Di balik senyuman lembut Damayanti Citra dia bersorak. Sudah saatnya Adhinatha duduk di singgasana.Setelah beberapa menit teh itu masuk kelambung Adi Wijaya, racunnya mulai bereaksi.Adi Wijaya terbatuk dan wajahnya sedikit pucat, dadanya juga sedikit sesak..Puspita Sari merasa khawatir, wanita paruh baya itu menepuk-nepuk punggungnya. Dengan sigap dia menyodorkan cawan berisi teh yang tinggal setengah."Bagus! Habiskan racunnya, Romo," batin Damayanti Citra, dia menatap cawan teh dan mengangkat sudut bibirnya. Wanita licik itu berpura-pura khawatir, sebenarnya dia memastikan agar racun itu benar-benar masuk ke dalam tubuh renta Adi Wijaya. Bukankah sudah terlalu lama orang tua itu hidup.Jadi meracuni pria tua itu secara perlahan adalah solusi untuk putranya segera naik tahta."Ohok! Ohok! Aku tidak enak badan," ujar Adi Wijaya lirih. Nafasnya terengah dan pandangannya juga sedikit kabur. Dia merasa semakin hari tubuhnya semakin mudah lelah."Baik, Romo," Damayanti Citra mengangg
Damayanti Citra mengangkat sudut bibirnya, wajahnya mendongak menatap tajam Narendra tanpa mengatakan sepatah katapun. Dahi Narendra mengernyit, di tatap seperti itu dia sedikit takut. Wanita ini tidak pernah marah, apa ini pertama kalinya dia marah? Gadis itu semakin tidak tahu diri, bibirnya mengerucut dan enggan pergi dari ranjang. Dia menutupi tubuhnya yang indah dan muda dengan kain selimut, lalu memanggil Narendra dengan nada yang manja, "Pangeran .." Panggilan gadis itu membuat telinga Damayanti Citra sakit, lebih sakit lagi saat gadis itu melambaikan tangan. Dia menatap jijik dengan tingkah gadis itu. Gadis itu menganggap dirinya terlalu tinggi saat Narendra datang menghampirinya. Dia semakin percaya diri, karena berhasil mendapatkan hati pangeran Harsa Loka. Kali ini kesabaran Damayanti Citra telah habis, saat gadis itu mengangkat kedua tangannya dan berharap di peluk oleh Narendra. Matanya menggelap, dia membaca mantra seketika wanita itu menjelma menjadi seekor u
Mata Darma berdenyut, "Bocah tengik!!" ujarnya. "Kenapa wajahmu sedikit pucat? Kalian begadang dan terus bercinta?" Tanya Darma tanpa malu. Wajah Indrayana memerah dan matanya berkedip-kedip, dia bingung mau jawab apa. Ini percakapan orang dewasa. "Sudahlah ..aku akan kembali ke kamar," Indrayana memilih pergi dari pada mendengar godaan para pamannya. Semua orang tertawa geli melihat salah tingkah Indrayana. Pemuda itu tentu menghindar, diq kari terbirit-birit dengan senyum mengembang. Baladewa mengikuti langkah Indrayana dengan wajah yang datar, "Indrayana ..tunggu, Nak," panggilnya. Indrayana berhenti dan menoleh, "Ada apa, Paman?" Dengan wajah yang serius, Baladewa berkata, "Ikut Paman, ada hal yang akan Paman katakan." Baladewa berjalan menuju kamarnya dan Indrayana mengikutinya. "Tutup pintunya dan duduklah!" perintah Baladewa yang sekarang sudah duduk di kursi. Dahi Indrayana mengerut, dia menjalankan perintah dan duduk berhadapan dengan Pamannya yang terlihat
Candramaya menunduk dan memejamkan mata. Dia mengatur nafasnya dan berusaha mengendalikan perasaannya yang bergejolak. Kali ini tidak boleh lemah ataupun goyah. Candramaya meyakinkan dirinya bahwa dia tidak berhak hidup bahagia dan tentram. Sebelum tujuannya untuk mendapatkan keadilan untuk mendiang orang tuanya berhasil dia wujudkan. Indrayana berpikir hati gadis itu sudah dalam genggamannya. Dan saat melihat Candramaya tersipu malu, hatinya terasa hangat. Pemuda itu menyibak anak rambut yang menghalangi pipi Candramaya yang bersemu merah. Dia berkata dengan lembut, "Kenapa?" Candramaya mendongak, pipinya masih merona tapi tatapannya begitu dingin dan acuh, "Apa lukamu sudah sembuh?" Tanya Candramaya Indrayana merasakan hawa dingin menyelimuti hatinya. Dia hafal tatapan gadis itu dan sekarang dia merasakan firasat buruk. Indrayana menelan salivanya dengan susah payah dan berkata dengan ragu, "Sudah.." "Syukurlah," ujar Candramaya dengan acuh, dia berjalan berlalu melewati
Paginya. Candramaya bangun dan bersiap, gadis itu tidak menggunakan pakaian Indrayana. Rambut hitamnya dia gulung sebagian dan sebagiannya di gerai. Cunduk manik perak yang biasa dia pakai dia tinggalkan di atas nakas. Sebelum pergi, dia menatap wajah Indrayana yang terlelap. Saat tidur wajah pemuda itu seperti bayi terlihat polos dan menawan. "Selamat tinggal Indrayana," batinnya. Gadis keluar kamar tanpa membangunkannya walaupun sekedar untuk berpamitan. Saat pintu tertutup Indrayana membuka matanya, dia menyeringai lalu meregangkan ototnya. Di ruang tamu semua orang berkumpul, Candramaya menghampiri mereka lalu mengucapkan salam perpisahan. "Romo, Candramaya akan pulang. Terima kasih telah mengizinkan Maya tinggal di sini," ujarnya. Kepala gadis itu bersimpuh memberi hormat kepada semua orang. Darma dan Ki Sentot menatap kamar Indrayana, mereka merasa heran karena Indrayana tidak ikut keluar. Ranu Baya meraih pundak menantunya untuk bangun dan berkata, "Hati-hati, Nak. Darma
"Tunggu! Siapa ya mengizinkanmu? Turun!" Teriak Candramaya, gadis itu berkacak pinggang dengan tatapan sinis.Indrayana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan cengengesan. Lalu mengibaskan tangan kirinya, ''Jangan terlalu serius seperti itu, perselisihan sepasang suami istri memang hal biasa," ujarnya."Siapa yang peduli," ujar Candramaya dengan nada dingin.Indrayana menelan salivanya dengan susah payah, dia turun dari kuda. Kali ini dia harus bersikap baik dan membujuknya, "Baiklah, aku mengalah. Kita hanya teman, kamu puas? Ayo lanjutkan perjalanan. Matahari sudah ada di atas kepala, jangan sampai kita bermalam di hutan."Tentu saja gadis itu tidak akan membiarkan pemuda manja itu ikut, "Siapa bilang aku setuju." Indrayana merengek, dia menghentak-hentakan kedua kakinya di atas tanah dan berteriak, "Hais! Gadis ini benar-benar!"Candramaya memijit pelipisnya dan berkata, "Kamu pulanglah ..jangan buat mereka semua khawatir."Pemuda itu tidak menyerah, dia bersikeras dan berkata,
Guratan wajah Indrayana terlihat jelas, tatapannya tajam saat pemuda asing yang sedang memeluk istrinya terlihat jelas sedang pamer. Darahnya tentu mendidih saat orang itu mengelus kepala Candramaya dan menciumnya. Candramaya berusaha keras melepaskan pelukan kakaknya. Tapi pemuda itu semakin erat menekan tubuh kecilnya. Dengan terang-terangan Danumaya menabuh genderang perang. Untuk pemuda yang sok jagoan seperti Indrayana, dia pasti akan menerima segala tantangan. Dua pemuda itu saling bertatapan, seperti ada dua kobaran api yang siap saling menghantam. Melihat ketegangan antara Danumaya dan Indrayana, Wirata berkata, "Jangan memperlakukan adikmu seperti itu Danu, orang lain bisa salah paham." Mendengar ucapan Wirata, sudut bibir Indrayana terangkat, dia tersenyum mencibir. Danumaya berdecak kesal dan melepaskan pelukannya, "Aki ..aku tidak bermaksud seperti itu." Danumaya harus selalu di ingatkan akan posisi dan takdirnya. Wirata tertawa dan menarik pergelangan Can
Indrayana hanya pasrah, dia mengikuti kemana gadis itu pergi. Mereka kini berada di belakang halaman rumah. Karena rumah Wirata paling ujung, jadi area sekitar hanya ada pohon-pohon pinus. Mereka kini berhadapan. "Kenapa kamu berbohong mengenai tempat tinggalmu?" Tanya Candramaya dengan tatapan menyelidik. Tubuh tinggi Indrayana menyender pada dinding pagar. Dia terlihat malas namun tetap terlihat tampan, "Aku punya alasan." Dahi gadis itu mengerut, "Apa alasannnya?" "Saat kamu memilih untuk menutupi hubungan kita pasti karena sebuah alasankan. Begitu juga denganku," ujar Indrayana dengan malas. Pemuda itu menguap dan sesekali menggaruk lehernya. "Itu karena aku belum siap," ujar Candramaya dengan suara terbata-bata dan bulu matanya berkibar. Pemuda itu hanya tersenyum, saat mata gadis itu berkelip-kelip seperti bintang. Saat pemuda itu bersikap tenang, dia terlihat dewasa dan semakin mempesona. Membuat jantung Candramaya semakin berdebar-debar. "Kenapa dia bersik