Indrayana hanya pasrah, dia mengikuti kemana gadis itu pergi. Mereka kini berada di belakang halaman rumah. Karena rumah Wirata paling ujung, jadi area sekitar hanya ada pohon-pohon pinus. Mereka kini berhadapan. "Kenapa kamu berbohong mengenai tempat tinggalmu?" Tanya Candramaya dengan tatapan menyelidik. Tubuh tinggi Indrayana menyender pada dinding pagar. Dia terlihat malas namun tetap terlihat tampan, "Aku punya alasan." Dahi gadis itu mengerut, "Apa alasannnya?" "Saat kamu memilih untuk menutupi hubungan kita pasti karena sebuah alasankan. Begitu juga denganku," ujar Indrayana dengan malas. Pemuda itu menguap dan sesekali menggaruk lehernya. "Itu karena aku belum siap," ujar Candramaya dengan suara terbata-bata dan bulu matanya berkibar. Pemuda itu hanya tersenyum, saat mata gadis itu berkelip-kelip seperti bintang. Saat pemuda itu bersikap tenang, dia terlihat dewasa dan semakin mempesona. Membuat jantung Candramaya semakin berdebar-debar. "Kenapa dia bersik
Indrayana duduk dengan Candramaya mereka berhadapan dengan Wirata. Wirata menyodorkan buku lusuh itu ke hadapan Indrayana, "Ini milikmu sekarang," ujarnya. Dahi pemuda itu berkerut, "Milikku? Aku tidak mengerti Aki," ujarnya penuh keheranan. Wirata menghela nafas dan berkata, "Bacalah kitab itu, leluhur istriku yang menulisnya." "Aki? Seharusnya kitab itu milikku?" Protes Candramaya. Dia merebut buku itu dan membukanya satu persatu, seketika matanya melotot. Wirata mencibir, "Apa yang kamu baca?" Dengan wajah masam Candramaya berkata, "Aki bercanda? Ini hanya buku kosong," ujarnya. Wirata tertawa, "Dasar bocah nakal." "Ini aku kembalikan kepadamu," dengan marah Candramaya melempar kitab itu ke hadapan Indrayana. Pemuda itu membukanya, dia memiringkan kepalanya dengan wajah bingung lalu melihat gadis itu. "Begitu banyak tulisan, aku sampai pusing melihatnya," ujarnya sambil menggaruk kepalanya. Wirata menghela nafas dan menegur sikap cucubya. "Indrayana itu suamimu,
Candramaya memutar bola matanya dengan jengah, "Kamu tidak punya rasa malu?" Ujarnya. "Tidak!" Kelakar Indrayana terdengar renyah, dia begitu ke girangan seperi anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Mungkin karena mulai sekarang, sekejam apapun Candramaya memperlakukannya, dia tetap akan menjadi miliknya dan tidak akan ada yang bisa merebut posisinya di hidup Candramaya. Candramaya cemberut, dua tangannya terlipat. Ingin rasanya dia merobek mulut pemuda itu. Indrayana terus saja mengganggu gadis itu dengan celotehannya. Sedangkan Candramaya hanya bergeming sambil memijit pelipisnya yang pening. Melihat tingkah kedua sejoli itu, sebuah senyuman menghiasi wajah keriput Wirata. Gadis sedingin itu harus terjebak dengan pemuda yang kekanak-kanakan dan manja. Tapi bagi Wirata, pemuda itu tak sesederhana yang dia tampilkan. Wirata mengamati wajah pemuda itu, garis wajahnya tegas dengan mata yang tajam. Walaupun suka bersikap konyol tapi tidak bisa menghilangkan aura kebang
Candramaya termenung sejenak lalu berbalik badan dan menatap mata Indrayana yang penuh dengan cinta. Hatinya merasa hangat, "Terima kasih, kang mas," ujarnya lirih. Hati Indrayana berdesir, dia mendengar hal yang ingin dia dengar. Indrayana mencium bibir ranum Candramaya dengan singkat. Cup! Wajah gadis itu memerah, dia memeluk tubuh tinggi Indrayana. Dia harus berhenti menolak ke hadirannya, mungkin ini sudah takdirnya. Saatnya fokus pada tujuan hidupnya. Indrayana semakin erat memeluknya, "Kalau begitu mulai sekarang Istriku akan belajar ilmu kanuragan, agar kamu bisa membela diri. Aku akan mengajari beberapa jurus." Candramaya hanya mengangguk, "Baiklah," ujarnya lirih. Gadis itu menenggelamkan wajahnya ke dalam dada bidang suaminya. dengan wajah yang menunduk dan pipi yang memerah. "Aku sudah mengunci pintu dan memagarinya dengan pagar gaib," ujar Indrayana. Dia terbawa suasana jadi menginginkan hal lebih dari ini. Wajah Candramaya mendongak, dahinya berkerut dan bertanya,
Candramaya merapikan pakaiannya, mereka keluar bersama. Gadis itu terkejut saat membuka pintu, dia melihat sosok yang dia kenal, "Paman!" Wismaya tersenyum, namun senyumnya hilang saat gadis itu keluar dengan seorang pemuda. Melihat Candramaya keluar bersama Indrayana membuat darah Danumaya mendidih. Dahi Wismaya berkerut, "Apa yang kalian lakukan di dalam kamar?" Melihat Candramaya merapikan penampilannya, Danumaya rasanya ingin pingsan, wajahnya pucat dan perasaannya berkecambuk. Apakah mereka telah bermesraan di dalam kamar? Candramaya memutuskan untuk berkata jujur, tanpa ragu dia mengatakan kebenarannya, "Kami sudah menikah, Paman." Seperti petir yang menyambar tubuhnya, Danumaya mendadak lemas. Gigi Danamuya berkertak, dua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, "Apa maksudmu? Jangan bercanda, Adik!" Teriaknya. Candramaya menunduk dia menggenggam tangan Indrayana dan bersembunyi di belakang tubuh tinggi suaminya. Dengan lirih dia berkata, "Maaf Kakang ..tapi aku bersungguh-
Pertarungan itu berlangsung.Siang yang terik itu berubah menjadi kelam, langit menghitam dan angin berhembus kencang. Daun-daun kering bertebrangan, tubuh Indrayana memancarkan cahaya kekuningan. Wajahnya terlihat tenang dan penuh kewaspadaan.Dia hanya menggunakan tangan kosong, namun dapat menangkis serangan Danumaya dengan lincah. Pertarungan berlangsung seimbang.Saat Candramaya berusaha melerai, Wismaya mencekal pergelangan tangannya, "Paman ingin lihat, apa dia cukup hebat untuk bisa melindungimu."Candramaya semakin gusar, dia takut pemuda itu terluka.Wismaya mengamati pemuda itu. Selain wajahnya mirip dengan orang yang dia kenal, jurus-jurusnya juga sama persis. Dan paling membuatnya curiga adalah tali lusuh yang melingkar di pinggangnya. Dahinya berkerut, "Apa dia putra Arya Balaaditya?" Batinnya.Wismaya dan Arya Balaaditya adalah teman seperguruan. Walaupun mereka tidak dekat tapi mereka mempunyai hubungan yang cukup baik. Itulah alasan mengapa dia masih ragu jika Arya B
Halaman rumah Wirata yang asri dan rimbun kini porak-poranda. Candramaya tertegun dan linglung, dia bahkan tidak bisa berdiri dengan benar, kakinya lemas dan tubuhnya bergetar. Bulu matanya terkulai dan bulir bening jatuh dari sudut matanya yang memerah. Jantungnya bergemuruh hebat, gadis itu takut kehilangan salah satu dari mereka. Wirata berdiri dan berjalan di bantu tongkatnya, "Candramaya! Hentikan suamimu cepat!" Teriak Wirata. Dia juga merasakan situasinya sudah tidak terkendali. Di depan sana, ada pertarungan yang begitu sengit, salah satu dari mereka pasti akan ada yang tumbang. Candramaya melangkahkan kakinya yang gontai, dia berteriak dengan suara yang bergetar, "Indrayana! Hentikan!" "Tidak bisa! Salah satu dari kami harus ada yang lenyap," ujarnya dingin. Dia benar-benar seperti kerasukan. Indrayana bahkan tidak segan memukul lambung Wismaya dengan tenaga dalam hingga dia tersungkur menyedihkan. "Romo!" Danumaya berteriak, baru kali ini dia merasa takut mati. "Ka
Wismaya memukul kepala putranya yang sedang melamun. Plak! "Ayo pulang!" Ujar Wismaya dengan nada tinggi. "Baiklah!" Danumaya berjalan lebih dulu. Dia benar-benar kesal. Indrayana mengangkat sudut bibirnya, "Sekarang kamu tahu posisimu kan Danumaya!" Batinnya. Candramaya mendengar kegaduhan di luar pintu, jadi dia berniat bangun. Namun Indrayana dengan cepat menghalanginya dengan menindih tubuh gadis itu dan mengungkunginya. Dia melumat bibir gadis itu dan memegangi kedua tangannya. Mata Candramaya melotot, dia terkejut dengan serangan dadakan pemuda itu. Karena kesal Candramaya menggigit bibirnya, "Ada apa denganmu?" Indrayana merengek, "Sakit!" Ujarnya sambil menyentuh bibirnya yang terluka "Rasakan!" Ujar Candramaya. Dia mengabaikan Indrayana dan memilih turun untuk menemui Pamannya. Klekkk! "Kalian mau kemana?" Tanya Candramaya, wajahnya masih terlihat pucat. Mendengar suara merdu Candramaya, Danumaya segera menoleh. Pemuda itu lari mendekatinya dan bertanya dengan
Sudut bibir Kumala berdarah, kedua tangannya terus saja memberontak tanpa memperdulikan resikonya. Dia bahkan menangis histeris karena rasa sakit yang luar biasa. Saat pinggul Narendra terus menghujami miliknya.Pria kejam tak punya empati seperti Narendra tidak akan terpengaruh. Sekalipun Kumala menangis darah, hatinya tidak akan tergerak. Yang dia pikirkan hanya kesenangannya saja, "Diam!!" eramnya."Hiks! Hentikan Pangeran! Hiks!" gadis itu berteriak-teriak sampai suaranya serak, dia berharap belas kasihan pangeran Harsa Loka itu."Tolong! Tolong!" Kumala kembali berteriak meminta tolong, namun tidak ada siapapun yang datang menolongnya.Narendra hanya menyeringai, lalu melumat bibir gadis itu agar diam. Tubuh Kumala semakin menegang dan terasa panas.Semakin mangsanya memberontak, semakin Narendra merasa tertantang dan hilang akal. Pria itu memegang kedua tangan gadis itu dengan kuat. Dan pinggulnya terus bergerak, darah kesucian itu mengalir seiring tangisan pilu gadis itu. Naren
Kumala terlentang secara menyedihkan di atas ranjang, tubuhnya kaku dan gemetar hebat. Nafasnya naik turun tidak beraturan. Saat menyadari ajalnya sudah dekat. Dia tidak ingin nasibnya sama seperti gadis lain, mati setelah di hisap madunya."Tu-tunggu," ujar Kumala dengan gagap, lidahnya mendadak kelu seiring punggungnya yang terasa panas dan tegang.Pangeran Narendra yang telah kesetanan, hanya menyeringai. Dia tidak perduli dengan gadis yang sedang ketakutan dan memilih untuk melepaskan mahkotanya, lalu perhiasan yang dia kenakan juga. Namun matanya penuh dengan hawa nafsu tidak lepas dari mangsanya.Semakin mangsanya ketakutan maka akan semakin menantang."Tubuhmu sangat indah," suara deep Narendra mengalun. Kumala menelan salivanya dan merinding, dia meremas kedua tangannya, wajahnya pucat dan matanya mulai berair. Dia menyakinkan dirinya dan berusaha berpikir dengan cepat. Dia harus lepas dari tragedi ini, jika tidak hidupnya akan hancur dan berantakan."Ja-jangan!" gadis itu me
Bima Reksa tidak mengucapkan sepatah katapun, dia melengos dan pergi menaiki kudanya. Tentu membuat Kumala semakin bingung. Akhirnya Kumala mengambil salah satu kuda yang berjejer terikat di pohon. Dia sekilas melirik kereta kencana yang kemarin mengantarnya dengan perasaan sedih. Baru saja dia merasakan kemewahan dan sekarang dia sudah tidak punya harapan lagi. Di tepi pantai ada Ki Sentot dan Darma yang berjaga di tempat itu. Mereka tampak acuh dan dingin seolah-olah tidak perduli dengan keberadaan Kumala. Mereka hanya sibuk membakar ikan dan saling berbincang ringan. Kumala juga tidak menyapa, dia memilih mengikuti kakeknya yang terlihat marah. "Pulang! Jangan sampai Aki bersikap kasar padamu," ancam Bima Reksa tanpa menoleh sedikit pun. Kumala menghela nafas dalam-dalam dan naik ke atas kuda dengan patuh, dia bergumam, "Untuk saat ini aku patuh, Aki!" Mereka berdua melakukan perjalanan menuju desa Kuningan. Menembus gelapnya malam dan rimbunnya pepohonan. Hanya menga
"Huaaa!!!" Kumala jatuh terjerembab di dalam perahu dengan menyedihkan. Perahu yang Kumala naiki juga bergoyang-goyang di atas air. Kumala segera bangun dan menyesuaikan duduknya agar perahu bisa seimbang. Dia memegangi dua sisi perahu dan berteriak marah, "Jangan keterlaluan! Kamu ingin aku tenggelam!" Danumaya tertawa sinis sambil melempar dayung ke arah Kumala, "Cepat pergi!" Mata Kumala seketika melotot dan giginya berkertak, "Awas kamu!" "Jika lain kali kamu mendapatkan kesulitan. Aku tidak akan pernah menolongmu lagi," ujar Danumaya dengan sinis. Dia tidak seharusnya menyesal karena telah menolong seseorang. Hanya saja orang yang dia tolong ternyata orang yang tidak tahu diri. Kumala membuang muka lalu berbalik badan, sejenak dia merenung. Gadis itu menggenggam dayung kayu itu dengan erat. Dia harus melawan rasa takut yang dia rasakan. Jarak antara pulau Wijaya Kusuma dan pulau Jawa memang tidak terlalu jauh. Hanya saja dua pulau itu di pisahkan oleh sebuah lautan. Jad
Wanita lemah lembut itu menatap ke arah Kumala yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang, matanya berkilat dengan amarah. "Pantas putraku tidak menyukaimu! Selain kasar, kamu juga tidak tahu malu. Bagaimana bisa kamu berteriak dan mengumpat di depan orang tua. Apa kamu tidak tahu adab dan sopan santun?"Kumala merasa malu, pipinya memerah dan wajahnya tertunduk. Dia kembali duduk dan berkata lirih tanpa berani menatap mata Asri Kemuning, "Maaf, Tuan Putri."Suasana menjadi hening, semua orang tertunduk dan kembali melanjutkan makannya. Berbeda dengan Candramaya yang terang-terangan menatap wajah Ibu Mertuanya. Dia merasa kagum terhadap wanita yang begitu lembut namun sangat tegas.Dia jadi teringat dengan ibunya, mereka sangat mirip.Merasa sedang diamati, Asri Kemuning ikut menatap Candramaya. Mereka saling memandang untuk beberapa detik. Hingga tatapan itu berubah menjadi tatapan canggung. Wajah Candramaya yang dingin melembut, dia tersenyum tipis. Asri Kemuning juga ikut tersen
Kesedihan meliputi semua orang, gadis ceria seperti Cempaka sekarang hancur karena kematian orang yang dia Cintai. Cempaka terus menangis di atas jasad Saka, cinta pertama dan mungkin cinta terakhirnya.Sebuah tangan terulur dan menyentuh pundak Cempaka yang bergetar, "Lepaskan dia, biarkan dia beristirahat dengan tenang."Cempaka mendongak dan membiarkan Indrayana dan Baladewa mengangkat jasad Saka. Cempaka memeluk tubuh Candramaya dan menangis di pelukannya."Menangislah Cempaka! Itu akan membuatmu semakin lebih baik," ucap Candramaya dengan penuh kasih sayang."Terima kasih, Adik," ujar Cempaka dengan suara parau.Memang benar kata pepatah, 'Hanya wanita yang bisa mengerti wanita.'Asri Kemuning sangat tersentuh, dia tidak menyangka gadis dengan wajah dingin itu sangat begitu lembut dan dewasa. "Mungkin ini alasan Indrayana berselingkuh dengannya. Tapi alangkah baiknya jika aku memastikannya lebih dulu," batinnya.Setelah semua mayat di kebumikan termasuk Saka. Cempaka berdiri di
"Sebentar Romo," Candramaya berlari dan mengambil air dalam sebuah kendi besar. Ada gayung yang terbuat dari cangkang kelapa. "Ini Romo, basuh mata Romo," ujar Candramaya.Arya Balaaditya membasuh matanya, perlahan matanya terasa lebih baik dan pandangannya kembali membaik."Siapa gadis itu?" tanya Asri Kemuning. Dia tersenyum melihat perlakuan manis gadis itu. Dia kira gadis itu sangat kejam, terlihat dari wajahnya yang dingin dan galak. Apalagi saat gadis itu membunuh satu persatu para pemanah dengan keji dan sadis. Seperti pembunuh berdarah dingin.Asri Kemuning mulai semakin meragukan kata-kata Kumala.Indrayana sedang bertarung dengan Saka. Dia menyerang dengan membabi buta, Marah karena orang itu berani melukai ayahnya.Kumala semakin terdesak, dia kira Candramaya tidak ikut. Dengan begitu dia bisa membujuk Asri Kemuning untuk membujuk Putra dan suaminya.Beraninya Paman melukai Romoku!" teriak Indrayana dengan marah. Karena dia mulai kewalahan jadi Indrayana menarik cemetinya.
"Kang Mas!!" Asri Kemuning bangkit. Rasa lega dan bahagia bercampur membuatnya semakin terharu. Air mata kebahagian mengalir dari matanya yang indah. Dia hendak pergi menuju sumber suara, namun sayang Saka menghalanginya. Wajah pria itu terlihat semakin dingin, dia bahkan memberi isyarat agar Asri Kemuning kembali duduk dengan tenang.Suara riuh itu semakin kencang dan semakin mendekat. Mata Asri Kemuning semakin liar, bergerak-gerak mencari sosok yang dia kenal.Tangan Kumala bergetar, dia sedikit panik kalau kebohongannya akan terbongkar. Tapi dalam sekejab dia berusaha mengendalikan emosinya dan bersikap wajar. Asalkan mendapatkan dukungan Ibu dan Kakek Indrayana, pemuda itu pasti akan patuh.Arya Baladitya dan pasukannya yang dipimpin oleh Baladewa telah sampai di pulau Wijaya Kusuma. Indrayana, Candramaya, Cempaka dan Danumaya juga ikut bersama mereka.Perasaan Arya Balaaditya berkecambuk. Kerinduannya semakin besar dan tak terkendali lagi. Rasa ingin bertemu semakin menggebu-geb
Saat pintu terbuka mata Saka terbelaklak, dia tercengang bukan main. Bukan karena terpesona melainkan kaget dengan dandanan Kumala yang begitu mewah dan terkesan norak. Dia memakai kain sutra terbaik dan rambutnya terlihat begitu berat dan ramai dengan banyak hiasan yang terbuat dari emas. Begitu juga dengan riasannya yang begitu tebal. Dan perhiasan emas yang dia kenakan."Apa gadis ini benar-benar waras," batin Saka. Pria yang biasa selalu acuh dengan sekitar dan sibuk dengan dunianya kini teralihkan.Pemandangan itu benar-benar membuat matanya sakit."Aku sudah selesai," ujar Kumala, dia mengangkat dagunya dan berjalan lebih dulu.Ketakutan Saka saat ini bukanlah pertempuran yang mengancam hidupnya. Dia lebih takut jika perahu yang nanti mereka tumpangi terbalik dan Kumala akan tenggelam ke dasar laut akibat tubuhnya yang terlalu berat karna emas-emas yang dia kenakan.Saka naik ke atas kuda, sedangkan Kumala hanya berdiri dengan wajah masam. Gadis itu mulai bertingkah, " Apakah k