Audry sedang duduk dengan laptop terbuka di hadapannya. Sudah sejak tadi ia berada di sana. Di kursi yang terletak di dekat jendela sehingga ia bebas memandang apa pun yang berada di luar sana.Tanaman mawarnya yang tumbuh mekar dan tanpa sengaja tertangkap oleh matanya mengingatkan Audry pada buket bunga yang tadi diberikan Jeff untuknya.Audry memindahkan matanya ke nakas. Tepat pada buket mawar itu.Audry tak henti memandanginya dengan tanda tanya yang terus berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Jeff? Kenapa tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba bersikap manis padanya?Audry bangkit dari kursinya kemudian melangkah pelan mendekati nakas.Audry mengambil buket mawar itu dan memandang kartu ucapan dengan lekat.I love you.Benarkah Jeff mencintainya? Jika iya, kenapa sikapnya selama ini tidak mencerminkan apa yang tertulis di kartu ucapan itu? Kenapa yang pria itu lakukan hanyalah menyakitinya lagi dan lagi?Audry mengembuskan napas panjang setelah menghelanya
Tania diam saja sepanjang perjalanan pulang setelah dari kantor Jeff tadi.Biasanya gadis kecil itu akan berceloteh riang menceritakan apa saja kegiatan yang dilaluinya hari itu pada Dypta.Sambil menyetir sesekali Dypta menoleh ke sebelahnya. Ia mendapati Tania sedang melamun dengan mulut terkatup rapat. Lalu beberapa menit sesudahnya ia juga mendapati hal yang sama."Anak Om kenapa dari tadi Om perhatiin diam aja?"Tania menoleh pada Dypta lalu menggelengkan kepalanya. Tapi tentu Dypta tidak akan percaya begitu saja."Tata mau apa? Mau kita jajan dulu?"Untuk kedua kalinya Tania menggeleng."Geleng-geleng kepala mulu. Nanti kepalanya bisa keseleo lho," tawa Dypta.Kalau biasanya Tania akan terpengaruh dan ikut tertawa, maka kali ini tidak. Tania tetap mengunci mulutnya rapat-rapat."Hmm, biar Om yang tebak kalo Tata nggak mau bilang sama Om. Tadi ... Tata dimarahin Papi waktu Om lagi pipis?"Gelengan kepala Tania menjawab pertanyaan Dypta. Sama seperti tadi.Dypta lalu tersenyum mem
Audry merebahkan punggungnya ke sandaran jok. Kepalanya terkulai ke kanan. Irama napasnya terdengar satu-satu. Ia memang merasa lega sekarang setelah apa yang dilakukan Dypta padanya tadi.Dypta memang bajingan. Dia membuat Audry membenci sekaligus mencintainya di saat bersamaan."Gimana sekarang? Udah baikan?"Tanpa mengangkat kepalanya Audry memalingkan muka. "Udah dong, Ry, jangan ngambek lagi." Dypta menyentuh dagu Audry lalu mengarahkan wajah perempuan itu padanya."Aku kecewa sama kamu, Dyp." Itu yang disampaikan Audry ketika bertatapan langsung dengan laki-laki itu."I know. Maaf. Aku memang salah. Tapi aku tahu kamu orangnya nggak pendendam.""Dyp, please, ini bukannya waktu buat main-main.""Oke, oke. Biar enak ngomongnya bagusnya sekarang kita ke mana?""Terserah," jawab Audry. Ia sedang tidak punya pilihan. Dypta membuatnya nge-blank setelah yang dilakukannya tadi."Ke cafe aja ya? Nanti kita ngomong di ruangan kamu."Audry mengangguk setuju membiarkan Dypta membawa ke te
Ucapan yang disampaikan dengan sungguh-sungguh itu membuat Audry mengharu biru. Dypta membuat hatinya tersentuh hingga Audry kehilangan kata-kata untuk melanjutkan perdebatan.“Ada lagi yang mau ditanya atau harus aku jelasin? Kalau kamu masih belum puas juga kita bisa konfrontir bertiga sama Inggrid sekarang.”“Aku rasa nggak perlu,” jawab Audry.“Kenapa nggak perlu? Ini tuh penting, Ry. Aku mau semua tuntas hari ini juga.” Audry terpaksa ikut dengan Dypta begitu laki-laki itu menggandeng tangannya dan mengajak pergi dari sana. Setelah tiba di luar Dypta melepaskan tangan Audry demi menghindari prasangka buruk orang-orang.“Aku masih nggak percaya semua ini terjadi pada kita, Dyp,” ucap Audry ketika mereka sudah berada di mobil.Dari belakang kemudi Dypta menoleh pada Audry tanpa berkata apa-apa. Ia menunggu apa yang akan disampaikan Audry selanjutnya.“Bahkan nggak pernah ada dalam mimpiku kalau kekasihku adalah mantan pacar sahabatku sendiri.”“Itu yang namanya takdir,” kata Dypta
Masa penantian Audry dan Dypta berakhir setelah Inggrid selesai menghabiskan semangkuk mie instan.Perempuan itu lalu berjalan ke ruang belakang meletakkan mangkuk kosong.Selang beberapa menit Inggrid kembali. Ia duduk di tempatnya tadi sambil menyeka pinggir-pinggir bibirnya dengan tisu."Inggrid," ujar Dypta menyebut nama perempuan itu.Inggrid menatap sepasang kekasih di seberang tempat duduknya. Inggrid benci melihat sebelah tangan Dypta menempel di paha Audry."Aku ajak Audry ke sini buat klarifikasi semuanya.""Apa yang mau diklarifikasi, Dyp?""Tentang kita. Tentang masa lalu kita. Aku udah cerita ke Audry. Audry sudah tahu semua. Dan sekarang di depan dia aku ingin tegaskan kalau di antara kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Aku nggak mau Audry jadi salah paham."Terdiam selama beberapa detik, Inggrid kemudian mengubah ekspresi wajahnya. Ia juga menyunggingkan senyum di bibirnya."Lo salah paham apa sih, Ry? Gue sama Dypta kan tinggal masa lalu. Lo nggak usah cemburu g
Inggrid masih berdiri di tepi jendela. Ia menyibak vertical blind agar bisa memandang pasangan di kolam renang dengan lebih jelas.Pria itu memang Jeff. Tapi ia tidak tahu siapa perempuan di hadapan Jeff karena membelakang ke arahnya.Yang Inggrid tahu persis, dia bukanlah Audry.Selama beberapa menit Inggrid termangu di tepi jendela ruangan sambil matanya tidak lepas dari pasangan di kolam renang.Ia menggeleng-gelengkan kepalanya setelah merangkai dan mencerna berdasarkan pandangan matanya.Inggrid tahu persis interaksi antara Jeff dan perempuan pasangannya bukan kedekatan yang normal. Ada kemesraan di antara mereka.Otaknya kemudian memberi perintah untuk turun ke bawah. Ia harus tahu siapa perempuan itu. Ia harus melihat wajahnya.Inggrid menggegas langkah keluar dari ruangannya. Sambil berlari kecil perempuan itu menuju lift lalu menekan tombol dengan tidak sabar.Inggrid seperti cacing kepanasan menghentak-hentakkan kaki menunggu lift tiba lalu membawa ke bawah.Begitu lift berh
Perempuan itu akhirnya terkulai lesu di kursinya. Seluruh tubuhnya terasa lemas namun juga puas di saat bersamaan.Ia memandangi alat bantu di atas mejanya dengan perasaan tidak menentu. Seingatnya belum terlalu lama ia menggunakannya, namun belakangan menjadi semakin intens. Setiap kali merindukan mantan kekasihnya ia akan menjadikan benda itu sebagai pelarian.Ketukan di depan pintu ruangannya yang terkunci membuat Inggrid terkesiap.Seketika ia menjadi gugup. Dengan kecepatan cahaya dimasukkannya alat pemuas di atas meja ke dalam laci. Lalu perempuan itu merapikan pakaiannya sebelum melangkah ke arah pintu dan membukanya.Pintu lalu terbuka. Sesuai dengan dugaan lelaki itu pasti menemuinya."Inggrid, aku mau bicara sebentar."Inggrid tersenyum lebar lalu mengembangkan tangan. "Silakan masuk, Jeff," suruhnya.Lelaki itu lalu melangkah ke dalam. Di belakangnya Inggrid tersenyum sambil mengangkat bahu."Silakan duduk," ujarnya lagi.Jeff menjatuhkan diri di kursi tepat di depan Inggri
Rumah besar itu terlihat sepi. Tidak ada suara apa-apa bahkan desau angin sekalipun.Seperti biasa setiap kali kembali ke rumah ini Audry selalu merasa lesu. Energinya seakan ditarik jauh-jauh dari tubuhnya.Audry turun dari mobil. Ia mengerutkan dahi saat melihat supir Jeff baru saja keluar dari pos jaga sekuriti di sisi pagar. Audry lalu menghampirinya.“Pak Jeff mana, Pak?” tanyanya karena tidak melihat mobil Jeff di depan rumah, sedangkan sang supir berada di sana.“Saya pulang duluan, Bu Audry,” jawab laki-laki itu.“Kenapa? Bapak lagi nggak enak badan?”“Saya sehat, Bu, tapi tadi Pak Jeff menyuruh saya pulang karena katanya ada meeting penting. Katanya malam baru selesai.”“Tapi biasanya Bapak kan juga ikut,” tukas Audry heran. Seingatnya ke manapun Jeff pergi lelaki itu tidak pernah ketinggalan membawa supirnya.”Biasanya memang begitu, Bu. Tapi tadi Pak Jeff menyuruh saya pulang dan istirahat.””Oh begitu ya, Pak.” Audry tersenyum sekilas lalu masuk ke dalam rumah.Di sela-sel