“Serius amat. Lo ngapain, Ry?”Refleks, Audry mengangkat muka dan menutup laptopnya begitu mendengar suara seseorang yang terdengar begitu jelas dan dekat.“Hei, Rid …” Audry menyapa dan tersenyum canggung pada Inggrid yang tiba-tiba datang.“Hei …” Inggrid memajukan tubuhnya ke arah Audry, lalu seperti kebiasaan mereka selama ini kedua sahabat itu saling beradu pipi. “Lo lagi ngapain tadi, Ry?” Inggrid menatap curiga. Tadi saat dirinya datang, Audry dengan kilat melipat laptopnya.“Lagi baca berita, terus baterainya habis,” jawab Audry beralasan. Semoga saja Inggrid tidak menyadari kegugupannya.“Oh.”Pelayan kafe yang megantar minuman untuk Inggrid menghentikan percakapan mereka sesaat.Selagi Inggrid menyesap teh vanilanya, Audry juga mengaduk-aduk minumannya tanpa selera. Kenapa begitu berat untuk melupakan Dypta?Dypta ada di mana-mana meski raganya tidak lagi berada di sini. Bahkan wajah laki-laki itu juga membayang di tengah-tengah matcha latte-nya.“Lo kenapa sih, Ry? Apa yan
Audry tersenyum setelah penuturan panjang lebarnya mengenai Dypta. Sedangkan di hadapannya Inggrid memutar-mutar cangkir yang telah kosong.“Well, next lo mau ngapain?” tuntut Inggrid menatapnya.Audry menunduk sambil memandangi minumannya yang masih tersisa setengah cangkir. Audry juga tidak tahu harus bagaimana.”Ini cerita lo ada kelanjutannya nggak?” tanya Inggrid lagi.Audry mengangkat muka, menatap pada Inggrid. “Ada,” jawabnya.”Gimana?”Audry membuang napas ketika kembali ingat penegasan Dypta kemarin malam. ‘Ry, aku bisa meniduri perempuan mana pun, nggak hanya kamu. Dan nggak perlu ada cinta buat ngelakuin itu semua.’Semua rasa bahagia yang sejak tadi mengisi hati Audry dengan penuh, pelan tapi pasti mulai berkurang.“Audry, gue tahu pasti masih ada yang bakal lo ceritain. Ayo, Ry, lo nggak usah ragu, cerita sama gue semua.” Ingrid terus mendesak melihat kebimbangan Audry.Ya sudahlah. Audry pikir sudah terlanjur basah, jadi lebih baik Inggrid tahu semuanya kan?“Lo tahu n
“Apa gue lapor polisi aja ya?”Terdengar tawa Inggrid di seberang sana setelah Audry menanyakannya. “Lo ada-ada aja. Lo pikir mereka kurang kerjaan sampai ngurusin pengaduan yang nggak jelas gitu,” cecar Inggrid. “Kerjaan mereka tuh banyak, Ry. Nggak bakal lah laporan ngadi-ngadi lo diproses. Jadi daripada lo buang-buang waktu mending lo lupain niat gaje lo itu. Lo nggak bakal dilayanin. Percaya deh sama gue.”“Rid, tapi ini udah keterlaluan. Gue nggak bisa dihina kayak gini.”“Ya udahlah ya, Ry, nggak usah lo masukin ke hati. Kali aja itu memang salah kirim dan kebetulan nama kalian sama,” ucap Inggrid ingin menyudahi obrolan dan bukannya memberikan solusi seperti yang diinginkan Audry.“Ya udahlah,” jawab Audry lesu. Lagian Inggrid saat ini juga sedang berada di jalan.“Sorry ya, Ry,” ucap Inggrid mendengar nada rendah dalam suara Audry.”Nggak apa-apa, hati-hati, Rid.”Audry menutup panggilan dengan lemas, kemudian kembali membuka aplikasi perpesanan instan. Hatinya sakit membaca
Dypta memandang pintu lift yang tertutup rapat di hadapannya bersama dengan embusan napas berat yang meluncur begitu saja.Dengan tidak sabar ia menunggu lift kembali yang akan membawanya turun.Begitu lift berhenti di depannya, Dypta segera masuk. Ia harap semoga saja Audry belum jauh dan masih berada di sekitar apartemennya.Lift bergerak turun terasa begitu lamban. Seakan mengangkat berton-ton beban di dalamnya. Tapi tentu saja itu hanya perasaan Dypta lantaran terdorong oleh pikirannya untuk mengejar Audry.Begitu lift tiba di lantai dasar, Dypta bergegas keluar. Ia berlari menuju area parkir apartemen. Namun terlambat, mobil Audry baru saja melintas di depannya dengan kecepatan tinggi.Dypta berteriak memanggil nama Audry, tapi tentu saja tidak akan terdengar.Sementara Audry sudah membelah jalan raya. Tadi ia masih sempat melihat melalui spion Dypta mengejarnya. Dari gerakan mulut laki-laki itu Audry tahu jika Dypta sedang berteriak. Mungkin sedang memanggil namanya.Tapi Audry
Dypta menambah tekanan pada pegal gas mobilnya. Ia menyetir nyaris dengan kecepatan maksimal. Telepon dari Audry membuatnya harus meninggalkan sejenak kenyamanannya. Tadi Dypta sedang ngantuk-ngantuknya dan hampir saja tertidur ketika mendapat panggilan dari Audry.Audry yang merintih membuat Dypta cemas. Sesakit apa sih dia?Tadi saat pulang dari apartemennya Audry terlihat baik-baik saja.“Woy, anjeeng!” Sebuah teriakan dari seorang pengendara motor terdengar ketika Dypta menyalip dari kiri dan hampir menyenggolnya.Mungkin lain kali jika bertemu dengan orang itu ia harus meminta maaf. Menyetir dengan ugal-ugalan bukanlah kebiasaannya. Tapi harus ia lakukan demi mengejar waktu agar segera tiba di rumah Audry. Jujur saja, rasa khawatir menjalarinya. Jangan sampai sesuatu yang buruk menimpa Audry.Dypta keluar dari mobil secepat kilat ketika tiba di sana. Ia memacu langkahnya masuk ke dalam rumah dan melihat Audry duduk sambil meringis di sofa ditemani oleh pembantu.”Ry, kamu kenapa?
Pulang dari rumah sakit, Dypta menyetir pelan. Berkali-kali ia menguap menahan kantuk yang terus mendera. Seharusnya ini adalah jam tidurnya. Tapi terpaksa dikorbankannya lantaran harus mengantar Audry ke rumah sakit. Dypta menyalakan pemutar musik untuk menemani dan menghalau sepi. Ia ikut bersenandung mengikuti Adam Levine.So I cross my heart, and I hope to dieThat I'll only stay with you one more nightAnd I know, I said it a million timesBut I'll only stay with you one more nightTiba-tiba suaranya memelan ketika ingat Audry tadi. Audry hamil. Di rahimnya saat ini ada janin yang sedang tumbuh. Apakah artinya itu anaknya?Dypta menggelengkan kepala. Menolak pikiran yang sempat terbersit di benaknya. Selama ini setiap kali berhubungan dengan Audry ia selalu memakai pengaman meski beberapa kali sempat tidak memasangnya. Tapi hanya beberapa kali Dypta pikir tidak akan menghasilkan apa-apa. Tidak akan membuat Audry jadi hamil. Lagian, Audry kan serumah dengan Jeff, bukan dirinya.
Dypta yang pada awalnya membuang muka terpaksa membalas sapaan yang ditujukan padanya.“Iya,” jawabnya singkat, lalu kembali menunduk melanjutkan makan siang.”Boleh ikut gabung bareng kalian?”Pertanyaan itu mau tak mau membuat Dypta mengangkat kepalanya dan menatap Inggrid si pengganggu dengan tatapan tidak suka. Entah bagaimana caranya, namun belakangan ini Inggrid sering muncul di mana-mana, di manapun Dypta berada. Termasuk di restoran ini.”Boleh kan, Dyp?” Inggrid meminta persetujuan.“Boleh dong, Mbak. Masa nggak boleh.” Ello lebih dulu menjawab sebelum Dypta sempat berkata.Dypta berdecak di dalam hati.“Silakan duduk, Mbak,” ucap Ello lagi dengan ramah.“Makasih.” Inggrid tersenyum manis lalu duduk di kursi yang ditunjuk Ello. “Panggil aja Inggrid, jangan Mbak, saya masih muda kok.”“Okay, Inggrid. Aku Ello dan ini Ryver.” Sang DJ mengenalkan diri.“Hei, senang bisa kenal sama kalian.” Setelah tersenyum pada Ello, Inggrid ikut menyapa Ryver yang terlihat paling cuek di antar
Mungkin satu-satunya hal yang paling disyukuri Audry saat ini adalah kehamilannya.Setelah tahu dirinya berbadan dua, Jeff menjadi berubah. Meski bukan perubahan yang total. Tapi setidaknya Jeff menjadi lebih perhatian dan tidak lagi sekasar biasanya.Audry ingat, dulu saat mengandung Tania Jeff juga berubah menjadi lebih perhatian serta sedikit lebih baik meski tidak bisa dikatakan lembut. Namun setidaknya laki-laki itu belum benar-benar gila. Ia masih memiliki kewarasan. Namun, setelah Tania lahir, tak lama kemudian Jeff kembali pada tabiat lamanya. Kasar dan tidak terlalu memedulikan Audry. Ia hanya membutuhkan Audry untuk melampiaskan hasratnya.“Pi, kalau mau pulang, pulang aja, kan sudah ada perawat yang menjagaku di sini.”Saat ini Audry memang masih berada di rumah sakit. Meski kondisinya sudah berangsur membaik, akan tetapi dokter belum mengizinkannya pulang dan meminta untuk menunggu satu hari lagi.”Tapi aku tidak mungkin meninggalkanmu sendiri di sini,” jawab Jeff ingin t