Dypta memandang pintu lift yang tertutup rapat di hadapannya bersama dengan embusan napas berat yang meluncur begitu saja.Dengan tidak sabar ia menunggu lift kembali yang akan membawanya turun.Begitu lift berhenti di depannya, Dypta segera masuk. Ia harap semoga saja Audry belum jauh dan masih berada di sekitar apartemennya.Lift bergerak turun terasa begitu lamban. Seakan mengangkat berton-ton beban di dalamnya. Tapi tentu saja itu hanya perasaan Dypta lantaran terdorong oleh pikirannya untuk mengejar Audry.Begitu lift tiba di lantai dasar, Dypta bergegas keluar. Ia berlari menuju area parkir apartemen. Namun terlambat, mobil Audry baru saja melintas di depannya dengan kecepatan tinggi.Dypta berteriak memanggil nama Audry, tapi tentu saja tidak akan terdengar.Sementara Audry sudah membelah jalan raya. Tadi ia masih sempat melihat melalui spion Dypta mengejarnya. Dari gerakan mulut laki-laki itu Audry tahu jika Dypta sedang berteriak. Mungkin sedang memanggil namanya.Tapi Audry
Dypta menambah tekanan pada pegal gas mobilnya. Ia menyetir nyaris dengan kecepatan maksimal. Telepon dari Audry membuatnya harus meninggalkan sejenak kenyamanannya. Tadi Dypta sedang ngantuk-ngantuknya dan hampir saja tertidur ketika mendapat panggilan dari Audry.Audry yang merintih membuat Dypta cemas. Sesakit apa sih dia?Tadi saat pulang dari apartemennya Audry terlihat baik-baik saja.“Woy, anjeeng!” Sebuah teriakan dari seorang pengendara motor terdengar ketika Dypta menyalip dari kiri dan hampir menyenggolnya.Mungkin lain kali jika bertemu dengan orang itu ia harus meminta maaf. Menyetir dengan ugal-ugalan bukanlah kebiasaannya. Tapi harus ia lakukan demi mengejar waktu agar segera tiba di rumah Audry. Jujur saja, rasa khawatir menjalarinya. Jangan sampai sesuatu yang buruk menimpa Audry.Dypta keluar dari mobil secepat kilat ketika tiba di sana. Ia memacu langkahnya masuk ke dalam rumah dan melihat Audry duduk sambil meringis di sofa ditemani oleh pembantu.”Ry, kamu kenapa?
Pulang dari rumah sakit, Dypta menyetir pelan. Berkali-kali ia menguap menahan kantuk yang terus mendera. Seharusnya ini adalah jam tidurnya. Tapi terpaksa dikorbankannya lantaran harus mengantar Audry ke rumah sakit. Dypta menyalakan pemutar musik untuk menemani dan menghalau sepi. Ia ikut bersenandung mengikuti Adam Levine.So I cross my heart, and I hope to dieThat I'll only stay with you one more nightAnd I know, I said it a million timesBut I'll only stay with you one more nightTiba-tiba suaranya memelan ketika ingat Audry tadi. Audry hamil. Di rahimnya saat ini ada janin yang sedang tumbuh. Apakah artinya itu anaknya?Dypta menggelengkan kepala. Menolak pikiran yang sempat terbersit di benaknya. Selama ini setiap kali berhubungan dengan Audry ia selalu memakai pengaman meski beberapa kali sempat tidak memasangnya. Tapi hanya beberapa kali Dypta pikir tidak akan menghasilkan apa-apa. Tidak akan membuat Audry jadi hamil. Lagian, Audry kan serumah dengan Jeff, bukan dirinya.
Dypta yang pada awalnya membuang muka terpaksa membalas sapaan yang ditujukan padanya.“Iya,” jawabnya singkat, lalu kembali menunduk melanjutkan makan siang.”Boleh ikut gabung bareng kalian?”Pertanyaan itu mau tak mau membuat Dypta mengangkat kepalanya dan menatap Inggrid si pengganggu dengan tatapan tidak suka. Entah bagaimana caranya, namun belakangan ini Inggrid sering muncul di mana-mana, di manapun Dypta berada. Termasuk di restoran ini.”Boleh kan, Dyp?” Inggrid meminta persetujuan.“Boleh dong, Mbak. Masa nggak boleh.” Ello lebih dulu menjawab sebelum Dypta sempat berkata.Dypta berdecak di dalam hati.“Silakan duduk, Mbak,” ucap Ello lagi dengan ramah.“Makasih.” Inggrid tersenyum manis lalu duduk di kursi yang ditunjuk Ello. “Panggil aja Inggrid, jangan Mbak, saya masih muda kok.”“Okay, Inggrid. Aku Ello dan ini Ryver.” Sang DJ mengenalkan diri.“Hei, senang bisa kenal sama kalian.” Setelah tersenyum pada Ello, Inggrid ikut menyapa Ryver yang terlihat paling cuek di antar
Mungkin satu-satunya hal yang paling disyukuri Audry saat ini adalah kehamilannya.Setelah tahu dirinya berbadan dua, Jeff menjadi berubah. Meski bukan perubahan yang total. Tapi setidaknya Jeff menjadi lebih perhatian dan tidak lagi sekasar biasanya.Audry ingat, dulu saat mengandung Tania Jeff juga berubah menjadi lebih perhatian serta sedikit lebih baik meski tidak bisa dikatakan lembut. Namun setidaknya laki-laki itu belum benar-benar gila. Ia masih memiliki kewarasan. Namun, setelah Tania lahir, tak lama kemudian Jeff kembali pada tabiat lamanya. Kasar dan tidak terlalu memedulikan Audry. Ia hanya membutuhkan Audry untuk melampiaskan hasratnya.“Pi, kalau mau pulang, pulang aja, kan sudah ada perawat yang menjagaku di sini.”Saat ini Audry memang masih berada di rumah sakit. Meski kondisinya sudah berangsur membaik, akan tetapi dokter belum mengizinkannya pulang dan meminta untuk menunggu satu hari lagi.”Tapi aku tidak mungkin meninggalkanmu sendiri di sini,” jawab Jeff ingin t
“Ry, ayolah …” Dypta mendesak agar Audry segera mengatakannya.Audry bertahan di posisinya. Membelakangi Dypta dan mengunci mulutnya rapat-rapat.“Aku cuma pengen tahu apa dia anakku? Tolong jawab yang jujur, Ry, jangan pernah sembunyiin apa pun dariku.”Diberondong dengan pertanyaan tanpa henti membuat Audry tidak tahan. Ia membalikkan badan dan mendorong Dypta yang sejak tadi menjadikan sisi punggungnya sebagai tumpuan.“Gimana mungkin kamu bisa berpikiran begitu? Kamu bukan siapa-siapaku, Dyp, gimana bisa aku mengandung anak kamu?”Dypta terdiam. Audry membuatnya membungkam mulut sekaligus membuatnya merasa tersindir. Mereka memang tidak ada hubungan apa-apa, tapi kan …“Audry, awalnya aku memang sempat berpikiran yang sama. Tapi kemudian aku ingat beberapa kali aku pernah nggak pake pengaman. Jadi aku pikir bisa saja itu anakku.”“Nope!” Audry menggeleng tegas. Itu hanya beberapa kali, sedangkan suamiku nggak pernah pakai sama sekali. Jadi anak ini adalah hasil hubungan aku dan su
Dypta keluar dari apartemennya. Ia menuju restoran franchise yang buka 24 jam.Satu kenangan melintas di benaknya saat masuk ke restoran itu.Biasanya jika Audry menginap di apartemennya dan kelaparan tengah malam, mereka sering ke restoran ini lalu pulang dengan perut kenyang. Atau jika ingin lebih privat keduanya akan take away makanan mereka. "Selamat malam, mau pesan apa, Mas?" Pelayan menyapa Dypta dengan ramah.Secara spontan ia pun menyebutkan makanan kesukaan Audry."Double cheese burger satu, curly fries dan chicken blackpepper satu. Tambahannya air mineral medium size."Setelah pelayan menyebutkan jumlah yang harus dibayar, Dypta menunggu pesanannya dikemas. Kemudian ia pulang.Inggrid masih di sofa saat Dypta kembali. Perempuan itu mengembangkan senyumnya."Makasih, Dyp," ujarnya.Dypta diam saja setelah duduk di sofa tunggal di hadapan perempuan itu. "Nggak ikut makan sekalian?" tanya Inggrid sambil menjejalkan sepotong curly fries ke dalam mulutnya.Dypta menjawab denga
Dypta masih berbaring di ranjangnya ketika alarmnya menjerit-jerit. Ia terkesiap ketika ingat sesuatu dan langsung terduduk saat itu juga.Astaga! Ternyata sudah siang. Dan sesiang ini ia baru bangun. Dypta melupakan tugasnya. Seharusnya tadi pagi ia mengantar Tania ke sekolah. Dan sekarang sudah saatnya anak itu pulang.Dengan malas Dypta mengucek mata mencoba menyingkirkan kantuk yang masih menggayut.Dypta berjalan ke luar kamar dan tidak mendapati Inggrid di ruang tengah.Begitu melangkahkan kakinya ke belakang ia mendapati perempuan itu sedang berdiri tegak membelakanginya."Inggrid!" panggil Dypta pelan tapi rupanya cukup membuat perempuan itu terkejut.Inggrid menoleh dan tersenyum gugup. "Eh, Dyp, udah bangun?""Kayak yang kamu lihat," jawab Dypta menanggapi pertanyaan retoris perempuan itu."Tadi aku mau ngebangunin kamu sih, tapi pintu kamarmu dikunci. Ini aku bikinin teh hangat. Diminum Dyp." Inggrid memberikan cangkir teh pada Dypta.Dypta tidak langsung mengambilnya. Ia