Dypta yang pada awalnya membuang muka terpaksa membalas sapaan yang ditujukan padanya.“Iya,” jawabnya singkat, lalu kembali menunduk melanjutkan makan siang.”Boleh ikut gabung bareng kalian?”Pertanyaan itu mau tak mau membuat Dypta mengangkat kepalanya dan menatap Inggrid si pengganggu dengan tatapan tidak suka. Entah bagaimana caranya, namun belakangan ini Inggrid sering muncul di mana-mana, di manapun Dypta berada. Termasuk di restoran ini.”Boleh kan, Dyp?” Inggrid meminta persetujuan.“Boleh dong, Mbak. Masa nggak boleh.” Ello lebih dulu menjawab sebelum Dypta sempat berkata.Dypta berdecak di dalam hati.“Silakan duduk, Mbak,” ucap Ello lagi dengan ramah.“Makasih.” Inggrid tersenyum manis lalu duduk di kursi yang ditunjuk Ello. “Panggil aja Inggrid, jangan Mbak, saya masih muda kok.”“Okay, Inggrid. Aku Ello dan ini Ryver.” Sang DJ mengenalkan diri.“Hei, senang bisa kenal sama kalian.” Setelah tersenyum pada Ello, Inggrid ikut menyapa Ryver yang terlihat paling cuek di antar
Mungkin satu-satunya hal yang paling disyukuri Audry saat ini adalah kehamilannya.Setelah tahu dirinya berbadan dua, Jeff menjadi berubah. Meski bukan perubahan yang total. Tapi setidaknya Jeff menjadi lebih perhatian dan tidak lagi sekasar biasanya.Audry ingat, dulu saat mengandung Tania Jeff juga berubah menjadi lebih perhatian serta sedikit lebih baik meski tidak bisa dikatakan lembut. Namun setidaknya laki-laki itu belum benar-benar gila. Ia masih memiliki kewarasan. Namun, setelah Tania lahir, tak lama kemudian Jeff kembali pada tabiat lamanya. Kasar dan tidak terlalu memedulikan Audry. Ia hanya membutuhkan Audry untuk melampiaskan hasratnya.“Pi, kalau mau pulang, pulang aja, kan sudah ada perawat yang menjagaku di sini.”Saat ini Audry memang masih berada di rumah sakit. Meski kondisinya sudah berangsur membaik, akan tetapi dokter belum mengizinkannya pulang dan meminta untuk menunggu satu hari lagi.”Tapi aku tidak mungkin meninggalkanmu sendiri di sini,” jawab Jeff ingin t
“Ry, ayolah …” Dypta mendesak agar Audry segera mengatakannya.Audry bertahan di posisinya. Membelakangi Dypta dan mengunci mulutnya rapat-rapat.“Aku cuma pengen tahu apa dia anakku? Tolong jawab yang jujur, Ry, jangan pernah sembunyiin apa pun dariku.”Diberondong dengan pertanyaan tanpa henti membuat Audry tidak tahan. Ia membalikkan badan dan mendorong Dypta yang sejak tadi menjadikan sisi punggungnya sebagai tumpuan.“Gimana mungkin kamu bisa berpikiran begitu? Kamu bukan siapa-siapaku, Dyp, gimana bisa aku mengandung anak kamu?”Dypta terdiam. Audry membuatnya membungkam mulut sekaligus membuatnya merasa tersindir. Mereka memang tidak ada hubungan apa-apa, tapi kan …“Audry, awalnya aku memang sempat berpikiran yang sama. Tapi kemudian aku ingat beberapa kali aku pernah nggak pake pengaman. Jadi aku pikir bisa saja itu anakku.”“Nope!” Audry menggeleng tegas. Itu hanya beberapa kali, sedangkan suamiku nggak pernah pakai sama sekali. Jadi anak ini adalah hasil hubungan aku dan su
Dypta keluar dari apartemennya. Ia menuju restoran franchise yang buka 24 jam.Satu kenangan melintas di benaknya saat masuk ke restoran itu.Biasanya jika Audry menginap di apartemennya dan kelaparan tengah malam, mereka sering ke restoran ini lalu pulang dengan perut kenyang. Atau jika ingin lebih privat keduanya akan take away makanan mereka. "Selamat malam, mau pesan apa, Mas?" Pelayan menyapa Dypta dengan ramah.Secara spontan ia pun menyebutkan makanan kesukaan Audry."Double cheese burger satu, curly fries dan chicken blackpepper satu. Tambahannya air mineral medium size."Setelah pelayan menyebutkan jumlah yang harus dibayar, Dypta menunggu pesanannya dikemas. Kemudian ia pulang.Inggrid masih di sofa saat Dypta kembali. Perempuan itu mengembangkan senyumnya."Makasih, Dyp," ujarnya.Dypta diam saja setelah duduk di sofa tunggal di hadapan perempuan itu. "Nggak ikut makan sekalian?" tanya Inggrid sambil menjejalkan sepotong curly fries ke dalam mulutnya.Dypta menjawab denga
Dypta masih berbaring di ranjangnya ketika alarmnya menjerit-jerit. Ia terkesiap ketika ingat sesuatu dan langsung terduduk saat itu juga.Astaga! Ternyata sudah siang. Dan sesiang ini ia baru bangun. Dypta melupakan tugasnya. Seharusnya tadi pagi ia mengantar Tania ke sekolah. Dan sekarang sudah saatnya anak itu pulang.Dengan malas Dypta mengucek mata mencoba menyingkirkan kantuk yang masih menggayut.Dypta berjalan ke luar kamar dan tidak mendapati Inggrid di ruang tengah.Begitu melangkahkan kakinya ke belakang ia mendapati perempuan itu sedang berdiri tegak membelakanginya."Inggrid!" panggil Dypta pelan tapi rupanya cukup membuat perempuan itu terkejut.Inggrid menoleh dan tersenyum gugup. "Eh, Dyp, udah bangun?""Kayak yang kamu lihat," jawab Dypta menanggapi pertanyaan retoris perempuan itu."Tadi aku mau ngebangunin kamu sih, tapi pintu kamarmu dikunci. Ini aku bikinin teh hangat. Diminum Dyp." Inggrid memberikan cangkir teh pada Dypta.Dypta tidak langsung mengambilnya. Ia
"Ry, boleh kan?" tanya Dypta ketika Audry masih bergeming di dekatnya dan tidak ada tanda-tanda akan bergerak.Audry mengangguk pelan. Secangkir teh hangat apa salahnya? Toh Dypta nggak minta yang aneh-aneh."Bentar ya." Audry berdiri dari kursi dan siap-siap pergi."Tapi aku mau buatan kamu, bukan Bibi."Langkah Audry tertahan sesaat ketika mendengar perkataan Dypta."Memangnya kenapa kalau Bibi yang bikin?" Ia mengerutkan dahi."Apa aku harus bilang lagi? Cuma makanan dan minuman buatan kamu yang sesuai sama lidah aku, Ry. Bukan yang lain. Aku bisa aja bikin sendiri tapi nyatanya aku tetap nyari kamu. I need you in my life, Audry ..."Dypta sontak terdiam begitu menyadari apa yang baru saja diucapkannya. Semua terucap secara impulsif dan tersampaikan begitu saja tanpa direncana dan dibuat-buat.'Shit, aku ngomong apa sih?' bisiknya di dalam hati. Sejak kapan ia bisa sok-sok romantis gini?"Gombal," kecam Audry sambil mencebik. "Kalau minta bikinin teh ya bilang aja, nggak usah pake
"Gimana, Dyp?"Dypta memindai sosok Audry dari puncak kepala hingga ujung kaki. Saat itu Audry mengenakan floral dress selutut berwarna navy.Jujur saja Dypta tidak akan mengingkari jika saat ini Audry terlihat cantik. Flat shoes berwarna beige yang mengalasi kakinya turut memberikan kesan feminin yang tidak dibuat-buat."Dyp, gimana? Yay or nay?" Audry meminta pendapat Dypta sekali lagi.Dypta mengacungkan jempolnya ke udara. "Yay," jawabnya.Audry tersenyum dan melangkah ke mobil setelah Dypta mengajaknya."Kita nonton film apa, Ry?""Tadi kamu bilang film horor, kenapa nanya lagi?""Tadi tuh aku cuma becanda. Memangnya beneran kamu mau?""Aku terserah kamu aja."Dypta tersenyum tipis. Kebiasaan kebanyakan cewek tiap kali ditanya pasti jawabnya terserah. Tapi ujung-ujungnya cemberut karena ternyata tidak sesuai dengan keinginan."Aku nggak mau dengar kata terserah. Aku mau kamu bilang pilihanmu apa.""Hmm, apa ya? Aku lagi nge-blank, nggak ada ide. Ngikut kamu aja deh, nonton drama
“Ry, menurutmu nanti cowoknya bakalan mati apa enggak?” tanya Dypta pada Audry yang hingga detik ini masih bersandar di pundak laki-laki itu.Audry bergeming. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Sejak pertama tadi mereka datang ke bioskop hingga menit ketiga puluh film ditayangkan.“Audry …”Remasan Dypta di tangannya membuat Audry tersentak.“Eh, apa, Dyp?” Ia tergagap.Dypta mengulum senyum seperti biasa. “Jadi dari tadi sebenarnya kamu nonton apa ditonton?”Audry balas tersenyum. Sejujurnya tidak satu adegan film pun nyangkut di kepalanya. Ia sibuk memikirkan mengenai fakta yang disembunyikannya dari Dypta.“Let me know, dari tadi kamu nyandar di bahu aku, mata ke layar sana, tapi pikiran nggak di sini. Itu sebenarnya kamu lagi mikir apa sih?”Audry menjawab pertanyaan Dypta dengan tatapan balas bertanya. Apa Dypta benar-benar mencintainya? Atau setidaknya, apa Dypta menaruh hati padanya?“Jadi bengongnya butuh waktu berapa lama lagi? Mau nunggu filmnya selesai dulu?”“Dyp …”“Hmm?”
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama