"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo.
"Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi. "Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi. "Terima kasih, Pak." Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi. Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang. Kemarin waktu Ahmad memberi Novi uang, sepertinya Ahmad sedang menang berjudi. Uang itu ia gunakan untuk membayar kaplingan. Novi termasuk orang yang sangat teliti dengan penggunaan uang, karena ia merasa susahnya mencari uang. Sehingga ia selalu memanfaatkan uang dengan sebaik-baiknya. "Mbak Novi!" panggil seseorang di luar. "Iya, sebentar," jawab Novi sambil berjalan menuju ke warungnya. Ada Ekta, perempuan cantik yang sedang menggendong bayi. "Mbak beli gula pasir sama kopi," kata Ekta. Novi pun segera mengambil gula dan kopi. "Berapa semuanya, Mbak?" tanya Ekta. Novi menyebutkan sejumlah uang, Ekta pun membayarnya. "Eh, Rafa sudah besar ya? Sudah berapa bulan?" tanya Bu Hardi yang tiba-tiba muncul. "Sebelas bulan, Bude," sahut Ekta. "Sudah besar ya? Ganteng kayak bapaknya." "Ya iyalah, kan laki-laki. Kalau perempuan itu cantik," kata Ekta. "Eh lagi ngumpul disini rupanya. Mbak Novi, mau ikut arisan nggak?" kata Weni yang juga baru muncul di warungnya Novi. "Arisannya berapa, Wen?" tanya Novi. "Sejuta sebulan," sahut Weni. "Waduh, kalau segitu dapat uang dari mana saya?" kata Novi. "Uang warung ini atau uang dari Mas Ahmad kan bisa. Ikut ya Mbak?" rayu Weni. "Saya nggak sanggup, Wen. Kalau hanya sekedar dua ratus ribu, saya mau." Novi menjelaskan pada Weni. "Kalau hanya dua ratus ribu, dapatnya sedikit Mbak. Sudah ada delapan orang yang ikut. Bu Hardi ikut ya?" Weni merayu Bu Hardi. "Arisan saya sudah banyak, takut nanti malah nggak kebayar lagi," kilah Bu Hardi. "Ekta itu lho ditawari," ucap Novi sambil melirik Ekta. Ekta yang dari tadi diam saja menjadi gelagapan. "Mbak Novi saja nggak sanggup, apalagi saya," kata Ekta merendah. "Saya tahu kalau Ekta nggak bakal sanggup, makanya saya tidak menawari Ekta. Dia kan nggak kerja yang kerja hanya suaminya, kasihan kalau harus ikut arisan satu juta. Berapa sih gaji suaminya. Belum lagi bayar hutang. Bisa-bisa nggak makan keluarganya," cibir Weni. Ekta hanya diam saja, Novi yang mendengarkan ocehan Weni menjadi tidak enak sama Ekta. "Nggak boleh ngomong kayak gitu. Kita kan nggak tahu kehidupan mereka." Bu Hardi menengahi. "Dari penampilannya saja kelihatan, kok, Bu. Kalau nggak ada yang mau, ya sudah saya pergi saja," kata Weni sambil melangkah pergi. "Nggak usah dimasukin kehati omongannya Weni, ya? Dia memang seperti itu," kata Novi menenangkan Ekta. "Nggak apa-apa, kok, Mbak. Saya sudah terbiasa dengan sikapnya," jawab Ekta. "Weni itu belum juga bisa move on, kalau istilah anak jaman sekarang. Dia itu cinta mati dengan Ardi suamimu. Kamu harus berhati-hati, bisa saja Weni itu berbuat nekat." Bu Hardi malah ngomporin Ekta. Memang benar yang dikatakan Bu Hardi, Weni itu dulu pacaran dengan Ardi. Entah kenapa akhirnya mereka berpisah, tahu-tahu Ardi menikah dengan Ekta. Dan sampai sekarang Weni belum juga menikah, beberapa laki-laki pernah mendekatinya, tapi ia tetap tidak tertarik. "Saya pulang dulu, ya," pamit Bu Hardi. "Iya, Bu." Novi dan Ekta menjawab serempak. "Kapan lahirannya Mbak?" tanya Ekta. "Masih masuk delapan bulan." "Oh, mudah-mudahan normal ya?" "Iya, inginnya sih normal," jawab Novi. "Semoga nanti Mbak Novi melahirkan secara normal." "Amin. Mertuamu gimana, baik kan sama kamu," kata Novi. "Kadang-kadang Mbak. Kalau dapat hasutan dari Mbak Asih ya suka marah nggak jelas sama saya." "Memangnya Mbak Asih nggak suka sama kamu ya?" "Mbak Asih itu setujunya kalau Mas Ardi menikah sama Weni. Jadi kalau sedang ngumpul-ngumpul, Mbak Asih selalu menyebut nama Weni. Kalau sekarang sih, saya sudah mulai kebal. Dulu di awal menikah, saya sakit hati dan suka menangis." Mata Ekta berkaca-kaca. "Saya dekat dengan Mas Ardi itu saat Mas Ardi sudah putus dengan Weni. Mereka putus karena Weni pacaran dengan orang yang lebih kaya dari Mas Ardi. Ternyata pacarnya itu sudah punya istri. Ya tentu saja istrinya datang melabrak Weni. Tapi Weni selalu bilang kalau saya yang merebut Mas Ardi dengan cara menjelek-jelekkan Weni. Ibu dan Mbak Asih lebih percaya dengan Weni daripada saya." "Kenapa nggak tinggal terpisah dengan mertua?" tanya Novi. "Nggak boleh sama Ibu. Katanya di rumah hanya berdua sepi. Apalagi sejak Rafa lahir, Ibu maunya selalu ada Rafa." "Yang sabar ya. Kita bersikap baik saja belum tentu disukai orang. Apalagi bersikap tidak baik." "Eh ternyata malah ngerumpi disini, katanya ke warung sebentar. Mau ghibahin mertua dan ipar ya?" teriak Asih yang tiba-tiba muncul di hadapan Novi dan Ekta."Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti
"Mas pikir tamu laki-laki itu selingkuhanku, begitu ya? Jadi Mas mencurigaiku?" Novi berkata dengan penuh emosi.Ahmad pura-pura tidak mendengar, malah sibuk dengan ponselnya. "Dina!" Novi pun memanggil Dina."Iya, Bu. Ada apa?" Dina mendekati Novi."Yang tadi datang kesini siapa ya? Yang ngasih uang dua puluh ribu untuk Dina?" tanya Novi. Memang Alif tadi memberi uang dua puluh ribu untuk Dina. Tapi uang yang diberikan pada Novi, tentu saja tidak disebutkan di depan Ahmad. Bisa berbahaya, nanti pasti Ahmad akan meminjamnya. Dengan berbagai alasan, padahal hanya untuk berjudi."Oh, Pakde Alif tadi kesini lho, Yah. Ngasih Dina uang untuk ditabung di sekolah," kata Dina bersemangat bercerita pada ayahnya."O ya?""Iya, terus motor Pakde Alif juga baru, tadi Dina diajak jalan-jalan sebentar." Dina sibuk berceloteh. Novi hanya terdiam, ia sangat kesal dengan Ahmad yang seolah-olah menyudutkannya. "Benar yang Dina katakan itu?" tanya Ahmad."Benar, Ayah. Dina tidak berbohong, kata Bu gu
"Mas, bangun. Sudah siang." Novi membangunkan Ahmad. Ahmad hanya menggeliat saja."Mas, bangun. Sudah jam delapan," panggil Novi.Ahmad langsung beranjak dari tempat tidur. Mungkin karena masih berada di alam mimpi atau mungkin kesadarannya belum seratus persen. Akhirnya ia menabrak pintu.Brakk!Novi kaget dan Ahmad lebih kaget lagi."Pintu sialan!" teriak Ahmad. Kemudian melanjutkan ke kamar mandi. Novi ingin tertawa melihat kejadian ini, tapi masih ditahan, takutnya Ahmad akan semakin marah."Kenapa jam segini baru bangunin aku? Apa saja kerjamu?" teriak Ahmad yang baru selesai mandi. Kemudian berganti pakaian. Novi yang menyiapkan sarapan pun hanya terdiam."Kamu dengar nggak yang aku katakan? Kenapa kamu telat bangunin aku?" teriak Ahmad."Maaf Mas, aku kesiangan.""Kok bisa kesiangan!" bentak Ahmad."Nggak bisa tidur, sakit," kata Novi dengan pelan. Ahmad langsung terdiam. Ia teringat akan kejadian tadi malam, Novi meneteskan air mata."Masih sakit?" tanya Ahmad. Tentu saja sak
Menjelang magrib, Ahmad baru pulang dari kerja. Bukan karena ia lembur, karena toko Pak Harno tutup jam lima sore. Tapi Ahmad mampir ke rumah temannya. Setelah cukup lama ngobrol-ngobrol, akhirnya ia pulang. Kemudian langsung mandi.Selesai mandi, dilihatnya makanan sudah tersaji di meja makan. Seperti inilah Novi, walaupun sedang marah dengan suaminya, ia selalu menyiapkan makan untuk Ahmad. Ahmad segera makan. Novi di warung sambil menunggui Dina mengerjakan PR."Bu, ini benar nggak?" tanya Dina.Novi pun memeriksa pekerjaan Dina."Sudah benar semua. Sekarang semua dibereskan ya?""Habis ini boleh nonton televisi, Bu?" tanya Dina."Boleh.""Terima kasih, Bu."Novi sibuk lagi dengan catatan nota dari sales. Sudah banyak hutang sales yang ia bayar. Hanya tinggal sedikit lagi. Perkembangan warung cukup meningkat, karena Novi memberi harga tidak terlalu tinggi. Yang penting sudah mendapatkan untung, dan modal bisa diputar lagi."Assalamualaikum, Mbak." Terdengar seseorang mengucapkan sa
"Siapa yang mulai? Aku juga sudah nggak mau ribut, capek." Novi berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ahmad, tapi tidak bisa."Kenapa? Mas marah padaku karena aku tidak membukakan pintu? Mas marah karena tadi malam tidur diluar?" tanya Novi.Ahmad diam."Salah sendiri. Sudah tahu pergi malam, nggak bawa kunci rumah. Aku kan nggak tahu kamu mau pulang jam berapa. Ya aku kunci saja. Takutnya nanti ada maling yang mau masuk dan mencelakai aku dan Dina. Mas nggak pernah mikir sampai segitu kan? Apa yang mungkin terjadi dengan aku dan Dina saat Mas asyik bermain, mikir nggak? Oh tentu saja tidak. Teman-teman Mas kan lebih penting daripada aku dan Dina." Novi berkata panjang lebar mengungkapkan perasaannya."Kamu kan tahu kalau aku tidak ada di rumah, seharusnya kamu menungguku pulang. Kamu nggak kasihan aku tidur diluar dari jam dua pagi." Ahmad berusaha membela diri."Kasihan? Sudah aku bilang, Mas. Salah sendiri. Memangnya aku satpam yang selalu siap membuka pintu untukmu? Maaf, a
Novi sangat kesal, karena ia belum selesai berurusan dengan Ahmad. Tapi Ahmad malah sudah kabur. Seperti biasa, mood Ahmad memang tidak bisa ditebak. Pagi ini mood Ahmad sedang tidak baik, jadi Novi sebagai tempat pelampiasan. Akhirnya Novi berusaha untuk meredam emosinya sendiri. Ia pun ke warung untuk berbenah dan merapikan barang-barang yang ada di warung.Tak berapa lama ada seseorang yang datang, laki-laki naik motor. Ternyata ia seorang sales yang biasa datang ke warung Novi. "Mbak, barangnya masih banyak nggak?" tanya laki-laki itu."O iya, Mas. Kebetulan banyak barang yang sudah habis. Saya mau order."Novi pun menyebutkan barang-barang apa saja yang mau di order."Itu ada yang mau saya retur, Mas. Sudah kadaluarsa.""Iya, Mbak. Kumpulkan saja barang yang mau di retur. Nanti pas kami antar barang, sekalian kami bawa."Laki-laki masih mencatat semua yang diorder Novi, ketika Lastri datang ke warung."Sudah selesai, Mbak. Dua hari lagi barang diantar mobil ya, Mbak." Laki-laki
"Kenapa? Kamu nggak mau mengurus anakku? Berarti kamu hanya mau denganku saja atau hartaku?""Nanti kita kan punya anak sendiri juga, Mas," protes Lia."Ternyata kamu sama dengan perempuan murahan yang lain ya, hanya mau dengan harta. Kamu tahu nggak, gara-gara kamu mengirim foto ini pada Novi, setiap hari aku selalu berantem dengan Novi. Kalau sampai Novi mengirimkan foto itu pada orang tuaku, habislah kita. Perlu kamu tahu, orang tuaku sangat menyayangi Novi. Makanya aku selalu memintamu untuk bersabar, biar aku pikirkan jalannya. Tapi kamu terburu-buru." Ahmad berkata dengan kesal. Lia menjadi ketakutan melihatnya."Maafkan aku, Mas. Soalnya aku selalu cemburu kalau kamu ada dirumah. Membayangkanmu bercumbu dengan istrimu, membuatku sakit hati. Aku sangat mencintaimu, Mas. Jangan tinggalkan aku, aku minta maaf," kata Lia dengan sesenggukan. Drtt…drtt..ponsel Ahmad berbunyi. Sebuah pesan dari bapaknya. Dengan gugup, Ahmad membuka pesan itu, ternyata berisi beberapa buah foto mereka
Hari ini Novi dan Farel mencari perlengkapan untuk mengisi rumah baru mereka. Hanya yang penting-penting dulu. Mereka berangkat dari rumah sekitar jam sembilan. Kebetulan Haikal tidak ikut, hanya mereka berdua, jadi bisa leluasa memilih furniture tanpa harus mengkhawatirkan Haikal yang bakal kecapekan. Sampailah mereka di toko furniture. Novi melihat-lihat tempat tidur untuk kamar mereka."Kasur ini bagus nggak untuk kamar Dina?" tanya Farel."Bagus, Mas. Tapi kita cari yang lain dulu," kata Novi. Sebenarnya Novi tadi sangat senang melihat kasur ini, tapi begitu melihat harganya, membuat Novi terperanjat."Kenapa?""Kita cari yang sebelah situ dulu, cari yang agak murah," bisik Novi."Tapi ini bagus." Farel tetap mempertahankan ini."Mas, kalau beli yang itu, terlalu mahal. Cari yang sederhana saja." Novi tetap pada pendiriannya.Akhirnya Farel mengalah. Mereka pun melihat-lihat lagi, mencari yang sesuai dengan keinginan dan budget."Nah kalau untuk kamar kita, yang ini saja. Ini kua
"Mas, semua ini membuatku sangat terharu. Terlalu berlebihan," kata Novi."Enggak Sayang. Ini semampuku, hanya mampu membuatkan rumah yang kecil untuk keluarga kecil kita. Tapi insyaallah rumah yang kita bangun ini akan menjadi rumah yang penuh dengan kebahagiaan.""Amin.""Aku juga nggak mau kita jauh dari Bapak Ibu. Lagi pula usahamu kan disini, jadi tidak repot.""Apa Mas nggak malu punya istri penjual ayam geprek?""Nggak usah dibahas yang seperti itu. Pokoknya aku sudah siap dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Aku nggak mau membatasi kegiatanmu. Yang penting kamu senang, dan ingat prioritasmu adalah menjadi istri dan ibu. Bukan mencari nafkah. Mencari Nafkah itu tugasku.""Siap, Bos!" kata Novi sambil cengengesan."Alhamdulillah ya Mas, tadi malam Bu Irma ikut datang," lanjut Novi."Bukan Bu Irma, tapi Mama.""Iya, Mama.""Sebenarnya Mama itu baik. Kita harus pintar-pintar mengambil hatinya. Suatu saat nanti Mama pasti akan luluh," kata Farel dengan menatap Novi."Kamu tahu
"Apa kalian sudah benar-benar mantap? Nanti kalian mau tinggal dimana setelah menikah?" tanya Pak Dewa."Nanti kami akan tinggal di bedengnya Novi, memulai semuanya dari nol."Novi memang memiliki bedengan untuk disewakan, kebetulan ada yang baru saja pindah, jadi ada bedeng yang kosong.Irma mencibir mendengar ucapan anaknya."Memang kamu bisa tinggal ditempat seperti itu," cemooh Irma."Insyaallah bisa, Ma. Namanya juga baru menikah dan belajar untuk memulai hidup baru, harus serba prihatin."Pak Dewa tersenyum dan manggut-manggut."Bagus! Itu namanya laki-laki sejati. Papa bangga sama kamu. Apa yang kamu butuhkan untuk menikah nanti? Bilang saja sama Papa! Mau pesta di gedung apa, biar Papa yang mengurusnya," kata Pak Dewa dengan antusias."Huh! Banyak gaya, masa mau pesta di gedung. Padahal setelah pesta tinggal di bedeng!" Irma berkata dengan sinis.Farel tersenyum dan sangat maklum dengan watak mamanya itu."Enggak usah, Pa! Acaranya hanya akad nikah saja di rumah Pak Budi. Meng
"Mas, aku takut," kata Novi ketika berada di dalam mobil."Takut kenapa, aku kan nggak ngapa-ngapain kamu," goda Farel sambil tersenyum."Aku serius, Mas.""Aku juga serius," sahut Farel.Novi masih saja tampak gelisah, ia takut membayangkan hal-hal yang mungkin nanti terjadi.Hari ini Farel sengaja mengajak Novi untuk menemui kedua orang tua Farel. Awalnya Novi menolak, karena belum siap untuk diejek dan dihina mamanya Farel. Tapi Farel berhasil meyakinkan Novi kalua semua akan baik-baik saja. Farel sendiri sudah bertekad tetap akan menikah dengan Novi meskipun mamanya tidak setuju.Di sepanjang perjalanan, Novi hanya terdiam. Farel yang fokus menyetir melihat ke arah Novi yang sedang melamun."Nggak usah khawatir, ada aku di sampingmu," kata Farel. Tangan kiri Farel berusaha memegang tangan Novi. Farel tersenyum walaupun hatinya deg-degan, tangan Novi terasa sangat dingin."Dingin sekali tanganmu, grogi ya?" ledek Farel.Novi hanya tersenyum samar. Akhirnya sampai juga di rumah ora
"Jadi Novi akan menikah juga ya? Atau mereka sudah menikah? Syukurlah kalau begitu. Berarti Mas Ahmad tidak akan mengharapkan Novi lagi, karena Novi sudah bersuami. Dan hidupku akan damai," kata Indah dalam hati."Tapi aku heran, kenapa Novi begitu baik denganku, sampai ia rela menggendong Salsa? Apakah karena kebaikan Novi ini yang membuatnya begitu sering dipuji oleh seluruh keluarga Mas Ahmad. Sepertinya aku harus mencontoh Novi." Dari tadi Ahmad mengamati Novi, ada kerinduan di hatinya. Rindu akan omelan dan juga masakan Novi yang selalu cocok di lidahnya. "Andai waktu bisa terulang lagi, aku akan selalu menjadi suami yang baik untuk Novi. Tapi, ah sudahlah. Sekarang sepertinya Novi sedang bahagia bersama Farel," kata Ahmad dalam hati dengan pandangan mata masih menatap Novi dan Farel.Seketika Ahmad terkejut karena pandangan matanya bertatapan dengan Indah. Indah tampak tersenyum penuh kemenangan melihat Ahmad yang terlihat sendu menatap Novi. Ahmad segera mengalihkan pandangan
Pagi ini semua sudah bersiap-siap untuk datang ke acara akad nikah Alif. Novi pun sudah menyiapkan hati untuk bertemu dengan Ahmad dan Indah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi disana. Keluar di kamar, semua sudah siap, termasuk Farel yang sudah datang dari tadi. Entah apa yang sedang dibicarakan Farel dengan Pak Budi, mereka tampak serius. Akhirnya Farel selesai juga berbicara dengan Pak Budi."Semua sudah siap kan? Ayo kita berangkat," ajak Farel."Iya, sudah siap kok. Tadi kelamaan nunggu Ibu dandan," celetuk Dina.Farel dan orang tua Novi tersenyum, sedangkan Novi salah tingkah. Akhirnya mereka berangkat menuju ke rumah Alif. Semua tampak ceria, terutama Farel dan Novi, yang sama-sama bahagia dan hatinya berbunga-bunga.Sampai di rumah Alif, acara belum dimulai. Karena penghulu juga baru saja datang. Ia masih meneliti berkas-berkas pernikahan. Acara akad nikah Alif digelar secara sederhana, tidak ada pesta. Hanya keluarga, tetangga dan teman dekat saja yang diundang. Pak Harn
"Mas, kita nggak mungkin bisa bersama. Perbedaan kita terlalu banyak. Aku takut nanti akan menjadi masalah besar. Aku…."Drtt…drtt…Belum selesai Novi berbicara, terdengar ponsel Farel berbunyi. Farel melihat sekilas ke arah ponselnya, tapi hanya mengacuhkan saja. Ia fokus lagi menatap Novi.Drtt…drttDrtt…drtt"Angkatlah panggilan itu, siapa tahu penting," kata Novi."Bukan hal penting kok."Drtt…drttAkhirnya Farel menonaktifkan nada deringnya."Kamu takut dengan Mama? Jangan khawatir, aku akan berusaha melunakkan hati Mama.""Kalau tidak berhasil?""Kita tetap menikah, toh aku juga sudah tidak tinggal di rumah Mama. Kita nanti akan memulai rumah tangga dari awal. Mengontrak rumah, menabung untuk membeli rumah.""Mudah sekali Mas bicara seperti itu. Begitu menjalaninya nanti banyak mengeluh.""Asalkan bersamamu, aku yakin mampu menjalani semuanya.""Gombal!""Aku bukan merayu, tapi memang aku sudah siap lahir batin hidup sederhana.""Mas, semua tak seindah dan semudah yang Mas bayan
Farel segera menggandeng tangan Novi dan mengajaknya mendekati anak-anak lagi. Dada Novi bergemuruh, hatinya berbunga-bunga. Tapi masih saja ada sedikit kekhawatiran."Nggak usah grogi kayak gitu, nanti kamu akan terbiasa dengan gandengan tanganku," ledek Farel, Novi hanya tersipu."Kok Ibu gandengan dengan Om, nggak boleh! Itu omnya adek, bukan omnya Ibu," kata Haikal mendekati Farel dan berusaha melepaskan gandengan tangan mereka.Farel semakin terkekeh melihat Haikal yang merasa cemburu dengan ibunya sendiri."Adek sayang sama Om ya?" tanya Farel."Iya! Om tidur di rumah adek ya, biar bisa ngelonin adek."Deg! Novi kaget mendengar jawaban Haikal."Om juga sayang sama adek, Ibu dan Mbak Dina." Farel menanggapi pertanyaan Haikal."Kalau sayang kok nggak mau tinggal di rumah adek?" Haikal masih penasaran dengan jawaban Farel."Nanti kalau Om sudah punya rumah sendiri, Om akan mengajak adek, Ibu dan Mbak Dina tinggal bersama.""Rumahnya bagus nggak Om?" tanya Haikal dengan antusias."
Novi hanya menatap mereka yang sibuk mencari permainan lain. Hatinya masih terasa sakit dengan sikap Irma. Novi memang sudah biasa dihina dan direndahkan orang, tapi yang dilakukan Irma tadi benar-benar menyakiti hatinya karena dilakukan di depan anak-anaknya. Walaupun sebenarnya Dina dan Haikal belum paham dengan apa yang terjadi, tetap saja Novi merasa dipermalukan.Novi menunduk sambil menghapus air mata yang mulai menetes. Kejadian ini tidak luput dari perhatian Farel. Walaupun ia sedang mendampingi Haikal dan Dina bermain, tapi pandangan matanya tidak lepas dari sosok yang dicintainya itu."Maafkan aku, Novi. Aku janji tidak akan membuatmu menangis lagi," kata Farel dalam hati.Sementara itu, di mobil Pak Dewa sedang terjadi perdebatan. Tentu saja perdebatan antara Pak Dewa dan Irma."Mama nggak boleh bersikap seperti itu? Kayak orang nggak berpendidikan." Pak Dewa mengomel."Enak saja Papa bilang seperti itu! Yang Mama lakukan tadi benar. Mama kecewa dengan Farel! Farel pasti di