Perempuan itu akhirnya terkulai lesu di kursinya. Seluruh tubuhnya terasa lemas namun juga puas di saat bersamaan.Ia memandangi alat bantu di atas mejanya dengan perasaan tidak menentu. Seingatnya belum terlalu lama ia menggunakannya, namun belakangan menjadi semakin intens. Setiap kali merindukan mantan kekasihnya ia akan menjadikan benda itu sebagai pelarian.Ketukan di depan pintu ruangannya yang terkunci membuat Inggrid terkesiap.Seketika ia menjadi gugup. Dengan kecepatan cahaya dimasukkannya alat pemuas di atas meja ke dalam laci. Lalu perempuan itu merapikan pakaiannya sebelum melangkah ke arah pintu dan membukanya.Pintu lalu terbuka. Sesuai dengan dugaan lelaki itu pasti menemuinya."Inggrid, aku mau bicara sebentar."Inggrid tersenyum lebar lalu mengembangkan tangan. "Silakan masuk, Jeff," suruhnya.Lelaki itu lalu melangkah ke dalam. Di belakangnya Inggrid tersenyum sambil mengangkat bahu."Silakan duduk," ujarnya lagi.Jeff menjatuhkan diri di kursi tepat di depan Inggri
Rumah besar itu terlihat sepi. Tidak ada suara apa-apa bahkan desau angin sekalipun.Seperti biasa setiap kali kembali ke rumah ini Audry selalu merasa lesu. Energinya seakan ditarik jauh-jauh dari tubuhnya.Audry turun dari mobil. Ia mengerutkan dahi saat melihat supir Jeff baru saja keluar dari pos jaga sekuriti di sisi pagar. Audry lalu menghampirinya.“Pak Jeff mana, Pak?” tanyanya karena tidak melihat mobil Jeff di depan rumah, sedangkan sang supir berada di sana.“Saya pulang duluan, Bu Audry,” jawab laki-laki itu.“Kenapa? Bapak lagi nggak enak badan?”“Saya sehat, Bu, tapi tadi Pak Jeff menyuruh saya pulang karena katanya ada meeting penting. Katanya malam baru selesai.”“Tapi biasanya Bapak kan juga ikut,” tukas Audry heran. Seingatnya ke manapun Jeff pergi lelaki itu tidak pernah ketinggalan membawa supirnya.”Biasanya memang begitu, Bu. Tapi tadi Pak Jeff menyuruh saya pulang dan istirahat.””Oh begitu ya, Pak.” Audry tersenyum sekilas lalu masuk ke dalam rumah.Di sela-sel
Jeff tertegun beberapa detik sebelum menerima telepon dari Audry."Halo!""Pi, kamu di mana?"Bukannya menjawab pertanyaan istrinya lelaki itu malah balik bertanya."Memangnya kenapa?""Mama datang ke rumah dan ingin bertemu denganmu.""Untuk apa Mama bertemu denganku?""Aku nggak tahu, makanya kamu pulang dulu. Jangan la-"Jeff langsung memutus panggilan sebelum Audry selesai dengan ucapannya."Bu Audry bilang apa, Pak?" tanya Nora saat Jeff mengembalikan ponsel."Saya harus pulang sekarang," kata Jeff memberitahu lalu keluar dari kamar Nora."Katanya tadi Bapak mau menginap di sini," kejar Nora mengikuti Jeff."Kapan saya bilang begitu?"Jeff memang belum menyetujuinya tapi Nora menganggap bahwa laki-laki itu setuju.Nora menggigit bibir ketika Jeff memasang lagi kancing bajunya yang terbuka lalu bersiap-siap untuk pergi."Saya pergi," pamit Jeff sebelum melangkah keluar.Sebelum laki-laki itu benar-benar menghilang dari pandangan Nora menangkap lengan Jeff hingga menoleh padanya."
Dypta menyimpan ponselnya di saku setelah menerima telepon dari Audry."El, gue balik dulu," pamitnya pada Ello."Buru-buru amat, baru juga datang. Lo mau kerja? Santai, Man, lo kan bosnya.""Gue ada urusan, besok kita ngobrol lagi." Dypta menepuk pelan pundak Ello sebelum pergi.Keluar dari Exotic, Dypta langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Ia harus bertemu dengan Audry secepatnya dan menenangkan perempuan itu. Dypta tahu Audry begitu rapuh dan sangat membutuhkannya.Decit rem terdengar setelah pedalnya ditekan dengan mendadak. Dypta menepi setelah melihat Audry duduk di pinggir trotoar. Dypta cepat turun dari mobil.Melihat lelaki yang ditunggunya datang, Audry langsung berdiri dan menyembunyikan diri di pelukan Dypta. Ia menumpahkan air matanya di dada laki-laki itu.Dypta tidak bicara banyak. Tapi kalimat yang meluncur dari bibirnya membuat Audry begitu nyaman."Jangan takut, ada aku. Nggak akan ada lagi yang bisa menyakitimu."Dypta membawa Audry ke mobil, memasa
Irama napas keduanya saling berkejaran. Pagutan tubuh mereka semakin lekat.Air yang merendam tubuh Dypta dan Audry memang hangat, namun percintaan keduanya jauh lebih panas.Di saat Audry dan Dypta sama-sama larut dalam gelora, Jeff juga terbakar oleh kekhawatiran.Sudah sejak tadi Audry pergi dan hingga selarut ini masih belum kembali."Gimana, Dan?" tanyanya pada Dana begitu supirnya itu turun dari mobil. Tadi Jeff menyuruhnya mencari Audry."Bu Audry tidak ada, Pak, saya sudah cari ke mana-mana.""Kalau tidak ada kenapa pulang? Saya kan sudah bilang, jangan pulang tanpa majikan kamu!" bentak Jeff murka."Tapi, Pak, saya harus cari Bu Audry ke mana lagi?" tanya Dana kebingungan."Kalau saya tahu saya tidak akan menyuruh kamu!""Baik, Pak, saya akan cari lagi Bu Audry," ucap Dana pasrah. Jeff mengisap rokok sambil mondar-mandir di beranda. Ia tidak menduga kalau Audry benar-benar berani meninggalkan rumah.Jeff mengambil ponselnya lalu menghubungi Inggrid. Tapi tidak dijawab. Mungk
Itulah awal mula pertemuan Jeff dan Audry. Saat itu juga Jeff langsung menyukai Audry. Laki-laki itu jatuh cinta pada pandangan pertama pada wanita yang datang dari dunia lain kehidupannya.Selama ini Jeff yang gagah, kaya dan parlente selalu dikelilingi para wanita cantik, modis dan bependidikan tinggi. Begitu kontras dengan Audry yang baru pertama ini dilihatnya.“Bapakmu ada?” tanya Bayu pada Audry dengan gaya khas penagih utang.“Bapak sedang sakit, Pak.”Bayu jelas tidak percaya. Paling itu hanyalah akal-akalan saja. “Setiap ditagih ada saja alasannya. Panggilkan dia sekarang!”“Ba-baik, Pak,” jawab Audry terbata-bata mendengar suara keras Bayu membentaknya.Audry masuk ke dalam, lalu selang beberapa menit kemudian ia muncul dengan seorang pria dan wanita paruh baya. Pria itu terbatuk-batuk, napasnya sesak, begitu pun dengan bahunya yang naik turun.“Apa Bapak mencari saya?” tanya Harlan sambil terbatuk-batuk.“Tidak salah lagi. Aku ke sini menagih utangmu yang sudah menunggak b
Dypta mengajak Jeff duduk di kursi beranda.Jeff yang terlihat kacau membuat Dypta jadi bertanya di dalam hatinya, apa Jeff benar mengkhawatirkan Audry? "Gimana ceritanya Tante bisa pergi, Om?" Dypta mulai serius sambil memindai wajah Jeff. Kumis dan jenggot pria itu tampak kasar dan tumbuh tidak beraturan. Tampaknya Jeff belum bercukur. Kepergian Audry membuatnya kalang kabut.Jeff mengembuskan napas berat, lalu menjentikkan abu rokoknya ke asbak."Om dan tante bertengkar. Ya ... biasalah, yang namanya perempuan dikit-dikit ngambek," terang Jeff ringan seakan yang dilakukannya pada Audry bukanlah sesuatu yang besar."Aku ngerti maksud, Om. Tapi tante nggak akan pergi dari rumah kalau nggak ada yang membuatnya sakit.""Ya, Om yang salah. Kemarin Om menampar dia karena emosi." Jeff terpaksa mengaku karena menurutnya Dypta bisa dipercaya."Astaga, Om! Kenapa Om lakukan itu? Apa Om lupa kalau tante sedang mengandung? Perbuatan Om itu bisa membahayakan tante dan kandungannya," ucap Dypt
Audry terloncat dari tempat duduknya ketika mendengar suara pintu dibuka bersamaan dengan langkah kaki yang terdengar mendekat.Audry meremas ujung bajunya ketakutan. Sementara degupan di dadanya mulai tak terkendali. Ia sungguh sangat takut.“Jangan-jangan Jeff,” desisnya pelan sambil memejamkan mata.”Ry, kamu kenapa?”Suara itu terdengar lembut dan pelan. Bukan dalam dan berat. Membuat Audry kembali membuka mata.”Kamu, Dyp …,” gumamnya pelan. Merasa lega mengetahui jika yang datang adalah Dypta, bukan Jeff. Audry menjadi sangat paranoid. Ketakutan kalau Jeff akan menemukannya selalu menghantui. Bahkan hanya dengan mendengar pintu dibuka ia sudah merinding. Khawatir jika yang datang adalah Jeff.Dypta mengulas segaris senyum tipis di bibirnya. Ia paham apa yang dirasakan Audry. “Nggak usah takut, Om Jeff nggak mungkin kepikiran buat datang ke sini. Dia percaya sama aku, Ry.”“Tapi kita tetap harus jaga-jaga.””Iya, Ry, kamu benar. Aku lagi mikirin tempat buat nyimpan kamu di mana.”
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama