"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo.
"Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi. "Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi. "Terima kasih, Pak." Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi. Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang. Kemarin waktu Ahmad memberi Novi uang, sepertinya Ahmad sedang menang berjudi. Uang itu ia gunakan untuk membayar kaplingan. Novi termasuk orang yang sangat teliti dengan penggunaan uang, karena ia merasa susahnya mencari uang. Sehingga ia selalu memanfaatkan uang dengan sebaik-baiknya. "Mbak Novi!" panggil seseorang di luar. "Iya, sebentar," jawab Novi sambil berjalan menuju ke warungnya. Ada Ekta, perempuan cantik yang sedang menggendong bayi. "Mbak beli gula pasir sama kopi," kata Ekta. Novi pun segera mengambil gula dan kopi. "Berapa semuanya, Mbak?" tanya Ekta. Novi menyebutkan sejumlah uang, Ekta pun membayarnya. "Eh, Rafa sudah besar ya? Sudah berapa bulan?" tanya Bu Hardi yang tiba-tiba muncul. "Sebelas bulan, Bude," sahut Ekta. "Sudah besar ya? Ganteng kayak bapaknya." "Ya iyalah, kan laki-laki. Kalau perempuan itu cantik," kata Ekta. "Eh lagi ngumpul disini rupanya. Mbak Novi, mau ikut arisan nggak?" kata Weni yang juga baru muncul di warungnya Novi. "Arisannya berapa, Wen?" tanya Novi. "Sejuta sebulan," sahut Weni. "Waduh, kalau segitu dapat uang dari mana saya?" kata Novi. "Uang warung ini atau uang dari Mas Ahmad kan bisa. Ikut ya Mbak?" rayu Weni. "Saya nggak sanggup, Wen. Kalau hanya sekedar dua ratus ribu, saya mau." Novi menjelaskan pada Weni. "Kalau hanya dua ratus ribu, dapatnya sedikit Mbak. Sudah ada delapan orang yang ikut. Bu Hardi ikut ya?" Weni merayu Bu Hardi. "Arisan saya sudah banyak, takut nanti malah nggak kebayar lagi," kilah Bu Hardi. "Ekta itu lho ditawari," ucap Novi sambil melirik Ekta. Ekta yang dari tadi diam saja menjadi gelagapan. "Mbak Novi saja nggak sanggup, apalagi saya," kata Ekta merendah. "Saya tahu kalau Ekta nggak bakal sanggup, makanya saya tidak menawari Ekta. Dia kan nggak kerja yang kerja hanya suaminya, kasihan kalau harus ikut arisan satu juta. Berapa sih gaji suaminya. Belum lagi bayar hutang. Bisa-bisa nggak makan keluarganya," cibir Weni. Ekta hanya diam saja, Novi yang mendengarkan ocehan Weni menjadi tidak enak sama Ekta. "Nggak boleh ngomong kayak gitu. Kita kan nggak tahu kehidupan mereka." Bu Hardi menengahi. "Dari penampilannya saja kelihatan, kok, Bu. Kalau nggak ada yang mau, ya sudah saya pergi saja," kata Weni sambil melangkah pergi. "Nggak usah dimasukin kehati omongannya Weni, ya? Dia memang seperti itu," kata Novi menenangkan Ekta. "Nggak apa-apa, kok, Mbak. Saya sudah terbiasa dengan sikapnya," jawab Ekta. "Weni itu belum juga bisa move on, kalau istilah anak jaman sekarang. Dia itu cinta mati dengan Ardi suamimu. Kamu harus berhati-hati, bisa saja Weni itu berbuat nekat." Bu Hardi malah ngomporin Ekta. Memang benar yang dikatakan Bu Hardi, Weni itu dulu pacaran dengan Ardi. Entah kenapa akhirnya mereka berpisah, tahu-tahu Ardi menikah dengan Ekta. Dan sampai sekarang Weni belum juga menikah, beberapa laki-laki pernah mendekatinya, tapi ia tetap tidak tertarik. "Saya pulang dulu, ya," pamit Bu Hardi. "Iya, Bu." Novi dan Ekta menjawab serempak. "Kapan lahirannya Mbak?" tanya Ekta. "Masih masuk delapan bulan." "Oh, mudah-mudahan normal ya?" "Iya, inginnya sih normal," jawab Novi. "Semoga nanti Mbak Novi melahirkan secara normal." "Amin. Mertuamu gimana, baik kan sama kamu," kata Novi. "Kadang-kadang Mbak. Kalau dapat hasutan dari Mbak Asih ya suka marah nggak jelas sama saya." "Memangnya Mbak Asih nggak suka sama kamu ya?" "Mbak Asih itu setujunya kalau Mas Ardi menikah sama Weni. Jadi kalau sedang ngumpul-ngumpul, Mbak Asih selalu menyebut nama Weni. Kalau sekarang sih, saya sudah mulai kebal. Dulu di awal menikah, saya sakit hati dan suka menangis." Mata Ekta berkaca-kaca. "Saya dekat dengan Mas Ardi itu saat Mas Ardi sudah putus dengan Weni. Mereka putus karena Weni pacaran dengan orang yang lebih kaya dari Mas Ardi. Ternyata pacarnya itu sudah punya istri. Ya tentu saja istrinya datang melabrak Weni. Tapi Weni selalu bilang kalau saya yang merebut Mas Ardi dengan cara menjelek-jelekkan Weni. Ibu dan Mbak Asih lebih percaya dengan Weni daripada saya." "Kenapa nggak tinggal terpisah dengan mertua?" tanya Novi. "Nggak boleh sama Ibu. Katanya di rumah hanya berdua sepi. Apalagi sejak Rafa lahir, Ibu maunya selalu ada Rafa." "Yang sabar ya. Kita bersikap baik saja belum tentu disukai orang. Apalagi bersikap tidak baik." "Eh ternyata malah ngerumpi disini, katanya ke warung sebentar. Mau ghibahin mertua dan ipar ya?" teriak Asih yang tiba-tiba muncul di hadapan Novi dan Ekta."Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti
"Mas pikir tamu laki-laki itu selingkuhanku, begitu ya? Jadi Mas mencurigaiku?" Novi berkata dengan penuh emosi.Ahmad pura-pura tidak mendengar, malah sibuk dengan ponselnya. "Dina!" Novi pun memanggil Dina."Iya, Bu. Ada apa?" Dina mendekati Novi."Yang tadi datang kesini siapa ya? Yang ngasih uang dua puluh ribu untuk Dina?" tanya Novi. Memang Alif tadi memberi uang dua puluh ribu untuk Dina. Tapi uang yang diberikan pada Novi, tentu saja tidak disebutkan di depan Ahmad. Bisa berbahaya, nanti pasti Ahmad akan meminjamnya. Dengan berbagai alasan, padahal hanya untuk berjudi."Oh, Pakde Alif tadi kesini lho, Yah. Ngasih Dina uang untuk ditabung di sekolah," kata Dina bersemangat bercerita pada ayahnya."O ya?""Iya, terus motor Pakde Alif juga baru, tadi Dina diajak jalan-jalan sebentar." Dina sibuk berceloteh. Novi hanya terdiam, ia sangat kesal dengan Ahmad yang seolah-olah menyudutkannya. "Benar yang Dina katakan itu?" tanya Ahmad."Benar, Ayah. Dina tidak berbohong, kata Bu gu
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma