Belva meletakkan piring kosong bekas makanan ke atas nakas. Pandangannya lantas beralih pada satu-satunya ruangan yang terdapat pada kamar tersebut. Mungkin itu adalah kamar mandi.Belva turun dari ranjang lalu melangkah pelan ke ruangan tersebut. Pundaknya terasa sakit saat digerakkan. Tadi waktu menabrakkan diri ke mobil Rogen bagian pundaknya adalah yang paling duluan membentur mobil laki-laki itu.Kamar mandi Rogen ternyata bersih. Tadinya Belva pikir ia akan menemukan puntung rokok berserakan di mana-mana. Tidak seharusnya ia membandingkan dengan kamar mandi rumahnya sendiri. Baron punya kebiasaan buruk, merokok sambil buang air besar dan membuang puntungnya sembarangan.Belva mengusap mukanya seakan dengan begitu ia bisa membuang jauh-jauh pikirannya agar tidak membandingkan keduanya karena jelas saja sangat jauh berbeda.Begitu membuka pintu kamar mandi dan berniat untuk kembali ke luar, Belva terkejut saat melihat Rogen tahu-tahu sudah berada di depan pintu.“Udah selesai?” ta
Athaya menjauhkan ponsel dari telinganya ketika Rogen memutus sambungan dari seberang sana. Awalnya Athaya tidak menyadari jika sambungan sudah terputus saking terpana mendengar suara Rogen. Setelahnya, Athaya kembali duduk di sebelah Belva dan menatap sahabatnya itu dengan sorot meminta penjelasan.“Rogen nelfon gue, katanya lo nyoba bunuh diri, itu bener, Bel?”Belva tidak mengiyakan, namun juga tidak menidakkan.“Bel, lo kenapa sih? Lo ada masalah apa sebenarnya? Cerita sama gue, Bel! Lagian sejak kapan lo jadi pake rahasia-rahasia gini?”Didesak seperti itu, Belva tidak lagi punya alasan untuk berkilah. Jalan satu-satunya adalah memberitahunya pada Athaya. “Tadi tuh gue udah desperate banget, Ay.”Athaya menegakkan duduk, lebih serius mendengarkan Belva.Belva mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Papa mengambil paksa uang yang seharusnya buat bayar semesterannya Amel. Gue bingung harus gimana lagi, soalnya gue be
“Dia baik-baik aja, Dek.” Athaya menjawab rentetan pertanyaan Rogen.“Hufft … syukurlah ….” Rogen terlihat lega. “Terus sekarang dia masih di rumah lo?” tanyanya lagi.Athaya menggeleng pelan. “Tadi aku udah ngelarang dia biar nggak ngantor dulu, tapi dia nggak mau, katanya udah baikan.”“Jadi sekarang Belva ada di sini?” kejar Rogen secepat kilat.Athaya mengiyakan dengan menganggukan kepala.Rogen kemudian melempar pandangan ke luar kantin. Bola matanya berlarian gelisah seakan sedang mencari-cari sosok seseorang.“Terus lo kenapa nggak ngajak Belva ke sini sekalian?” tuntutnya pada Athaya.“Kan kita mau ngomongin dia, nggak mungkin juga kan aku ajak dia ke sini?”Rogen mengangguk pelan. Ia menyesap minumannya sesaat sebelum Melanjutkan perbincangan.“Dia udah cerita sama lo ada masalah apa?”Athaya tidak seketika menjawab. Ia berpikir sebelumnya. Apa nanti jika ia membicarakan masalah Belva pada Rogen tidak akan membuat sahabatnya itu malu?“Ay, kok malah bengong? Lo denger gue ng
Belva memandang ke sekitarnya. Suasana di tempat itu cukup sepi. Tidak seorang pun terlihat di sana. Sementara itu titik-titik air mulai turun dari langit.Belva menggigit pipi bagian dalam. Rasa ragu semakin menyelimutinya. Belva merasa berat kembali ke rumah, tapi ia juga tidak memiliki pilihan lain kecuali ikut dengan Rogen.“Kamu harus tinggalkan keluarga toxic itumu, Bel. Jangan pernah kembali lagi ke sana.” Rogen mengulangi lagi kata-katanya.Tanpa diduga Rogen menarik tangan Belva, membukakan pintu mobil untuknya lalu memintanya masuk.Belva tidak menolak. Semua yang dikatakan Rogen tidak salah. Dirinya sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidup sendiri.Rogen menerbitkan senyum dari bibirnya begitu melihat Belva duduk manis di sebelahnya. Ia segera menyalakan mesin mobil dan membelah jalan raya dengan kecepatan biasa.Selagi Rogen menyetir, Belva membisu di sebelahnya dengan pikiran tidak menentu. Sudah seminggu ini Belva pergi dari rumah, tapi tidak seorang pun dari kelua
Hujan masih turun saat keduanya sampai di apartemen Rogen.“Dingin, Bel?” Rogen tersenyum melihat Belva memeluk dirinya sendiri dengan melipat kedua tangannya.“Sedikit,” jawab Belva pelan, lalu melangkah masuk setelah Rogen membuka pintu.Seketika wanginya aromaterapi yang bersumber dari diffuser yang terdapat di ruangan itu terhirup oleh hidung Belva.“Duduk, Bel!” Tahu-tahu Rogen membawa mangkok setelah mengambilnya ke belakang.Rogen membuka bungkus bakso dan menuangkan ke dalam mangkok.“Gimana, enak?” “Banget,” jawab Belva sambil terus mengunyah.Rogen tersenyum. Setelah menghabiskan bagiannya terlebih dulu, ia kemudian memerhatikan gerak-gerik Belva dalam diam. Cara Belva menggerakkan tangan, caranya menyuap dan caranya mengunyah terlihat estetik di mata Rogen yang sedang jatuh cinta.Setelah makanan mereka tandas, Rogen menyuruh Belva istirahat. Belva pasti lelah.“Bed cover-nya udah aku ganti, jadi ini masih bersih.”“Makasih,” jawab Belva pelan sambil memandang ke hamparan
Belva sudah tertidur sejak setengah jam yang lalu, sedangkan Rogen masih memandangi perempuan itu dengan seribu pikiran berkecamuk di kepalanya. Rasa cinta, tidak percaya, serta perasaan bersalah berpadu menjadi satu.Tidak pernah ada dalam rencana hidupnya meniduri perempuan yang baru dikenalnya, meskipun ia sangat mencintai perempuan itu. Namun faktanya ia benar-benar melakukannya. Dan kejutannya adalah perempuan itu masih suci.Rogen bangkit dari ranjang setelah mengecup lembut kening Belva. Rogen keluar dari kamar dan berdiri di pinggir jendela sambil memandang tetesan air hujan yang turun semakin intens. Hujan memang momen yang paling tepat untuk mengukir kenangan. Dan ia telah melakukannya.Rogen tidak main-main dengan ucapannya tadi. Ia memang berniat akan menikahi Belva. Masalahnya adalah, apakah orang tuanya setuju dengan keinginannya itu? Lagi pula Rogen masih muda dan sedang berada di puncak karir.‘Pokoknya Papa sama Mommy harus mau kasih restu gimana pun caranya,’ bisik h
Athaya terdiam seribu bahasa. Tidak sepatah kata pun sanggup meluncur dari bibirnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?“Ay, lo nggak apa-apa?” tanya Belva menyaksikan Athaya diam membisu.Athaya terkesiap. Di sela-sela kebingungannya ia merasakan dadanya sesak. Athaya tidak ingin memercayainya, namun melihat senyum dan ekspresi Belva memberitahu Athaya bahwa semuanya nyata.“Bel, gue nggak ngerti.” Setelah terombang-ambing dalam kebingungan, sepotong kalimat tersebut akhirnya terucap dari mulut Athaya.“Gue juga bingung, Ay. Sampe sekarang gue masih ngerasa semua ini kayak mimpi.”“Gue juga ngerasa ini kayak mimpi. Tapi please, Bel, gue butuh penjelasan lo banget. Gue mau tau cerita lengkapnya.” Athaya mendesak dengan tidak sabar.“Naik dulu yuk, nanti gue ceritain di ruangan.” Belva menggandeng Athaya menuju lift yang akan membawa ke ruang kerja mereka.Athaya tidak menjawab, akan tetapi kakinya menyejajari langkah Belva yang berjalan di sebelahnya. Athaya sudah tidak sabar ingin m
Athaya berkaca di cermin wastafel sambil mengeringkan mukanya yang basah oleh air mata. Sudah sejak tadi Athaya berada di toilet dan menangis sendiri.Athaya tidak menyangka justru sahabatnya sendiri yang akan menghancurkan kebahagiaannya. Tahu begini lebih baik ia memberitahu orang-orang mengenai perasaannya jauh-jauh hari agar mereka tahu bahwa Rogen adalah milik Athaya.Athaya terpaksa keluar dari toilet ketika pintu diketuk. Ada karyawan lain yang juga ingin menggunakannya.Athaya tersenyum menutupi kesedihan lalu bergegas keluar dari toilet. Saat tiba di ruangannya ia langsung duduk. Ia tidak menoleh pada Belva yang berada di sebelahnya.Begitu pun dengan Belva yang tidak menghiraukan Athaya. Belva melanjutkan pekerjaannya. Belva masih tersinggung oleh tudingan Athaya tadi yang mengatakannya gampangan.Keduanya tidak saling sapa hingga jam istirahat siang. Namun ketika ponsel Belva berbunyi dan Belva menjawabnya, Athaya mau tidak mau ikut mendengar percakapannya.“Iya, Gen, lima