Share

Ketika Hati Mulai Lelah
Ketika Hati Mulai Lelah
Penulis: YuRa

Mengambil Uang

"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. 

Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya.

"Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. 

"Besok kapan?" tanya Novi lagi.

"Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi.

"Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga.

"Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.

Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya tinggal sedikit. Padahal tadi ia menghitung uangnya lumayan banyak. Biasanya uang tersebut Novi simpan sebagian, tapi karena tadi sibuk, Novi tidak sempat menyimpannya. Novi menyalahkan dirinya sendiri, kenapa bisa lupa. Berarti Ahmad mengambil uangnya ketika Novi tadi mandi atau ketika ia sedang salat Magrib.

"Ya bayar pakai uang, dong. Masa pakai daun! Pakai dulu uang yang ada." Ahmad masih menjawab dengan ketus.

"Memang uangnya dipakai untuk apa?" tanya Novi lagi.

"Untuk bayar hutang!" Jawaban singkat dari Ahmad membuat kening Novi berkerut. 

"Hutang apa?" tanya Novi dengan nada agak tinggi.

"Kemarin main kalah." jawab Ahmad dengan singkat, padat dan jelas.

"Mas, yang namanya judi itu nggak ada untungnya. Menang baru sekali, kalahnya sepuluh kali," kata Novi memberi pengertian pada Ahmad.

Ahmad memang suka berjudi bersama teman-temannya. Novi sudah sering mengingatkan untuk menghentikan kebiasaan itu. Tapi sepertinya ucapan Novi hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Orang tua Ahmad juga sering mengingatkan, tapi tetap saja Ahmad susah untuk berhenti berjudi. Entahlah sudah berapa banyak uang yang dihabiskan untuk berjudi. Mungkin karena ia tidak merasakan bagaimana susahnya mencari uang, jadi seenaknya saja menghabiskan uang yang ada.

"Cerewet kamu, jangan sok menasehati aku. Jangan mencampuri urusanku." Ucapan Ahmad membuat Novi kaget.

"Mas, aku ini istrimu dan yang Mas ambil itu kan uang warung, aku berhak ikut campur." Novi menjawab dengan pelan.

"Nih uangnya aku kembalikan," kata Ahmad sambil melempar uang ke muka Novi.

Novi kaget, tidak siap memegang uang itu. Akhirnya uang berhamburan ke lantai. Air mata Novi menetes, perlakuan Ahmad membuat Novi merasa sangat terhina. Ingin rasanya Novi melawan suaminya sendiri, tapi karena Novi sedang hamil, Novi berusaha untuk bersabar. Dengan menghela nafas panjang, Novi mengambil uang yang berserakan di lantai. 

Sebenarnya dia sudah sangat lelah dengan sikap Ahmad selama ini. Ingin rasanya ia berpisah dari Ahmad, tapi lagi-lagi alasan klasik yang selalu menghambat langkahnya mengambil keputusan itu. Ia tidak mau anaknya nanti kehilangan kasih sayang dari ayahnya. Lagi pula ia tidak sanggup menyandang status janda.

"Nggak usah cengeng. Kayak gitu aja pake nangis segala. Ingat, kamu buka warung ini kan juga modal dari orang tuaku. Kamu masuk rumah ini hanya membawa badan dan pakaian yang melekat di badan. Ingat itu!" Ahmad berkata lagi.

Novi paling benci kalau Ahmad mengungkit-ungkit itu terus. Memang, modal awal warung ini dari mertua Novi. Tapi kalau Novi tidak mengelola dengan baik, nggak bakalan maju warung ini. Novi menghitung uang yang sudah diambil dari lantai.

"Tapi ini kurang, Mas," kata Novi pada Ahmad.

"Sisanya besok." Ahmad langsung pergi keluar dengan sepeda motornya.

"Mau kemana Mas?" teriak Novi.

"Ngilangin stress. Di rumah cuma dengerin kamu ngomel terus!" teriak Ahmad, kemudian melajukan kendaraannya.

Novi hanya bisa mengelus dada dengan kelakuan Ahmad. Selalu ribut masalah uang. Ahmad merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Berbeda dengan kakaknya, Alif, memiliki usaha bengkel dan toko sparepart motor. Usahanya cukup maju. Ahmad terbiasa hidup manja dan foya-foya, tidak pernah merasakan susahnya mencari uang. 

Novi terlahir dari keluarga sederhana. Ia memiliki satu kakak perempuan yang juga sudah menikah. Lulus SMA Novi bekerja di toko baju, karena Pak Budi, bapaknya Novi, tidak mampu membiayai kuliah.

Keluarga Ahmad merupakan pindahan dari pulau Jawa. Mereka mendapatkan uang ganti rugi, ketika daerah mereka digusur untuk membangun sebuah bandara. Akhirnya mereka merantau ke Sumatera dan membuka usaha disini. 

***

Azan Subuh berkumandang, Novi terbangun dari tidur. Terdengar ada yang membuka pintu depan, pasti Ahmad yang baru pulang dari main judi, pikir Novi. Ahmad memasukkan motor kemudian langsung masuk ke kamar dan tidur. Salat subuh yang selalu terlewatkan.

Novi hanya bisa menghela nafas panjang. Sudah capek ia menasehati Ahmad untuk salat lima waktu. Ahmad memang tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi anak dan istri. Boro-boro jadi imam ketika salat berjamaah, salat lima waktu saja hampir tidak pernah ia kerjakan. 

Selesai salat, Novi sibuk dengan kegiatan di dapur, menyiapkan sarapan untuk Ahmad dan Dina yang berusia lima tahun. Setelah semua beres, Novi mandi kemudian membangunkan Dina.

Jam setengah tujuh pagi warung Novi sudah buka. Kadangkala pagi-pagi ada orang beli gula, kopi atau keperluan lainnya. 

"Bu, Dina berangkat sekolah ya?" kata Dina yang sekolah TK.

"Sudah sarapan belum?" tanya Novi sambil mendekati Dina.

"Sudah Bu!"

"Bekalnya sudah ada di tas ya? Ini uang untuk jajan."

"Terima kasih Bu, Assalamualaikum," pamit Dina, yang kemudian melambaikan tangannya.

"Waalaikumsalam."

Dina berangkat sekolah dengan jalan kaki karena sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah. Ia berangkat bersama teman-temannya. Kadang-kadang ia berangkat naik sepeda. 

Novi mulai menyapu lantai sambil menunggu pembeli yang datang. Tampak Ahmad yang sudah rapi bersiap hendak berangkat kerja.

"Dek, Mas berangkat ya?" pamit Ahmad sambil mengelus perut Novi.

Ahmad memang seperti itu, kalau sedang romantis membuat hati Novi bahagia. Dia lupa kalau tadi malam dia marah-marah. Padahal Novi masih merasa sakit hati, Ahmad sudah lupa.

"Iya Mas, hati-hati," kata Novi pada Ahmad.

"Ya Allah, sampai kapan aku harus seperti ini? Menghadapi suami yang mau menang sendiri. Aku sudah lelah," kata Novi dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status