"Kukira kau akan tetap bersembunyi di bawah bayang-bayang tugas, Adikku," ucap Yunqin dengan nada penuh sindiran. Yuwen menoleh dan tatapannya disambut senyum Yunqin. "Kehadiranmu di sini membuatku berpikir, apa rencana selanjutnya yang sudah ibuku untuk kita karena aku tahu kau tidak akan diberi tempat memainkan peran penting di istana ini."
Yuwen tidak langsung menjawab. Ia menatap Yunqin sejenak, membaca bahasa tubuh kakaknya. "Meski begitu, sepertinya ayah kita berencana memberikan aku peran lagi. Kakak tenang saja, kali ini aku akan bermain dengan cara lebih menyenangkan," jawab Yuwen dingin. Yunqin tertawa kecil, tetapi matanya tidak menunjukkan tanda-tanda kegembiraan. "Bagus. Kalau begitu, kau hanya perlu melakukan apa yang diperintahkan kekaisaran." "Apa Kakak yakin kekaisaran ingin memerintahkan ke mana leherku bergerak?” Mata Yuwen turun memperhatikan pakaian megah pernikahan Yunqin. “Dari pakaianmu, aku rasa rencanamu tidak sesuai dengan perintah kekaisaran. Selamat atas pernikahanmu.” Ketegangan antara mereka terasa memuncak. Yunqin mendekat, menyandarkan tangannya pada gagang pedangnya, seolah siap menghunusnya kapan saja. “Hati-hati dengan ucapanmu, Yuwen. Dunia ini kejam. Kau harus tahu siapa yang sebenarnya berkuasa." Yuwen menghela napas, coba menenangkan dirinya. "Kita akan lihat siapa yang benar-benar memegang kendali." “Yuwen-er!” Teriakan kaisar memecah kegentingan yang menggantung. Yuwen dan Yunqin kompak membungkuk sedalam yang mereka bisa. “Qing Yuwen menghadap. Panjang umur Yang Mulia Kaisar,” ucap Yuwen, suaranya rendah dan dalam, menggema dengan penghormatan tak terukur. Kaisar Tao melangkah mendekat, senyum lebar menghiasi wajahnya. Tangannya yang kokoh menepuk pundak Yuwen. “Kita perlu bicara, Yuwen-er,” katanya, hangat, dengan nada mengisyaratkan sesuatu yang mendesak. Junsu dan seorang kasim kepercayaan yang berdiri tak jauh dari Kaisar, segera maju, menyela dengan nada hati-hati. “Yang Mulia, sebaiknya kita menuju aula utama. Upacara akan segera dimulai.” Bergantian Kaisar Tao menatap Junsu dan Yunqin lalu mengusap janggutnya dengan gerakan perlahan. "Ada hal penting yang perlu kubicarakan dengan Yuwen-er," ujarnya, tegas, tetapi lembut. Junsu tampak sedikit gelisah, tetapi keberaniannya untuk berbicara tak surut. “Yang Mulia, apa yang lebih penting dari acara hari ini? Saya rasa Pangeran Kedua tahu posisinya,” katanya, dengan nada yang nyaris terdengar seperti teguran terselubung. Kaisar Tao mengangkat alis, menatap Junsu dengan kesan yang cukup untuk menghentikan napas siapapun. “Aku hanya ingin menghibur Yuwen-er. Ibunya tidak dapat hadir hari ini. Tabib istana telah kuperintahkan untuk merawatnya,” katanya, dengan suara berat penuh kendali. Yuwen menundukkan kepala, sorot matanya tersembunyi. “Terima kasih, Yang Mulia,” katanya singkat penuh penghormatan tulus. Kaisar Tao kembali menepuk pundaknya, kali ini lebih pelan, seolah mencoba mengurangi beban yang tak terlihat di punggung Yuwen. “Sekarang ikutlah denganku. Tidak ada yang boleh menghalangi,” ujarnya, nadanya tidak lagi bisa diganggu gugat. Setelah mereka melangkah pergi, suasana terasa mencekam. Junsu berdiri kaku di tempatnya, rahangnya mengeras. Seorang kasim menghampiri dengan hati-hati. “Yang Mulia ....” Sebelum kasim itu sempat melanjutkan, dengan gerakan kasar Junsu mengibaskan gaunnya, tanda bahwa tidak ingin didikte. “Aku mengerti. Tidak perlu kau ingatkan lagi!” katanya dingin, lalu menatap Yunqin. “Seharusnya kau bisa mencegah ayahmu membawanya pergi.” “Bukankah ibu selalu bisa memegang kendali?” “Kau—” Ucapan Junsu terputus oleh sikap Yunqin yang melangkah pergi menuju aula utama. Ditatapnya punggung Yunqin yang menjauh. Junsu tahu pernikahan itu tidak diinginkan, tetapi jelas Junsu telah menyusun langkah terbaik untuknya kelak. *** Di taman istana, Kaisar Tao membawa Yuwen ke sebuah gazebo kecil yang dikelilingi hamparan bunga mawar merah. Embun pagi masih menggantung di tiap kelopaknya. “Tampaknya kau belum mengganti pakaianmu, Yuwen-er,” Kaisar Tao memecah keheningan, matanya memperhatikan pakaian Yuwen yang memang sangat tidak sesuai dengan acara yang akan berlangsung di aula utama. “Maaf, Yang Mulia. Hamba baru saja tiba, Yang Mulia,” jawab Yuwen dengan nada datar penuh penghormatan. Kaisar Tao mengangguk, seolah memaklumi. Ia menarik napas panjang, menatap hamparan bunga di depannya. “Aku bersedih karena ibumu tidak dapat hadir hari ini.” Ada jeda sejenak sebelum Kaisar Tao melanjutkan, “kau tahu, aku telah memerintahkan tabib istana untuk menjaganya. Meski begitu, aku tetap mengawasi. Pernikahan megah ini begitu menyedihkan karena saudari-saudarimu pun tidak datang dan aku tahu kau datang dengan laporan tidak memuaskan tentang penyergapan.” Yuwen terdiam. Matanya tetap tertunduk, menyembunyikan gejolak emosi yang tak dapat diungkapkan. “Hamba lalai, Yang Mulia. Hamba gagal menjalankan tugas,” katanya tegas penuh penyesalan. Kaisar Tao menggeleng perlahan. “Bukan itu yang membuatku cemas, Yuwen-er.” Kaisar Tao kembali menarik napas panjang. “Ibumu memiliki tempat yang tak tergantikan di istana ini. Aku ingin kau percaya akan hal itu.” Yuwen tetap diam. Ia tahu pembicaraan ini sensitif. Bila terus dilanjutkan, ia takut tidak bisa menahan diri membawa kabur ibunya dari istana. Kaisar Tao menatapnya lama, mengamati setiap reaksi yang coba disembunyikan oleh Yuwen. “Sikap diammu membuatku cemas. Apa kau tidak percaya padaku?” tanyanya lembut, tetapi menusuk. “Hamba tidak berani, Yang Mulia,” jawab Yuwen nyaris tak terdengar. Kaisar Tao menghela napas panjang, lalu dengan gerakan perlahan, ia menyentuh mahkota emas yang tersemat di kepalanya. “Apa kau ingin mencobanya? Dulu, kau suka bermain dengannya saat kecil. Sekarang … apa kau tidak ingin mengenakannya lagi?” Yuwen terkejut, langkahnya mundur tanpa sadar. “Hamba tidak berani, Yang Mulia,” jawabnya dengan tegas, meski ada kebingungan dalam sorot matanya. Ia tahu persis apa maksud dari kalimat Kaisar, tetapi Yuwen takut untuk menerka. Kaisar Tao mengalihkan pandangannya, kali ini ke bunga-bunga mawar di sekeliling mereka. “Aku sudah tua, Yuwen. Jadi, apa yang kau inginkan, Yuwen-er? Hanya diam?” tanyanya, suaranya lebih rendah, nyaris seperti bisikan. “Mengapa kau tidak memprotes, Yuwen-er? Tentang semuanya. Ibumu, hidupmu, saudari-saudarimu. Mengapa engkau diam membiarkan semuanya seperti daun yang hanyut terbawa arus?” lanjutnya. Yuwen menarik napas panjang. Ia tahu, setiap jawabannya bisa membawa konsekuensi. “Daun tidak selalu jatuh ketika angin berembus, Yang Mulia,” jawabnya tegas penuh makna. Kaisar Tao kembali menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Kau selalu punya cara untuk membuatku berpikir, Yuwen-er. Mengenai pernikahanmu sendiri … apa kau memang setuju dengan ide menikahkanmu dengan putri saudagar Han? Apa itu kehormatan yang kau inginkan?” Yuwen terdiam sejenak, perasaan bercampur aduk dalam dada. Coba menyembunyikan kegelisahan yang merayapi hatinya. "Apa dengan menolaknya, pernikahan hamba dengan putri saudagar Han akan dibatalkan, Yang Mulia?" Ada jeda sejenak. “Hamba rasa, tidak demikian.” Kaisar Tao tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di taman yang sunyi. “Jadi, kau merasa punya pilihan? Menganggap semuanya bisa begitu saja kau tolak? Apa Permaisuri Junsu benar? Apa engkau sungguh tahu di mana posisimu berada?” Yuwen menatap Kaisar Tao dengan tatapan yang tajam penuh menyelidik dan Kaisar Tao tahu itu. “Aku selalu mengawasi. Jangan lupakan aku adalah kaisar.” “Hamba tidak berani menjawab, Yang Mulia.” Pernikahannya dengan putri saudagar Han jelas akan mengikatnya pada satu konflik dengan Yunqin. Setiap sudut istana tahu bahwa putri saudagar Han akan dijodohkan dengan kakaknya, Yunqin. Namun, apa yang sekarang terjadi? Yunqin dijodohkan dengan putri dari istana lain. “Jadi, apa yang kau inginkan, Yuwen-er?” tanya Kaisar Tao lagi seolah ingin mengorek apa yang ada dalam hati anaknya. Yuwen memejamkan mata sejenak. Jawaban yang salah bisa berakibat fatal. “Hamba hanya menjalankan tugas, Yang Mulia,” jawabnya mantap. Kaisar tersenyum. “Pergilah, ganti pakaianmu. Berdirilah di sampingku nanti. Aku ingin kau hadir di sana, bukan hanya sebagai Pangeran Kedua, tetapi sebagai keluargaku.” Yuwen menundukkan kepala, langkahnya perlahan mundur sebelum ia berbalik pergi. Dentuman langkah sepatunya di jalan berbatu terdengar tenang, tetapi di dalamnya ada badai emosi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dari kejauhan, Yuwen menatap tangan kanannya—Yu Yong yang berjalan cepat, sesekali menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah cemas. “Yu Yong!” panggil Yuwen. Yu Yong tersenyum, berlari kecil menghampiri Yuwen. “Yang Mulia, hamba sudah menyiapkan pakaian untuk Yang Mulia,” kata Yu Yong menyodorkan baki dengan kain merah yang menutupi isinya. Yuwen menatap baki. Ia membuka sedikit kain penutupnya dan matanya terhenti pada pakaian yang terhampar—warna yang senada dengan pakaian Kaisar Tao. “Dari mana pakaian ini?” tanya Yuwen datar. “Menteri Xi yang memberikannya, Yang Mulia,” jawab Yu Yong dengan tangan gemetar, lalu mengeluarkan plakat emas berstempel kaisar. “Beliau khawatir Yang Mulia akan kesulitan memasuki paviliun utama karena tidak memiliki plakat undangan kekaisaran.” Yuwen meraih plakat itu dengan tatapan tajam. “Aku tidak punya waktu untuk ini. Aku hanya ingin pergi. Cari penginapan.” “Yang Mulia, tunggu dulu. Istana memiliki banyak kamar,” Yu Yong berusaha meyakinkan. Yu Yong tahu Yuwen tidak mau berlama-lama di istana, tetapi Menteri Xi benar. Yuwen harus ikut dalam acara ini. Yuwen harus ingat dirinya bisa menjadi kaisar kelak. “Jangan debatkan aku!” bentak Yuwen, matanya mengiris, menuntut agar tidak ada lagi pembicaraan. Cepat Yuwen meletakkan plakat itu di atas baki dan melangkah pergi. Teriakan seorang wanita tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Aku diundang! Biarkan aku masuk! Aku membawa plakat resmi!” Dua penjaga di gerbang utama saling berpandangan, pedang mereka tersilang di depan pintu. “Mohon maaf,” kata salah satu penjaga dengan suara tegas, “Tamu undangan dengan plakat perunggu hanya diperkenankan masuk ke paviliun kiri. Hanya undangan berplakat emas yang boleh memasuki paviliun utama.” Wanita itu bersikeras, suaranya penuh desakan. “Aku harus masuk! Aku harus menemui Pangeran Kedua!”Mendengar namanya dipanggil, Yuwen menghampiri dengan penasaran. Ia menurunkan ujung pedang penjaga dengan telunjuknya lantas menatap wanita yang berada di hadapan penjaga.Penjaga tampak terkejut lantas membuka diri, membiarkan Yuwen maju. Wanita itu terkejut, mundur selangkah, mata lekat menatap Yuwen."Katakan, untuk apa seorang pelayan sepertimu mencari Pangeran Kedua?" ulangnya.Jiali terdiam sesaat, warna merah menyebar di wajahnya yang tersembunyi dibalik cadar. "P-pelayan? Aku?" Jiali mundur, seolah kata-kata itu adalah cambuk yang menyentuh kulitnya. "Kamu memanggilku pelayan?"Cepat Jiali menganalisa penampilan lawan bicaranya. Sepatunya hitam tinggi sampai betis dengan sol tebal dan plakat besi di bagian depan. Pakaiannya tampak mahal. Jiali tahu kualitas kain yang dikenakannya sangat tinggi. Motif naga terukir di lengan. Ornamen di tengah ikat kepalanya bukan besi biasa, melainkan lempengan dengan ukiran burung Phoenix di bagian depan.Wajahnya simetris, dengan rahang tega
Yuwen menyesal karena tidak langsung meninggalkan istana. Seharusnya ia pergi saja bersama Jiali melalui pintu rahasia lalu mencari penginapan. Di ujung Koridor yang diterangi lentera merah menyala, Yunqin berdiam, tampak memang sedang menunggu Yuwen. Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pakaian pernikahan merah Yunqin memantulkan cahaya lentera, memperlihatkan sulaman naga emas yang berkilau seperti api. Sosoknya terlihat sempurna dalam balutan gaun itu, tetapi wajahnya yang tegang dan mata yang menyala marah menunjukkan kesan berbanding terbalik.."Di mana Jiali?” Pertanyaan Yunqin bisa langsung ditebak Yuwen. Tentu saja Yunqin melihatnya bersama Jiali..“Dia akan menjadi istriku. Tidak ada salahnya kami saling mengenal.”Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Yunqin. Yunqin sadar tidak ada kekeliruan dalam kalimat yang diucapkan Yuwen. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”Yuwen menatapnya.. "Yang Mulia, kembalilah ke aula utama. Semua tamu sedang menunggumu. Kau tidak s
"Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa."Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—""Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tid
“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.“Mari, Nona.”Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?“Nona?”Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkele
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.“Mari, Nona.”Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?“Nona?”Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkele
"Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa."Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—""Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tid
Yuwen menyesal karena tidak langsung meninggalkan istana. Seharusnya ia pergi saja bersama Jiali melalui pintu rahasia lalu mencari penginapan. Di ujung Koridor yang diterangi lentera merah menyala, Yunqin berdiam, tampak memang sedang menunggu Yuwen. Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pakaian pernikahan merah Yunqin memantulkan cahaya lentera, memperlihatkan sulaman naga emas yang berkilau seperti api. Sosoknya terlihat sempurna dalam balutan gaun itu, tetapi wajahnya yang tegang dan mata yang menyala marah menunjukkan kesan berbanding terbalik.."Di mana Jiali?” Pertanyaan Yunqin bisa langsung ditebak Yuwen. Tentu saja Yunqin melihatnya bersama Jiali..“Dia akan menjadi istriku. Tidak ada salahnya kami saling mengenal.”Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Yunqin. Yunqin sadar tidak ada kekeliruan dalam kalimat yang diucapkan Yuwen. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”Yuwen menatapnya.. "Yang Mulia, kembalilah ke aula utama. Semua tamu sedang menunggumu. Kau tidak s
Mendengar namanya dipanggil, Yuwen menghampiri dengan penasaran. Ia menurunkan ujung pedang penjaga dengan telunjuknya lantas menatap wanita yang berada di hadapan penjaga.Penjaga tampak terkejut lantas membuka diri, membiarkan Yuwen maju. Wanita itu terkejut, mundur selangkah, mata lekat menatap Yuwen."Katakan, untuk apa seorang pelayan sepertimu mencari Pangeran Kedua?" ulangnya.Jiali terdiam sesaat, warna merah menyebar di wajahnya yang tersembunyi dibalik cadar. "P-pelayan? Aku?" Jiali mundur, seolah kata-kata itu adalah cambuk yang menyentuh kulitnya. "Kamu memanggilku pelayan?"Cepat Jiali menganalisa penampilan lawan bicaranya. Sepatunya hitam tinggi sampai betis dengan sol tebal dan plakat besi di bagian depan. Pakaiannya tampak mahal. Jiali tahu kualitas kain yang dikenakannya sangat tinggi. Motif naga terukir di lengan. Ornamen di tengah ikat kepalanya bukan besi biasa, melainkan lempengan dengan ukiran burung Phoenix di bagian depan.Wajahnya simetris, dengan rahang tega