Setelah makan siang tadi Belva melanjutkan pekerjaannya. Selagi berkonsentrasi, fokus perhatiannya pun terusik ketika ponselnya berdering nyaring. Seharusnya tadi Belva men-silent-kan saja agar tidak mengganggu konsentrasinya.Ternyata Hesti yang menelepon. Belva terpaksa menerima panggilan tersebut karena ia tahu ibu tirinya itu tidak akan berhenti sebelum Belva menjawab.“Bel, udah ada uangnya? Mama harap kamu nggak lupa. Besok sudah harus dibayar.”“Iya, Ma, aku lagi usahain,” jawab Belva lesu.“Jangan cuma diusahain, tapi harus ada hari ini juga biar besok adekmu langsung tinggal bayar. Mama juga berharap kalau kamu nggak akan pernah melupakan jasa-jasa Mama membiayai kuliah kamu dulu!” kata Hesti penuh penekanan.“Iya, Ma.” Bersama jawabannya Belva langsung mengakhiri panggilan. Tidak peduli apakah di seberang sana Hesti mengomel panjang lebar.Belva membuang napas panjang. Ia memijit pelipisnya. Kepalanya semakin berat setelah mendapat tekanan dari ibu tirinya. Belva menyentuh k
Belva basah kuyup ketika tiba di rumah. Tadi hujan menyapanya ketika ia masih berada di setengah perjalanan. Dan sialnya Belva lupa membawa jas hujan.Belva masuk ke kamarnya lalu mengganti pakaian dan mengeringkan rambutnya yang basah. Hawa dingin yang melingkupinya membuat Belva menggigil.Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dari luar. Baron masuk tanpa aba-aba yang membuat Belva terkejut. Saking terburu-buru, Belva lupa mengunci pintu.“Ada apa, Pa?” Perasaan Belva tidak enak melihat gelagat yang ditunjukkan sang ayah.“Bel, Papa butuh duit. Tolong kasih Papa duit, Bel,” pinta Baron dengan muka memelas, dan biasanya cara itu cukup ampuh. Belva akan luluh dan memenuhinya.“Aku nggak punya duit, Pa,” jawab Belva. Lama-lama ia mulai muak atas tingkah orang-orang di rumah yang selalu memerasnya tanpa mau tahu betapa susahnya Belva mendapatkan itu semua.“Ayolah, Bel, jangan bohong sama Papa. Pinjam Papa dulu, besok Papa ganti.” Baron terus memaksa. Aroma alkohol yang kuat menguar dari mul
Setelah dari toko perhiasan tadi, Rogen tidak langsung pulang. Ia terus mengekori Belva. Sebelah tangannya berada di setir, sedangkan sebelahnya lagi mencubit-cubit dagunya sembari memikirkan cara untuk mengembalikan kalung gadis itu.Hujan mulai turun tepat di saat Rogen masih berada di perjalanan mengikuti Belva. Ingin rasanya Rogen menawarkan tumpangan agar gadis itu tidak kehujanan, tapi Rogen juga yakin pasti Belva akan menolak.Rogen berdecak kesal karena indikator fuelmeter mobilnya menunjukkan bahwa ia membutuhkan tambahan bahan bakar. Rogen terpaksa membelokkan mobilnya ke SPBU yang ditemuinya.Rogen harus rela kehilangan jejak Belva karena saat itu ia harus antri bersama puluhan kendaraan lainnya yang memiliki kepentingan yang sama dengannya.Cukup lama Rogen menghabiskan waktu di sana hingga akhirnya ia keluar dari tempat itu. Kali ini ia menyetir dengan pelan karena Rogen yakin Belva tidak akan ke mana-mana lagi hujan-hujan begini. Belva pasti langsung pulang ke rumahnya.
Belva meletakkan piring kosong bekas makanan ke atas nakas. Pandangannya lantas beralih pada satu-satunya ruangan yang terdapat pada kamar tersebut. Mungkin itu adalah kamar mandi.Belva turun dari ranjang lalu melangkah pelan ke ruangan tersebut. Pundaknya terasa sakit saat digerakkan. Tadi waktu menabrakkan diri ke mobil Rogen bagian pundaknya adalah yang paling duluan membentur mobil laki-laki itu.Kamar mandi Rogen ternyata bersih. Tadinya Belva pikir ia akan menemukan puntung rokok berserakan di mana-mana. Tidak seharusnya ia membandingkan dengan kamar mandi rumahnya sendiri. Baron punya kebiasaan buruk, merokok sambil buang air besar dan membuang puntungnya sembarangan.Belva mengusap mukanya seakan dengan begitu ia bisa membuang jauh-jauh pikirannya agar tidak membandingkan keduanya karena jelas saja sangat jauh berbeda.Begitu membuka pintu kamar mandi dan berniat untuk kembali ke luar, Belva terkejut saat melihat Rogen tahu-tahu sudah berada di depan pintu.“Udah selesai?” ta
Athaya menjauhkan ponsel dari telinganya ketika Rogen memutus sambungan dari seberang sana. Awalnya Athaya tidak menyadari jika sambungan sudah terputus saking terpana mendengar suara Rogen. Setelahnya, Athaya kembali duduk di sebelah Belva dan menatap sahabatnya itu dengan sorot meminta penjelasan.“Rogen nelfon gue, katanya lo nyoba bunuh diri, itu bener, Bel?”Belva tidak mengiyakan, namun juga tidak menidakkan.“Bel, lo kenapa sih? Lo ada masalah apa sebenarnya? Cerita sama gue, Bel! Lagian sejak kapan lo jadi pake rahasia-rahasia gini?”Didesak seperti itu, Belva tidak lagi punya alasan untuk berkilah. Jalan satu-satunya adalah memberitahunya pada Athaya. “Tadi tuh gue udah desperate banget, Ay.”Athaya menegakkan duduk, lebih serius mendengarkan Belva.Belva mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Papa mengambil paksa uang yang seharusnya buat bayar semesterannya Amel. Gue bingung harus gimana lagi, soalnya gue be
“Dia baik-baik aja, Dek.” Athaya menjawab rentetan pertanyaan Rogen.“Hufft … syukurlah ….” Rogen terlihat lega. “Terus sekarang dia masih di rumah lo?” tanyanya lagi.Athaya menggeleng pelan. “Tadi aku udah ngelarang dia biar nggak ngantor dulu, tapi dia nggak mau, katanya udah baikan.”“Jadi sekarang Belva ada di sini?” kejar Rogen secepat kilat.Athaya mengiyakan dengan menganggukan kepala.Rogen kemudian melempar pandangan ke luar kantin. Bola matanya berlarian gelisah seakan sedang mencari-cari sosok seseorang.“Terus lo kenapa nggak ngajak Belva ke sini sekalian?” tuntutnya pada Athaya.“Kan kita mau ngomongin dia, nggak mungkin juga kan aku ajak dia ke sini?”Rogen mengangguk pelan. Ia menyesap minumannya sesaat sebelum Melanjutkan perbincangan.“Dia udah cerita sama lo ada masalah apa?”Athaya tidak seketika menjawab. Ia berpikir sebelumnya. Apa nanti jika ia membicarakan masalah Belva pada Rogen tidak akan membuat sahabatnya itu malu?“Ay, kok malah bengong? Lo denger gue ng
Belva memandang ke sekitarnya. Suasana di tempat itu cukup sepi. Tidak seorang pun terlihat di sana. Sementara itu titik-titik air mulai turun dari langit.Belva menggigit pipi bagian dalam. Rasa ragu semakin menyelimutinya. Belva merasa berat kembali ke rumah, tapi ia juga tidak memiliki pilihan lain kecuali ikut dengan Rogen.“Kamu harus tinggalkan keluarga toxic itumu, Bel. Jangan pernah kembali lagi ke sana.” Rogen mengulangi lagi kata-katanya.Tanpa diduga Rogen menarik tangan Belva, membukakan pintu mobil untuknya lalu memintanya masuk.Belva tidak menolak. Semua yang dikatakan Rogen tidak salah. Dirinya sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidup sendiri.Rogen menerbitkan senyum dari bibirnya begitu melihat Belva duduk manis di sebelahnya. Ia segera menyalakan mesin mobil dan membelah jalan raya dengan kecepatan biasa.Selagi Rogen menyetir, Belva membisu di sebelahnya dengan pikiran tidak menentu. Sudah seminggu ini Belva pergi dari rumah, tapi tidak seorang pun dari kelua
Hujan masih turun saat keduanya sampai di apartemen Rogen.“Dingin, Bel?” Rogen tersenyum melihat Belva memeluk dirinya sendiri dengan melipat kedua tangannya.“Sedikit,” jawab Belva pelan, lalu melangkah masuk setelah Rogen membuka pintu.Seketika wanginya aromaterapi yang bersumber dari diffuser yang terdapat di ruangan itu terhirup oleh hidung Belva.“Duduk, Bel!” Tahu-tahu Rogen membawa mangkok setelah mengambilnya ke belakang.Rogen membuka bungkus bakso dan menuangkan ke dalam mangkok.“Gimana, enak?” “Banget,” jawab Belva sambil terus mengunyah.Rogen tersenyum. Setelah menghabiskan bagiannya terlebih dulu, ia kemudian memerhatikan gerak-gerik Belva dalam diam. Cara Belva menggerakkan tangan, caranya menyuap dan caranya mengunyah terlihat estetik di mata Rogen yang sedang jatuh cinta.Setelah makanan mereka tandas, Rogen menyuruh Belva istirahat. Belva pasti lelah.“Bed cover-nya udah aku ganti, jadi ini masih bersih.”“Makasih,” jawab Belva pelan sambil memandang ke hamparan