Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif.
Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak. Bu Wulan menarik nafas panjang. "Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya." "Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera." Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung mau mengomentari apa. Takut salah, malah menjadi bumerang bagi dirinya. "Beruntung sekali kamu, Nov. Usaha di rumah masih bisa tetap mengawasi Dina." "Alhamdulillah, Bu. Terima kasih karena Ibu yang mengusulkan dan memberi modal untuk usaha ini," kata Novi dengan tulus. "Ibu hanya memberi modal, yang menjalankan itu kamu. Kalau kamu tidak pandai mengelola usaha ini, belum tentu bisa maju seperti ini." Mereka pun melanjutkan mengobrol. Bu Wulan merasa sangat cocok jika berbicara dengan Novi. Karena Novi tidak pernah membantah kata-kata mertuanya. Bu Wulan merupakan mertua idaman Novi, begitu juga sebaliknya. *** Hari sudah sore, Novi bersiap-siap untuk mandi. Dari tadi ia sibuk membungkus tepung terigu dalam plastik berukuran seperempat dan setengah kilo. Novi selalu membeli tepung terigu satu karung, baru kemudian dibungkus sendiri oleh Novi. Orang-orang disini senang membeli tepung terigu curah daripada kemasan. Novi berjalan masuk ke ruang keluarga, ia melihat anaknya, Dina, sudah bersih dan wangi. "Dina sudah mandi?" tanya Novi. "Sudah, Bu," jawab Dina yang masih asyik bermain dengan bonekanya. "Tolong jaga warung dulu, ya Nak. Ibu mau mandi." Novi meminta tolong pada Dina. "Iya, Bu. Mandinya jangan lama-lama, ya?" pesan Dina. "Iya," jawab Novi sambil berjalan menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, Ahmad belum juga pulang. "Bu, ada yang beli," panggil Dina. Novi segera ke warung untuk melayani pembeli. Ada Bude Warni yang mau membeli telur. "Sekalian terigu, sarden sama soun," kata Bude Warni. Novi mengambil barang-barang yang disebutkan Bude Warni. "Berapa semuanya," tanya Bude Warni. Novi menyebutkan jumlah uang dan Bude Warni membayarnya. Menjelang Maghrib, ia menutup sebentar warungnya. Biasanya kemudian ia akan membuka lagi warungnya sampai jam sembilan malam. Sampai magrib tadi, Ahmad belum juga pulang. Novi merasa sangat was-was. Selesai makan malam, Novi menelpon Ahmad. "Mas, kok belum pulang? Mas kemana?" tanya Novi. "Ke rumah teman, sebentar lagi pulang." Ahmad menjawab dengan ketus. Ia merasa jengkel karena istrinya menelpon. Kemudian ia menutup telponnya. "Kayak anak kecil saja, kemana-mana dipantau istri, haha," ledek Fadly teman Ahmad. "Itu namanya istri yang perhatian," sahut Edi, yang kemarin habis mendenda Pak Tejo. Tentu saja Edi sekarang punya modal banyak untuk berjudi. "Sudah, nggak usah banyak komentar. Ayo lanjutkan lagi," kata Ahmad dengan bersemangat. Mereka terlarut dalam kegiatan yang mengasyikkan bagi mereka yaitu judi. Tidak mempedulikan istri dan anak-anak yang setia menunggu dirumah. Memang kalau sudah bermain judi, semua jadi lupa diri. Ketika kalah, akan mengajak terus bermain sampai menang. Walaupun belum tentu menang. Selain berjudi mereka juga minum tuak yang ada di warung tempat mereka mangkal. Terkadang ada perempuan penghibur di warung ini. Sampai jam sepuluh, Ahmad belum juga pulang. Beberapa kali Novi mencoba menelpon, tapi ponselnya tidak aktif. Novi sudah menduga kalau Ahmad berjudi bersama teman-temannya. Akhirnya Novi mencoba untuk tidur, walaupun pikirannya melayang kemana-mana. *** Azan subuh berkumandang, Novi terbangun dari tidurnya. Ia melihat ke sampingnya, ternyata Ahmad tidak ada. Berarti Ahmad tidak pulang malam ini. Novi beranjak dari tempat tidur untuk bersiap salat subuh. Dalam setiap doanya, Novi selalu menyelipkan nama suaminya. Semoga selalu dibukakan pintu hatinya untuk menerima hidayah dan mau menjalankan kewajiban sebagai orang muslim. Dan tentu saja mendoakan semoga Ahmad menghentikan kebiasaan berjudi. Novi selalu meneteskan air mata setiap berdoa. Impiannya untuk salat berjamaah bersama suami belum pernah terlaksana. Tapi ia tidak pernah putus untuk berdoa. Selesai salat terdengar suara orang mengetuk pintu. Novi yakin kalau itu adalah Ahmad. Ia pun bergegas membuka pintu. Benar dugaan Novi, Ahmad pulang dengan senyum bahagia. "Apa kabar anak Ayah?" tanya Ahmad sambil mengelus perut Novi. "Kamu mau minta dibelikan apa, Nak? Nanti pergi sama ibumu, ya? Belilah apa yang kamu mau." Kemudian Ahmad berjalan menuju ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya. Novi hanya bisa menghela nafas panjang sambil meneteskan air mata. Novi menyibukkan dengan kegiatannya di dapur untuk menghilangkan kesedihannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Dina sudah berangkat ke sekolah. Novi berusaha membangunkan suaminya. "Mas, bangun. Sudah siang!" Ahmad tidak bergerak sedikitpun. "Mas, bangun." Ahmad hanya menggeliat saja. "Mas, Mas." Ahmad menepis tangan Novi dengan keras. Novi yang tidak siap dengan tangan Ahmad, agak limbung. Untung masih sempat berpegangan pada tepian tempat tidur, sehingga tidak terjatuh. "Kamu mengganggu saja, aku masih ngantuk," teriak Ahmad. "Bangun, Mas. Sudah jam delapan. Mas nggak kerja?" kata Novi dengan suara yang sengaja keras. Ahmad langsung terbangun dan melotot. "Kenapa kamu nggak bangunin aku? Istri tidak berguna!" teriak Ahmad kemudian bergegas menuju ke kamar mandi. Novi hanya terdiam, ia merasa serba salah. Novi kembali lagi ke warung. Menunggu pelanggan sambil merapikan barang-barang yang ada. "Lain kali bangunin aku lebih pagi. Berhubung aku masih senang, kamu aku maafkan. Nih uang untukmu, terserah mau kamu pakai untuk apa," kata Ahmad yang tiba-tiba muncul di warung. Kemudian menyerahkan uang yang cukup banyak pada Novi."Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti
"Mas pikir tamu laki-laki itu selingkuhanku, begitu ya? Jadi Mas mencurigaiku?" Novi berkata dengan penuh emosi.Ahmad pura-pura tidak mendengar, malah sibuk dengan ponselnya. "Dina!" Novi pun memanggil Dina."Iya, Bu. Ada apa?" Dina mendekati Novi."Yang tadi datang kesini siapa ya? Yang ngasih uang dua puluh ribu untuk Dina?" tanya Novi. Memang Alif tadi memberi uang dua puluh ribu untuk Dina. Tapi uang yang diberikan pada Novi, tentu saja tidak disebutkan di depan Ahmad. Bisa berbahaya, nanti pasti Ahmad akan meminjamnya. Dengan berbagai alasan, padahal hanya untuk berjudi."Oh, Pakde Alif tadi kesini lho, Yah. Ngasih Dina uang untuk ditabung di sekolah," kata Dina bersemangat bercerita pada ayahnya."O ya?""Iya, terus motor Pakde Alif juga baru, tadi Dina diajak jalan-jalan sebentar." Dina sibuk berceloteh. Novi hanya terdiam, ia sangat kesal dengan Ahmad yang seolah-olah menyudutkannya. "Benar yang Dina katakan itu?" tanya Ahmad."Benar, Ayah. Dina tidak berbohong, kata Bu gu
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s