kamu itu yang dulu pergi bersama dua orang anak waktu bertemu di mall. Ternyata begini Kelakuanmu. Kamu itu sudah bersuami, kok malah menggoda laki-laki. Dia itu calon tunanganku, paham kamu! Kalau masih menggodanya, nanti aku laporkan sama suamimu." Nada menjadi sangat emosi, ia semakin menatap tajam pada Novi."Sudahlah, Nada. Nggak usah mencari masalah. Ayo Nov kita
"Aku bisa berubah, kok. Apapun yang kamu mau, pasti aku lakukan," kata Nada dengan suara yang mulai melunak dan tentu saja terdengar manja. Ia berharap Farel akan luluh melihat sikapnya."O ya? Aku tidak yakin. Sekarang kamu ngomong kayak gini, terus nantinya kamu pasti akan berubah lagi. Nada, aku nggak mau kamu berubah demi aku. Tapi kamu kalau mau berubah itu memang dari dalam lubuk hatimu sendiri. Karena kemauanmu sendiri, bukan karena aku.""Ini orang ribet banget. Banyak sekali aturan," gumam Nada dalam hati. Ia sudah jenuh mendengar kata-kata dari Farel yang sok bijaksana.Farel menatap Nada, tapi Nada melirik ke arah lain."O ya, Farel, kata Tante Irma kamu keluar dari rumah orang tuamu? Kenapa?" tanya Nada mengalihkan topik pembicaraan. "Aku ingin mandiri. Sanggupkah kamu kalau menikah denganku nanti, kita mulai semuanya dari nol. Kita mengontrak dulu, sambil menabung untuk membangun rumah." Farel berkata seperti itu untuk melihat reaksi Nada."Kamu kan bisa minta rumah sama