“Kok malah bengong? Masuk gih! Tadi katanya kebelet.”Rogen tersentak ketika mendengar suara Athaya tepat di depan mukanya. Matanya dengan refleks mengerjap ketika sesaat yang lalu dirinya membeku.Rogen merekahkan senyum di bibirnya. Bukan pada Athaya, melainkan pada gadis muda yang baru keluar dari toilet dan katanya adalah teman Athaya. Namun gadis itu tidak merespon senyum Rogen. Alih-alih akan membalasnya dia malah membuang muka.“Udah yuk, Ay, betah amat lo di sini.” Gadis itu menyentuh pundak Athaya, mengajaknya pergi dari sana“Dek, aku duluan ya …” Athaya tersenyum pada Rogen sebelum meninggalkan tempat itu.Rogen mengiringi langkah kedua gadis tersebut hingga menghilang dari radar matanya. Rogen tidak pernah melihat teman Athaya itu sebelumnya. Atau lebih tepatnya ia memang tidak tahu siapa-siapa saja teman Athaya. Bukan urusannya juga. Akan tetapi … gadis itu menyita habis atensinya.Rogen berdecak, menyayangkan sikapn
Hal yang paling dibenci Belva setiap kali pulang ke rumah adalah karena ia harus bertemu dengan keluarganya. Ayah, ibu, kakak laki-laki, serta dua orang adik perempuannya. Bukannya Belva tidak sayang pada mereka. Hanya saja ia merasa lebih baik tidak punya siapa-siapa.Baron, ayahnya yang pengangguran dan seorang penjudi yang selalu meminta uang padanya. Yudi, kakak lelakinya yang sudah menikah dan tinggal di tempat lain tapi masih sering datang ke rumah, menginap di sana dan memaksa Belva agar diberi uang. Jika tidak diberikan jangan harap dia akan beranjak dari hadapan Belva.Sudah bertahun-tahun ibu kandung Belva meninggal. Lalu Baron, ayahnya, menikah lagi dengan perempuan lain, namanya Hesti. Belva tidak mengerti apa yang membuat Baron memilih Hesti. Dari segi fisik Hesti kalah jauh dari ibu kandung Belva yang cantik jelita. Sudah begitu, Hesti membawa dua orang anak perempuan yang saat ini menjadi adik tiri Belva. Namanya Amel dan Ika. Amel saat ini sedang kuliah di sebuah perg
Hari ini Athaya bangun jauh lebih pagi dari biasa. Telepon dari Rogen kemarin malam bagaikan suntikan semangat baginya. Athaya sudah tidak sabar ingin segera ke kantor dan bertemu Rogen.“Cantik banget sih, Ay?” sapa Nora ketika Athaya muncul di ruang makan dan bergabung bersamanya.Athaya mengukir senyum lalu memerhatikan sekilas pakaiannya. Hari itu ia tampil feminin dengan mengenakan rok selutut serta kemeja floral berwarna pink lembut yang kedua ujungnya diselipkan ke dalam rok. Seingat Athaya jarang-jarang ia berpakaian begini. Namun alasannya hanya satu. Karena nanti ia akan bertemu dengan Rogen.“Seingat Mami hari ini kita nggak ada meeting sama klien deh,” kata Nora kemudian. “Aya … ada janji mau ketemu seseorang?” sambungnya lagi sambil memerhatikan lurus-lurus wajah Athaya.Athaya tersenyum dan berusaha keras menyembunyikan perasaan bahagianya. Dari dulu sampai sekarang hanya dirinya sendiri yang tahu sebesar apa perasaannya pada Rogen. “Nggak mau ketemu siapa-siapa, Mi, is
Rogen menyesap orange juice-nya sambil menanti Belva yang masih belum terlihat batang hidungnya. Sedang Athaya yang duduk di hadapannya tampak sedang mengaduk-aduk minumannya setelah sedari tadi sibuk mencuri-curi pandang pada Rogen.“Ay, lo deket sama Belva?” Pertanyaan Rogen membuat Athaya berhenti mengaduk minuman dengan sedotan dan memandang ke arah laki-laki itu. “Deket banget. Dia sahabat aku dari dulu.”Jawaban yang didengarnya dari Athaya membuat Rogen bersorak girang di dalam hati. Itu artinya ia akan semakin mudah mendekati Belva.“Berarti lo tau apa aja tentang dia?” selidik Rogen lagi.“Ya taulah.”“Dia tinggal di apartemen mana, Ay?” Rogen belum berhenti. Siapa tahu letak apartemen mereka berdekatan.“Dia nggak tinggal di apartemen, Dek, tapi di rumah orang tuanya.” Athaya kemudian menyebut secara garis besar alamat lengkap tempat tinggal Belva. Rogen merekam di benaknya. ‘Jalan Mutiara no. 10,’ batinnya berulang-ulang seperti mantra.“Nah, itu dia datang.”Rogen langsu
Setelah makan siang tadi Belva melanjutkan pekerjaannya. Selagi berkonsentrasi, fokus perhatiannya pun terusik ketika ponselnya berdering nyaring. Seharusnya tadi Belva men-silent-kan saja agar tidak mengganggu konsentrasinya.Ternyata Hesti yang menelepon. Belva terpaksa menerima panggilan tersebut karena ia tahu ibu tirinya itu tidak akan berhenti sebelum Belva menjawab.“Bel, udah ada uangnya? Mama harap kamu nggak lupa. Besok sudah harus dibayar.”“Iya, Ma, aku lagi usahain,” jawab Belva lesu.“Jangan cuma diusahain, tapi harus ada hari ini juga biar besok adekmu langsung tinggal bayar. Mama juga berharap kalau kamu nggak akan pernah melupakan jasa-jasa Mama membiayai kuliah kamu dulu!” kata Hesti penuh penekanan.“Iya, Ma.” Bersama jawabannya Belva langsung mengakhiri panggilan. Tidak peduli apakah di seberang sana Hesti mengomel panjang lebar.Belva membuang napas panjang. Ia memijit pelipisnya. Kepalanya semakin berat setelah mendapat tekanan dari ibu tirinya. Belva menyentuh k
Belva basah kuyup ketika tiba di rumah. Tadi hujan menyapanya ketika ia masih berada di setengah perjalanan. Dan sialnya Belva lupa membawa jas hujan.Belva masuk ke kamarnya lalu mengganti pakaian dan mengeringkan rambutnya yang basah. Hawa dingin yang melingkupinya membuat Belva menggigil.Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dari luar. Baron masuk tanpa aba-aba yang membuat Belva terkejut. Saking terburu-buru, Belva lupa mengunci pintu.“Ada apa, Pa?” Perasaan Belva tidak enak melihat gelagat yang ditunjukkan sang ayah.“Bel, Papa butuh duit. Tolong kasih Papa duit, Bel,” pinta Baron dengan muka memelas, dan biasanya cara itu cukup ampuh. Belva akan luluh dan memenuhinya.“Aku nggak punya duit, Pa,” jawab Belva. Lama-lama ia mulai muak atas tingkah orang-orang di rumah yang selalu memerasnya tanpa mau tahu betapa susahnya Belva mendapatkan itu semua.“Ayolah, Bel, jangan bohong sama Papa. Pinjam Papa dulu, besok Papa ganti.” Baron terus memaksa. Aroma alkohol yang kuat menguar dari mul
Setelah dari toko perhiasan tadi, Rogen tidak langsung pulang. Ia terus mengekori Belva. Sebelah tangannya berada di setir, sedangkan sebelahnya lagi mencubit-cubit dagunya sembari memikirkan cara untuk mengembalikan kalung gadis itu.Hujan mulai turun tepat di saat Rogen masih berada di perjalanan mengikuti Belva. Ingin rasanya Rogen menawarkan tumpangan agar gadis itu tidak kehujanan, tapi Rogen juga yakin pasti Belva akan menolak.Rogen berdecak kesal karena indikator fuelmeter mobilnya menunjukkan bahwa ia membutuhkan tambahan bahan bakar. Rogen terpaksa membelokkan mobilnya ke SPBU yang ditemuinya.Rogen harus rela kehilangan jejak Belva karena saat itu ia harus antri bersama puluhan kendaraan lainnya yang memiliki kepentingan yang sama dengannya.Cukup lama Rogen menghabiskan waktu di sana hingga akhirnya ia keluar dari tempat itu. Kali ini ia menyetir dengan pelan karena Rogen yakin Belva tidak akan ke mana-mana lagi hujan-hujan begini. Belva pasti langsung pulang ke rumahnya.
Belva meletakkan piring kosong bekas makanan ke atas nakas. Pandangannya lantas beralih pada satu-satunya ruangan yang terdapat pada kamar tersebut. Mungkin itu adalah kamar mandi.Belva turun dari ranjang lalu melangkah pelan ke ruangan tersebut. Pundaknya terasa sakit saat digerakkan. Tadi waktu menabrakkan diri ke mobil Rogen bagian pundaknya adalah yang paling duluan membentur mobil laki-laki itu.Kamar mandi Rogen ternyata bersih. Tadinya Belva pikir ia akan menemukan puntung rokok berserakan di mana-mana. Tidak seharusnya ia membandingkan dengan kamar mandi rumahnya sendiri. Baron punya kebiasaan buruk, merokok sambil buang air besar dan membuang puntungnya sembarangan.Belva mengusap mukanya seakan dengan begitu ia bisa membuang jauh-jauh pikirannya agar tidak membandingkan keduanya karena jelas saja sangat jauh berbeda.Begitu membuka pintu kamar mandi dan berniat untuk kembali ke luar, Belva terkejut saat melihat Rogen tahu-tahu sudah berada di depan pintu.“Udah selesai?” ta