“Ry, menurutmu nanti cowoknya bakalan mati apa enggak?” tanya Dypta pada Audry yang hingga detik ini masih bersandar di pundak laki-laki itu.Audry bergeming. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Sejak pertama tadi mereka datang ke bioskop hingga menit ketiga puluh film ditayangkan.“Audry …”Remasan Dypta di tangannya membuat Audry tersentak.“Eh, apa, Dyp?” Ia tergagap.Dypta mengulum senyum seperti biasa. “Jadi dari tadi sebenarnya kamu nonton apa ditonton?”Audry balas tersenyum. Sejujurnya tidak satu adegan film pun nyangkut di kepalanya. Ia sibuk memikirkan mengenai fakta yang disembunyikannya dari Dypta.“Let me know, dari tadi kamu nyandar di bahu aku, mata ke layar sana, tapi pikiran nggak di sini. Itu sebenarnya kamu lagi mikir apa sih?”Audry menjawab pertanyaan Dypta dengan tatapan balas bertanya. Apa Dypta benar-benar mencintainya? Atau setidaknya, apa Dypta menaruh hati padanya?“Jadi bengongnya butuh waktu berapa lama lagi? Mau nunggu filmnya selesai dulu?”“Dyp …”“Hmm?”
Setelah pulang dari bioskop Dypta mengantar Audry pulang ke rumahnya.Bahkan mereka tidak tahu apa isi cerita film yang mereka tonton tadi, karena nyaris di sepanjang film ditayangkan keduanya menghabiskan waktu dengan diri mereka sendiri."Nggak mampir dulu?" tanya Audry setelah Dypta mengantarnya."Lain kali ya? Udah malam, aku harus siap-siap kerja."Audry tersenyum memaklumi. Tanpa terasa mereka menghabiskan waktu berjam-jam di luar sejak siang tadi."Sampaikan salamku untuk Tania. Bilang ke dia Om Dypta bakal jadi supir Tania selamanya.""Dia pasti senang tahu soal ini.""Aku juga senang bisa tetap sama-sama kalian." Dypta mengusap punggung tangan Audry.Audry tersenyum lembut. Setelah bicara dari hati ke hati tadi semua terasa jauh lebih baik."Aku turun dulu, Dyp," ucapnya sembari melabuhkan kecupan lembut di pipi Dypta.Dypta menunggu hingga Audry masuk ke rumahnya barulah meninggalkan tempat itu. Tapi sebelumnya ia masih melihat Audry melambaikan tangan padanya tepat di depa
"Aku pikir Audry harus tahu mengenai hubungan masa lalu kita, Rid."Inggrid yang sedang memotong kukunya sontak mengangkat muka dan memandang Dypta lekat-lekat.Dypta baru saja pulang dua menit yang lalu."Maksudnya, Dyp?""Aku akan cerita semua tentang hubungan kita dulu.""Kenapa berubah pikiran tiba-tiba? What happen?" tanya Inggrid heran. Dulu Dypta yang bersikeras agar menyembunyikannya dari Audry. "Karena menurutku nggak ada gunanya disembunyiin.""Jangan, Dyp.""Kenapa jangan?""Aku nggak mau Audry cemburu. Aku nggak mau ngerusak hubungan persahabatan kami.""Justru jika terus disembunyikan semuanya akan rusak. Sebenarnya aku nggak perlu minta izin dari kamu. Aku cuma mau kasih tahu biar kamu nggak kaget kalo nanti Audry confirm langsung ke kamu." Setelah ucapannya Dypta meninggalkan Inggrid, masuk ke kamarnya. Beberapa menit kemudian Dypta keluar setelah mengganti pakaian."Berhubung kakimu udah baikan, besok kamu bisa pergi dari sini," ucapnya pada Inggrid sebelum pergi."
Audry terpaku di tempatnya berdiri. Berjuta pertanyaan berputar-putar di kepalanya saat menyaksikan pemandangan itu.Inggrid berbaring di tempat tidur Dypta dengan tubuh tertutup selimut."Rid, lo ngapain di sini?" Inggrid mengembangkan senyum lebar. Lalu turun dari ranjang dengan menahan selimut di dadanya. Perempuan itu melangkah pelan mendekati sahabatnya yang keheranan."Ry, lo kok bisa ada di sini?" ucapnya menyampaikan pertanyaan serupa."Harusnya gue yang tanya sama lo, Rid. Lo kenapa di sini? Di tempat tidur cowok gue?"Inggrid mendengkus di dalam hati lalu memaki Audry sejadinya.'Dasar jalang nggak tahu malu. Bisa-bisanya bilang cowok gue.'"Jawab pertanyaan gue, Rid," pinta Audry dengan hati tidak karuan."Gue tidur di sini. Ups, eh ..." Inggrid berseru setelah dengan sengaja melepaskan selimut yang sejak tadi ditahannya hingga menumpuk di kedua kakinya. Audry ternganga melihat penampilan Inggrid. Perempuan itu hanya menggunakan pakaian dalam. Bra renda berwarna merah pl
Pergi dari apartemen Dypta, Audry menyetir dengan perasaan tak karuan. Setelah berkali-kali Dypta membuatnya kecewa, ini adalah tingkat kecewanya yang paling tinggi pada laki-laki itu.Di sela-sela kecamuk di dadanya, satu kalimat terakhir dari Inggrid merasuki pikiran Audry. Mungkin Inggrid ada benarnya. Jeff tidak serta merta menjadi kasar jika tidak ada yang memicunya. Mungkinkah selama ini ada yang salah dari Audry? Bisa jadi Inggrid benar. Audry harus instropeksi diri agar tahu apa kesalahannya dan bisa memperbaiki hubungan mereka.Jantung Audry bertalu-talu ketika memasuki halaman rumah dan menyaksikan mobil Jeff sudah ada di sana. Suaminya sudah pulang.Audry benci pada efek yang ditimbulkan setiap kali mengetahui Jeff berada di dekatnya. Ia selalu merasa gemetaran, deg-degan dan takut berlebihan.Sebelum turun dari mobil Audry menenangkan diri. Audry mengatur napas lalu meneguk pelan air dari botol mineral.'Tenang, Ry, Jeff nggak akan marah.' Audry mensugesti diri agar meras
Audry sedang duduk dengan laptop terbuka di hadapannya. Sudah sejak tadi ia berada di sana. Di kursi yang terletak di dekat jendela sehingga ia bebas memandang apa pun yang berada di luar sana.Tanaman mawarnya yang tumbuh mekar dan tanpa sengaja tertangkap oleh matanya mengingatkan Audry pada buket bunga yang tadi diberikan Jeff untuknya.Audry memindahkan matanya ke nakas. Tepat pada buket mawar itu.Audry tak henti memandanginya dengan tanda tanya yang terus berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Jeff? Kenapa tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba bersikap manis padanya?Audry bangkit dari kursinya kemudian melangkah pelan mendekati nakas.Audry mengambil buket mawar itu dan memandang kartu ucapan dengan lekat.I love you.Benarkah Jeff mencintainya? Jika iya, kenapa sikapnya selama ini tidak mencerminkan apa yang tertulis di kartu ucapan itu? Kenapa yang pria itu lakukan hanyalah menyakitinya lagi dan lagi?Audry mengembuskan napas panjang setelah menghelanya
Tania diam saja sepanjang perjalanan pulang setelah dari kantor Jeff tadi.Biasanya gadis kecil itu akan berceloteh riang menceritakan apa saja kegiatan yang dilaluinya hari itu pada Dypta.Sambil menyetir sesekali Dypta menoleh ke sebelahnya. Ia mendapati Tania sedang melamun dengan mulut terkatup rapat. Lalu beberapa menit sesudahnya ia juga mendapati hal yang sama."Anak Om kenapa dari tadi Om perhatiin diam aja?"Tania menoleh pada Dypta lalu menggelengkan kepalanya. Tapi tentu Dypta tidak akan percaya begitu saja."Tata mau apa? Mau kita jajan dulu?"Untuk kedua kalinya Tania menggeleng."Geleng-geleng kepala mulu. Nanti kepalanya bisa keseleo lho," tawa Dypta.Kalau biasanya Tania akan terpengaruh dan ikut tertawa, maka kali ini tidak. Tania tetap mengunci mulutnya rapat-rapat."Hmm, biar Om yang tebak kalo Tata nggak mau bilang sama Om. Tadi ... Tata dimarahin Papi waktu Om lagi pipis?"Gelengan kepala Tania menjawab pertanyaan Dypta. Sama seperti tadi.Dypta lalu tersenyum mem
Audry merebahkan punggungnya ke sandaran jok. Kepalanya terkulai ke kanan. Irama napasnya terdengar satu-satu. Ia memang merasa lega sekarang setelah apa yang dilakukan Dypta padanya tadi.Dypta memang bajingan. Dia membuat Audry membenci sekaligus mencintainya di saat bersamaan."Gimana sekarang? Udah baikan?"Tanpa mengangkat kepalanya Audry memalingkan muka. "Udah dong, Ry, jangan ngambek lagi." Dypta menyentuh dagu Audry lalu mengarahkan wajah perempuan itu padanya."Aku kecewa sama kamu, Dyp." Itu yang disampaikan Audry ketika bertatapan langsung dengan laki-laki itu."I know. Maaf. Aku memang salah. Tapi aku tahu kamu orangnya nggak pendendam.""Dyp, please, ini bukannya waktu buat main-main.""Oke, oke. Biar enak ngomongnya bagusnya sekarang kita ke mana?""Terserah," jawab Audry. Ia sedang tidak punya pilihan. Dypta membuatnya nge-blank setelah yang dilakukannya tadi."Ke cafe aja ya? Nanti kita ngomong di ruangan kamu."Audry mengangguk setuju membiarkan Dypta membawa ke te
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama